Oleh : Akhmad Solihin
Pendahuluan
Sebagai negara kepulauan (archipelagic state) terbesar di dunia,
Indonesia memiliki potensi sumberdaya ikan laut yang diperkirakan
sebesar 6,26 juta ton per tahun yang terdiri dari potensi di perairan
wilayah Indonesia sekitar 4,40 juta ton per tahun dan perairan ZEEI
sekitar 1,86 juta ton per tahun. Bahkan, Indonesia juga dapat
memanfaatkan sumberdaya ikan di perairan laut lepas (high seas). Hal ini
dikarenakan, posisi perairan Indonesia yang berhadapan langsung dengan
dua perairan internasional, yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik.
Tentu saja, pemanfaatan di perairan laut lepas oleh suatu negara pantai
(coastal state) didasarkan pada asas kekebasan yang melekat pada rezim
laut lepas seagaimana yang tercantum pada Pasal 87 Konvensi PBB tentang
Hukum Laut 1982 atau yang lebih dikenal dengan sebutan UNCLOS 1982
(United Nations Convention on the Law of the Sea). Secara lengkapnya,
prinsip freedom of the high seas menurut Pasal 87, yaitu meliputi:
kebebasan berlayar (freedom of navigation), kebebasan penerbangan
(freedom of overflight), kebebasan untuk memasang kabel dan pipa di
bawah laut (freedom to lay submarine cables and pipelines), kebebasan
untuk membangun pulau buatan dan instalasi lainnya (freedom to construct
artificial islands and other installations permitted under
international law), kebebasan menangkap ikan (freedom of fishing), dan
kebebasan riset ilmiah (freedom of scientific research).
Asas
kebebasan di laut lepas sebagaimana yang disebutkan di atas harus
mengindahkan kepentingan negara lain dalam melaksanakan hak yang sama
dan ketentuan internasional lain yang berlaku di atasnya. Khusus untuk
kegiatan penangkapan ikan, diperkuat lagi hak dari suatu negara untuk
mengirimkan armada perikanan nasionalnya ke laut bebas (Pasal 116 UNCLOS
1982). Akan tetapi, pelaksanaan kebebasan ini harus dibarengi dengan
diindahkannya ketentuan mengenai langkah-langkah konservasi sumberdaya
hayati di laut lepas. Langkah ini dapat dilakukan secara unilateral
maupun bekerjasama dengan negara lain. Dorongan adanya kerjasama antara
negara-negara yang memanfaatkan sumberdaya hayati di laut lepas yang
sama ditekankan dalam Pasal 118 UNCLOS 1982, dimana negara-negara harus
mengatur pengelolaan dan konservasi tersebut, apabila memungkinkan
dengan membentuk organisasi-organisasi pengelolaan perikanan regional
(Regional Fisheries management Organizations/RFMO) di berbagai kawasan
yang mempunyai aturan sendiri dalam mengelola kegiatan perikanan.
Maraknya keberpihakan negara-negara pantai yang umumnya berstatus
sebagai negara maju terhadap kelestarian sumberdaya perikanan di laut
lepas, tidak dapat dilepaskan dari keinginan mereka untuk menguasai laut
lepas itu sendiri (Solihin, 2006). Dengan alasan kelestarian sumberdaya
perikanan itulah, negara-negara maju membuat ”jebakan” paling efektif
untuk menguasi laut lepas. Oleh karenanya, dibuatlah berbagai aturan dan
organisasi yang dapat mengukuhkan hegemoni mereka di laut lepas.
Hegemoni negara maju di laut lepas ini lebih tepat dikatakan sebagai
neo-kolonialisasi secara halus. Mengingat, negara yang tidak menjadi
anggota pada RFMO tersebut “diharamkan” untuk melakukan kegiatan
penangkapan ikan di wilayah dimana RFMO tersebut berada, sehingga bagi
negara bukan anggota yang melakukan kegiatan penangkapan ikan di wilayah
tersebut dapat dikenakan embargo terhadap produk perikanannya karena
dianggap telah melakukan illegal fishing.
Alasan negara-negara maju
dalam membentuk RFMO diperkuat oleh laporan FAO yang mengungkapkan bahwa
total produksi perikanan dunia meningkat secara bertahap dari 19,3 juta
ton pada tahun 1950, meningkat menjadi 100 juta ton di tahun 1989 dan
134 juta ton di tahun 2002. Kegiatan penangkapan perikanan laut
merupakan kontribusi terbesar dari total produksi perikanan dunia
tersebut. Pada tahun 1950, penangkapan perikanan laut sebesar 16,7 juta
ton (86% dari total produksi perikanan dunia), dan pada tahun 1980
penangkapan perikanan laut meningkat menjadi 62 juta ton. Namun, dua
dekade terakhir telah terjadi penurunan tangkapan perikanan laut.
Selanjutnya, pada tahun 2002 total penangkapan perikanan laut 84,5 juta
ton. Setelah mencapai angka 80 juta ton pada tahun 1980-an, tangkapan
perikanan laut dunia berfluktuasi antara 77 dan 86 juta ton dengan
catatan tertinggi 86,8 juta ton pada tahun 2000 dan menurun menjadi 81,5
juta ton pada tahun 2003 (FAO, 2007). Informasi lain yang diperoleh
dari data statistik perikanan FAO tahun 2007 adalah, total produksi
perikanan tangkap dunia sejak tahun 2000 berkisar di atas angka 90% dari
total produksi perikanan dunia, yaitu tahun 2000 (95,6%), 2001 (93,1%),
2002 (93,3%), 2003 (90,5%), 2004 (95,0%), dan 2005 (93,8%) (FAO, 2007).
Selain itu, data FAO menyebutkan bahwa sekarang ini gejala tangkap
lebih (overfishing) di tingkat internasional semakin meluas, yaitu 17%
overexploited, 52% fully exploited, 7% depleted, 1% underexploited, 20%
moderatley exploited, dan 1% slowly recovering (Foutaubert and Lutchman,
2007).
Dalam konteks regional, pada beberapa negara pantai yang
sedang berkembang di kawasan Asia Selatan dan Asia Tenggara, seperti
Bangladesh, Brunei Darussalam, Kamboja, India, Indonesia, Srilanka,
Thailand dan Vietnam, total tangkapan hasil perikanan meningkat dari 5,5
juta ton pada tahun 1970 menjadi 15,6 juta ton pada tahun 2000. Namun
demikian, peningkatan produksi perikanan di kawasan Asia Selatan dan
Asia Tenggara, pada beberapa negara telah terjadi penurunan tangkapan
sejak tahun 1990, seperti India, Filipina dan Thailand (Martosubroto,
2005).
Dengan berkaca pada tingginya tingkat pemanfaatan yang
dikhawatirkan berujung pada krisis sumberdaya ikan, maka pengelolaan
perikanan yang bertanggung jawab telah menjadi agenda bersama masyarakat
internasional. Hal ini dikarenakan, terganggunya kelestarian sumberdaya
ikan di satu negara akan mempengaruhi kondisi perikanan global dan
dapat menyebabkan stok ikan di negara lain juga ikut terganggu,
khususnya jenis-jenis ikan yang bermigrasi jauh (higly migratory
species) dan jenis-jenis ikan yang bermigrasi terbatas (straddling fish
stock) yang mempunyai kemampuan untuk melintasi batas-batas wilayah
suatu negara (transboundary). Dengan demikian, masyarakat internasional
tidak selalu berurusan dengan kepentingan individu dari setiap
anggotanya, demikian juga setiap anggota masyarakat internasional tidak
selalu berurusan dengan kepentingan nasionalnya, melainkan ada pula saat
yang mengharuskan mereka berurusan dengan kepentingan bersama,
masalah-masalah bersama, yang harus dipecahkan secara bersama-sama.
Terlepas dari terjadinya hegemoni di laut lepas dalam pemanfaatan
sumberdaya ikan, pengelolaan secara bersama yang adil adalah hal yang
harus dilakukan dalam rangka menciptakan perikanan yang berkelanjutan.
Oleh karenanya sangat wajar, bila FAO memperhatikan masalah ini sebagai
masalah bersama. Salah satu upaya FAO dalam mewujudkan pembangunan
perikanan yang berkelanjutan adalah diterbitkannya Code of Conduct for
Responsible Fisheries (CCRF) tahun 1995. Jauh sebelum dikeluarkan CCRF
1995, beberapa aturan internasional telah dikeluarkan dalam pengelolaan
perikanan oleh RFMO, misalnya UNCLOS 1982.
Namun demikian, meski
pengelolaan perikanan diatur dalam UNCLOS 1982, masih saja terjadi
konflik atau perbedaan pendapat mengenai kegiatan penangkapan ikan
antara negara pantai (coastal state) dengan negara-negara yang memiliki
armada perikanan jarak jauh (distant fishing flates) yang disertai
dengan terjadinya penurunan potensi sumberdaya ikan. Untuk menyelesaikan
masalah ini, maka dicarilah konsep-konsep bagaimana menerapkan
konservasi dan pengelolaan stok yang lestari sepanjang jalur
ruaya/migrasi jenis ikan tersebut tetapi tidak mengurangi ataupun
melanggar hak-hak berdaulat negara pantai.
Selain itu, terkait
dengan pengelolaan perikanan terdapat beberapa organisasi-organisasi
sub-regional dan regional perikanan yang terbentuk di wilayah laut lepas
yang berdampingan dengan perairan Indonesia, diantaranya adalah: Indian
Ocean Tuna Commission (IOTC), Western and Central Pacific Fisheries
Commission (WCPFC), dan Commission for the Conservation of Southern
Bluefin Tuna (CCSBT).
Sebagai negara maritim yang tengah terus
mengembangkan armada perikanannya, sudah selayaknya juga ikut mengambil
haknya untuk memanfaatkan sumberdaya ikan di laut lepas. Namun demikian,
sebagai bagian dari anggota masyarakat internasional, Indonesia juga
harus mengikuti ketentuan hukum internasional yang berlaku dalam hal
penangkapan ikan di laut lepas, seperti kelayakan kapal-kapal penangkap
ikan dan ketaatan kapal-kapal tersebut pada ketentuan pengelolaan dan
konservasi yang ada. Salah satu hal yang menjadi kendala adalah,
Indonesia hanya baru meratifikasi UNCLOS1982. Lebih dari itu, Indonesia
juga belum ikut serta dalam organisasi pengelolaan dan konservasi
perikanan regional, seperti CCSBT dan WCPFC. Kecuali IOTC, Indonesia
sudah menjadi anggota tetap. Dengan demikian, artikel ini mencoba
mengkaji posisi Indonesia dalam Kelembagaan Perikanan Internasional
dalam rangka meningkatkan strategi diplomasi atau posisi tawar
(bargaining position) Indonesia terhadap organisasi-organisasi perikanan
regional yang wilayahnya pengaturannya berdampingan dengan Indonesia.
Dasar Hukum RFMO
Sebagai sebuah sistem, perikanan memiliki peran penting dalam
penyediaan bahan pangan, kesempatan kerja, rekreasi, perdagangan dan
kesejahteraan ekonomi bagi sebagian penduduk. Namun demikian,
peningkatan populasi manusia terutama di wilayah pesisir dan laut,
ditambah semakin meningkatnya kecanggihan teknologi membuat peluang
terjadinya perubahan sistem alamiah dari lautan semakin besar. Perubahan
tersebut dapat mengakibatkan berbagai hal negatif, baik pada sumberdaya
yang terkandung di lautan maupun terhadap aspek fisik dari laut itu
sendiri sebagai wadahnya.
Oleh karena itu, dalam pemanfaatan
sumberdaya ikan diperlukan pengelolaan yang berorientasi pada
kepentingan jangka panjang, tidak hanya bagi generasi saat ini namun
juga bagi generasi masa depan. Dalam hal ini, pengelolaan yang
bertanggung jawab menjadi salah satu kunci utama untuk menjawab
tantangan pembangunan perikanan yang berkelanjutan (sustainable
fisheries development).
Wacana keberlanjutan perikanan tidak dapat
dilepaskan dari fenomena krisis perikanan global, dimana RFMO dianggap
sebagai terobosan untuk mengatasi masalah ini. Hal ini merupakan amanat
dari berbagai ketentuan internasional, khususnya UNCLOS 1982.
Pada
UNCLOS 1982, baik pengelolaan maupun pemanfaatan sumberdaya ikan oleh
RFMO tertuang pada Pasal 61 sampai Pasal 67 yang merupakan termasuk Bab V
mengenai Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Selain di pengaturan di wilayah
ZEE, UNCLOS 1982 juga mengamanatkan kerjasama negara-negara dalam
konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan hayati sebagaimana yang
tertuang pada Pasal 118 yang termasuk pada Bab VII mengenai Laut Lepas.
Pasal tersebut menyebutkan bahwa, “Negara-negara harus melakukan
kerjasama satu dengan lainnya dalam konservasi dan pengelolaan sumber
kekayaan hayati di daerah laut lepas. Negara-negara yang warga negaranya
melakukan eksploitasi sumber kekayaan hayati yang sama atau sumber
kekayaan hayati yang berlainan di daerah yang sama, harus mengadakan
perundingan dengan tujuan untuk mengambil tindakan yang diperlukan untuk
konservasi sumber kekayaan hayati yang bersangkutan. Mereka harus,
menurut keperluan, bekerjasama untu menetapkan organisasi perikanan
sub-regional atau regional untuk keperluan ini”.
Selain diatur pada
ZEE dan Laut Lepas, UNCLOS 1982 juga mengaturnya pada Bab IX mengenai
Laut Tertutup atau Setengah Tertutup, tepatnya pada Pasal 123 yang
menyebutkan bahwa “Negara-negara yang berbatasan dengan laut tertutup
atau setengah tertutup hendaknya bekerjasama satu sama lainnya dalam
melaksanakan hak dan kewajiban berdasarkan Konvensi ini. Untuk keperluan
ini mereka harus berusaha secara langsung atau melalui organisasi
regional yang tepat: (a) untuk mengkoordinasikan pengelolaan, onservasi,
eksplorasi dan eksploitasi sumber kekakayaan hayati laut; (b) untuk
mengkoordinasikan pelaksanaan hak dan kewajiban mereka bertalian dengan
perlindungan dan pemeliharaan lingkungan laut; (c) untuk
mengkoordinasikan kebijaksanaan riset ilmiah mereka dan untuk
bersama-sama dimana perlu mengadakan program bersama riset ilmiah di
kawasannya; dan (d) untuk mengundang, menurut keperluan, negara lain
yang berminat atau organisasi internasional untuk bekerjasama dengan
mereka dalam pelaksanaan lebih lanjut ketentuan pasal ini”.
Selain
UNCLOS 1982, menurut Fontaubert and Lutchman (2003), ada beberapa
instrumen hukum internasional lainnya yang mengatur pentingnya kerjasama
pengelolaan perikanan regional diantaranya yaitu:
1. The Cancun Declaration (1992)
Prinsip yang terkandung dalam Deklarasi Cancun termasuk kerjasama
negara-negara melalui tingkatan bilateral, regional dan multilateral
untuk mengatur dan efektivitas pelaksanaan dan tindakan untuk menjamin
perikanan bertanggung jawab. Negara-negara yang melakukan penangkapan
ikan di laut lepas harus bekerjasama dengan Negara lain untuk menjamin
konservasi dan pengelolaan sumberdaya hayati secara rasional.
2. UNCED (1992)
Meskipun UNCED tidak secara spesifik mengatur bahwa Negara-negara harus
melakukan kerjasama antar organisasi sub-regional dan regional, UNCED
memanggil untuk melakukan negosiasi dalam perjanjian yang terkait dengan
kerjasama bilateral dan multilataeral.
3. UN Compliance Agreement (1993)
Dalam rangka menciptakan kelestarian sumberdaya di daerah laut lepas,
maka diperlukan suatu aturan khusus. Oleh karenanya, pada tanggal 24
November 1993 ditetapkan Agreement to Promote Compliance with
International Conservation and Management Measures by Fishing Vessel on
the High Seas (UN Compliance Agreement 1993). Tujuan ditetapkannya UN
Compliance Agreement 1993 ini adalah untuk meletakkan dasar-dasar
praktik penangkapan ikan di laut lepas dan menerapkan langkah-langkah
konservasi sumberdaya hayati laut dengan meningkatkan peranan organisasi
perikanan multilateral. Tujuan lainnya adalah untuk pembuatan database
otorisasi kapal perikanan yang ada di laut lepas dan tukar menukar
informasi. Dan, RFMO mempunyai peran kunci dalam mengkoordinasi dan
mengumpulkan informasi untuk database.
Aturan mengenai pentingnya
kerjasama internasional dalam pengelolaan perikanan tertuang pada Pasal
5, bahwa semua pihak diizinkan apabila diperlukan membuat persetujuan
bersama atau persetujuan kerja sama menguntungkan secara global,
regional, subregional atau bilateral basis yang bertujuan untuk
meningkatkan hasil dari persetujuan ini. Selain itu, diatur juga
mengenai kerjasama dengan Negara berkembang sebagaimana yang tertuang
pada Pasal 8 yang menyebutkan bahwa, “semua pihak akan bekerja sama
secara global, regional, subregional atau pada tingkat yang melibatkan
dua belah pihak dengan dukungan FAO dan organisasi regional atau
internasional lain sebagai penyedia bantuan, termasuk bantuan teknis
kepada pihak negara berkembang dalam rangka membantu pelaksanaan
kewajiban mereka sesuai persetujuan ini”.
4. UN Fish Stock Agreement (1995)
UNCLOS 1982 telah memuat ketentuan mengenai pengaturan pengelolaan
sumberdaya ikan yang bermigrasi jauh (highly migratory). Namun
pengaturan yang termuat pada Pasal 64 UNCLOS 1982 tersebut hanya berlaku
di zona ekonomi eksklusif, dimana negara pantai mempunyai hak berdaulat
secara eksklusif untuk mengeksplorasi, mengeksploitasi, melindungi, dan
mengatur perikanan diwilayahnya sejauh 200 mil laut. Dengan demikian,
adanya kekosongan aturan tentang persediaan jenis-jenis ikan yang
bermigrasi jauh (higly migratory fish stocks/HMFS) serta jenis-jenis
ikan yang bermigrasi terbatas (straddling fish stock/SFS) laut lepas.
Oleh karena itu, untuk mengatasi masalah ini, disahkan lah Agreement for
the Implementation of the Provision of the UNCLOS of 19 December 1982
relating to the Conservation and Management of Straddling Fish Stocks
and Highly Migratory Fish Stocks atau yang dikenal juga dengan sebutan
UN Fish Stock Agreement 1995.
Bab III Perjanjian ini menyebutkan
bahwa, “…. mekanisme untuk kerjasama internasional dalam pengelolaan
jenis-jenis ikan yang bermigrasi jauh dan jenis-jenis ikan yang
bermigrasi terbatas, baik secara langsung maupun tidak melalui
kesepakatan atau organisasi pengelolaan perikanan regional dan
sub-regional. Beberapa tujuan dilakukannya kerjasama adalah agar
Negara-negara menyepakati untuk melakukan tindakan konservasi dan
pengelolaan dalam rangka menghindarkan dari over fishing.
5. Code of Conduct for Responsible Fisheries (1995)
Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) 1995 dikeluarkan oleh
Food and Agriculture Organization (FAO) dalam suatu konferensi pada
tanggal 31 Oktober 1995. CCRF 1995 merupakan buku petunjuk yang sangat
penting bagi seluruh masyarakat perikanan, baik nasional maupun
internasional untuk menjamin kegiatan perikanan yang berkelanjutan dan
bertanggung jawab di wilayah pesisir dan laut. Berdasarkan Pasal 12
bahwa menyepakati standar-standar untuk efektivitas pengelolaan dan
konservasi sumberdaya laut serta perikanan bertanggung jawab. CCRF
merupakan tempat terbaik RFMO dalam melaksanakan pengelolaan, meskipun
pelaksanaan CCRF bersifat sukarela.
6. International Plan of Action (IPOA)
International Plan of Action dari FAO telah diadopsi pada tahun 1999.
Hal ini dilatarbelakangi oleh meningkatkan komitmen internasional yang
ditujukan pada berbagai permasalahan dan peran RFMO dalam menjamin
efektivitas pelaksanaan. Adapun keempat IPOA tersebut, yaitu: (a) IPOA
for Management of Fishing Capacity. Tujuan utama IPOA mengenai
pengelolaan kapasitas perikanan adalah agar negara dan organisasi
regional yang meliputi seluruh dunia mencapai pengelolaan kapasitas
perikanan yang efisien, adil dan transaparan; (b) IPOA for the
Conservation and Management of Shark. Negara-negara disyaratkan untuk
mengimplementasikan rencana nasional (national plan) dalam kegiatan
penangkapan ikan hiu; (c) IPOA for Reducing Incidental Catch of Seabird
in Long-line Fisheries. Tujuan tindakan pengaturan pada bagian ini
adalah untuk mengurangi tangkapan sampingan (by catch) dari alat tangkap
longline berupa burung-burung laut yang tertangkap karena memakan umpan
dalam pancing; dan (d) IPOA for Illegal, Unreported and Regulated
Fishing. Tujuan IPOA ini untuk memberantas praktik perikanan yang
illegal (seperti pencurian ikan, dan kegiatan melawan hukum lainnya),
unreported (mencakup unreported, misreported, atau under-reported), dan
unregulated (yakni tidak diatur pengelolaannya).
Khusus aturan
illegal fishing, keberadaan RFMO sangat diakui. Bahkan, kegiatan
perikanan suatu negara yang bertentangan dengan RFMO dapat dikatakan
melakukan illegal fishing. Hal ini tertuang pada pengertian illegal
fishing, yaitu bahwa Illegal Fishing mengacu pada kegiatan-kegiatan
yang:
a. Diselenggarakan oleh kapal nasional atau asing di perairan
di bawah yurisdiksi suatu negara, tanpa ijin dari negara tersebut, atau
pelanggaran hukum dan peraturan negara tersebut;
b. Diselenggarakan
oleh kapal-kapal yang mengibarkan bendera negaranya yang merupakan
bagian dari organisasi pengelola perikanan yang terkait tetapi melanggar
prosedur konservasi dan pengelolaan yang diadopsi oleh organisasi
tersebut dan dengan mana sebuah negara terikat, atau perjanjian yang
terkait dari hukum internasional yang berlaku; atau
c. Dalam
pelanggaran hukum nasional atau kewajiban internasional, termasuk yang
dilakukan oleh negara-negara yang bekerjasama dalam organisasi pengelola
perikanan yang terkait.
Selanjutnya, disebutkan bahwa,
negara-negara harus mengkoordinasikan secara langsung kegiatan-kegiatan
dan kerjasamanya, melalui organisasi pengelola perikanan regional
terkait, dalam mencegah, mengurangi dan menghapuskan IUU Fishing. Secara
khusus, negara-negara harus:
a. Menukar data atau informasi,
ditekankan dalam format yang distandarisasi, dari catatan-catatan
kapal-kapal yang dimiliki mereka untuk menangkap ikan, dengan cara yang
konsisten dengan persyaratan-persyaratan pertimbangan yang berlaku;
b. Kerjasama dalam akuisisi yang efektif, pengelolaan dan verifikasi semua data dan informasi terkait dari penangkapan;
c. Mengijinkan dan membantu praktisi-praktisi SMK atau dorongan pribadi
untuk bekerjasama dalam penyelidikan IUU Fishing, dan akhirnya
negara-negara harus mengumpulkan dan mengelola data dan informasi yang
berkaitan dengan kegiatan penangkapan;
d. Kerjasama dalam menyalurkan kemampuan dan teknologi;
e. Kerjasama dalam membuat kebijakan-kebijakan dan prosedur-prosedur yang cocok.
f. Mengembangkan mekanisme kerjasama yang menyebabkan, inter alia, respon yang cepat terhadap IUU Fishing, dan
g. Kerjasama dalam monitoring, kontrol, dan pengawasan, termasuk melalui perjanjian internasional.
RFMO di sekitar Perairan Indonesia
Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa, bermunculannya RFMO
didasarkan sifat ikan yang selalu bergerak (bermigrasi) dan melintasi
batas wilayah antar negara (transboundary). Akibatnya, kegiatan
penangkapan ikan yang berlebihan di suatu negara dapat menyebabkan
kerusakan/kepunahan ikan di negara lain. Hal inilah yang mendorong
kepentingan bersama dalam membentuk RFMO di suatu kawasan. Selain itu,
hal utama yang mendorong pembentukan RFMO adalah munculnya konflik
pemanfaatan sumberdaya di dunia pada tahun 1990-an. Misalnya konflik
antara Amerika Serikat, Uni Soviet, dan negara-negara yang melakukan
penangkapan ikan di luar wilayah Alaska di sekitar laut Bering, dan
konflik antara Kanada dan Uni Eropa di Northwest Atlantik.
Hingga
saat ini, di dunia internasional telah terdapat berbagai bentuk
organisasi regional maupun internasional yang menunjukkan perhatiannya
pada perlunya pengelolaan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan.
Hampir semua wilayah perairan di dunia telah diatur oleh organisasi
tersebut. Aturan-aturan itu jelas mengikat para anggota di dalamnya yang
melakukan kegiatan penangkapan ikan di wilayah perairan tersebut.
Umumnya keanggotaan RFMO tidak terlalu terkait dengan pertimbangan
geografis negara yang bersangkutan, namun lebih pada di wilayah perairan
mana suatu negara melakukan aktivitas penangkapan ikan. Bagi negara
yang tidak menjadi anggota dan melakukan aktivitas penangkapan ikan di
wilayah perairan tertentu, saat ini sudah mulai dipikirkan adanya sanksi
perdagangan internasional (Satria, 2002).
Sementara itu, RFMO yang terbentuk di daerah laut lepas dan berdampingan dengan perairan Indonesia, diantaranya yaitu:
a. Indian Ocean Tuna Commission (IOTC)
IOTC disahkan oleh FAO pada sesi ke-26 dipenghujung tahun 1994.
Agreemen IOTC mulai berlaku efektif setelah ada aksesi ke-9 anggota pada
tanggal Maret 1996. IOTC merupakan institusi regional yang berwenang
mengatur kegiatan penangkapan ikan tuna dan sejenisnya di perairan
Samudera Hindia dan sekitarnya. Keanggotaan IOTC terdiri dari
contracting parties dan non-contracting parties. Hingga Mei 2007,
negara-negara yang menjadi anggota contracting parties IOTC adalah
Australia, Cina, Komoros, Eritrea, Prancis, Guinea, India, Iran, Jepang,
Kenya, Korea Selatan, Oman, Madagaskar, Malaysia, Mauritius, Pakistan,
Filipina, Seychelles, Sri Lanka, Sudan, Thailand, Vanuatu, Amerika
Serikat, Uni Eropa, Belize, Tanzania dan Indonesia. Sementara Negara
yang termasuk negara non-contracting parties, yaitu Senegal, Afrika
Selatan dan Uruguay (IOTC, 2007).
Pada IOTC tidak ada pengaturan
kuota sebagaimana RFMOs lainnya, seperti kuota di CCSBT. Hingga saat
ini, status Indonesia sudah menjadi anggota atau contracting parties
IOTC ke-27. Dengan demikian, Indonesia memiliki akses langsung terhadap
perairan Samudera Hindia dalam rangka memanfaatan sumberdaya ikan
disana.
b. The Convention for The Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT)
Di luar wilayah perairan Indonesia yang berdampingan dengan kawasan
Pasifik terdapat CCSBT. Pembentukan CCSBT didasari oleh menurunnya
jumlah ikan tuna sirip biru (southern bluefin tuna/SBT) dewasa, dan
tangkapan tahunan mulai jatuh secara cepat pada awal tahun 1960-an.
Penurunan hasil tangkapan semakin meningkat, dimana pada pertengahan
tahun 1980-an diperlukan pembatasan tangkapan. Hal inilah yang menuntut
Australia, Jepang dan Selandia Baru melakukan tindakan pengelolaan dan
konservasi untuk meningkatkan stok ikan SBT pada tahun 1985, dengan cara
membatasi kuota tangkapan kapal ikannya.
Pada tanggal 10 Mei 1993,
Australia, Jepang dan Selandia Baru menandatangani Convention for The
Conservation of Southern Bluefin Tuna, namun Konvensi ini baru efektif
berlaku pada tanggal 20 Mei 1994 setelah ketiga negara tersebut
melakukan formalisasi. Efektivitas pelaksanaan Konvensi ini dihadapkan
pada beberapa negara yang melakukan penangkapan ikan tuna sirip biru,
namun belum menjadi anggota seperti Korea, Taiwan dan Indonesia.
Pada perkembangan selanjutnya, ada tambahan negara anggota CCSBT, yaitu
Korea pada tanggal 17 Oktober 2001 dan Taiwan pada tanggal 30 Agustus
2002. Sementara bagi negara yang belum mau menjadi anggota, pada
pertemuan bulan Oktober 2003, CCSBT menyepakati untuk mengundang
negara-negara yang tertarik di perikanan SBT untuk menjadi co-operating
non-member. Namun status negara co-operating non-member hanya
berpartisipasi dalam bisnis, alias tidak punya hak suara dalam pertemuan
CCSBT. Selain itu, negara co-operating non-member disyaratkan untuk
menyepakati batasan jumlah tangkapan. Beberapa negara yang diterima
sebagai co-operating non-member, yaitu Filipina (2 August 2004), Afrika
Selatan (24 August 2006) dan Uni Eropa (13 October 2006). Sementara
Indonesia hingga saat ini masih berstatus sebagai peninjau (observer),
dalam waktu dekat Indonesia dindikasikan akan melamar menjadi Negara
Cooperating Non-Member.
Adapun pertemuan CCSBT ke-14 berhasil
menetapkan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (total allowable
catch/TAC) selama tahun 2007-2009 sebesar 11.810 ton. Alokasi untuk
Jepang berlaku sampai tahun 2011 dan untuk Negara anggota lainnya
berlaku sampai tahun 2009. Sementara untuk non-member dan observer hanya
untuk tahun 2007. Alokasi untuk negara member seperti Jepang (3.000
ton), Australia (5.265 ton), Korea Selatan (1.140 ton), Taiwan (1.1.40
ton), Selandia Baru (420 ton), sementara untuk negara non-member dan
observer seperti Indonsia (750 ton), Filipina (45 ton), Afrika Selatan
(40 ton) dan Uni Eropa (10 ton).
Menurut Satria (2004), di kemudian
hari sangat dimungkinkan adanya sanksi perdagangan internasional akibat
status Indonesia yang bukan menjadi anggota CCSBT. Namun demikian, bagi
Indonesia CCSBT sangatlah dilematis. Di satu sisi, jumlah tangkapan ikan
tuna di wilayah tersebut relatif kecil dibandingkan dengan beban
membership fee yang harus dibayarkan sekitar US$ 150 ribu. Di sisi lain,
ancaman pemboikotan tuna Indonesia di pasar dunia juga patut
dipertimbangkan. Akan tetapi, sebenarnya Indonesia masih memiliki
“senjata” bahwa spawning ground SBT ada di Wilayah Selatan Jawa
Indonesia (lihat Gambar 3). Hal ini sebagaimana informasi yang terdapat
pada website CCSBT (www.ccsbt.org),
disebutkan bahwa perkembangbiakan SBT perairan hangat Selatan Jawa
Indonesia pada bulan September hingga April. Lalu setelah itu, juvenil
SBT akan bermigrasi ke pantai barat Australia. Bersyukur, Indonesia pada
tahun 2007 sudah menjadi anggota tetap CCSBT. Dengan demikian, fakta
inilah yang dapat dijadikan senjata diplomasi Indonesia dalam melakukan
negosiasi dengan anggota CCSBT, baik dalam jumlah kuota maupun jumlah
fee yang harus dibayarkan.
c. Commission for the Conservation and
Management of Highly Migratory Fish Stock in the Western and Central
Pacific Ocean (WCPFC)
Negara-negara pantai di Pasifik Barat dan
Pasifik Tengah dan negara-negara yang menangkap ikan disekitarnya
melakukan negosiasi selama empat tahun dan berhasil menyepakati
Convention on the Conservation and Management of Highly Migratory fish
Stocks in the Western and Central Pacific Ocean yang ditandatangani pada
tanggal 5 September 2000 di Honolulu, Amerika Serikat. Namun demikian,
Konvensi ini mulai berlaku efektif pada tanggal 19 June 2004. Sampai
Juli 2004, Negara-negara yang telah meratifikasi atau menyepakati
Konvensi ini, yaitu Australia, Cook Islands, Federated States of
Micronesia, Fiji Islands, Kiribati, Marshall Islands, Nauru, Selandia
Baru, Niue, Papua New Guinea, Samoa, Solomon Islands, Tonga dan Tuvalu.
Sedangkan Negara yang berstatus sebagai non-cooperating parties adalah
Belize dan Indonesia.
Posisi dan Strategi Indonesia
Sebagaimana
yang telah diungkapkan sebelumnya, meski terkesan ada neo-kolonialisasi
di laut lepas, dalam rangka menciptakan pengelolaan perikanan yang
bertanggung jawab dan berkelanjutan, Indonesia harus berperan dalam RFMO
yang wilayah pengelolaannya berdampingan dengan perairan Indonesia.
Oleh karena itu, pemerintah harus segera menset-up kebijakan perikanan
di wilayah laut lepas yang tentu saja dalam penyusunannya melibatkan
para nelayan. Misalnya keterlibatan nelayan dalam pembahasan
keterlibatan Indonesia dalam RFMO. Hal ini dikarenakan, para nelayanlah
yang akan dirugikan oleh kebijakan RFMO tersebut. Seperti status free
rider atau pelaku illegal fishing bagi negara yang melakukan penangkapan
ikan, dimana negara tersebut tidak menjadi anggota di suatu RFMO. Lebih
dari itu, beberapa RFMO telah membuat sanksi perdagangan bagi para
pelanggar.
Hingga saat ini Indonesia berstatus sebagai negara
non-contracting parties WCPFC, sementara untuk IOTC dan CCSBT sudah
menjadi anggota. Dengan tidak menjadi anggota, maka kita tidak punya hak
suara. Padahal, apabila Indonesia berstatus sebagai anggota atau
contracting parties dari suatu RFMO, akan memperoleh beberapa manfaat,
diantaranya yaitu (DKP, 2005):
1. Indonesia akan menghemat waktu dan
biaya yang sangat mahal dengan adanya kesempatan kerjasama penelitian
dan pengumpulan data perikanan, pemanfaatan total allowable catch (TAC),
melakukan monitorng controlling dan surveilance (MCS), dan penegakan
hukum serta pengelolaan dan konservasi sumberdaya ikan yang banyak
membutuhkan tenaga ahli;
2. Indonesia tidak dianggap melakukan penangkapan ilegal di perairan laut lokasi RFMO;
3. mendapatkan jaminan akses pemasaran tuna di pasar internasional.
Keterlibatan Indonesia dalam pengelolaan ikan regional maupun
internasional telah diamanatkan oleh UU No. 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan. Misalnya, dimuatnya pengaturan kegiatan perikanan di laut
lepas sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 5, yaitu: ”Pengelolaan
perikanan di luar wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia yang
diselenggarakan berdasarkan peraturan perundang-undangan, persyaratan,
dan/atau standar internasional yang diterima secara umum”. Selain itu,
UU No. 31 Tahun 2004 juga menuntut Pemerintah Indonesia untuk ikut serta
secara aktif dalam keanggotaan badan/lembaga/organisasi regional dan
internasional dalam rangka kerjasama pengelolaan perikanan regional dan
internasional sebagaimana yang tertuang pada Pasal 10.
Dengan
demikian, secara yuridis Indonesia telah mempunyai landasan hukum yang
jelas dalam melakukan kerjasama pengelolaan perikanan dengan
negara-negara tetangga, baik di wilayah perairan yang berbatasan maupun
di perairan laut lepas. Sementara itu, hal-hal yang perlu diperhatikan
Indonesia dalam mewujudkan perikanan bertanggung jawab di laut lepas,
diantaranya yaitu:
1. Ratifikasi perjanjian-perjanjian internasional seperti UN Compliance Agreement 1993 dan UN Fish Stock Agreement 1995;
2. Analisis eksisting terhadap RFMO yang ada, khususnya yang berdampingan dengan perairan Indonesia.
3. Analisis SWOT terhadap RFMO yang ada tersebut.
Penutup
Keterlibatan Indonesia dalam RFMO tidak hanya bertujuan dalam program
pencitraan diri sebagai negara yang bertanggung jawab dalam mewujudkan
perikanan berkelanjutan secara global. Akan tetapi lebih dari pada itu,
keterlibatan Indonesia pada RFMO dalam rangka memfasilitasi warga
negaranya untuk mengakses sumberdaya ikan di laut lepas, dimana
sumberdaya ikan di perairan Indonesia semakin menipis. Selain itu,
manfaat lainnya adalah mendapatkan beberapa fasilitas seperti bantuan
tenaga ahli dalam melakukan kajian assessment sumberdaya ikan yang
membutuhkan dana banyak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar