KKP Gagal Tangani Kasus Pencurian Ikan
JAKARTA - Kementerian Kelautan dan Perikanan dinilai
tidak serius menangani tindak pencurian ikan (illegal fishing).
Akibatnya, negara dirugikan 80 triliun rupiah selama dua tahun terakhir.
"Perhatian KKP dalam penanganan illegal fishing sangat minim. Jadi, tidak mengherankan jika tindak pencurian ikan semakin marak," kata Kepala Riset Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim, Suhana, kepada Koran Jakarta, Selasa (15/5).
Ketidakseriusan penanganan pencurian ikan, kata Suhana berdampak rendahnya kontribusi produksi perikanan di dalam negeri dalam menyuplai bahan baku industri. Akibatnya, KKP terpaksa menggulirkan industrialisasi berbasis bahan baku impor.
"Kalau pencurian ikan atau illegal fishing bisa ditekan, berarti tangkapan bisa kembali ke pasar. Selama ini, bahan baku untuk konsumsi dan industri meningkat dan belum terpenuhi. Akibat minimnya ketersediaan bahan baku, jangka pendek kita penuhi dari impor," kata Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP) KKP, Saut P Hutagalung.
Saut menyebut, sejak Januari hingga April 2012, realisasi impor mencapai 15 persen dari kuota impor tahun 2012 yang 600 ribu ton. Kuota impor tersebut meningkat 200 ribu ton dibandingkan tahun lalu yang hanya 400 ribu ton. Jadi, tantanganya, kata Saut, jika pencurian ikan bisa ditekan, ketersediaan bahan baku meningkat.
Berdasarkan data Organisasi Pangan Dunia (FAO), rata-rata potensi kerugian negara dari tindakan illegal fishing mencapai 30 triliun rupiah. Jika satu kilogram ikan dihargai 10 ribu rupiah, volume tangkapan ikan yang dicuri per tahun setara tiga juta ton.
Angka pencurian tersebut cukup besar. Pasalnya, tahun ini saja potensi hasil tangkapan perikanan hanya 5,2 juta ton. Dari jumlah tangkapan tersebut, kata Saut, rata-rata hanya 80 persen yang bisa digunakan untuk bahan baku industri pengolahan, sementara 20 persen tidak bisa dijadikan bahan baku karena kualitas yang tidak memenuh standar. Bahkan untuk lokasi penangkapan yang jauh dari fasilitas pengolahan, hasil tangkapan yang bisa digunakan untuk bahan baku industri hanya 70 persen.
"Jadi, kapasitas produksi industri pengolahan saat ini rata-rata hanya 50–60. Karena kurang bahan baku, ya kita penuhi dari impor. Dari total impor 600 ribu ton, 35 persen impornya berupa tepung ikan dan sisanya impor untuk jenis ikan makarel, lemuru, dan sarden," ungkap dia.
Lebih lanjut, Saut menyebut jika pengawasan dan penanganan pencurian ikan lebih efisien dan intensif, ketersediaan ikan untuk bahan baku industri akan meningkat.
Selain itu, produksi perikanan budi daya harus ditingkatkan karena sejauh ini target peningkatan produksi 38 persen di tahun 2014 sulit direalisasikan. Bahkan permintaan konsumsi dan bahan baku industri saat ini lebih cepat dibandingkan angka peningkatan produksi.
"Kenaikan produksi kita tidak cukup untuk mengejar permintaan bahan baku industri. Buktinya, tahun ini impornya naik dari 400 ribu menjadi 600 ribu ton," jelas dia.
Jadi, ke depan, jika penanganan illegal fishing belum maksimal, ketersediaan bahan baku industri perikanan sulit dipenuhi, dan efeknya, penyerapan tenaga kerja di pengolahan perikanan tidak maksimal.
Tunggu Laporan
Terkait dengan itu, Menteri Kelautan dan Perikanan, Sharif Cicip Sutardjo, mengatakan pihaknya masih menunggu laporan mengenai pencurian ikan dari Dirjen Pengawasan Sumber Daya Perikanan (PSDKP). Hingga saat ini, data mengenai pencurian ikan masih bermasalah dan tidak sinkron.
"Kita banyak mendapatkan laporan, dan kita juga sudah banyak menangkap pencurian ikan. Kita memiliki potensi tangkapan dengan populasi ikan 6,4 juta ton, kuota tangkapannya 5,4 juta ton. Kalau memang potensi itu benar, masih bisa mengejar itu. Tetapi memang masalah kita itu soal data," ujar dia.
Sebelumnya, Ketua Mahkamah Agung, M Hatta Ali, mengatakan dari tindak pidana yang sedang ditangani pengadilan perikanan dua tahun terakhir yang berjumlah 204 kasus, di antaranya terjadi pada 2010 sebanyak 138 kasus dan pada 2011 sebanyak 66 kasus.
"Sebanyak 196 perkara di antaranya telah ditangani di pengadilan perikanan baru. Kerugiannya ditaksir mencapai 80 triliun rupiah," tegas dia. aan/E-3
"Perhatian KKP dalam penanganan illegal fishing sangat minim. Jadi, tidak mengherankan jika tindak pencurian ikan semakin marak," kata Kepala Riset Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim, Suhana, kepada Koran Jakarta, Selasa (15/5).
Ketidakseriusan penanganan pencurian ikan, kata Suhana berdampak rendahnya kontribusi produksi perikanan di dalam negeri dalam menyuplai bahan baku industri. Akibatnya, KKP terpaksa menggulirkan industrialisasi berbasis bahan baku impor.
"Kalau pencurian ikan atau illegal fishing bisa ditekan, berarti tangkapan bisa kembali ke pasar. Selama ini, bahan baku untuk konsumsi dan industri meningkat dan belum terpenuhi. Akibat minimnya ketersediaan bahan baku, jangka pendek kita penuhi dari impor," kata Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP) KKP, Saut P Hutagalung.
Saut menyebut, sejak Januari hingga April 2012, realisasi impor mencapai 15 persen dari kuota impor tahun 2012 yang 600 ribu ton. Kuota impor tersebut meningkat 200 ribu ton dibandingkan tahun lalu yang hanya 400 ribu ton. Jadi, tantanganya, kata Saut, jika pencurian ikan bisa ditekan, ketersediaan bahan baku meningkat.
Berdasarkan data Organisasi Pangan Dunia (FAO), rata-rata potensi kerugian negara dari tindakan illegal fishing mencapai 30 triliun rupiah. Jika satu kilogram ikan dihargai 10 ribu rupiah, volume tangkapan ikan yang dicuri per tahun setara tiga juta ton.
Angka pencurian tersebut cukup besar. Pasalnya, tahun ini saja potensi hasil tangkapan perikanan hanya 5,2 juta ton. Dari jumlah tangkapan tersebut, kata Saut, rata-rata hanya 80 persen yang bisa digunakan untuk bahan baku industri pengolahan, sementara 20 persen tidak bisa dijadikan bahan baku karena kualitas yang tidak memenuh standar. Bahkan untuk lokasi penangkapan yang jauh dari fasilitas pengolahan, hasil tangkapan yang bisa digunakan untuk bahan baku industri hanya 70 persen.
"Jadi, kapasitas produksi industri pengolahan saat ini rata-rata hanya 50–60. Karena kurang bahan baku, ya kita penuhi dari impor. Dari total impor 600 ribu ton, 35 persen impornya berupa tepung ikan dan sisanya impor untuk jenis ikan makarel, lemuru, dan sarden," ungkap dia.
Lebih lanjut, Saut menyebut jika pengawasan dan penanganan pencurian ikan lebih efisien dan intensif, ketersediaan ikan untuk bahan baku industri akan meningkat.
Selain itu, produksi perikanan budi daya harus ditingkatkan karena sejauh ini target peningkatan produksi 38 persen di tahun 2014 sulit direalisasikan. Bahkan permintaan konsumsi dan bahan baku industri saat ini lebih cepat dibandingkan angka peningkatan produksi.
"Kenaikan produksi kita tidak cukup untuk mengejar permintaan bahan baku industri. Buktinya, tahun ini impornya naik dari 400 ribu menjadi 600 ribu ton," jelas dia.
Jadi, ke depan, jika penanganan illegal fishing belum maksimal, ketersediaan bahan baku industri perikanan sulit dipenuhi, dan efeknya, penyerapan tenaga kerja di pengolahan perikanan tidak maksimal.
Tunggu Laporan
Terkait dengan itu, Menteri Kelautan dan Perikanan, Sharif Cicip Sutardjo, mengatakan pihaknya masih menunggu laporan mengenai pencurian ikan dari Dirjen Pengawasan Sumber Daya Perikanan (PSDKP). Hingga saat ini, data mengenai pencurian ikan masih bermasalah dan tidak sinkron.
"Kita banyak mendapatkan laporan, dan kita juga sudah banyak menangkap pencurian ikan. Kita memiliki potensi tangkapan dengan populasi ikan 6,4 juta ton, kuota tangkapannya 5,4 juta ton. Kalau memang potensi itu benar, masih bisa mengejar itu. Tetapi memang masalah kita itu soal data," ujar dia.
Sebelumnya, Ketua Mahkamah Agung, M Hatta Ali, mengatakan dari tindak pidana yang sedang ditangani pengadilan perikanan dua tahun terakhir yang berjumlah 204 kasus, di antaranya terjadi pada 2010 sebanyak 138 kasus dan pada 2011 sebanyak 66 kasus.
"Sebanyak 196 perkara di antaranya telah ditangani di pengadilan perikanan baru. Kerugiannya ditaksir mencapai 80 triliun rupiah," tegas dia. aan/E-3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar