21 Juni, 2015

Laksamana Keumala Hayati Pahlawan Maritim dari Aceh

Laksamana Keumala Hayati
Aceh merupakan salah satu provinsi yang terletak di penghujung barat Indonesia tepatnya di ujung utara Pulau Sumatera, dengan luas daratan Aceh 57.365,67 km persegi, dikelilingi Samudera Hindia di wilayah Barat-Selatan Aceh, dan Selat Malaka serta perairan Andaman di wilayah Utara-Timur Aceh, dengan panjang garis pantai 2.666,27 km.
Sedangkan luas perairannya mencapai 295.370 Km persegi, yang terdiri dari perairan teritorial dan kepulauan 56.563 km persegi, serta perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE) 238.807 km persegi. Dengan lokasi strategis yang dekat dengan beberapa negara Asia membuat Aceh meninggalkan banyak sejarah, baik dalam segi religi maupun segi perdagangan, begitu juga dengan kepahlawanan dalam membebaskan Indonesia dari penjajahan.
Aceh dan Islam
Kerajaan islam pertama masuk ke Negeri ini yaitu kerajaan Samudera Pasai yang diperkirakan sudah masuk pada abad ke-10 masehi dengan raja pertamanya yaitu Malik Ibrahim bin Mahdun, bahkan pada abad ke-14 Islam di Aceh sudah menjadi pusat studi Islam di Asia tenggara.
Selain Cut Nyak Dhien, Cut Meutia, paduka Sultanah Safiatuddin, Sultanah Naqiatuddin dan banyak wanita hebat lainnya dari Aceh. Salah satunya yang terhebat yaitu pejuang Maritim wanita dari tanah Aceh yaitu “Laksamana Keumala Hayati” berikut cerita dari pahlawan maritim tersebut!
Laksamana Keumala Hayati
Putri Aceh yang lahir sekitar abad Kesultan Alauddin syah ayah dan kakeknya merupakan Laksamana dan memiliki jiwa kebaharian yang besar, sehingga mengalirlah ke darah Laksamana Kelumala Hayati. Walau seorang wanita ia memiliki keberanian yang sangat luar biasa seperti ayah dan kakeknya.
Riwayat pendidikan Laksamana Keumala Hayati sangat luar biasa, setelah menamatkan sekolahnya di meunasah, rangkang dan dayah  ia diberi pilihan oleh keluarganya untuk melanjutkan pendidikannya. Kebetulan sekali pada saat itu kesultanan Aceh Darussalam memiliki Akademi Militer yang bernama Mahad Baitul Makdis yang terdiri dari dua jurusan yaitu Angkatan Darat dan Angkatan Laut.
Karena ia ingin mengikuti jejak ayah dan kakeknya menjadi seorang Laksamana maka ia pun memilih untuk melanjutkan pendidikan menjadi Angkatan Laut. Seiring berjalan pendidikannya ia berkenalan dengan seorang seniornya di sekolah itu, hari demi hari mereka lalui, sehingga timbulah benih-benih cinta dan mereka bersepakat untuk menikah setelah selesai pendidikan. Suatu hari selesailah pendidikan Laksamana Keumala Hayati dengan predikat sangat baik kalau sekarang dikenal dengan Cumlaude.
Setelah menamatkan pendidikannya maka ia menikah dengan pujaan hatinya. Setelah itu ia fokus kepada karirnya yaitu dunia pergerakan dan perjuangan. Pada tahun 1589 ia diangkat oleh Sultan Alauddin Riayat Syah Al-Mukammil sebagai komandan protokol Istana Darud Istana. Darut merupakan dunia di kesultanan Aceh Darussalam. Jabatan tersebut adalah suatu penghargaan sekaligus amanah sultan terhadapnya, sehingga ia bekerja keras untuk mempelajari etika dan tata cara  keprotokolan.
Penghargaan Laksamana
Perjuangan Laksamana Keumala Hayati pertama kali dimulai dari sebuah perang di perairan Selat Malaka perang antara pasukan Portugis dengan pasukan Kesultanan Aceh Darussalam yang dipimpin oleh Sultan Alauddin Syah Al-Mukammil, dan dibantu oleh dua orang laksamana. Pertempuran terjadi diteluk Haru dan dimenangkan oleh Armada Aceh.
Walau harus rela kehilangan ribuan pasukan dan dua Laksamana salah satu Laksamana tersebut merupakan suami dari Keumala Hayati yang saat itu menjabat sebagai Protokol Darud-Dunia. Dari sinilah Laksamana Keumala Hayati marah dan ia berjanji akan menuntut balas kejadian tersebut kepada Portugis dan ia bertekad melanjutkan pertempuran walau hanya sendiri.
Untuk memenuhi tekadnya tersebut Laksamana Keumala Hayati meminta izin kepada Sultan Alauddin Syah Al-Mukammil untuk membentuk Armada perang Aceh yang semua prajurit perangnya terdiri dari janda-janda karena suami mereka sudah gugur waktu perang di Teluk Haru dan permintaan ini diindahkan oleh Sultan Alauddin Syah Al-Mukammil. Jumlah pasukan pertama 1.000 orang, kemudian diperkuat lagi menjadi 2.000 orang. Pangkalan militernya yaitu Teluk Lamreh, Krueng Raya, Aceh Besar. Di sekitar teluk ini, ia membangun Benteng Inong Balee yang letaknya di perbukitan.
Keumla Hayati mengkoordinir pasukannya di laut, mengawasi berbagai pelabuhan-pelabuhan yang berada di bawah penguasaan Syahbandar, dan mengawasi kapal-kapal jenis galey milik Kesultanan Aceh Darussalam. Seorang nahkoda kapal Belanda yang berkebangsaan Inggris, John Davis, mengungkapkan fakta bahwa pada masa kepemimpinan militer Laksanana Keumala Hayati, Kesultanan Aceh Darussalam memiliki perlengkapan armada laut yang di antaranya terdiri dari 100 buah kapal (galey) dengan kapasitas penumpang 400-500 orang.
Kisah perjuangan Laksamana Keumalahayati tidak berhenti di sini. Ia pernah terlibat dalam pertempuran melawan kolonialisme Belanda. Ceritanya, pada tanggal 22 Juni 1586, Cornelis de Houtman memimpin pelayaran pertamanya bersama empat buah kapal Belanda dan berlabuh di Pelabuhan Banten. Setelah kembali ke Belanda, pada pelayaran yang kedua, ia memimpin armada dagang Belanda yang juga dilengkapi dengan kapal perang. Hal itu dilakukan untuk menghadapi kontak senjata dengan Kesultanan Aceh Darussalam pada tanggal 21 Juni 1599.
Dua buah kapal Belanda bernama de Leeuw dan de Leeuwin yang dipimpin oleh dua orang bersaudara, Cornelis de Houtman dan Frederick de Houtman, berlabuh di ibukota Kesultanan Aceh Darussalam. Pada awalnya, kedatangan rombongan tersebut mendapat perlakuan yang baik dari pihak kesultanan karena adanya kepentingan hubungan perdagangan.
Namun, dalam perkembangan selanjutnya Sultan Sultan Alauddin syah al-Mukammil tidak senang dengan kehadiran rombongan tersebut dan memerintahkan untuk menyerang orang-orang Belanda yang masih ada di kapal-kapalnya. Ada dugaan bahwa sikap Sultan tersebut banyak dipengaruhi oleh hasutan seseorang berkebangsaan Portugis yang kebetulan menjadi penerjemahnya.
Serangan tersebut dipimpin sendiri oleh Laksamana Keumala Hayati. Akhirnya, Cornelis de Houtman dan beberapa anak buahnya terbunuh, sedangkan Frederick de Houtman tertangkap dan dimasukkan ke dalam penjara (selama 2 tahun). Keberhasilan Laksamana Keumala Hayati merupakan sebuah prestasi yang sungguh luar biasa karena dari Keberhasilan Inilah ia mendapatkan gelar Laksamana dan merupakan Laksamana Pertama di dunia.
Keumala Hayati ternyata bukan hanya sebagai seorang Laksamana dan Panglima Angkatan Laut Kesultanan Aceh Darussalam, namun ia juga pernah menjabat sebagai Komandan Pasukan Wanita Pengawal Istana. Jabatan ini merupakan tugas kesultanan dalam bidang diplomasi dan ia bertindak sebagai juru runding dalam urusan-urusan luar negeri. Ia sendiri telah menunjukkan bakatnya dan menjalankan tugasnya dengan sebaik-baiknya. Ia memiliki sifat dan karakter yang tegas sekaligus berani dalam menghadapi berbagai momen perundingan, baik dengan Belanda maupun Inggris. Meski begitu, sebagai diplomat yang cerdas, ia dapat bersikap ramah dan luwes dalam melakukan berbagai perundingan.
Pada tanggal 21 November 1600, rombongan bangsa Belanda yang dipimpin Paulus van Caerden datang ke Kesultanan Aceh Darussalam. Sebelum memasuki pelabuhan, rombongan ini menenggelamkan sebuah kapal dagang Aceh dengan terlebih dahulu memindahkan segala muatan lada yang ada di dalamnya ke kapal mereka. Setelah itu datang lagi rombongan bangsa Belanda kedua yang dipimpin oleh Laksamana Yacob van Neck.
Mereka mendarat di Pelabuhan Aceh pada tanggal 31 Juni 1601. Mereka memperkenalkan diri sebagai bangsa Belanda yang datang ke Aceh untuk membeli lada. Setelah mengetahui bahwa yang datang adalah bangsa Belanda, Laksamana Keumalahayati langsung memerintahkan anak buahnya untuk menahan mereka. Tindakan tersebut mendapat persetujuan Sultan Alauddin syah al-Mukammil karena sebagai ganti rugi atas tindakan rombongan Belanda sebelumnya.
Pada tanggal 23 Agustus 1601, tiba rombongan bangsa Belanda ketiga yang dipimpin oleh Komisaris Gerard de Roy dan Laksamana Laurens Bicker dengan empat buah kapal (Zeelandia, Middelborg, Langhe Bracke, dan Sonne) di Pelabuhan Aceh. Kedatangan mereka memang telah disengaja dan atas perintah Pangeran Maurits. Kedua pimpinan rombongan mendapat perintah untuk memberikan sepucuk surat dan beberapa hadiah kepada Sultan al-Mukammil.
Sebelum surat diberikan, sebenarnya telah terjadi perundingan antara Laksamana Keumalahayati dengan dua pimpinan rombongan Belanda. Isi perundingan tersebut adalah terwujudnya perdamaian antara Belanda dan Kesultanan Aceh, dibebaskannya Frederick de Houtman, dan sebagai imbalannya Belanda harus membayar segala kerugian atas dibajaknya kapal Aceh oleh Paulus van Caerden (akhirnya Belanda mau membayar kerugian sebesar 50.000 golden).
Setelah itu hubungan antara Belanda dan Kesultanan Aceh berlangsung cukup baik. Kehadiran bangsa Belanda dapat diterima secara baik di istana kesultanan dan mereka diperbolehkan berdagang di Aceh. Sebagai lanjutan dari hubungan baik antara Belanda dan Kesultanan Aceh, maka diutuslah tiga orang untuk menghadap Pangeran Maurits dan Majelis Wakil Rakyat Belanda. Ketiga orang itu adalah Abdoel Hamid, Sri Muhammad (salah seorang perwira armada laut di bawah Laksamana Keumala Hayati), dan Mir Hasan (bangsawan kesultanan). Meski sedang dilanda perang melawan kolonialisme Spanyol, pihak Belanda menyambut utusan Aceh tersebut dengan upacara kenegaraan.  
    
Peran diplomatik Laksamana Keumala Hayati masih berlanjut. Hal ini bermula dari keinginan Inggris untuk menjalin hubungan dagang dengan Kesultanan Aceh Darussalam. Ratu Elizabeth I (1558-1603 M) mengirim utusan untuk membawa sepucuk suratnya kepada Sultan Aceh al-Mukammil.
Rombongan yang dipimpin oleh James Lancaster, seorang perwira dari Angkatan Laut Inggris ini, tiba di Pelabuhan Aceh pada tanggal 6 Juni 1602. Sebelum bertemu dengan Sultan al-Mukammil, Lancaster mengadakan perundingan dengan Laksamana Keumala Hayati. Dalam perundingan itu, Lancaster menyampaikan keinginan Inggris untuk menjalin kerjasama dengan Kesultanan Aceh Darussalam.
Ia juga berpesan agar Laksamana Keumala Hayati memusuhi Portugis dan berbaik hati dengan Inggris. Laksamana Keumala Hayati meminta agar keinginan tersebut dibuat secara tertulis dan diatasnamakan Ratu Inggris. Setelah surat tersebut selesai dibuat, Lancaster diperkenankan menghadap Sultan  Alauddin syah  al-Mukammil.
Laksamana Keumala Hayati juga berperan besar dalam menyelesaikan masalah  kesultanan. Hal ini bermula dari peristiwa penting perihal suksesi kepemimpinan di Kesultanan Aceh Darussalam. Pada tahun 1603 M, Sultan Alauddin syah al-Mukammil menempatkan anak lekaki tertuanya sebagai pendamping dirinya. Namun, rupanya putra tersebut berkhianat terhadap ayahnya dan mengangkat dirinya sebagai Sultan Aceh dengan gelar Sultan Ali Riayat Syah (1604-1607 M).
Pada masa awal kepemimpinannya, berbagai macam bencana menimpa Kesultanan Aceh Darussalam, seperti kemarau yang berkepanjangan, pertikaian berdarah antar saudara, dan ancaman dari pihak Portugis. Tidak ada keinginan kuat dari Sultan Ali Riayat Syah untuk menyelesaikan masalah tersebut dengan serius. Maka banyak timbul rasa kekecewaan dari punggawa kesultanan, salah satu di antaranya adalah Darmawangsa Tun Pangkat, kemenakannya sendiri. Darmawangsa ditangkap dan dipenjara atas perintah Sultan.
Pada bulan Juni 1606, Portugis menyerang Kesultanan Aceh Darussalam yang dipimpin oleh Alfonso de Castro. Ketika itu Darmawangsa masih berada di penjara. Ia memohon kepada Sultan Ali Riayat Syah agar dirinya dapat dibebaskan dan dapat ikut bertempur melawan Portugis. Dengan didukung adanya pemintaan Laksamana Keumala Hayati, Darmawangsa akhirnya dapat dibebaskan. Mereka berdua akhirnya berjuang bersama dan dapat menghancurkan pasukan Portugis.
Oleh karena Sultan Ali Riayat Syah dianggap banyak kalangan tidak cakap lagi memimpin kesultanan, maka Laksamana Keumala Hayati melakukan manuver dengan cara menurunkan Sultan Ali Riayat Syah dari tahta kekuasaan. Darmawangsa akhirnya terpilih sebagai Sultan Aceh dengan gelar Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M). Pada masanya, Kesultanan Aceh Darussalam mencapai zaman keemasan.
Sebagian pendapat menyatakan tewasnya Laksamana Keumala Hayati terjadi pada Saat Melawan Alfonso de Castro (1606) tapi ini masih menjadi pertanyaan.  Laksamana Keumala Hayati dimakamkan di Salah satu bukit di Krueng Raya Aceh Besar sekitar 34 Km dari pusat kota Banda Aceh dan lokasi menuju makam beliau tepat didepan pintu masuk Pelabuhan Malahayati.
Hari Laksamana Keumala Hayati
Tak cukup hanya nama pelabuhan, nama Kapal, nama jalan dan nama Universitas untuk mengenang sosok putri Maritim tersebut, Mengingat perjuangan Laksamana Keumala Hayati yang memperjuangkan Indonesia melalui dunia maritim saat itu, sudah sepantasnya ia diberikan penghargaan kembali oleh Negara ini sebagai putri terbaik Maritim Indonesia dalam bentuk menetapkan peringatan hari besar dengan menambahkan ia didaftar hari besar Negara ini selain ibu kita Raden Adjeng Kartini sebagai pahlawan Emansipasi yang diperingati pada tanggal 21 April.
Walau ada tingkat kesalutan tersendiri untuk R.A Kartini karena dari surat-suratnya begitu juga dengan Laksamana Keumala Hayati. yang begitu beraninya ia, begitu hebatnya ia, maka sangat pantas jika diberi penganugrahan oleh Negara ini dan ini tak cukup pada peringatan hari Pahlawan pada 10 November.
Saran dari penulis, Indonesia memiliki Hari Nusantara yang diperingati setiap tanggal 13 Desember melalui Keppres no.126/2001 yang dahulunya di canangkan oleh masa presiden Abdurahman Wahid dan ditetapkan oleh Masa Presiden Megawati tanggal 13 Desember sebagai Hari Nusantara yang didasari oleh deklarasi Djuanda 13 Desember 1957 yang menetapkan Indonesia Kepada dunia Sebagai Negara Kepulauan.
Pada 13 Desember lah peringatan Ganda dilakukan selain mengingat Deklarasi Djuanda maka perlu diperingati Hari Laksamana Keumala Hayati seiringan dengan Peringatan Hari Nusantara. Alasannya karena hari nusantara tak lepas dari maritim begitu pula dengan Laksamana Keumala Hayati yang merupakan pahlawan yang bergerak dari bidang maritim dan peringatan ini dapat dimulai dari Aceh tahun ini, Karena Dinas Kelautan dan Perikanan provinsi Aceh diamanahkan menjadi Pelaksana Hari Nusantara 2015.
*Penulis Syahputra, mahasiswa Jurusan Budidaya Perairan, Universitas Malikussaleh

Tidak ada komentar: