JAKARTA - Nota kesepahaman (MoU) antara Indonesia dan
Malaysia terkait dengan pedoman bersama mengenai perlakuan terhadap
nelayan tradisional dari kedua belah pihak negara perlu dikaji karena
dinilai merugikan pihak Indonesia.
"MoU tersebut digunakan oleh kapal-kapal asing untuk terus melakukan praktek 'illegal fishing' dengan memakai bendera Malaysia," kata Pelaksana Tugas Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Abdul Halim, di Jakarta, Sabtu.
MoU tentang pedoman umum penanganan masalah laut perbatasan RI-Malaysia yang dimaksud itu ditandatangani di Nusa Dua, Bali, 27 Januari, oleh Pelaksana Harian Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) Indonesia Lakma TNI Y. Didik Heru Purnomo dan Sekretaris Majelis Keselamatan Negara Malaysia Dato Mohamed Thajudeen Abdul Wahab.
Dengan adanya MoU tersebut, maka aparat kedua negara tidak lagi melakukan penangkapan terhadap nelayan tradisional yang melakukan penangkapan ikan dalam batas-batas wilayah kedua negara karena para nelayan tradisional tersebut dinilai hanya memiliki kapal berukuran kecil tanpa navigasi yang memadai.
Menurut Abdul Halim, praktek illegal fishing dapat terjadi antara lain karena masih belum jelasnya tapal batas antara kedua negara, serta lemahnya aspek penegakan hukum di laut pasca-MoU.
Ia berpendapat, bila dipelajari isinya, MoU tersebut merupakan upaya maju pemerintah untuk melakukan perlindungan kepada nelayan Indonesia yang beroperasi di wilayah perbatasan.
"Sayangnya tidak secara khusus menekankan upaya mengatasi praktek 'illegal fishing' akibat belum sepahamnya tata batas perairan Indonesia-Malaysia," katanya.
Dengan demikian, menurut dia, praktek pencurian ikan ilegal justru semakin marak sehingga MoU itu perlu diikuti dengan perundingan berikutnya yakni terkait tapal batas.
Senada dengan Abdul Halim, mantan Dirjen Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan, Aji Sularso mengatakan, MoU Indonesia-Malaysia perlu dikaji ulang dan dilanjutkan dengan kemajuan untuk melakukan perundingan garis batas yang jelas antara kedua negara.
"Kalau tidak ada kemajuan terkait garis batas, maka seperti ada usaha untuk melanggengkan MoU sebagai tujuan akhir padahal harusnya tidak demikian," kata Aji Sularso.
Sementara itu, Menteri Kelautan dan Perikanan, Sharif Cicip Sutardjo di Pontianak, Jumat (11/4), mengatakan, pihaknya berencana menerapkan sertifikasi ikan asal Indonesia dengan mengadakan pertemuan bilateral dengan sejumlah negara-negara yang tergabung dalam ASEAN.
Hal tersebut, menurut Sharif Cicip Sutardjo, diperlukan untuk menekan maraknya kasus "illegal, unreported and unregulated" (IUU) fishing di kawasan perairan Indonesia.
"Kita akan duduk semeja untuk membahas sertifikasi ikan ini, agar negara-negara ASEAN juga ikut membantu dalam mengawasi serta dapat memberikan sanksi kepada nelayan atau pengusaha di negaranya seperti yang telah dilakukan Indonesia," kata Menteri Kelautan.(tk/ant)
"MoU tersebut digunakan oleh kapal-kapal asing untuk terus melakukan praktek 'illegal fishing' dengan memakai bendera Malaysia," kata Pelaksana Tugas Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Abdul Halim, di Jakarta, Sabtu.
MoU tentang pedoman umum penanganan masalah laut perbatasan RI-Malaysia yang dimaksud itu ditandatangani di Nusa Dua, Bali, 27 Januari, oleh Pelaksana Harian Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) Indonesia Lakma TNI Y. Didik Heru Purnomo dan Sekretaris Majelis Keselamatan Negara Malaysia Dato Mohamed Thajudeen Abdul Wahab.
Dengan adanya MoU tersebut, maka aparat kedua negara tidak lagi melakukan penangkapan terhadap nelayan tradisional yang melakukan penangkapan ikan dalam batas-batas wilayah kedua negara karena para nelayan tradisional tersebut dinilai hanya memiliki kapal berukuran kecil tanpa navigasi yang memadai.
Menurut Abdul Halim, praktek illegal fishing dapat terjadi antara lain karena masih belum jelasnya tapal batas antara kedua negara, serta lemahnya aspek penegakan hukum di laut pasca-MoU.
Ia berpendapat, bila dipelajari isinya, MoU tersebut merupakan upaya maju pemerintah untuk melakukan perlindungan kepada nelayan Indonesia yang beroperasi di wilayah perbatasan.
"Sayangnya tidak secara khusus menekankan upaya mengatasi praktek 'illegal fishing' akibat belum sepahamnya tata batas perairan Indonesia-Malaysia," katanya.
Dengan demikian, menurut dia, praktek pencurian ikan ilegal justru semakin marak sehingga MoU itu perlu diikuti dengan perundingan berikutnya yakni terkait tapal batas.
Senada dengan Abdul Halim, mantan Dirjen Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan, Aji Sularso mengatakan, MoU Indonesia-Malaysia perlu dikaji ulang dan dilanjutkan dengan kemajuan untuk melakukan perundingan garis batas yang jelas antara kedua negara.
"Kalau tidak ada kemajuan terkait garis batas, maka seperti ada usaha untuk melanggengkan MoU sebagai tujuan akhir padahal harusnya tidak demikian," kata Aji Sularso.
Sementara itu, Menteri Kelautan dan Perikanan, Sharif Cicip Sutardjo di Pontianak, Jumat (11/4), mengatakan, pihaknya berencana menerapkan sertifikasi ikan asal Indonesia dengan mengadakan pertemuan bilateral dengan sejumlah negara-negara yang tergabung dalam ASEAN.
Hal tersebut, menurut Sharif Cicip Sutardjo, diperlukan untuk menekan maraknya kasus "illegal, unreported and unregulated" (IUU) fishing di kawasan perairan Indonesia.
"Kita akan duduk semeja untuk membahas sertifikasi ikan ini, agar negara-negara ASEAN juga ikut membantu dalam mengawasi serta dapat memberikan sanksi kepada nelayan atau pengusaha di negaranya seperti yang telah dilakukan Indonesia," kata Menteri Kelautan.(tk/ant)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar