Oleh
PERADABAN KUNO : “Age of Commerce”
Di Indonesia sendiri, sebelum terjadinya migrasi sekala besar pada
periode Neolithic (3000-2000 SM), penduduk asli indonesia yang disebut
sebagai Wajak hidup secara primitif dengan cara menangkap ikan dan
berburu (anonymous, 1996), selain itu menangkap ikan hiu juga telah
dilakukan ribuan tahun silam oleh penduduk asli indonesia terutama bagi
mereka yang berada diwilayah indonesia bagian timur. Kemudian sekitar
pada abad ke 15 dan ke 16 kelompok etnis yang disebut Bajini, makassar,
bugis dan bajo merintis perdagangan tripang dan trochus untuk
diperdagangkan dengan kelompok pedagang asal cina (Anonymous, 2001).
Mungkin catatan sejarah inilah yang menimbulkan julukan “Nenek Moyangku
Bangsa Pelaut”.
Periode 1450-1680 menjadi periode emas ekonomi
pesisir, atau Reid menyebut “age of commerce” . Puncak keemasan ekonomi
nusantara merupakan hasil dari spesialisasi ekonomi yang tinggi
(misalnya produk pangan untuk pasar domestik dan beberapa hasil
pertanian, hutan dan hasil laut, serta emas untuk pasar global),
jaringan perdagangan yang luas, merebaknya monetisasi dan urbanisasi .
Perdagangan mutiara dan kerang-kerangan cukup penting, namun keterangan
Zuhdi tentang perikanan Cilacap yang hanya menggunakan alat tangkap
sederhana dan nelayan mengolah hasilnya untuk dibarter dengan wilayah
pedalaman menjadi panduan kondisi lain perikanan di era ini.
Pada periode berikutnya, sebelum tahun 1900an kegiatan perikanan di
Indonesia masih didominasi oleh kegiatan perikanan yang bersifat
subsisten yang diarahkan pada pemenuhan kebutuhan pangan penduduk yang
hidup disekitar wilyah pesisir dengan skala perdagangan yang sangat
terbatas, namun demikian beberapa perdaganggan untuk komensial terjadi
dibebberapa wilayah indonesia timur dalam bentuk perdagangan hasil laut
kerang mutiara. Pada periode puncaknya sekitar tahun antara tahun
1870-1900, ribua nelayan terlibat dalam industri ini dengan menghasilkan
nilai ekonomi yang sangat tinggi ( Morgan dan Staples, 2006).
Kemudian skala subsistensi ini secara perlahan berubah kearah komersial
dengan tujuan menyuplai kebutuhan pangan (ikan) kewilayah-wilayah
terpencil dengan teknologi pengawetan ikan yang terbatas. Pertumbuhan
yang spektakuler terjadi pada tahun 1900-an ini sjalan dengan terjadinya
urbanisasi dan perkembangan transposisi dan sistem pemasaran.
Akselerasi pertumbuhan perikanan ini memuncak setelah usai perang perang
dunia kedua dimana armada perikanan semakin termekanisasi dan kegiatan
perikanan semakin merambah kewilayah timur laut lepas (offishorr) dan
daerah-daerah baru yang sebelumnya tidak terjamah (morgan dan staples,
2006).
MASA PENJAJAHAN HINGGA AWAL KEMERDEKAAN
Sejak akhir 1800an perikanan telah berorientasi pada pasar yang
ditandai dengan pertumbuhan spektakuler usaha pengolahan dan pemasaran
ikan. Bahkan, pada awal abad ke-20 Kota Bagan Si Api Api di mulut Sungai
Rokan telah menjadi salah satu pelabuhan perikanan terpenting di dunia
dengan kegiatan utama ekspor perikanan. Jawa dengan populasi 1/4 dari
total penduduk Asia Tenggara pada tahun 1850 telah menjadi pasar
terpenting produk perikanan khususnya ikan kering (asin) dan terasi .
Merujuk pada data van der Eng, kontribusi perikanan terhadap total PDB
pada tahun 1880 dan 1890 mencapai di atas 2% atau tertinggi yang pernah
dicapai perikanan dari seluruh periode antara 1880-2002.
Pasang-surut perikanan tidak terlepas dari kebijakan pemerintah,
permasalahan ketersediaan sumberdaya, ekologi, ekonomi dan sosial.
Kebijakan monopoli garam oleh pemerintah dengan meningkatkan biaya sewa
dari f6.000 pada tahun 1904 menjadi f32,000 di tahun 1910 menghasilkan
stagnasi dan penurunan peran industri perikanan yang ditunjukkan oleh
penurunan ekspor dari 25.900 ton ikan kering di tahun 1904 menjadi
20.000 ton di tahun 1910. Tahun 1912 perikanan Bagan Si Api-Api telah
mengalami kemunduran berarti. Hal yang serupa dan permasalahan pajak dan
kredit juga terjadi di Jawa dan Madura. Permasalahan ekologi seperti
ekstraksi bakau dan pendangkalan perairan, serta menurunnya sumberdaya
ikan muncul dan mendorong perikanan bergerak lebih jauh dari pantai.
Pertumbuhan industri perikanan periode 1870an sampai 1930an oleh
Butcher disebut sebagai menangkap ikan lebih banyak dengan teknologi
yang sama. Periode ini diikuti oleh perubahan teknologi dan perluasan
daerah penangkapan sebagai akibat modernisasi perikanan dan semakin
langkanya ikan di daerah pinggir (1890an-1930an). Peran nelayan Jepang
dalam hal ini patut dicatat karena mereka masuk ke Indonesia dengan
profesi salah satunya sebagai nelayan. Butcher menilai nelayan-nelayan
ini datang dengan dukungan subsidi pemerintahan Meiji yang sedang giat
menggalakan industrialisasi. Teknologi perikanan yang lebih maju membuat
nelayan Jepang mendapat keuntungan yang lebih besar dari eksploitasi
sumberdaya ikan.
PENJAJAHAN BELANDA
Periode 1850-1966
adalah periode pelembagaan institusi-institusi yang menangani urusan
masyarakat bagi pemapanan penjajahan Belanda atas negeri Indonesia.
Begitu pula halnya dengan urusan-urusan masyarakat pantai yang
menyandarkan kegiatan ekonomi pada bidang kelautan. Pengembangan
kelautan dimulai pada 1911 dengan dibentuknya Bugerlijk Openbare Werken
yang berubah menjadi Departemen Verkeer en Waterstaat pada 1931. Kurun
waktu hingga kemerdekaan tercapai, merupakan fase pasang surut
pertumbuhan organisasi kelautan dalam struktur pemerintahan kolonial
maupun Republik Indonesia merdeka. Unit-unit warisan kolonial Belanda
inilah yang menjadi cikal bakal pembentukan kementerian yang mengelola
aspek kelautan di masa sekarang.
Lembaga yang menangani
kegiatan-kegiatan perikanan semasa pemerintahan kolonial Belanda masih
berada dalam lingkup Departemen van Landbouw, Nijverheid en handel yang
kemudian berubah menjadi Departemen van Ekonomische Zaken.
Kegiatan-kegiatan perikanan masa itu digolongkan sebagai kegiatan
pertanian. Meski demikian, terdapat suatu organisasi khusus yang
mengurusi kegiatan perikanan laut di bawah Departemen van Ekonomische
Zaken. Organisasi tersebut adalah Onderafdeling Zee Visserij dari
Afdeling Cooperatie en Binnenlandsche Handel. Sedangkan untuk
menyediakan kegiatan penelitian dan pengembangan perikanan laut terdapat
suatu institut penelitian pemerintah kolonial yang bernama Institut
voor de Zee Visserij. Pada masa ini juga telah ditetapkan UU Ordonansi
tentang batas laut Hindia Belanda melalui Territoriale Zee en Maritieme
Kringen Ordonantie 1939, yang menetapkan bahwa lebar laut wilayah Hindia
Belanda ditetapkan pada masing-masing pulau sampai sejauh 3 mil.
PENJAJAHAN JEPANG
Semasa pendudukan Jepang 1942-1945, Departemen van Ekonomische Zaken
berubah nama menjadi Gunseikanbu Sangyogu. Fungsi dan tugas departemen
ini tidak berubah dari fungsinya di zaman kolonial. Begitu pula halnya
dengan lembaga penelitian dan pengembangan, meski berubah nama menjadi
Kaiyoo Gyogyo Kenkyuzo dan berpusat di Jakarta tidak mengalami perubahan
fungsi. Bahkan, UU tentang batas laut pun tidak mengalami perubahan.
Namun yang perlu dicatat justru adalah pada masa pendudukan Jepang ini
terjadi perluasan lembaga-lembaga perikanan pemerintah. Pada masa ini,
di daerah-daerah dibentuk jawatan penerangan perikanan yang disebut
Suisan Shidozo. Di samping itu, pada masa ini terjadi penyatuan
perikanan darat dengan perikanan laut, walaupun tetap dimasukkan dalam
kegiatan pertanian.
MASA AWAL KEMERDEKAAN SAMPAI ORDE LAMA
Setelah proklamasi kemerdekaan nasional, pada kabinet presidensial
pertama, pemerintah membentuk Kementrian Kemakmuran Rakyat dengan
menterinya Mr. Syafruddin Prawiranegara. Pada kementerian ini dibentuk
Jawatan Perikanan yang mengurusi kegiatan-kegiatan perikanan darat dan
laut. Semenjak kabiner pertama terbentuk pada 2 September 1945 hingga
terbentuknya kabinet parlementer ketiga pada 3 Juli 1947, Jawatan
Perikanan tetap berada di bawah Koordinator Pertanian, di samping
Koordinator Perdagangan dan Koordinator Perindustrian dalam Kementrian
Kemakmuran Rakyat. Meskipun kemudian Kementrian Kemakmuran Rakyat
mengalami perubahan struktur organisasi akibat agresi militer Belanda I
dan II serta perpindahan ibukota negara ke Yogyakarta, jawatan perikanan
tetap menjadi subordinat pertanian. Pada masa itu, tepatnya 1 Januari
1948, Kementrian Kemakmuran Rakyat mengalami restrukturisasi dengan
menghapus koordinator-koordinator. Sebagai gantinya, ditunjuk lima
pegawai tinggi di bawah menteri, yakni Pegawai Tinggi Urusan
Perdagangan, Urusan Pertanian dan Kehewanan, Urusan Perkebunan dan
Kehutanan, serta Urusan Pendidikan. Jawatan Perikanan menjadi bagian
dari Urusan Pertanian dan Kehewanan.
Pada masa pengakuan
Kedaulatan RI 27 Desember 1949, Kementrian Kemakmuran Rakyat kemudian
dipecah menjadi dua kementerian, yaitu Kementrian Pertanian dan
Kementrian Perdagangan dan Perindustrian. Pada masa itulah Jawatan
Perikanan masuk ke dalam Kementrian Pertanian. Kementrian Pertanian pada
17 Maret 1951 mengalami perubahan susunan, yakni penunjukkan 3
koordinator yang menangani masalah Pertanian, Perkebunan dan Kehewanan.
Di bawah Koordinator Pertanian, dibentuk Jawatan Pertanian Rakyat.
Jawatan Perikanan pada masa itu telah berkembang menjadi Jawatan
Perikanan Laut, Kantor Perikanan Darat, Balai Penyelidikan Perikanan
Darat, dan Yayasan Perikanan Laut. Kesemua jawatan tersebut berada di
bawah Jawatan Pertanian Rakyat. Struktur ini tidak bertahan lama. Pada 9
April 1957, susunan Kementrian Pertanian mengalami perubahan lagi
dengan dibentuknya Direktorat Perikanan dan di bawah direktorat tersebut
jawatan-jawatan perikanan dikoordinasikan.
Jatuh bangunnya
kabinet semasa pemerintahan parlementer mengakibatkan Presiden Soekarno
menganggap bahwa sistem parlementer tidak cocok dengan kepribadian
bangsa Indonesia. Pada 5 Juli 1957, presiden mengeluarkan dekrit untuk
kembali pada UUD 1945. Istilah kementerian pada masa sebelum dekrit
berubah menjadi departemen dan posisi istilah direktorat kembali menjadi
jawatan. Pada 1962, terjadi penggabungan Departemen Pertanian dan
Departemen Agraria dan istilah direktorat digunakan kembali. Pada masa
kabinet presidensial paska dekrit, Direktorat Perikanan telah mengalami
perkembangan menjadi beberapa jawatan, yakni Jawatan Perikanan Darat,
Perikanan Laut, Lembaga Penelitian Perikanan Laut, Lembaga Penelitian
Perikanan Darat, Lembaga Pendidikan Usaha Perikanan dan BPU Perikani.
Kondisi politik dan keamanan yang belum stabil mengakibatkan pemerintah
merombak kembali susunan kabinet dan terbentuklah KABINET DWIKORA pada
1964. Pada Kabinet Dwikora ini, Departemen Pertanian mengalami
dekonstruksi menjadi 5 buah departemen dan pada kabinet ini terbentuk
Departemen Perikanan Darat/Laut di bawah Kompartemen Pertanian dan
Agraria. Pembentukan Departemen Perikanan Darat/Laut merupakan respon
pemerintah atas hasil Musyawarah Nelayan I yang menghasilkan rekomendasi
perlunya departemen khusus yang menangani pemikiran dan pengurusan
usaha meningkatkan pembangunan perikanan. Melalui pembentukan Kabinet
Dwikora yang Disempurnakan, Departemen Perikanan Darat/Laut tidak lagi
di bawah Kompartemen Pertanian dan Agraria melainkan mengalami reposisi
dan bernaung di bawah Kompartemen Maritim. Di bawah Kompartemen baru,
departemen tersebut mengalami perubahan nama menjadi Departemen
Perikanan dan Pengelolaan Kekayaan Laut. Keadaan ini tidak berlangsung
lama, pada 1965 terjadi pemberontakan Gerakan 30 September dan Kabinet
Dwikora diganti dengan Kabinet Ampera I pada 1966.
ORDE BARU : Terabaikan dan Dualisme Ekonomi Perikanan
Hill dalam studinya tentang ekonomi Indonesia sejak 1966 mencatat
berbagai keberhasilan orde baru seperti kemampuan memanfaatkan harga
minyak yang tinggi, pertumbuhan ekonomi yang berlanjut, perbaikan
pendidikan, kesehatan dan gizi, selain beberapa catatan tantangan bagi
masa depan.
Produksi perikanan meningkat dari 721 ribu ton pada
tahun 1966 menjadi 1,923 ribu ton pada 1986. Produksi ikan meningkat
menjadi 3.724 ribu ton tahun 1998. Setelah mengalami pertumbuhan negatif
dalam periode peralihan (1966-1967), laju pertumbuhan produksi
perikanan meningkat dari 3,5% (1968-1973) menjadi 5,3% per tahun
(1974-1978). Periode berikutnya pertumbuhan produksi perikanan cenderung
menurun. Produktivitas perikanan dalam era ini walaupun tumbuh dengan
laju yang berfluktuasi (khususnya kapal), secara nomimal meningkat dari
rata-rata 4,3 ton/kapal periode 1974-1978 menjadi 8,4 ton per kapal
periode 1994-1998.
Motorisasi perikanan merupakan salah satu
penyebab peningkatan produksi sektor ini. Tahun 1966 motorisasi hanya
meliputi 1.4% dari total armada perikanan sebanyak 239.900 unit, menjadi
5,8% pada tahun 1975, dan mencapai 16% dari total armada pada tahun
1980. Pada tahun 1998 armada perikanan bermotor telah mencapai 45,8%
dari total sebanyak 412.702 unit, namun data tahun ini menunjukkan hanya
21% berupa kapal motor (“inboard motor”), dan bagian terbesar adalah
perahu motor tempel dan perahu tanpa motor. Dengan demikian, basis
perikanan masih dominan di wilayah pantai.
Konflik antara
perikanan skala besar dan skala kecil mewarnai sejarah perikanan laut
orde baru sebagai akibat dualisme struktur perikanan. Dualisme perikanan
ditunjukkan oleh Bailey pada dua kasus penting yaitu introduksi trawl
dan purse seine dan pengembangan budidaya udang. Kasus trawl menguatkan
tesis Hardin tentang tragedi sumberdaya kepemilikan bersama. Ketika
nelayan skala kecil dengan produktivitas rendah (1,4-6,7 ton/unit alat)
semakin tersingkirkan oleh nelayan skala besar (trawl dan purse seine)
dengan produktivitas masing-masing mencapai 70,4 ton/unit dan 38
ton/unit di tahun 1980, respon nelayan skala kecil adalah melawan dengan
berbagai cara termasuk menggunakan bom molotov. Kondisi ini yang
mendorong pemerintah melarang penggunaan trawl secara bertahap melalui
Keppres 39/1980 yang diikuti Inpress 11/1982 dan SK Menteri Pertanian
No. 545/Kpts/Um/8/1982 tentang penghapusan jaring trawl di seluruh
perairan Indonesia terhitung mulai 1 Januari 1983.
REFORMASI : Harapan menjadi “Prime Mover”
Struktur perikanan laut di era terakhir ini juga belum banyak bergeser
dimana perikanan skala kecil masih dominan yang ditunjukkan oleh 75%
armada perikanan adalah perahu tanpa motor dan perahu motor tempel.
Produksi perikanan dalam periode 1999-2001 tumbuh 2,5% per tahun,
sedangkan armada perikanan mulai tumbuh terbatas yaitu di bawah 1% per
tahun. Pertumbuhan nelayan lebih tinggi dari armada perikanan dan
mendekati pertumbuhan produksi (2,1%).
Jika periode ini
dibandingkan periode sebelumnya (1994-1998), produksi perikanan tumbuh
lebih rendah (2,5%), demikian juga produktivitas kapal baik secara
nomimal maupun laju pertumbuhan. Rata-rata produktivitas perikanan
periode 1994-1998 mencapai 8,4 ton/kapal dan 1.7 ton/nelayan turun
menjadi 8,3 ton/kapal dan 1,5 ton/nelayan periode tahun 1999-2001. Laju
pertumbuhan produktivitas kapal mencapai 3,0% periode 1994-1998, turun
menjadi 1,6% periode 1999-2001.
Berdasarkan Nota Keuangan dan
APBN tahun 2000-2005, Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) perikanan
meningkat sangat pesat dari Rp 52 miliar pada tahun 2000 menjadi Rp 450
miliar pada tahun 2003. Dibanding tahun sebelumnya, PNBP 2004 turun
menjadi Rp 282,8 miliar (di bawah target Rp 450 miliar) dan diperkirakan
target PNBP sebesar Rp 700 miliar pada tahun 2005 juga tidak tercapai
karena belum optimalnya perjanjian bilateral dengan Cina, Filipina dan,
Thailand. Kondisi ini menjadi satu tantangan bagi sektor perikanan dan
kelautan untuk menjadi salah satu “the prime mover” atau “mainstream”
ekonomi nasional.
Untuk
kebutuhan Air Minum yang menyehatkan coba konsumsi Air Izaura Air yang terbukti dapat membantu proses
penyembuhan Kegemukan, Migran, Alergi, Sakit Maag, ASam Urat, Nyeri Sendi,
Sambelit, Sakit Pinggang, Osteiporosis, Reumatk, Kanker, Vertigo, Ashma,
Brinchitis, Darah Tinggi, Kencing Batu, Kolestrol, DIABetes, Jantung, Darah
Rendah, Jerawat', WAsir dan Batu Ginzal. Dan menghilangkan racun dalam tubuh.
Mau Sehat dan
Menyehatkan Minum Air Izaura
Mau Meraih Penghasilan Besar, Membantu Kesehatan Semua Orang dan Memiliki Bisnis Yang Mudah Anda Jalankan dengan Modal 350 ribu s.d 500 ribu.
Berminat Hub Mukhtar, A.Pi HP.
081342791003
|
Cari Kos Kosan di Kota Kendari ini
tempat
Kos Putri Salsabilla Kendari
Hub 081342791003 |
Berminat Hub
081342791003
|
Investasi Kavling Tanah Perumahan di
Griya Godo Permai yang merupakan Daerah Pengembangan Ibu Kota Kabupaten Bima
Nusa Tenggara Barat. Jarak hanya + 1 Kilo meter dari Kantor Bupati Kab. Bima
dan dari jalan utama hanya + 500 Meter.
Berminat Hub
081342791003
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar