Oleh : Muhaimin Iqbal
Salah satu pengunjung rutin situs ini adalah seorang geo-saintis yang subhanallah luas ilmunya, beliau adalah Bpk Agus S Djamil yang sejak 14 tahun lalu (1998) bekerja di
Jabatan Perdana Menteri Negara Brunei Darussalam. Pekan lalu beliau
memecahkan rekor ASEAN atau bahkan mungkin dunia, yaitu meluncurkan
sekaligus 8 judul buku dalam dua bahasa. Dua diantaranya dikirimkan
langsung oleh beliau ke saya dan satu diantaranya sudah sempat saya
baca. Saya sarikan buku yang sudah sempat saya baca ini sebagai bahan
tulisan pagi ini dengan seijin beliau.
Buku yang sudah saya baca ini berjudul “Serial Al-Qur’an dan Lautan : Pergeseran Paradigm Ke Laut”.
Setelah membaca ini saya merasa kuper dengan kekayaan dan potensi yang
luar biasa di lautan – yang mayoritas kita bahkan mungkin tidak pernah
membayangkan sebelumnya.
Karena
kita ‘orang daratan’ pikiran kita dibelenggu dengan konsep daratan ini,
Sehingga berkah berupa negeri kepualuan – kita pandang sebagai masalah.
Bahwa Sumatra, Madura, Bali, Kalimantan dlsb. dipisahkan oleh lautan
dari Pulai Jawa – seolah menjadi kendala dalam pengelolaan ekonomi negeri ini. Kita
sibuk berusaha memecahkannya dengan membuat jembatan yang sangat mahal
dlsb., kita lupa bahwa justru dengan pemisah lautan tersebutlah bisa
jadi terletak potensinya.
Keribetan
ini tidak lain hanyalah karena mindset daratan yang ada di kita,
bayangkan dengan ilustrasi sederhana berikut : Lebih mudah mana
memindahkan sejumlah besar barang, lewat darat atau lewat laut ?.
Daratan
berkontur, sehingga perjalanan di darat tidak bisa menempuh garis
lurus. Dibutuhkan daya dorong/energy lebih banyak dan memerlukan
infrastruktur yang mahal seperti jalan dan jembatan.
Laut
tidak berkontur, permukaannya rata dari ujung ke ujung. Perjalanan laut
bisa ditempuh dengan garis lurus. Bobot barang lebih ringan di atas air
laut, perjalanan laut bahkan bisa mengikuti arus sehingga kebutuhan
energy bisa diminimize. Disamping juga tidak dibutuhkan infrastruktur
yang mahal untuk pemanfaatannya.
Karena
efisiensi jalur laut inilah maka transportasi salah satu kebutuhan
pokok masyarakat dunia yaitu energy seperti minyak dan gas
ditransportasikan melalui laut. Dalam hal transportasi minyak dunia ini
misalnya, Indonesia memiliki posisi yang amat sangat strategis karena
bersama Malaysia dan Singapura kita memiliki selat Malaka.
Melalui
Selat Malaka inilah sekitar 10 juta barrel minyak mentah dikirim setiap
hari, dan ini kurang lebih setara dengan 1/3 dari seluruh minyak mentah
yang dikapalkan di seluruh dunia setiap harinya.
Tidak
terbatas pada sektor transportasi saja kita bisa berjaya bila kita bisa
mengelola laut ini dengan optimal. Sejumlah sektor lain seperti pangan,
sandang, papan dlsb. akan tiba-tiba memiliki begitu banyak pilihan baru
– setelah paradigm kita bergeser ke paradigma kelautan.
Untuk pangan misalnya, selama ini kita ubek-ubek
daratan untuk menghasilkan bahan pangan berupa biji-bijian, daging,
sayur , beras dlsb. Dengan paradigma kelautan kita bisa menambah sumber
pangan ini dari algae, agar-agar selain tentu saja ikan yang sampai
sekarang masih banyak dicuri orang.
Untuk
sandang selama ini kita mengimpor 99.5% kapas yang kita gunakan untuk
pakaian dan keperluan lainnya, padahal kita bisa menggunakan berbagai
sumber laut untuk dapat menggantikannya. Ada polyester dari gas alam
& nafta, ada pulp dari rumput laut, ada kelp untuk menggantikan kebutuhan serat dlsb.
Untuk
papan selama ini 60% penduduk berebut di tanah sempit pulau Jawa
sementara pulau-pulau lain yang subur dan kaya dengan sumber daya alam
tidak banyak dilirik. Aset daratan kita hanya 30% sedangkan lautan
mencapai 70%, tidak berarti kita akan tinggal di laut – tetapi dengan
melihat yang 70% lautan ini sebagai potensi besar kita – maka tidak
menjadi masalah kita tinggal di mana saja di ujung-ujung lautan itu.
Karena mindset
kita rejeki adanya di daratan dan khususnya di Pulau Jawa – lebih
khusus lagi di Jakarta dan sekitarnya, maka terjadi konsentrasi penduduk
yang luar biasa di Jakarta dan sekitarnya.
Bayangkan sekarang kalau mindset kelautan ini yang kita kembangkan, kita menjadi memiliki keunggulan yang unique yang tidak dimiliki negara lain. Bila
Singapore yang hanya memiliki sebagian kecil saja dari Selat Malaka
bisa begitu diuntungkannya - bahkan konon Singapore bisa hancur bila
terjadi sesuatu sehingga Selat Malaka tidak bisa dilalui oleh
kapal-kapal cargo lagi, maka mengapa tidak kita yang memiliki bagian
terpanjang dari Selat Malaka ini yang menguasai perdagangan dunia ?.
Bahkan
bila-pun harus terjadi sesuatu di Selat Malaka sehingga tidak bisa lagi
dilalui oleh kapal-kapal cargo; maka siapa yang memiliki alternative
rutenya ? Hanya Indonesia yang memiliki alternative pengganti rutenya –
yaitu Selat Sunda dan Selat Lombok.
Mudah-mudahan
orang seperti Bapak Agus Djamil ini mau pulang ke negeri ini di tahun
2014, sehingga ketika Indonesia memiliki presiden yang berwawasan luas
bisa mengangkat beliau jadi menteri kelautan, ketua Bapennas, menteri
teknologi atau posisi strategic lainnya – yang bisa membangun Indonesia
dari sisi lain yang selama ini mungkin belum terpikirkan. InsyaAllah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar