Oleh Riza Damanik
Bertempat
di Hyderabad, India, selama 8-19 Oktober, berlangsung Konferensi
Tingkat Tinggi Keragaman Hayati XI. Masalah pendanaan masih menjadi
salah satu penghambat upaya konservasi, padahal Indonesia punya model
konservasi lokal yang murah dan berkelanjutan.
Dua
tahun lalu, pada KTT Keragaman Hayati (COP UNCBD) X di Nagoya, Jepang,
dihasilkan Rencana Strategis Keragaman Hayati 2011-2020. Di antaranya,
menargetkan hingga 2020 akan ada kawasan konservasi seluas 17 persen
dari daratan dan 10 persen dari kawasan pesisir dan laut dunia. Namun,
tingginya biaya konservasi serta meluasnya dampak krisis ekonomi disebut
telah menghambat pencapaiannya.
Sekretaris
Eksekutif UNCBD Braulio Ferreira de Souza Diaz, seperti dikutip Harian
Sunday Times of India (7/10), mengatakan bahwa krisis pendanaan akan
menjadi isu yang sangat sulit. Namun, pihaknya berharap mampu mengikat
sektor-sektor swasta—selain dari pemerintah—untuk mengatasi krisis.
Laporan
Panel Ahli UNCBD terkait Penilaian Pelaksanaan Rencana Strategis
Keragaman Hayati 2011-2020 menyebutkan, untuk menjalankan program empat
tahun saja, 2014-2018, butuh dana 74 miliar-191 miliar dollar AS. Dengan
jumlah sebesar itu, konservasi menjadi industri baru yang dikendalikan
pebisnis dan negara-negara industri. Misalnya, melalui pemberian subsidi
untuk perluasan bisnis bahan bakar nabati, rekayasa genetik (tanaman
transgenik), serta promosi kompensasi keragaman hayati (biodiversity
offset).
Murah
Di
Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, 1.200 hektar ekosistem mangrove yang
rusak akibat perluasan perkebunan sawit mulai direhabilitasi komunitas
nelayan. Upaya sukarela ini muncul atas kesadaran pentingnya menjaga
eksosistem mangrove. Baik untuk mencegah meluasnya banjir ke permukiman
maupun upaya meningkatkan jumlah tangkapan ikan yang terus menurun.
Di
Wakatobi, Sulawesi Tenggara, pun begitu. Terumbu karang dijaga dengan
kembali pada kearifan lokal bahwa terumbu karang adalah simbol suci
keberlanjutan kehidupan manusia. Untuk itu, digalakkan lagi ajaran para
orang tua untuk menjaga ekosistem terumbu karang serta menggunakannya
sebagai ”mahar” pernikahan anak-anak mereka. Tak mengherankan jika
terumbu karang di Wakatobi memiliki nama sama dengan komunitas setempat.
Bahkan,
di kampung Lamalera, Nusa Tenggara Timur, konservasi dimaknai pula
sebagai jalan melindungi para janda, anak yatim piatu, dan fakir miskin.
Sejak abad XIII, nelayan Lamalera punya keteladanan untuk mengambil
(bukan berburu) ikan besar agar cukup untuk dibagi dengan para janda,
anak yatim, bahkan seisi kampung. Mengambil ikan hanya dilakukan Mei
hingga Oktober setiap tahun.
Tentu,
seluruh pengetahuan dan kearifan lokal tersebut tidak bebas dari
perilaku menyimpang, baik oleh warga di dalam maupun dari luar kampung.
Karena itu, tersedia pula sanksi sosial yang memberikan efek jera.
Sanksi itu, misalnya, mereka yang melanggar diwajibkan membayar denda
atau ditugasi merawat fasilitas sosial, seperti jalan dan rumah ibadah,
dilarang melaut untuk waktu tertentu hingga paling keras dikeluarkan
dari kampung melalui sumpah adat.
Kembali pada konvensi
Konservasi seharusnya tidak
mahal, bilamana pemerintah dan lembaga-lembaga internasional dapat
melibatkan secara sungguh-sungguh masyarakat lokal dalam seluruh
prosesnya. Dengan demikian, konservasi berubah menjadi tindakan
kebudayaan yang bertumbuh pada etika, tata nilai, etos, moralitas, dan
spritualitas sebagai pilar utama.
Kami
ingin mengingatkan kepada delegasi resmi Pemerintah Indonesia bahwa
pesan tersebut sebenarnya telah disepakati dan tertuang dalam Keputusan
Konvensi X/29 dari KTT X lalu. Juga dalam target 18 Rencana Aksi
Keragaman Hayati 2011-2020.
Isinya,
mensyaratkan kepada setiap negara dan lembaga-lembaga internasional
untuk melibatkan, bahkan mengadopsi pengetahuan tradisional, inovasi dan
praktik relevan dari masyarakat adat dan lokal dalam kegiatan
konservasi, selambat-lambatnya tahun 2020. Kini, delapan tahun sebelum
2020, berbagai kesepakatan itu belum efektif dijalankan, termasuk di
Indonesia.
Alangkah
baiknya jika delegasi Indonesia dapat menjembatani ketimpangan ini
dengan aktif mempromosikan kearifan tradisional dari nelayan dan
masyarakat adat Indonesia dalam setiap proses perundingan di Hyderabad.
Selanjutnya, setelah kembali ke Tanah Air segera mengakui, melindungi,
dan mengadopsi kearifan tradisional dalam rencana kerja nasional.
Semoga
KTT kali ini berani menolak pembiayaan konservasi sebagai bisnis baru
yang menguntungkan industri dan sebaliknya berpihak kepada rakyat yang
melestarikan kearifan lokal.
Riza Damanik Sekretaris Jenderal KIARA; Delegasi International Collective in Support of Fishworkers (ICSF) di COP XI UNCBD
Tidak ada komentar:
Posting Komentar