JAKARTA, GRESNEWS.COM -
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) mendesak pemerintah
dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk segera
menghentikan pengoperasian alat penangkap ikan jaring batu. Hari ini,
Kiara telah mengirimkan surat resmi kepada Menteri KKP Sharif Cicip
Sutardjo agar mengambil tindakan tegas kepada para operator jaring batu.
Menurut Sekretaris Jenderal Kiara Abdul Halim, penggunaan alat tangkap
sejenis pukat (trawl) itu, membuat ekosistem pesisir laut hancur.
"Akibatnya ikan-ikan dasar laut kehilangan tempat bermukim dan
berkembang biak," kata Halim kepada Gresnews.com, Senin
(10/2).
Selain
itu pengoperasian jaring dasar juga telah berdampak pada berkurangnya
hasil tangkapan nelayan tradisional. Ikan-ikan dasar, seperti ikan
kurau, merah, malung, kerapu, gerut, dan lain-lain semakin sulit
diperoleh. Bahkan ikan permukaan sulit ditemukan karena jaring batu
telah mengambil seluruh ikan, baik ukuran besar maupun kecil dan semua
jenis ikan. Padahal, sebelum ada jaring batu, setiap nelayan sekali
melaut minimal mendapatkan 100 kg ikan, dan 60% merupakan ikan kurau
yang memiliki harga paling tinggi di Bengkalis.
Belum
lagi dampak ikutan berupa terjadinya kecemburuan sosial karena nelayan
jaring batu lebih banyak mendapatkan hasil tangkap dan menangkap di zona
0-4 mil. Sementara nelayan tradisional sangat minim pendapatannya dan
harus berebut wilayah tangkap dengan pemilik kapal-kapal jaring batu.
"Pada titik tertentu tidak sedikit pertengkaran terjadi di tengah laut
dan berujung tindak kekerasan," kata Halim.
Akibat
tidak mendapatkan penghasilan yang memadai,
sebagian nelayan terbelit hutang ke tengkulak dan bahkan hingga
meninggal dunia tidak mampu melunasi hutang-hutang mereka. Dampak lain
akibat penghasilan para nelayan tradisional yang kecil sehingga
anak-anak putus sekolah dan terlanggarnya hak atas pendidikan mereka.
Fakta ini diperoleh Kiara setelah menerima laporan langsung dari
masyarakat nelayan yang tergabung di dalam Solidaritas Nelayan Kecamatan
Bantan (SNKB) pada tanggal 28-30 Januari 2014 di Bengkalis. Kiara juga
telah melakukan studi lapangan untuk mengkaji dampak tersebut.
Menurut
Halim, berdasarkan Pasal 9 jo. Pasal 85 Undang-Undang No. 45 Tahun 2009
tentang Perubahan Atas
Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan alat tangkap trawl
telah dilarang. Pasal 9 UU Perikanan tersebut melarang setiap orang
untuk memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat
penangkapan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan
merusak keberlanjutan sumber daya ikan di kapal penangkap ikan di
wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia.
Pengguna
trawl berdasarkan pasal tersebut diancam dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua
miliar rupiah). Pelarangan penggunaan trawl di perairan Indonesia
diperkuat dengan terbitnya Keputusan Presiden No.
39 Tahun 1980 tentang Penghapusan Jaring Trawl sebagai jawaban konflik
berdarah alat tangkap trawl di Sumatera Utara.
Ketua
Serikat Nelayan Kecamatan Bantan (SNKB), Bengkalis, Kepulauan Riau, Abu
Samah mengatakan, pengoperasian jaring batu telah dipergunakan di
perairan Bengkalis sejak tahun 1983. Beroperasinya jaring batu berdampak
pada rusaknya lingkungan hidup pesisir dan hilangnya pendapatan nelayan
tradisional. Puncaknya, pada tahun 2006 nelayan tradisional setempat
semakin tidak dapat mengendalikan kemarahan mereka yang berujung pada
konflik dan kekerasan dengan pemilik dan anak buah kapal jaring batu.
Sedikitnya
5 orang nelayan meninggal dunia dan puluhan warga luka-luka. Lamban dan
lemahnya perhatian pemerintah dalam tata kelola dan pengawasan serta
penegakan hukum menjadi faktor utama. Berselang 7 tahun kemudian,
pengoperasian jaring batu/dasar sampai dengan hari ini masih terus
berlangsung. Nelayan tradisonal yang berada di 4 desa, yaitu Jangkang,
Selat Baru, Bantan Air dan Pambang, yang berjumlah lebih dari 2.000
nelayan dirugikan.
Saat
ini nelayan tradisional seringkali tidak mendapatkan hasil tangkapan
ikan. Dahulu kata Abu, dalam 1 musim tangkap, nelayan bisa membawa
pulang penghasilan hingga Rp 4-5 juta rupiah. Penghasilan itu terutama
dari tangkapan ikan kurau yang merupakan ikan paling ekonomis dengan
harga pasaran Rp 120 ribu per kilogram dan berat ikan bisa mencapai
30-40 kilogram per ekor.
Nelayan
tradisional biasa menangkap ikan dasar dengan pancing rawai yang lebih
ramah lingkungan. "Karena yang makan umpan hanya ikan yang lapar saja,"
kata Abu kepada Gresnews.com lewat sambungan telepon, Senin
(10/2).
Sementara,
dengan jaring batu, semua ikan termasuk ikan-ikan kecil dan ikan
permukaan bisa kena. Tak heran jika nelayan tradisional semakin
kesulitan mencari ikan baik ikan dasar maupun permukaan. "Sekarang 1
kapal hanya bisa dapat satu ekor ikan saja kalau dirupiahkan hanya
senilai Rp 80.000," kata Abu.
Dengan
pendapatan seperti itu
nelayan sangat merugi karena sekali melaut mereka membutuhkan modal
sebesar Rp 120 ribu-Rp 150 ribu. "Kondisi ini memicu tingginya angka
pengangguran dan kemiskinan, sehingga tidak sedikit dari keluarga
nelayan harus beralih profesi dan menjadi tenaga kerja di Malaysia dan
buruh bangunan di kota," kata Abu. Di Kecamatan Bantan sendiri kata dia,
dari 2000-an nelayan yang dulu ada kini jumlahnya tak lebih dari 400
nelayan saja.
Sudah
banyak upaya yang dilakukan oleh nelayan tradisional agar pengoperasian
jaring batu bisa dihentikan. Melalui SNKB, para nelayan bersama-sama
dengan LSM, baik yang berada di Pekanbaru maupun Jakarta sudah meminta
kepada
pemerintah daerah dan pusat untuk segera menghentikan pengoperasian
jaring batu, namun hasilnya tidak ada. Bahkan Pemerintah justru
memfasilitasi dan memberikan permodalan bagi keberadaan dan
pengoperasian kapal-kapal jaring batu/dasar tersebut.
Hal
ini terjadi karena hidup sebagai nelayan tak lagi menguntungkan secara
ekonomi sementara risiko yang dihadapi sangata besar. Selain oleh
pengoperasian jaring batu nelayan tradisional di Kecamatan Bantan
terdesak pengoperasian kapal Inka Mina bantuan Kementerian Kelautan dan
Perikanan yang kebanyakan jatuh ke tangan pengusaha besar. "Karena kami
nelayan tradisional menolak kapal itu, karena laut kita kan
selat yang sempit, sehingga tak mungkin mengoperasikan kapal besar
seperti itu," kata Abu.
Karena
itu selain mendesak agar jaring batu dilarang, Abu Samah juga meminta
agar pemerintah memulihkan kondisi dasar laut yang rusak dengan cara
membangun rumah-rumah ikan dari beton. "Supaya ikan dasar yang tersisa
bisa berkembang biak lagi," ujarnya.
Redaktur : Muhammad Agung Riyadi
Sumber: http://www.gresnews.com/ mobile/berita/sosial/1830102- meresahkan-nelayan-desak- operasi-jaring-batu- dihentikan/
12 Februari, 2014
Meresahkan, Nelayan Desak Operasi Jaring Batu Dihentikan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar