Di bawah ini ada artikel Ahmad Arif Kompas ttg pembangunan di Aceh
yg tidak mengindahkan aspek mitigasi bencana. Membaca
tulisan-tulisan Ahmad Arif terasa enak dan mengalir lancar dg jernih. Paparan
artikelnya menyegarkan dan menginspirasi serta menyentak
kesadaran.
Tsunami Aceh-Nias sudah berlalu 8 tahun, tapi adakah perbaikan pada masa sekarang dan ke depan? Ahmad Arif melaporkan bahwa yg terjadi di lapangan adalah pengabaian zona ancaman tsunami dan pembangunan tanpa mengindahkan aspek-aspek mitigasi bencana. Ini jelas-jelas sesuatu hal yg sangat menyedihkan karena kita ini terus-menerus menjadi bangsa yg mudah lupa.
Tsunami Aceh-Nias sudah berlalu 8 tahun, tapi adakah perbaikan pada masa sekarang dan ke depan? Ahmad Arif melaporkan bahwa yg terjadi di lapangan adalah pengabaian zona ancaman tsunami dan pembangunan tanpa mengindahkan aspek-aspek mitigasi bencana. Ini jelas-jelas sesuatu hal yg sangat menyedihkan karena kita ini terus-menerus menjadi bangsa yg mudah lupa.
Tsunami yang melanda Aceh sewindu silam nyaris tak memberi pelajaran berarti. Rumah-rumah baru tumbuh di sepanjang pesisir yang pernah dilanda tsunami, mulai dari Banda Aceh, Aceh Besar, Calang, hingga Meulaboh. Pembangunan kembali Aceh seolah mencibir prinsip-prinsip mitigasi bencana.Cerita seorang penduduk yg bernama Arman yg akibat tsunami 26 Desember 2004 enam dari 12 anggota keluarganya tewas.
”Saya dan istri selamat karena Tuhan belum menghendaki kematian kami,” kata Arman.
Alasan ”takdir” pula yang membuat Arman kembali membangun rumah di tapak bencana. ”Dulu sempat mau dipindahkan ke tempat baru yang jauh dari laut, tapi tidak ada realisasi. Warga yang selamat akhirnya balik kemari,” katanya. ”Kalau ditanya takut tinggal di sini, ya, takut sebenarnya. Tetapi, kami pasrah saja. Tidak ada pilihan lain. Pekerjaan kami dekat sini.”Yang menarik bahwa pejabat setingkat bupati pun mempunyai pandangan yg kurang lebih sama.
Bupati Aceh Jaya Azhar Abdurrahman mengatakan, ”Kapan saja Allah bisa ambil nyawa kita. Ke mana pun lari, tak akan selamat.”Ini adalah fatalisme. Dlm Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Ketiga, 2002), fatalisme didefinisikan sebagai ajaran atau paham bahwa manusia dikuasai oleh nasib. Orang yg percaya atau menyerah saja kepada nasib disebut fatalis. Hal ini senada dg apa yg dikatakan oleh antropolog dari Institut Agama Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh, Reza Idria, bahhwa masyarakat Aceh dipengaruhi oleh teologi As’ariyah.
”Teologi ini cenderung memasrahkan hidup mati pada takdir Tuhan,” kata Reza. Terminologi yang kerap dipakai adalah ”kalau takdir sudah sampai, di mana pun bisa mati”.Mengapa hal-hal seperti pembangunan tanpa mengindahkan mitigasi bencana dan pengabaian zona ancaman tsunami terus terjadi di Aceh? Menurut Reza hal itu disebabkan oleh minimnya pengetahuan tentang bencana, adanya keyakinan bahwa tsunami tidak akan datang pada tempat yg sama, lemahnya integritas pemerintah. Reza memandang bahwa Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) yang bertanggung jawab saat itu tidak mampu memanfaatkan momen emas, beberapa saat setelah bencana untuk serius menerapkan tata ruang.
Apa-apa yg terjadi di tingkat masyarakat bawah dan pemerintah kabupaten/kota berbeda sekali dg hal-hal yg terjadi di tingkat pemerintah pusat dan pemerintah provinsi. Bila membaca berita-berita ttg upaya penanganan ancaman tsunami akan muncul hal-hal sebagai berikut:
- Pemerintah Indonesia akan melaksanakan Rencana
Induk Pengurangan Risiko Bencana Tsunami atau Masterplan
Pengurangan Risiko Bencana Tsunami. Pelaksanaan rencana ini dilakukan mulai tahun 2013. (Sumber 1) - Masterplan ini dibuat atas perintah Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono dalam Sidang Kabinet Terbatas 16
April 2012. Sidang itu merespons ketidaksiapan masyarakat atas
gempa berkekuatan 8,5 skala Richter di Aceh pada 11 April
2012. (Sumber
2)
- Kebutuhan biaya total rencana induk yang mencakup seluruh wilayah rawan tsunami di Indonesia mencapai Rp16,7 triliun untuk lima tahun. (Sumber 3)
- Biaya Rencana Induk PRB Tsunami tahun 2013 berasal dari DIPA BNPB 2013 sebanyak Rp1,34 triliun, dana yang disediakan pada 2013 sebesar Rp1 triliun. (Sumber 4)
- Pelaksanaan rencana induk pada 2013 akan diprioritasikan untuk daerah-daerah rawan tinggi tsunami yaitu Megathrust Mentawai, Kawasan Selat Sunda dan Pantai Selatan Jawa, Kawasan Pantai Selatan Bali hingga Nusa Tenggara, dan Kawasan Papua. (Sumber 5)
- Ada empat program prioritas di Masterplan
Tsunami, yaitu penguatan rantai peringatan dini tsunami,
pembangunan
tempat evakuasi sementara (shelter), peningkatan kapasitas dan kesiapsiagaan, dan pembangunan industri instrumentasi kebencanaan dalam negeri. (Sumber 5) - Beberapa kegiatan yang akan dilakukan, antara lain, pemasangan sirene berbasis komunitas 1.375 unit, pembangunan evakuasi sementara (shelter) 139 unit, pembangunan pusat pengendalian operasi di 50 kabupaten/kota, pembangunan rambu evakuasi di 51 kabupaten/kota, pengembangan desa tangguh bencana 1.080 desa, simulasi di 51 kabupaten/kota, sosialisasi dan diseminasi di 51 kabupaten/kota. (Sumber 6)
- Para ahli mengkritik Master Plan Tsunami yg
penyusunannya tidak melibatkan para ahli terkait dan dinilai
tergesa-gesa. Ahli tsunami dari Amalgamated Solution and
Research (ASR) Gegar Prasetya dan Koordinator Tsunami Research
Group (TRG) BPPT Widjo Kongko mengkritik masterplan ini
disusun secara tergesa-gesa dan tidak didasari kajian ilmiah
yang memadai. Keterlibatan para ahli dinilai sangat kurang.
Gegar Prasetya mengingatkan ahli agar benar-benar dilibatkan
dalam penyusunan, tidak hanya formalitas dan dijadikan
narasumber semata. Tanpa pengkajian yang serius, masterplan
dikhawatirkan akan menjadi proyek yang tidak berkelanjutan. (Sumber
7).
- Aceh masih membutuhkan minimal tujuh bangunan
penyelamatan (escape building) tsunami untuk mengantisipasi
datangnya kembali bencana gempa dan tsunami. Sebanyak sepuluh
bangunan penyelamatan yang ada saat ini dinilai masih kurang.
Selain itu, bangunan yang sudah ada saat ini juga tak lagi
ideal untuk penyelamatan karena tak memiliki jalur evakuasi
yang memadai. Untuk tahun 2013 pemerintah pusat akan membantu
membangun 2 bangunan, yaitu di Aceh Besar dg dana APBN. Dalam
APBD Aceh 2013 tak ada program pembangunan escape building
baru. Biaya utk membangun 1 unit escape building membutuhkan Rp 5,6 miliar
sampai Rp 5,7 miliar. Angka tersebut terdiri
atas Rp 4 miliar untuk bangunan, dan sisanya pengadaan jalur
atau akses evakuasi. (Sumber
8)
Lalu, apa kesimpulan setelah membaca kumpulan berita
di atas? Ini seperti kereta kuda yg berjalan sendiri-sendiri.
Kusir ingin mengarah ke utara, kuda malah berjalan ke selatan,
sedangkan keretanya itu sendiri "nyelonong" ke timur, sedangkan
para penumpang maunya ke arah barat. Sampai kapan kita sampai ke
tujuan? Tujuan ke arah munculnya rasa aman dari bencana.
Jakarta, 8 Maret 2013
Djuni Pristiyanto
Penulis Lepas, Moderator Milis Bencana dan Milis Lingkungan
Anggota MPBI, Pengurus Planas PRB
============================
TEOLOGI BENCANA, Kembali ke Zona Bahaya Tsunami
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Hunian di pinggir pantai di Gampong Ujong Kalak, Kecamatan Johan Pahlawan, Kabupaten Aceh Barat, Aceh, Rabu (13/2).
Ahmad Arif
Tsunami yang melanda Aceh sewindu silam nyaris tak memberi pelajaran berarti. Rumah-rumah baru tumbuh di sepanjang pesisir yang pernah dilanda tsunami, mulai dari Banda Aceh, Aceh Besar, Calang, hingga Meulaboh. Pembangunan kembali Aceh seolah mencibir prinsip-prinsip mitigasi bencana.
Samudra Hindia hanya 10 langkah dari rumah Arman (34), warga Kelurahan Ujung Kalak, Kecamatan Johan Pahlawan, Aceh Barat. Ombak yang memukul pantai terdengar bergemuruh, bersaing dengan angin menderu. ”Rumah kami sebelum tsunami juga di sini. Desa ini dulu ramai sekali, tapi kini semuanya hancur,” katanya.
Tsunami yang melanda pesisir Aceh pada 26 Desember 2004 menewaskan enam dari 12 anggota keluarga Arman. ”Saya dan istri selamat karena Tuhan belum menghendaki kematian kami,” kata Arman.
Alasan ”takdir” pula yang membuat ia kembali membangun rumah di tapak bencana. ”Dulu sempat mau dipindahkan ke tempat baru yang jauh dari laut, tapi tidak ada realisasi. Warga yang selamat akhirnya balik kemari,” katanya. ”Kalau ditanya takut tinggal di sini, ya, takut sebenarnya. Tetapi, kami pasrah saja. Tidak ada pilihan lain. Pekerjaan kami dekat sini.”
Seperti di Desa Ujung Kalak, warga Desa Merduati, Kecamatan Kutaraja, Banda Aceh, yang selamat dari tsunami juga kembali ke desa. Salah satunya Jirman (57), yang kehilangan istri dan tiga anaknya akibat tsunami. Saat tsunami melanda Minggu pagi, Jirman dalam perjalanan ke Pasar Peunayong. ”Kalau waktu itu saya di rumah, mungkin juga mati. Desa ini terlalu dekat dengan laut,” katanya.
Sebanyak 6.300 dari 7.000 warga Desa Merduati tewas atau hilang akibat tsunami. Namun, Jirman, yang kini memiliki anak dari istri baru, mengaku tak khawatir kembali tinggal di desa yang hanya 2 kilometer dari laut. ”Kalau Tuhan menghendaki, di mana pun kita berada juga akan mati,” katanya.
Jirman dan Arman adalah potret dari orang-orang yang selamat dari tsunami dan kini kembali bermukim di zona rentan bencana. Mereka cenderung pasrah dan seolah abai terhadap ancaman bencana yang sewaktu-waktu bisa kembali melanda.
Sikap serupa juga ditunjukkan pejabat di Aceh. Saat ditanya tentang mitigasi bencana, Bupati Aceh Jaya Azhar Abdurrahman mengatakan, ”Kapan saja Allah bisa ambil nyawa kita. Ke mana pun lari, tak akan selamat.”
Calang, ibu kota Aceh Jaya, termasuk salah satu kawasan yang paling parah terdampak tsunami. Sebanyak 20.000 korban tewas akibat tsunami di Aceh Jaya, hampir semua dari Kota Calang. ”Kedua orangtua saya meninggal karena tsunami. Dari tujuh saudara saya, tinggal lima yang selamat,” kata Azhar.
Kota Calang yang berupa tanjung kecil dikelilingi laut memang rentan terdampak tsunami. Pada masa awal rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh, sempat muncul wacana mengosongkan kota ini dan membangun kota baru, minimal 5 km dari pantai.
Kantor bupati yang baru dibangun sekitar 2 km dari pantai. Namun, posisinya di zona datar yang saat tsunami tahun 2004 terlanda gelombang itu. Kota Calang lama kembali disesaki bangunan baru.
Teologi bencana
Antropolog dari Institut Agama Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh, Reza Idria, mengatakan, ada keterbelahan sikap masyarakat Aceh yang kembali bermukim di zona bahaya. Di satu sisi, mereka dipengaruhi oleh teologi As’ariyah.
”Teologi ini cenderung memasrahkan hidup mati pada takdir Tuhan,” kata Reza. Terminologi yang kerap dipakai adalah ”kalau takdir sudah sampai, di mana pun bisa mati”.
”Teologi ini tidak cocok dipakai untuk mitigasi bencana, tetapi mampu menguatkan orang setelah bencana,” katanya.
Alumnus Universitas Leiden, Belanda, dengan tesis ”Muslim Theological Perspectives on Natural Disasters (The Case of Indonesian Earthquakes and Tsunami of 2004)” ini mengatakan, teologi As’ariyah ternyata tidak sepenuhnya diterapkan. ”Buktinya, ketika terjadi gempa besar, termasuk pada April 2012, warga berlomba mengungsi. Akibatnya jalanan macet, bahkan terjadi kecelakaan karena orang berebut untuk menjauh dari laut,” katanya. ”Kalau memang pasrah, kenapa harus lari?”
Reza mengingatkan, agama sebenarnya mewajibkan orang untuk berusaha. ”Usaha untuk hidup itu wajib. Dengan pendidikan bencana dan pemahaman agama yang tepat, harusnya tak ada alasan untuk mengabaikan risiko bencana,” katanya.
Pembelajaran
Reza melihat, persoalan pengabaian zona bahaya tsunami di Aceh lebih karena minimnya pengetahuan tentang bencana, bukan persoalan teologis semata. ”Banyak orang Aceh yang meyakini, bisul tidak tumbuh di tempat yang sama dua kali. Mereka mengira, tsunami tidak mungkin terjadi lagi di Aceh. Setidaknya pada generasi mereka,” kata Reza.
Selain itu, kata Reza, kondisi ini terjadi karena lemahnya integritas pemerintah. Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) yang bertanggung jawab saat itu tidak mampu memanfaatkan momen emas, beberapa saat setelah bencana. ”Padahal, waktu itu mereka punya otoritas besar dan psikologi masyarakat saat itu masih trauma dan lebih bisa mendengar arahan pemerintah sebagai pihak yang memberi bantuan. Kalau waktu itu pemerintah serius menerapkan tata ruang, jalan ceritanya mungkin berbeda,” katanya.
Padahal, dengan bantuan dana donor 7,2 miliar dollar AS, semestinya Aceh bisa dibangun lebih baik.
Kondisi ini sangat berbeda dengan pembangunan kembali Kota Sendai, Jepang, pascatsunami 2011. Pertama kali yang mereka benahi adalah tata ruang, agar jika tsunami terjadi lagi tidak timbul banyak korban.
Seperti dilaporkan The Yomiuri Shimbun edisi 13 November 2012, 12 pemerintah kota di Jepang merencanakan untuk meninggikan kawasan yang pernah terlanda tsunami. Mereka juga berencana memundurkan kota- kota itu hingga ke zona aman tsunami, karena meyakini bahwa tsunami adalah sebuah siklus yang akan terus berulang selama Bumi masih berputar....
http://cetak.kompas.com/read/2013/03/07/03211128/kembali.ke.zona.bahaya.tsunami...
Jakarta, 8 Maret 2013
Djuni Pristiyanto
Penulis Lepas, Moderator Milis Bencana dan Milis Lingkungan
Anggota MPBI, Pengurus Planas PRB
============================
TEOLOGI BENCANA, Kembali ke Zona Bahaya Tsunami
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Hunian di pinggir pantai di Gampong Ujong Kalak, Kecamatan Johan Pahlawan, Kabupaten Aceh Barat, Aceh, Rabu (13/2).
Ahmad Arif
Tsunami yang melanda Aceh sewindu silam nyaris tak memberi pelajaran berarti. Rumah-rumah baru tumbuh di sepanjang pesisir yang pernah dilanda tsunami, mulai dari Banda Aceh, Aceh Besar, Calang, hingga Meulaboh. Pembangunan kembali Aceh seolah mencibir prinsip-prinsip mitigasi bencana.
Samudra Hindia hanya 10 langkah dari rumah Arman (34), warga Kelurahan Ujung Kalak, Kecamatan Johan Pahlawan, Aceh Barat. Ombak yang memukul pantai terdengar bergemuruh, bersaing dengan angin menderu. ”Rumah kami sebelum tsunami juga di sini. Desa ini dulu ramai sekali, tapi kini semuanya hancur,” katanya.
Tsunami yang melanda pesisir Aceh pada 26 Desember 2004 menewaskan enam dari 12 anggota keluarga Arman. ”Saya dan istri selamat karena Tuhan belum menghendaki kematian kami,” kata Arman.
Alasan ”takdir” pula yang membuat ia kembali membangun rumah di tapak bencana. ”Dulu sempat mau dipindahkan ke tempat baru yang jauh dari laut, tapi tidak ada realisasi. Warga yang selamat akhirnya balik kemari,” katanya. ”Kalau ditanya takut tinggal di sini, ya, takut sebenarnya. Tetapi, kami pasrah saja. Tidak ada pilihan lain. Pekerjaan kami dekat sini.”
Seperti di Desa Ujung Kalak, warga Desa Merduati, Kecamatan Kutaraja, Banda Aceh, yang selamat dari tsunami juga kembali ke desa. Salah satunya Jirman (57), yang kehilangan istri dan tiga anaknya akibat tsunami. Saat tsunami melanda Minggu pagi, Jirman dalam perjalanan ke Pasar Peunayong. ”Kalau waktu itu saya di rumah, mungkin juga mati. Desa ini terlalu dekat dengan laut,” katanya.
Sebanyak 6.300 dari 7.000 warga Desa Merduati tewas atau hilang akibat tsunami. Namun, Jirman, yang kini memiliki anak dari istri baru, mengaku tak khawatir kembali tinggal di desa yang hanya 2 kilometer dari laut. ”Kalau Tuhan menghendaki, di mana pun kita berada juga akan mati,” katanya.
Jirman dan Arman adalah potret dari orang-orang yang selamat dari tsunami dan kini kembali bermukim di zona rentan bencana. Mereka cenderung pasrah dan seolah abai terhadap ancaman bencana yang sewaktu-waktu bisa kembali melanda.
Sikap serupa juga ditunjukkan pejabat di Aceh. Saat ditanya tentang mitigasi bencana, Bupati Aceh Jaya Azhar Abdurrahman mengatakan, ”Kapan saja Allah bisa ambil nyawa kita. Ke mana pun lari, tak akan selamat.”
Calang, ibu kota Aceh Jaya, termasuk salah satu kawasan yang paling parah terdampak tsunami. Sebanyak 20.000 korban tewas akibat tsunami di Aceh Jaya, hampir semua dari Kota Calang. ”Kedua orangtua saya meninggal karena tsunami. Dari tujuh saudara saya, tinggal lima yang selamat,” kata Azhar.
Kota Calang yang berupa tanjung kecil dikelilingi laut memang rentan terdampak tsunami. Pada masa awal rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh, sempat muncul wacana mengosongkan kota ini dan membangun kota baru, minimal 5 km dari pantai.
Kantor bupati yang baru dibangun sekitar 2 km dari pantai. Namun, posisinya di zona datar yang saat tsunami tahun 2004 terlanda gelombang itu. Kota Calang lama kembali disesaki bangunan baru.
Teologi bencana
Antropolog dari Institut Agama Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh, Reza Idria, mengatakan, ada keterbelahan sikap masyarakat Aceh yang kembali bermukim di zona bahaya. Di satu sisi, mereka dipengaruhi oleh teologi As’ariyah.
”Teologi ini cenderung memasrahkan hidup mati pada takdir Tuhan,” kata Reza. Terminologi yang kerap dipakai adalah ”kalau takdir sudah sampai, di mana pun bisa mati”.
”Teologi ini tidak cocok dipakai untuk mitigasi bencana, tetapi mampu menguatkan orang setelah bencana,” katanya.
Alumnus Universitas Leiden, Belanda, dengan tesis ”Muslim Theological Perspectives on Natural Disasters (The Case of Indonesian Earthquakes and Tsunami of 2004)” ini mengatakan, teologi As’ariyah ternyata tidak sepenuhnya diterapkan. ”Buktinya, ketika terjadi gempa besar, termasuk pada April 2012, warga berlomba mengungsi. Akibatnya jalanan macet, bahkan terjadi kecelakaan karena orang berebut untuk menjauh dari laut,” katanya. ”Kalau memang pasrah, kenapa harus lari?”
Reza mengingatkan, agama sebenarnya mewajibkan orang untuk berusaha. ”Usaha untuk hidup itu wajib. Dengan pendidikan bencana dan pemahaman agama yang tepat, harusnya tak ada alasan untuk mengabaikan risiko bencana,” katanya.
Pembelajaran
Reza melihat, persoalan pengabaian zona bahaya tsunami di Aceh lebih karena minimnya pengetahuan tentang bencana, bukan persoalan teologis semata. ”Banyak orang Aceh yang meyakini, bisul tidak tumbuh di tempat yang sama dua kali. Mereka mengira, tsunami tidak mungkin terjadi lagi di Aceh. Setidaknya pada generasi mereka,” kata Reza.
Selain itu, kata Reza, kondisi ini terjadi karena lemahnya integritas pemerintah. Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) yang bertanggung jawab saat itu tidak mampu memanfaatkan momen emas, beberapa saat setelah bencana. ”Padahal, waktu itu mereka punya otoritas besar dan psikologi masyarakat saat itu masih trauma dan lebih bisa mendengar arahan pemerintah sebagai pihak yang memberi bantuan. Kalau waktu itu pemerintah serius menerapkan tata ruang, jalan ceritanya mungkin berbeda,” katanya.
Padahal, dengan bantuan dana donor 7,2 miliar dollar AS, semestinya Aceh bisa dibangun lebih baik.
Kondisi ini sangat berbeda dengan pembangunan kembali Kota Sendai, Jepang, pascatsunami 2011. Pertama kali yang mereka benahi adalah tata ruang, agar jika tsunami terjadi lagi tidak timbul banyak korban.
Seperti dilaporkan The Yomiuri Shimbun edisi 13 November 2012, 12 pemerintah kota di Jepang merencanakan untuk meninggikan kawasan yang pernah terlanda tsunami. Mereka juga berencana memundurkan kota- kota itu hingga ke zona aman tsunami, karena meyakini bahwa tsunami adalah sebuah siklus yang akan terus berulang selama Bumi masih berputar....
http://cetak.kompas.com/read/2013/03/07/03211128/kembali.ke.zona.bahaya.tsunami...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar