02 Mei, 2013

Kembali ke Negara Bahari

 Oleh Helmy Akbar 

Mungkin tidak semua orang setuju dengan pelekatan istilah negara bahari untuk Indonesia. Tapi bukti-bukti sangat kuat mengarah ke sana. Bukti kejayaan bahari Bangsa Indonesia telah ada sejak zaman pra-sejarah adanya temuan-temuan situs di gua-gua Pulau Muna, Seram dan Arguni dipenuhi oleh lukisan perahu-perahu layar, menggambarkan bahwa nenek moyang Bangsa Indonesia merupakan bangsa pelaut. 
Robert Dick-Read telah melacak jejak armada laut Nusantara bahkan hingga Madagaskar. Dalam karyanya, The Phantom Voyagers: Evidence of Indonesian Settlement in Africa in Ancient Times (2005), ia mendalami riset tentang jejak peradaban bahari nenek moyang manusia Indonesia. Ia telah menemukan jejak di perairan sekitar Kalimantan dan di selat antara Singapura dan Sumatera yaitu sejumlah besar orang laut atau suku bangsa yang hidup dengan kultur dekat dengan laut, seperti orang Tambus, orang Mantang, orang Barok, orang Galang, dan lain sebagainya.
 
Di antara Sulawesi dan Mindanao, terdapat suku Somal yang gemar berperang yang memiliki perahu jenis kora-kora. Pada 1847, kapal uap Inggris, Nemesis, berjumpa dengan armada yang terdiri dari 40 sampai 60 kapal perompak berjenis itu. Kapal tersebut terdiri dari berbagai tipe ukuran yang dapat menampung awak berjumlah 40 hingga 80 orang. Kemudian, keberadaan orang Bajo yang terkenal, sangat mungkin menjadi angkatan laut Sriwijaya.
Keberadaan kerajaan adidaya masa lampau seperti Sriwijaya maupun Majapahit yang menunjukkan corak maritim. Di Candi Borobudur terpahat relief gambar perahu layar dengan tiang-tiang layar yang kokoh dan telah menggunakan layar segi empat yang lebar. Kerajaan-kerajaan Indonesia yang melegenda adalah kerajaan maritim besar seperti, Kerajaan Tarumanegara (358 M - 670 M), Mataram Kuno (732 M - 928 M), Sriwijaya (683 M - 1030 M), Majapahit (1293 M - 1500 M) memiliki armada laut kuat, menguasai jalur perdagangan lintas laut hingga pelayaran internasional sekaligus menanamkan pengaruh dan interaksi budaya. Untuk melestarikan sejarah kemaritiman, Negara Indonesia telah membangun Museum Bahari di Jalan Pasar Ikan, Sunda Kelapa, Jakarta Barat. Di sini, terdapat beberapa koleksi-koleksi ragam jenis perahu tradisional dengan aneka bentuk, gaya dan ragam hias, hingga kapal zaman VOC. Serta, model dan miniatur kapal modern. Juga peralatan yang digunakan oleh pelaut di masa lalu seperti alat navigasi, jangkar, teropong, model mercusuar dan meriam.
 
Dapat dijumpai pula koleksi biota laut, data jenis dan sebaran ikan di perairan Indonesia dan aneka perlengkapan serta cerita dan lagu tradisional masyarakat nelayan Nusantara. Museum tersebut menampilkan koleksi kartografi, maket Pulau Onrust, serta profil tokoh-tokoh maritim Nusantara.  Dalam hal kemaritiman/kelautan, posisi strategis Indonesia memberikan manfaat setidaknya dalam tiga aspek, yaitu, alur laut kepulauan bagi pelayaran internasional (innocent passage, transit passage, dan archipelagic sea lane passage), luas laut territorial yang mempunyai sumberdaya kelautan melimpah, dan sumber devisa luar biasa jika dikelola dengan baik. Melihat hal tersebut, peran ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang perikanan dan kelautan sangatlah penting dan hendaknya senantiasa ditingkatkan.
Untuk menguatkan riset di bidang kelautan-perikanan, pada masa lalu, pemerintah telah membentuk embrio Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) di kampus kampus besar seperti Universitas Riau, Universitas Di-ponegoro, Universitas Brawijaya, Universitas Hasanuddin, dan Institut Pertanian Bogor (IPB). Sekarang, pendirian FPIK marak baik di kampus negeri maupun swasta.
Di FPIK-IPB, para peneliti berusaha menemukan inovasi-inovasi baru untuk memajukan pembangunan dan mengembalikan kejayaan maritim Indonesia. Misalnya, sebagai salah satu upaya mengobservasi kekayaan bawah laut, FPIK-IPB menciptakan robot jelajah bawah laut (RJBA-45). Hingga pengupayaan penggunaan baterai basah ramah lingkungan dari air tambak.
 
Untuk membantu petambak dan nelayan agar tidak kesulitan menangkap ikan, para peneliti telah bersinergi dalam menciptakan teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan melalui penggunaan rumpon elektronik untuk menggantikan rumpon tradisional yang lebih mahal dan tidak efektif.  Selanjutnya adalah bagaimana memasalkan teknologi. Inovasi dan teknologi bidang perikanan dan ilmu kelautan perlu mendapat support pemerintah. Idealnya, riset-riset ini perlu dicangkokkan pada Badan Usaha Milik Negara strategis yang bergerak bidang perindustrian didukung oleh pihak swasta yang berkompeten mendukung pembangunan nasional. Diperlukan insentif untuk industrialisasi serta kucuran dana penelitian memadai. 
Saat ini, dana penelitian di Indonesia hanya sekitar 0,15 persen dari produk domestik bruto, tidak mencukupi. Riset dan teknologi Indonesia masih tertinggal. Padahal, di negara-negara berkembang lainnya, seperti Cina telah memiliki anggaran riset lebih dari 1 persen PDB dan terus ditingkatkan. Jepang yang memang lebih maju riset dan teknologi jauh di atas China, yang kini menjadi nomor dua di bawah AS. Korsel pendatang baru, menganggarkan tiga persen untuk risetnya, dan akan ditingkatkan menjadi 4 persen di tahun mendatang. Ketika era tinggal landas-nya Soeharto, Indonesia dan Korea satu level.
Langkah untuk perbaikan ekosistem inovasi setidaknya meliputi pendanaan, kepemimpinan, budaya, dan kebijakan. Tentunya dengan dukungan empat industri percepatan pertumbuhan ekonomi yang berdasarkan iptek seperti industri kebutuhan dasar, industri kreatif, industri berbasis daya dukung daerah, dan industri strategis. Harapannya, inovasi-inovasi tersebut dapat menjadi sumbangsih para peneliti dalam mewujudkan kembali negara bahari yang makmur.
Penulis adalah anggota Asosiasi Peneliti-Pemerhati
Sumberdaya Perairan dan Lingkungan

Sumber: SUARAKARYA ONLINE.COM Tanggal 25 April 2013 Hal.1

Tidak ada komentar: