14 Mei, 2012

Dan Dilaut Kita (Bisa) Berjaya…

Oleh : Muhaimin Iqbal 
 
Salah satu pengunjung rutin situs ini adalah seorang geo-saintis yang subhanallah luas ilmunya, beliau adalah Bpk Agus S Djamil yang sejak 14 tahun lalu (1998) bekerja  di Jabatan Perdana Menteri Negara Brunei Darussalam. Pekan lalu beliau memecahkan rekor ASEAN atau bahkan mungkin dunia, yaitu meluncurkan sekaligus 8 judul buku dalam dua bahasa. Dua diantaranya dikirimkan langsung oleh beliau ke saya dan satu diantaranya sudah sempat saya baca. Saya sarikan buku yang sudah sempat saya baca ini sebagai bahan tulisan pagi ini dengan seijin beliau.

Buku yang sudah saya baca ini berjudul “Serial Al-Qur’an dan Lautan : Pergeseran Paradigm Ke Laut”. Setelah membaca ini saya merasa kuper dengan kekayaan dan potensi yang luar biasa di lautan – yang mayoritas kita bahkan mungkin tidak pernah membayangkan sebelumnya.

Karena kita ‘orang daratan’ pikiran kita dibelenggu dengan konsep daratan ini, Sehingga berkah berupa negeri kepualuan – kita pandang sebagai masalah. Bahwa Sumatra, Madura, Bali, Kalimantan dlsb. dipisahkan oleh lautan dari  Pulai Jawa – seolah menjadi kendala dalam pengelolaan ekonomi negeri ini.  Kita sibuk berusaha memecahkannya dengan membuat jembatan yang sangat mahal dlsb., kita lupa bahwa justru dengan pemisah lautan tersebutlah bisa jadi  terletak potensinya.

Keribetan ini tidak lain hanyalah karena mindset daratan yang ada di kita, bayangkan dengan ilustrasi sederhana berikut : Lebih mudah mana memindahkan sejumlah besar barang, lewat darat atau lewat laut ?.


Daratan berkontur, sehingga perjalanan di darat tidak bisa menempuh garis lurus. Dibutuhkan daya dorong/energy lebih banyak dan memerlukan infrastruktur yang mahal seperti jalan dan jembatan.

Laut tidak berkontur, permukaannya rata dari ujung ke ujung. Perjalanan laut bisa ditempuh dengan garis lurus. Bobot barang lebih ringan di atas air laut, perjalanan laut bahkan bisa mengikuti arus sehingga kebutuhan energy bisa diminimize. Disamping juga tidak dibutuhkan infrastruktur yang mahal untuk pemanfaatannya.

Karena efisiensi jalur laut inilah maka transportasi salah satu kebutuhan pokok masyarakat dunia yaitu energy seperti minyak dan gas ditransportasikan melalui laut. Dalam hal transportasi minyak dunia ini misalnya, Indonesia memiliki posisi yang amat sangat strategis karena bersama Malaysia dan Singapura kita memiliki selat Malaka.

Melalui Selat Malaka inilah sekitar 10 juta barrel minyak mentah dikirim setiap hari, dan ini kurang lebih setara dengan 1/3 dari seluruh minyak mentah yang dikapalkan di seluruh dunia setiap harinya.

Tidak terbatas pada sektor transportasi saja kita bisa berjaya bila kita bisa mengelola laut ini dengan optimal. Sejumlah sektor lain seperti pangan, sandang, papan dlsb. akan tiba-tiba memiliki begitu banyak pilihan baru – setelah paradigm kita bergeser ke paradigma kelautan.

Untuk pangan misalnya, selama ini kita ubek-ubek daratan untuk menghasilkan bahan pangan berupa biji-bijian, daging, sayur , beras dlsb. Dengan paradigma kelautan kita bisa menambah sumber pangan ini dari algae, agar-agar selain tentu saja ikan yang sampai sekarang masih banyak dicuri orang.

Untuk sandang selama ini kita mengimpor 99.5% kapas yang kita gunakan untuk pakaian dan keperluan lainnya, padahal kita bisa menggunakan berbagai sumber laut untuk dapat menggantikannya. Ada polyester dari gas alam & nafta, ada pulp dari rumput laut, ada kelp untuk menggantikan kebutuhan serat dlsb.

Untuk papan selama ini 60% penduduk berebut di tanah sempit pulau Jawa sementara pulau-pulau lain yang subur dan kaya dengan sumber daya alam tidak banyak dilirik. Aset daratan kita hanya 30% sedangkan lautan mencapai 70%, tidak berarti kita akan tinggal di laut – tetapi dengan melihat yang 70% lautan ini sebagai potensi besar kita – maka tidak menjadi masalah kita tinggal di mana saja di ujung-ujung lautan itu.

Karena mindset kita rejeki adanya di daratan dan khususnya di Pulau Jawa – lebih khusus lagi di Jakarta dan sekitarnya, maka terjadi konsentrasi penduduk yang luar biasa di Jakarta dan sekitarnya.

Bayangkan sekarang kalau mindset kelautan ini yang kita kembangkan, kita menjadi memiliki keunggulan yang unique yang tidak dimiliki negara lain. Bila Singapore yang hanya memiliki sebagian kecil saja dari Selat Malaka bisa begitu diuntungkannya - bahkan konon Singapore bisa hancur bila terjadi sesuatu sehingga Selat Malaka tidak bisa dilalui oleh kapal-kapal cargo lagi, maka mengapa tidak kita yang memiliki bagian terpanjang dari Selat Malaka ini yang menguasai perdagangan dunia ?.

Bahkan bila-pun harus terjadi sesuatu di Selat Malaka sehingga tidak bisa lagi dilalui oleh kapal-kapal cargo; maka siapa yang memiliki alternative rutenya ? Hanya Indonesia yang memiliki alternative pengganti rutenya – yaitu Selat Sunda dan Selat Lombok.


Mudah-mudahan orang seperti Bapak Agus Djamil ini mau pulang ke negeri ini di tahun 2014, sehingga ketika Indonesia memiliki presiden yang berwawasan luas bisa mengangkat beliau jadi menteri kelautan, ketua Bapennas, menteri teknologi atau posisi strategic lainnya – yang bisa membangun Indonesia dari sisi lain yang selama ini mungkin belum terpikirkan. InsyaAllah.

Tidak ada komentar: