06 Januari, 2013

PERIKANAN INDONESIA DALAM KEPUNGAN ORGANISASI PENGELOLAAN PERIKANAN REGIONAL DAN INTERNASIONAL

Oleh : Akhmad Solihin
Pendahuluan
Sebagai negara kepulauan (archipelagic state) terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi sumberdaya ikan laut yang diperkirakan sebesar 6,26 juta ton per tahun yang terdiri dari potensi di perairan wilayah Indonesia sekitar 4,40 juta ton per tahun dan perairan ZEEI sekitar 1,86 juta ton per tahun. Bahkan, Indonesia juga dapat memanfaatkan sumberdaya ikan di perairan laut lepas (high seas). Hal ini dikarenakan, posisi perairan Indonesia yang berhadapan langsung dengan dua perairan internasional, yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Tentu saja, pemanfaatan di perairan laut lepas oleh suatu negara pantai (coastal state) didasarkan pada asas kekebasan yang melekat pada rezim laut lepas seagaimana yang tercantum pada Pasal 87 Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 atau yang lebih dikenal dengan sebutan UNCLOS 1982 (United Nations Convention on the Law of the Sea). Secara lengkapnya, prinsip freedom of the high seas menurut Pasal 87, yaitu meliputi: kebebasan berlayar (freedom of navigation), kebebasan penerbangan (freedom of overflight), kebebasan untuk memasang kabel dan pipa di bawah laut (freedom to lay submarine cables and pipelines), kebebasan untuk membangun pulau buatan dan instalasi lainnya (freedom to construct artificial islands and other installations permitted under international law), kebebasan menangkap ikan (freedom of fishing), dan kebebasan riset ilmiah (freedom of scientific research).
Asas kebebasan di laut lepas sebagaimana yang disebutkan di atas harus mengindahkan kepentingan negara lain dalam melaksanakan hak yang sama dan ketentuan internasional lain yang berlaku di atasnya. Khusus untuk kegiatan penangkapan ikan, diperkuat lagi hak dari suatu negara untuk mengirimkan armada perikanan nasionalnya ke laut bebas (Pasal 116 UNCLOS 1982). Akan tetapi, pelaksanaan kebebasan ini harus dibarengi dengan diindahkannya ketentuan mengenai langkah-langkah konservasi sumberdaya hayati di laut lepas. Langkah ini dapat dilakukan secara unilateral maupun bekerjasama dengan negara lain. Dorongan adanya kerjasama antara negara-negara yang memanfaatkan sumberdaya hayati di laut lepas yang sama ditekankan dalam Pasal 118 UNCLOS 1982, dimana negara-negara harus mengatur pengelolaan dan konservasi tersebut, apabila memungkinkan dengan membentuk organisasi-organisasi pengelolaan perikanan regional (Regional Fisheries management Organizations/RFMO) di berbagai kawasan yang mempunyai aturan sendiri dalam mengelola kegiatan perikanan.
Maraknya keberpihakan negara-negara pantai yang umumnya berstatus sebagai negara maju terhadap kelestarian sumberdaya perikanan di laut lepas, tidak dapat dilepaskan dari keinginan mereka untuk menguasai laut lepas itu sendiri (Solihin, 2006). Dengan alasan kelestarian sumberdaya perikanan itulah, negara-negara maju membuat ”jebakan” paling efektif untuk menguasi laut lepas. Oleh karenanya, dibuatlah berbagai aturan dan organisasi yang dapat mengukuhkan hegemoni mereka di laut lepas. Hegemoni negara maju di laut lepas ini lebih tepat dikatakan sebagai neo-kolonialisasi secara halus. Mengingat, negara yang tidak menjadi anggota pada RFMO tersebut “diharamkan” untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan di wilayah dimana RFMO tersebut berada, sehingga bagi negara bukan anggota yang melakukan kegiatan penangkapan ikan di wilayah tersebut dapat dikenakan embargo terhadap produk perikanannya karena dianggap telah melakukan illegal fishing.
Alasan negara-negara maju dalam membentuk RFMO diperkuat oleh laporan FAO yang mengungkapkan bahwa total produksi perikanan dunia meningkat secara bertahap dari 19,3 juta ton pada tahun 1950, meningkat menjadi 100 juta ton di tahun 1989 dan 134 juta ton di tahun 2002. Kegiatan penangkapan perikanan laut merupakan kontribusi terbesar dari total produksi perikanan dunia tersebut. Pada tahun 1950, penangkapan perikanan laut sebesar 16,7 juta ton (86% dari total produksi perikanan dunia), dan pada tahun 1980 penangkapan perikanan laut meningkat menjadi 62 juta ton. Namun, dua dekade terakhir telah terjadi penurunan tangkapan perikanan laut. Selanjutnya, pada tahun 2002 total penangkapan perikanan laut 84,5 juta ton. Setelah mencapai angka 80 juta ton pada tahun 1980-an, tangkapan perikanan laut dunia berfluktuasi antara 77 dan 86 juta ton dengan catatan tertinggi 86,8 juta ton pada tahun 2000 dan menurun menjadi 81,5 juta ton pada tahun 2003 (FAO, 2007). Informasi lain yang diperoleh dari data statistik perikanan FAO tahun 2007 adalah, total produksi perikanan tangkap dunia sejak tahun 2000 berkisar di atas angka 90% dari total produksi perikanan dunia, yaitu tahun 2000 (95,6%), 2001 (93,1%), 2002 (93,3%), 2003 (90,5%), 2004 (95,0%), dan 2005 (93,8%) (FAO, 2007). Selain itu, data FAO menyebutkan bahwa sekarang ini gejala tangkap lebih (overfishing) di tingkat internasional semakin meluas, yaitu 17% overexploited, 52% fully exploited, 7% depleted, 1% underexploited, 20% moderatley exploited, dan 1% slowly recovering (Foutaubert and Lutchman, 2007).
Dalam konteks regional, pada beberapa negara pantai yang sedang berkembang di kawasan Asia Selatan dan Asia Tenggara, seperti Bangladesh, Brunei Darussalam, Kamboja, India, Indonesia, Srilanka, Thailand dan Vietnam, total tangkapan hasil perikanan meningkat dari 5,5 juta ton pada tahun 1970 menjadi 15,6 juta ton pada tahun 2000. Namun demikian, peningkatan produksi perikanan di kawasan Asia Selatan dan Asia Tenggara, pada beberapa negara telah terjadi penurunan tangkapan sejak tahun 1990, seperti India, Filipina dan Thailand (Martosubroto, 2005).
Dengan berkaca pada tingginya tingkat pemanfaatan yang dikhawatirkan berujung pada krisis sumberdaya ikan, maka pengelolaan perikanan yang bertanggung jawab telah menjadi agenda bersama masyarakat internasional. Hal ini dikarenakan, terganggunya kelestarian sumberdaya ikan di satu negara akan mempengaruhi kondisi perikanan global dan dapat menyebabkan stok ikan di negara lain juga ikut terganggu, khususnya jenis-jenis ikan yang bermigrasi jauh (higly migratory species) dan jenis-jenis ikan yang bermigrasi terbatas (straddling fish stock) yang mempunyai kemampuan untuk melintasi batas-batas wilayah suatu negara (transboundary). Dengan demikian, masyarakat internasional tidak selalu berurusan dengan kepentingan individu dari setiap anggotanya, demikian juga setiap anggota masyarakat internasional tidak selalu berurusan dengan kepentingan nasionalnya, melainkan ada pula saat yang mengharuskan mereka berurusan dengan kepentingan bersama, masalah-masalah bersama, yang harus dipecahkan secara bersama-sama.
Terlepas dari terjadinya hegemoni di laut lepas dalam pemanfaatan sumberdaya ikan, pengelolaan secara bersama yang adil adalah hal yang harus dilakukan dalam rangka menciptakan perikanan yang berkelanjutan. Oleh karenanya sangat wajar, bila FAO memperhatikan masalah ini sebagai masalah bersama. Salah satu upaya FAO dalam mewujudkan pembangunan perikanan yang berkelanjutan adalah diterbitkannya Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) tahun 1995. Jauh sebelum dikeluarkan CCRF 1995, beberapa aturan internasional telah dikeluarkan dalam pengelolaan perikanan oleh RFMO, misalnya UNCLOS 1982.
Namun demikian, meski pengelolaan perikanan diatur dalam UNCLOS 1982, masih saja terjadi konflik atau perbedaan pendapat mengenai kegiatan penangkapan ikan antara negara pantai (coastal state) dengan negara-negara yang memiliki armada perikanan jarak jauh (distant fishing flates) yang disertai dengan terjadinya penurunan potensi sumberdaya ikan. Untuk menyelesaikan masalah ini, maka dicarilah konsep-konsep bagaimana menerapkan konservasi dan pengelolaan stok yang lestari sepanjang jalur ruaya/migrasi jenis ikan tersebut tetapi tidak mengurangi ataupun melanggar hak-hak berdaulat negara pantai.
Selain itu, terkait dengan pengelolaan perikanan terdapat beberapa organisasi-organisasi sub-regional dan regional perikanan yang terbentuk di wilayah laut lepas yang berdampingan dengan perairan Indonesia, diantaranya adalah: Indian Ocean Tuna Commission (IOTC), Western and Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC), dan Commission for the Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT).
Sebagai negara maritim yang tengah terus mengembangkan armada perikanannya, sudah selayaknya juga ikut mengambil haknya untuk memanfaatkan sumberdaya ikan di laut lepas. Namun demikian, sebagai bagian dari anggota masyarakat internasional, Indonesia juga harus mengikuti ketentuan hukum internasional yang berlaku dalam hal penangkapan ikan di laut lepas, seperti kelayakan kapal-kapal penangkap ikan dan ketaatan kapal-kapal tersebut pada ketentuan pengelolaan dan konservasi yang ada. Salah satu hal yang menjadi kendala adalah, Indonesia hanya baru meratifikasi UNCLOS1982. Lebih dari itu, Indonesia juga belum ikut serta dalam organisasi pengelolaan dan konservasi perikanan regional, seperti CCSBT dan WCPFC. Kecuali IOTC, Indonesia sudah menjadi anggota tetap. Dengan demikian, artikel ini mencoba mengkaji posisi Indonesia dalam Kelembagaan Perikanan Internasional dalam rangka meningkatkan strategi diplomasi atau posisi tawar (bargaining position) Indonesia terhadap organisasi-organisasi perikanan regional yang wilayahnya pengaturannya berdampingan dengan Indonesia.
Dasar Hukum RFMO
Sebagai sebuah sistem, perikanan memiliki peran penting dalam penyediaan bahan pangan, kesempatan kerja, rekreasi, perdagangan dan kesejahteraan ekonomi bagi sebagian penduduk. Namun demikian, peningkatan populasi manusia terutama di wilayah pesisir dan laut, ditambah semakin meningkatnya kecanggihan teknologi membuat peluang terjadinya perubahan sistem alamiah dari lautan semakin besar. Perubahan tersebut dapat mengakibatkan berbagai hal negatif, baik pada sumberdaya yang terkandung di lautan maupun terhadap aspek fisik dari laut itu sendiri sebagai wadahnya.
Oleh karena itu, dalam pemanfaatan sumberdaya ikan diperlukan pengelolaan yang berorientasi pada kepentingan jangka panjang, tidak hanya bagi generasi saat ini namun juga bagi generasi masa depan. Dalam hal ini, pengelolaan yang bertanggung jawab menjadi salah satu kunci utama untuk menjawab tantangan pembangunan perikanan yang berkelanjutan (sustainable fisheries development).
Wacana keberlanjutan perikanan tidak dapat dilepaskan dari fenomena krisis perikanan global, dimana RFMO dianggap sebagai terobosan untuk mengatasi masalah ini. Hal ini merupakan amanat dari berbagai ketentuan internasional, khususnya UNCLOS 1982.
Pada UNCLOS 1982, baik pengelolaan maupun pemanfaatan sumberdaya ikan oleh RFMO tertuang pada Pasal 61 sampai Pasal 67 yang merupakan termasuk Bab V mengenai Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Selain di pengaturan di wilayah ZEE, UNCLOS 1982 juga mengamanatkan kerjasama negara-negara dalam konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan hayati sebagaimana yang tertuang pada Pasal 118 yang termasuk pada Bab VII mengenai Laut Lepas. Pasal tersebut menyebutkan bahwa, “Negara-negara harus melakukan kerjasama satu dengan lainnya dalam konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan hayati di daerah laut lepas. Negara-negara yang warga negaranya melakukan eksploitasi sumber kekayaan hayati yang sama atau sumber kekayaan hayati yang berlainan di daerah yang sama, harus mengadakan perundingan dengan tujuan untuk mengambil tindakan yang diperlukan untuk konservasi sumber kekayaan hayati yang bersangkutan. Mereka harus, menurut keperluan, bekerjasama untu menetapkan organisasi perikanan sub-regional atau regional untuk keperluan ini”.
Selain diatur pada ZEE dan Laut Lepas, UNCLOS 1982 juga mengaturnya pada Bab IX mengenai Laut Tertutup atau Setengah Tertutup, tepatnya pada Pasal 123 yang menyebutkan bahwa “Negara-negara yang berbatasan dengan laut tertutup atau setengah tertutup hendaknya bekerjasama satu sama lainnya dalam melaksanakan hak dan kewajiban berdasarkan Konvensi ini. Untuk keperluan ini mereka harus berusaha secara langsung atau melalui organisasi regional yang tepat: (a) untuk mengkoordinasikan pengelolaan, onservasi, eksplorasi dan eksploitasi sumber kekakayaan hayati laut; (b) untuk mengkoordinasikan pelaksanaan hak dan kewajiban mereka bertalian dengan perlindungan dan pemeliharaan lingkungan laut; (c) untuk mengkoordinasikan kebijaksanaan riset ilmiah mereka dan untuk bersama-sama dimana perlu mengadakan program bersama riset ilmiah di kawasannya; dan (d) untuk mengundang, menurut keperluan, negara lain yang berminat atau organisasi internasional untuk bekerjasama dengan mereka dalam pelaksanaan lebih lanjut ketentuan pasal ini”.
Selain UNCLOS 1982, menurut Fontaubert and Lutchman (2003), ada beberapa instrumen hukum internasional lainnya yang mengatur pentingnya kerjasama pengelolaan perikanan regional diantaranya yaitu:
 
1. The Cancun Declaration (1992)
Prinsip yang terkandung dalam Deklarasi Cancun termasuk kerjasama negara-negara melalui tingkatan bilateral, regional dan multilateral untuk mengatur dan efektivitas pelaksanaan dan tindakan untuk menjamin perikanan bertanggung jawab. Negara-negara yang melakukan penangkapan ikan di laut lepas harus bekerjasama dengan Negara lain untuk menjamin konservasi dan pengelolaan sumberdaya hayati secara rasional.
 
2. UNCED (1992)
Meskipun UNCED tidak secara spesifik mengatur bahwa Negara-negara harus melakukan kerjasama antar organisasi sub-regional dan regional, UNCED memanggil untuk melakukan negosiasi dalam perjanjian yang terkait dengan kerjasama bilateral dan multilataeral.
 
3. UN Compliance Agreement (1993)
Dalam rangka menciptakan kelestarian sumberdaya di daerah laut lepas, maka diperlukan suatu aturan khusus. Oleh karenanya, pada tanggal 24 November 1993 ditetapkan Agreement to Promote Compliance with International Conservation and Management Measures by Fishing Vessel on the High Seas (UN Compliance Agreement 1993). Tujuan ditetapkannya UN Compliance Agreement 1993 ini adalah untuk meletakkan dasar-dasar praktik penangkapan ikan di laut lepas dan menerapkan langkah-langkah konservasi sumberdaya hayati laut dengan meningkatkan peranan organisasi perikanan multilateral. Tujuan lainnya adalah untuk pembuatan database otorisasi kapal perikanan yang ada di laut lepas dan tukar menukar informasi. Dan, RFMO mempunyai peran kunci dalam mengkoordinasi dan mengumpulkan informasi untuk database.
Aturan mengenai pentingnya kerjasama internasional dalam pengelolaan perikanan tertuang pada Pasal 5, bahwa semua pihak diizinkan apabila diperlukan membuat persetujuan bersama atau persetujuan kerja sama menguntungkan secara global, regional, subregional atau bilateral basis yang bertujuan untuk meningkatkan hasil dari persetujuan ini. Selain itu, diatur juga mengenai kerjasama dengan Negara berkembang sebagaimana yang tertuang pada Pasal 8 yang menyebutkan bahwa, “semua pihak akan bekerja sama secara global, regional, subregional atau pada tingkat yang melibatkan dua belah pihak dengan dukungan FAO dan organisasi regional atau internasional lain sebagai penyedia bantuan, termasuk bantuan teknis kepada pihak negara berkembang dalam rangka membantu pelaksanaan kewajiban mereka sesuai persetujuan ini”.
 
4. UN Fish Stock Agreement (1995)
UNCLOS 1982 telah memuat ketentuan mengenai pengaturan pengelolaan sumberdaya ikan yang bermigrasi jauh (highly migratory). Namun pengaturan yang termuat pada Pasal 64 UNCLOS 1982 tersebut hanya berlaku di zona ekonomi eksklusif, dimana negara pantai mempunyai hak berdaulat secara eksklusif untuk mengeksplorasi, mengeksploitasi, melindungi, dan mengatur perikanan diwilayahnya sejauh 200 mil laut. Dengan demikian, adanya kekosongan aturan tentang persediaan jenis-jenis ikan yang bermigrasi jauh (higly migratory fish stocks/HMFS) serta jenis-jenis ikan yang bermigrasi terbatas (straddling fish stock/SFS) laut lepas. Oleh karena itu, untuk mengatasi masalah ini, disahkan lah Agreement for the Implementation of the Provision of the UNCLOS of 19 December 1982 relating to the Conservation and Management of Straddling Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stocks atau yang dikenal juga dengan sebutan UN Fish Stock Agreement 1995.
Bab III Perjanjian ini menyebutkan bahwa, “…. mekanisme untuk kerjasama internasional dalam pengelolaan jenis-jenis ikan yang bermigrasi jauh dan jenis-jenis ikan yang bermigrasi terbatas, baik secara langsung maupun tidak melalui kesepakatan atau organisasi pengelolaan perikanan regional dan sub-regional. Beberapa tujuan dilakukannya kerjasama adalah agar Negara-negara menyepakati untuk melakukan tindakan konservasi dan pengelolaan dalam rangka menghindarkan dari over fishing.
 
5. Code of Conduct for Responsible Fisheries (1995)
Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) 1995 dikeluarkan oleh Food and Agriculture Organization (FAO) dalam suatu konferensi pada tanggal 31 Oktober 1995. CCRF 1995 merupakan buku petunjuk yang sangat penting bagi seluruh masyarakat perikanan, baik nasional maupun internasional untuk menjamin kegiatan perikanan yang berkelanjutan dan bertanggung jawab di wilayah pesisir dan laut. Berdasarkan Pasal 12 bahwa menyepakati standar-standar untuk efektivitas pengelolaan dan konservasi sumberdaya laut serta perikanan bertanggung jawab. CCRF merupakan tempat terbaik RFMO dalam melaksanakan pengelolaan, meskipun pelaksanaan CCRF bersifat sukarela.
 
6. International Plan of Action (IPOA)
International Plan of Action dari FAO telah diadopsi pada tahun 1999. Hal ini dilatarbelakangi oleh meningkatkan komitmen internasional yang ditujukan pada berbagai permasalahan dan peran RFMO dalam menjamin efektivitas pelaksanaan. Adapun keempat IPOA tersebut, yaitu: (a) IPOA for Management of Fishing Capacity. Tujuan utama IPOA mengenai pengelolaan kapasitas perikanan adalah agar negara dan organisasi regional yang meliputi seluruh dunia mencapai pengelolaan kapasitas perikanan yang efisien, adil dan transaparan; (b) IPOA for the Conservation and Management of Shark. Negara-negara disyaratkan untuk mengimplementasikan rencana nasional (national plan) dalam kegiatan penangkapan ikan hiu; (c) IPOA for Reducing Incidental Catch of Seabird in Long-line Fisheries. Tujuan tindakan pengaturan pada bagian ini adalah untuk mengurangi tangkapan sampingan (by catch) dari alat tangkap longline berupa burung-burung laut yang tertangkap karena memakan umpan dalam pancing; dan (d) IPOA for Illegal, Unreported and Regulated Fishing. Tujuan IPOA ini untuk memberantas praktik perikanan yang illegal (seperti pencurian ikan, dan kegiatan melawan hukum lainnya), unreported (mencakup unreported, misreported, atau under-reported), dan unregulated (yakni tidak diatur pengelolaannya).
Khusus aturan illegal fishing, keberadaan RFMO sangat diakui. Bahkan, kegiatan perikanan suatu negara yang bertentangan dengan RFMO dapat dikatakan melakukan illegal fishing. Hal ini tertuang pada pengertian illegal fishing, yaitu bahwa Illegal Fishing mengacu pada kegiatan-kegiatan yang:
a. Diselenggarakan oleh kapal nasional atau asing di perairan di bawah yurisdiksi suatu negara, tanpa ijin dari negara tersebut, atau pelanggaran hukum dan peraturan negara tersebut;
b. Diselenggarakan oleh kapal-kapal yang mengibarkan bendera negaranya yang merupakan bagian dari organisasi pengelola perikanan yang terkait tetapi melanggar prosedur konservasi dan pengelolaan yang diadopsi oleh organisasi tersebut dan dengan mana sebuah negara terikat, atau perjanjian yang terkait dari hukum internasional yang berlaku; atau
c. Dalam pelanggaran hukum nasional atau kewajiban internasional, termasuk yang dilakukan oleh negara-negara yang bekerjasama dalam organisasi pengelola perikanan yang terkait.
Selanjutnya, disebutkan bahwa, negara-negara harus mengkoordinasikan secara langsung kegiatan-kegiatan dan kerjasamanya, melalui organisasi pengelola perikanan regional terkait, dalam mencegah, mengurangi dan menghapuskan IUU Fishing. Secara khusus, negara-negara harus:
a. Menukar data atau informasi, ditekankan dalam format yang distandarisasi, dari catatan-catatan kapal-kapal yang dimiliki mereka untuk menangkap ikan, dengan cara yang konsisten dengan persyaratan-persyaratan pertimbangan yang berlaku;
b. Kerjasama dalam akuisisi yang efektif, pengelolaan dan verifikasi semua data dan informasi terkait dari penangkapan;
c. Mengijinkan dan membantu praktisi-praktisi SMK atau dorongan pribadi untuk bekerjasama dalam penyelidikan IUU Fishing, dan akhirnya negara-negara harus mengumpulkan dan mengelola data dan informasi yang berkaitan dengan kegiatan penangkapan;
d. Kerjasama dalam menyalurkan kemampuan dan teknologi;
e. Kerjasama dalam membuat kebijakan-kebijakan dan prosedur-prosedur yang cocok.
f. Mengembangkan mekanisme kerjasama yang menyebabkan, inter alia, respon yang cepat terhadap IUU Fishing, dan
g. Kerjasama dalam monitoring, kontrol, dan pengawasan, termasuk melalui perjanjian internasional.
RFMO di sekitar Perairan Indonesia

Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa, bermunculannya RFMO didasarkan sifat ikan yang selalu bergerak (bermigrasi) dan melintasi batas wilayah antar negara (transboundary). Akibatnya, kegiatan penangkapan ikan yang berlebihan di suatu negara dapat menyebabkan kerusakan/kepunahan ikan di negara lain. Hal inilah yang mendorong kepentingan bersama dalam membentuk RFMO di suatu kawasan. Selain itu, hal utama yang mendorong pembentukan RFMO adalah munculnya konflik pemanfaatan sumberdaya di dunia pada tahun 1990-an. Misalnya konflik antara Amerika Serikat, Uni Soviet, dan negara-negara yang melakukan penangkapan ikan di luar wilayah Alaska di sekitar laut Bering, dan konflik antara Kanada dan Uni Eropa di Northwest Atlantik.
Hingga saat ini, di dunia internasional telah terdapat berbagai bentuk organisasi regional maupun internasional yang menunjukkan perhatiannya pada perlunya pengelolaan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan. Hampir semua wilayah perairan di dunia telah diatur oleh organisasi tersebut. Aturan-aturan itu jelas mengikat para anggota di dalamnya yang melakukan kegiatan penangkapan ikan di wilayah perairan tersebut. Umumnya keanggotaan RFMO tidak terlalu terkait dengan pertimbangan geografis negara yang bersangkutan, namun lebih pada di wilayah perairan mana suatu negara melakukan aktivitas penangkapan ikan. Bagi negara yang tidak menjadi anggota dan melakukan aktivitas penangkapan ikan di wilayah perairan tertentu, saat ini sudah mulai dipikirkan adanya sanksi perdagangan internasional (Satria, 2002).
Sementara itu, RFMO yang terbentuk di daerah laut lepas dan berdampingan dengan perairan Indonesia, diantaranya yaitu:

a. Indian Ocean Tuna Commission (IOTC)
IOTC disahkan oleh FAO pada sesi ke-26 dipenghujung tahun 1994. Agreemen IOTC mulai berlaku efektif setelah ada aksesi ke-9 anggota pada tanggal Maret 1996. IOTC merupakan institusi regional yang berwenang mengatur kegiatan penangkapan ikan tuna dan sejenisnya di perairan Samudera Hindia dan sekitarnya. Keanggotaan IOTC terdiri dari contracting parties dan non-contracting parties. Hingga Mei 2007, negara-negara yang menjadi anggota contracting parties IOTC adalah Australia, Cina, Komoros, Eritrea, Prancis, Guinea, India, Iran, Jepang, Kenya, Korea Selatan, Oman, Madagaskar, Malaysia, Mauritius, Pakistan, Filipina, Seychelles, Sri Lanka, Sudan, Thailand, Vanuatu, Amerika Serikat, Uni Eropa, Belize, Tanzania dan Indonesia. Sementara Negara yang termasuk negara non-contracting parties, yaitu Senegal, Afrika Selatan dan Uruguay (IOTC, 2007).
Pada IOTC tidak ada pengaturan kuota sebagaimana RFMOs lainnya, seperti kuota di CCSBT. Hingga saat ini, status Indonesia sudah menjadi anggota atau contracting parties IOTC ke-27. Dengan demikian, Indonesia memiliki akses langsung terhadap perairan Samudera Hindia dalam rangka memanfaatan sumberdaya ikan disana.
b. The Convention for The Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT)
Di luar wilayah perairan Indonesia yang berdampingan dengan kawasan Pasifik terdapat CCSBT. Pembentukan CCSBT didasari oleh menurunnya jumlah ikan tuna sirip biru (southern bluefin tuna/SBT) dewasa, dan tangkapan tahunan mulai jatuh secara cepat pada awal tahun 1960-an. Penurunan hasil tangkapan semakin meningkat, dimana pada pertengahan tahun 1980-an diperlukan pembatasan tangkapan. Hal inilah yang menuntut Australia, Jepang dan Selandia Baru melakukan tindakan pengelolaan dan konservasi untuk meningkatkan stok ikan SBT pada tahun 1985, dengan cara membatasi kuota tangkapan kapal ikannya.

Pada tanggal 10 Mei 1993, Australia, Jepang dan Selandia Baru menandatangani Convention for The Conservation of Southern Bluefin Tuna, namun Konvensi ini baru efektif berlaku pada tanggal 20 Mei 1994 setelah ketiga negara tersebut melakukan formalisasi. Efektivitas pelaksanaan Konvensi ini dihadapkan pada beberapa negara yang melakukan penangkapan ikan tuna sirip biru, namun belum menjadi anggota seperti Korea, Taiwan dan Indonesia.
Pada perkembangan selanjutnya, ada tambahan negara anggota CCSBT, yaitu Korea pada tanggal 17 Oktober 2001 dan Taiwan pada tanggal 30 Agustus 2002. Sementara bagi negara yang belum mau menjadi anggota, pada pertemuan bulan Oktober 2003, CCSBT menyepakati untuk mengundang negara-negara yang tertarik di perikanan SBT untuk menjadi co-operating non-member. Namun status negara co-operating non-member hanya berpartisipasi dalam bisnis, alias tidak punya hak suara dalam pertemuan CCSBT. Selain itu, negara co-operating non-member disyaratkan untuk menyepakati batasan jumlah tangkapan. Beberapa negara yang diterima sebagai co-operating non-member, yaitu Filipina (2 August 2004), Afrika Selatan (24 August 2006) dan Uni Eropa (13 October 2006). Sementara Indonesia hingga saat ini masih berstatus sebagai peninjau (observer), dalam waktu dekat Indonesia dindikasikan akan melamar menjadi Negara Cooperating Non-Member.
Adapun pertemuan CCSBT ke-14 berhasil menetapkan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (total allowable catch/TAC) selama tahun 2007-2009 sebesar 11.810 ton. Alokasi untuk Jepang berlaku sampai tahun 2011 dan untuk Negara anggota lainnya berlaku sampai tahun 2009. Sementara untuk non-member dan observer hanya untuk tahun 2007. Alokasi untuk negara member seperti Jepang (3.000 ton), Australia (5.265 ton), Korea Selatan (1.140 ton), Taiwan (1.1.40 ton), Selandia Baru (420 ton), sementara untuk negara non-member dan observer seperti Indonsia (750 ton), Filipina (45 ton), Afrika Selatan (40 ton) dan Uni Eropa (10 ton).
Menurut Satria (2004), di kemudian hari sangat dimungkinkan adanya sanksi perdagangan internasional akibat status Indonesia yang bukan menjadi anggota CCSBT. Namun demikian, bagi Indonesia CCSBT sangatlah dilematis. Di satu sisi, jumlah tangkapan ikan tuna di wilayah tersebut relatif kecil dibandingkan dengan beban membership fee yang harus dibayarkan sekitar US$ 150 ribu. Di sisi lain, ancaman pemboikotan tuna Indonesia di pasar dunia juga patut dipertimbangkan. Akan tetapi, sebenarnya Indonesia masih memiliki “senjata” bahwa spawning ground SBT ada di Wilayah Selatan Jawa Indonesia (lihat Gambar 3). Hal ini sebagaimana informasi yang terdapat pada website CCSBT (www.ccsbt.org), disebutkan bahwa perkembangbiakan SBT perairan hangat Selatan Jawa Indonesia pada bulan September hingga April. Lalu setelah itu, juvenil SBT akan bermigrasi ke pantai barat Australia. Bersyukur, Indonesia pada tahun 2007 sudah menjadi anggota tetap CCSBT. Dengan demikian, fakta inilah yang dapat dijadikan senjata diplomasi Indonesia dalam melakukan negosiasi dengan anggota CCSBT, baik dalam jumlah kuota maupun jumlah fee yang harus dibayarkan.
c. Commission for the Conservation and Management of Highly Migratory Fish Stock in the Western and Central Pacific Ocean (WCPFC)
Negara-negara pantai di Pasifik Barat dan Pasifik Tengah dan negara-negara yang menangkap ikan disekitarnya melakukan negosiasi selama empat tahun dan berhasil menyepakati Convention on the Conservation and Management of Highly Migratory fish Stocks in the Western and Central Pacific Ocean yang ditandatangani pada tanggal 5 September 2000 di Honolulu, Amerika Serikat. Namun demikian, Konvensi ini mulai berlaku efektif pada tanggal 19 June 2004. Sampai Juli 2004, Negara-negara yang telah meratifikasi atau menyepakati Konvensi ini, yaitu Australia, Cook Islands, Federated States of Micronesia, Fiji Islands, Kiribati, Marshall Islands, Nauru, Selandia Baru, Niue, Papua New Guinea, Samoa, Solomon Islands, Tonga dan Tuvalu. Sedangkan Negara yang berstatus sebagai non-cooperating parties adalah Belize dan Indonesia. 
Posisi dan Strategi Indonesia
Sebagaimana yang telah diungkapkan sebelumnya, meski terkesan ada neo-kolonialisasi di laut lepas, dalam rangka menciptakan pengelolaan perikanan yang bertanggung jawab dan berkelanjutan, Indonesia harus berperan dalam RFMO yang wilayah pengelolaannya berdampingan dengan perairan Indonesia.
Oleh karena itu, pemerintah harus segera menset-up kebijakan perikanan di wilayah laut lepas yang tentu saja dalam penyusunannya melibatkan para nelayan. Misalnya keterlibatan nelayan dalam pembahasan keterlibatan Indonesia dalam RFMO. Hal ini dikarenakan, para nelayanlah yang akan dirugikan oleh kebijakan RFMO tersebut. Seperti status free rider atau pelaku illegal fishing bagi negara yang melakukan penangkapan ikan, dimana negara tersebut tidak menjadi anggota di suatu RFMO. Lebih dari itu, beberapa RFMO telah membuat sanksi perdagangan bagi para pelanggar.
Hingga saat ini Indonesia berstatus sebagai negara non-contracting parties WCPFC, sementara untuk IOTC dan CCSBT sudah menjadi anggota. Dengan tidak menjadi anggota, maka kita tidak punya hak suara. Padahal, apabila Indonesia berstatus sebagai anggota atau contracting parties dari suatu RFMO, akan memperoleh beberapa manfaat, diantaranya yaitu (DKP, 2005):
1. Indonesia akan menghemat waktu dan biaya yang sangat mahal dengan adanya kesempatan kerjasama penelitian dan pengumpulan data perikanan, pemanfaatan total allowable catch (TAC), melakukan monitorng controlling dan surveilance (MCS), dan penegakan hukum serta pengelolaan dan konservasi sumberdaya ikan yang banyak membutuhkan tenaga ahli;
2. Indonesia tidak dianggap melakukan penangkapan ilegal di perairan laut lokasi RFMO;
3. mendapatkan jaminan akses pemasaran tuna di pasar internasional.
Keterlibatan Indonesia dalam pengelolaan ikan regional maupun internasional telah diamanatkan oleh UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Misalnya, dimuatnya pengaturan kegiatan perikanan di laut lepas sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 5, yaitu: ”Pengelolaan perikanan di luar wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia yang diselenggarakan berdasarkan peraturan perundang-undangan, persyaratan, dan/atau standar internasional yang diterima secara umum”. Selain itu, UU No. 31 Tahun 2004 juga menuntut Pemerintah Indonesia untuk ikut serta secara aktif dalam keanggotaan badan/lembaga/organisasi regional dan internasional dalam rangka kerjasama pengelolaan perikanan regional dan internasional sebagaimana yang tertuang pada Pasal 10.
Dengan demikian, secara yuridis Indonesia telah mempunyai landasan hukum yang jelas dalam melakukan kerjasama pengelolaan perikanan dengan negara-negara tetangga, baik di wilayah perairan yang berbatasan maupun di perairan laut lepas. Sementara itu, hal-hal yang perlu diperhatikan Indonesia dalam mewujudkan perikanan bertanggung jawab di laut lepas, diantaranya yaitu:
1. Ratifikasi perjanjian-perjanjian internasional seperti UN Compliance Agreement 1993 dan UN Fish Stock Agreement 1995;
2. Analisis eksisting terhadap RFMO yang ada, khususnya yang berdampingan dengan perairan Indonesia.
3. Analisis SWOT terhadap RFMO yang ada tersebut.
 
Penutup
Keterlibatan Indonesia dalam RFMO tidak hanya bertujuan dalam program pencitraan diri sebagai negara yang bertanggung jawab dalam mewujudkan perikanan berkelanjutan secara global. Akan tetapi lebih dari pada itu, keterlibatan Indonesia pada RFMO dalam rangka memfasilitasi warga negaranya untuk mengakses sumberdaya ikan di laut lepas, dimana sumberdaya ikan di perairan Indonesia semakin menipis. Selain itu, manfaat lainnya adalah mendapatkan beberapa fasilitas seperti bantuan tenaga ahli dalam melakukan kajian assessment sumberdaya ikan yang membutuhkan dana banyak.
 
 http://ikanbijak.wordpress.com/2008/04/21/perikanan-indonesia-dalam-kepungan-organisasi-pengelolaan-perikanan-regional-dan-internasional/

Tidak ada komentar: