03 Juli, 2014

KISAH CALO BERGAJI DOLAR

Investigasi Majalah Tempo Tentang Pencurian Ikan
Orang dalam di Kementerian Perhubungan dan Kementerian Perikanan dituding memuluskan izin kapal siluman. Makelarnya digaji ribuan dolar perbulan.

AGAK tergesa, Luther Palambi turun dari Mabiru 15, kapal penangkap ikan berbendera Indonesia yang baru saja sandar di dermaga Pelabuhan Perikanan Nusantara Ambon, Maluku, pada medio Maret lalu. Pelaut lulusan Sekolah Pelayaran Poso ini menjinjing koper hitam yang sedikit kusam. Isinya dokumen perizinan kapal, dari surat laik operasi kapal, surat aktivitas transmitter kapal, hingga segepok paspor puluhan awak kapalnya.

Meski tugasnya cuma mengurus surat-surat kapal dan izin penangkapan ikan, Luther menyandang jabatan keren. Dialah nakhoda kapal Maribu 15. Lho, kapten kapal besar berbobot sampai 365 gross tonnage kok repot mengurus izin ini-itu? Luther tersenyum kecut sebelum menjawab, “Ada dua kapten di Maribu. Satunya orang Thailand.

Menurut Luther, kapten Thailand bertanggung jawab atas pengawasan dan memastikan operasional kapal berlangsung lancar. “Yang lainnya tugas saya, termasuk mengurus surat izin ke syahbandar,” kata Luther.
Kapten seperti Luther bukan barang aneh di banyak pelabuhan perikanan di Indonesia. di Ambon, Bitung, Tual, sampai Sorong, banyak pelaut Indonesia di pekerjakan sebagai “kapten boneka”.

Mereka semua bertuga di atas kapal siluman- kapal berbendera Indonesia yang sebenarnya dikendalikan orang asing. Sang pemilik asli, atau orang kepercayaanya, biasanya juga ada diatas kapal. Kadang mereka menyaru jadi master fishing atau engineer. Merekalah kapten kapal yang sesungguhnya.

Kepala Kantor Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Bitung, Pung Nugroho Saksono, membenarkan fenomena ini. Membuktikannya pun, kata dia, tak sulit: semua kapal siluman pasti melakukan perawatan berkala alias docking ke negara asalnya. “Ini mencurigakan karena ada banyak galangan kapal di Bitung,” kata Pung ketika ditemui Tempo  pada akhir Mei lalu. Kalau memang kapal itu milik orang Indonesia, kenapa harus docking jauh-jauh?”

Pung lalu membuka data pengawasan lembaganya di Bitung dan menunjukkan table berisi daftar penerbitan surat berlayar sepanjang 2013. Tercatat ada sedikitnya 52 kapal penangkap ikan yang berlayar ke  Pelabuhan General Santos  di Filipina dan Pelabuhan Kaoshiung, Taiwan, untuk docking. “Padahal, secara legal, kapal-kapal itu milik perusahaan dalam negeri,” kata Pung sambil geleng-geleng.
SETIAP pemilik kapal siluman pasti membutuhkan calo atau makelar untuk mengurus perizinan di Indonesia. Sang makelar  yang bertugas menyiasati aturan agar kapal dari Thailand, Taiwan, dan Filipina itu bisa bebas mencari ikan di perairan Nusantara.

Tak sulit menjadi calo kapal asing. Seorang pengusaha yang pernah mengendalikan ratusan kapal siluman di Batam, Bitung, sampa Sorong, bercerita bahwa hal pertama yang dibutuhkan hanya selembar surat izin usaha perikanan. Berbekal surat itu, seorang calo bisa memohon alokasi area penangkapan ikan kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan. Sayangnya, pengusaha ini tak mau namanya disebut karena khawatir bisnisnya terganggu. Dia masih sering membantu kapal asing yang hendak beroperasi di Indonesia.

Dalam prosedur pengajuan kedua izin vital tersebut, pemerintah memang tidak memeriksa kepemilikan kapal pemohon. Dengan kata lain, seorang bisa mendapatkan izin penangkapan ikan meski tak punya satu pun kapal.

Celah inilah yang dimanfaatkan oleh calo. Berbekal kedua dokumen itu, mereka pergi ke Pelabuhan Songkhla di Thailand, General Santos di Filipina, atau Kaoshiung di Taiwan. “Di sana banyak pemilik kapal ikan yang siap diajak bekerja sama,” ujar si pengusaha. Jika harga disepakati, sang calo kembali ke Tanah Air dan mulai mengurus dokumen perizinan untuk kapal asing itu. “Seluruh biaya ditanggung pemilik kapal,” katanya.

Pertama-tama, sang calo harus mengurus perubahan kepemilikan kapal dari berbendera asing ke  bendera Indonesia. Ini diurus di Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan. Setelah itu, kapal harus mengantongi surat izin penangkapan ikan (SIPI) dan surat izin kapal pengangkut ikan (SKIPI) di Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Meski kedua izin terakhir itu harus diurus di kantor Kementerian di Ibu Kota, Makelar di pelabuhan semacam Bitung dan Ambon sudah punya jaringan sampai ke Jakarta. “Mereka punya orang dalam,” kata penguasa ini.

Biasanya, calo menggeluti berbagai bidang usaha sebagai upaya penyamaran. Ada yang punya perusahaan penangkapan ikan meski jarang melaut. Ada juga yang memiliki unit pengolahan ikan ala kadarnya. Semua usaha itu hanya kedok untuk bisnis utama mereka: makelar perizinan.

Seorang petinggi Kementerian Kelautan dan Perikanan tak membantah informasi ini. Dia tak mau bicara terbuka karena khawatir kehilangan posisinya. “Brokernya banyak sekali, dari barat sampai ke timur Indonesia,” katanya.

Sang pejabat mengaku kementeriannya kewalahan mengatasi ulah para calo ini. Meski bukan wilayah tugasnya, dia menyarankan sebuah cara jitu untuk membongkar kedok para makelar. “Cek saja alamat yang dipakai pada surat izin usaha perikanan mereka,” katanya. Ketika bertugas di bidang pengawasan, dia mengaku pernah menemukan bengkel, apotek, sampai toko kelontongan dipakai sebagai alamat usaha perikanan.

MESKI pengawasan sudah diperketat, calo tak kekurangan akal. Pasalnya, imbalan untuk mereka juga selangit. Seorang calo di Bitung bercerita bagaimana dia dibayar Rp. 10 juta setiap bulan selama kapal siluman beroperasi di Indonesia. itu belum termasuk komisi untuk keberhasilan mengurus izin yang bisa sampai Rp 100 juta per kapal.

Seorang calo lain berkisah bahwa tarif mereka juga bergantung pada area penangkapan ikan yang diinginkan. Jika kapal asing itu minta lokasi penangkapan ikan di sekitar Natuna, makelar akan minta honor US$  5.000 per bulan alias lebih dari Rp 50 juta. Adapun tarif makelar di laut Sulawesi mencapai US$ 7.000. Tarif untuk makelar yang bisa mencarikan area penangkapan ikan di Laut Arafura adalah yang paling mahal: US$ 10 ribu. “Soalnya, ikan disana masih banyak,”katanya.

Bekas Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Aji Soelarso mengiyakan semua informasi itu. Merogoh kocek ratusan juta rupiah untuk mendapatkan izin dari pintu belakang, kata dia, tak ada artinya bagi pemilik kapal siluman. Soalnya, sekali melaut di Indonesia, mereka mendapat tangkapan ikan bernilai triliunan rupiah. “Apalagi hasil tangkapan kapal abal-abal itu langsung diangkut ke negara asalnya, tak mampir ke pelabuhan kita,” kata Aji.

KEBERADAAN kapten boneka yang merangkap jadi calo perizinan kapal siluman sudah lama jadi keprihatinan pemerhati perikanan di Indonesia. “Banyak kapten kapal  kita yang memang hanya bertugas mengurusi dokumen,” kata Abdul Halim, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), kepada Tempo, awal Jui lalu.

Selain untuk mengurus dokumen, nama mereka dicatut buat dicantumkan dalam surat izin dan dokumen perizinan berlayar. “Ini harus ditertibkan.” Katanya. Tanpa peran calon dan kapten boneka ini, sebenarnya pemilik kapal asing tak punya celah untuk mencari ikan di perairan Nusantara.
Halim memastikan bahwa perbaikan di sektor perizinan akan berperan besar mengatasi maraknya pencurian ikan di negeri ini. “Selama ini permainan izin kapal eks asing ini merupakan sumber masalah yang tak pernah ditangani,” katanya tegas.

Ketika dimintai konfirmasi, Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Gellwyn Jusuf menolak tudingan tentang banyaknya permainan broker di lembaganya. “Broker memang ada, tapi mereka punya kuasa resmi untuk mengurus perpanjangan izin kapal,” katanya. Meski begitu, dia berjanji menindak tegas makelar yang membuka pintu bagi pencoleng ikan di Indonesia.

Sumber: Majalah Tempo, 23-29 Juni 2014.

Nelayan Salah kelola sumberdaya ikan kita karena tdk adanya jiwa Nasionalisme Perikanan oleh oknum pemerintah dan sebagian besar perusahaan pendamping swasta abal-abal peternak kapal. Kondisi ini yg menyebabkan kegagalan hampir seluruh program peningkatan produksi dan kesejahteraan bagi 2,7jt nelayan NKRI melalui kegiatan Blue Economy Perikanan, minapolitan, SLIN, pasar ikan nasional hiegenis, 1000 kapal Nasional Inkamina yg ukuran kecil kalah bertarung dg kapal ikan modern asing berukuran besar dilaut ZEE. Program restrukturisasi armada kapal perikanan Nasional sebaiknya dibuat kapal yg berukuran besar diatas 200GT terutama untuk laut Arafura, tenaga kerja berpengalaman dan terdidik jumlahnya banyak, pelabuhan perikanan dan industri perikanan banyak. Kenapa ada apa kok menjadi tuan rumah di negeri sendiri gak bisa? Ini salah urus karena tdk cerdas atau penakut dg tekanan mafia perikanan yg didukung dg kekuatan tekanan politik ekonomi bangsa asing? Jika ini yg terjadi maka dpt disimpulkan perikanan kita masih terjajah dan 2,7jt nelayan NKRI akan tetap miskin, program pembangunan perikanan ke laut ZEE slalu terhambat/gagal, anak bangsa sekolah perikanan kita tdk memilki masa depan yg lebih baik dan hanya menjadi orang perikanan kelas dua di negeri sendiri dg predikat Nakhoda Boneka Dakocan diatas kapal. Salah urus perikanan nasional ZEE berakibat rakyat bangsa negara dan pembangunan perikanan nasional jadi korban. Sudah waktunya UU Perikanan yg memberikan celah salah urus tsb direvisi lebih mengarah kpd operasional pembangunan perikanan yg nasionalis yg mensejahterakan masyarakat nelayan, masyarakat pembudidaya ikan dan masyarakat perikanan nasional kita bertindak sebagai produsen dan pengolah. Unsur asing hanya dapat pada posisi sebagai buyer/pembeli produk perikanan, bukan sebagai produsen/pengolah di NKRI.

Tidak ada komentar: