15 Mei, 2011

TUNA BLAST FISHING

( identifikasi penangkapan tuna dengan bom )

Oleh : Didik Ristanto, SH. & Simon Sanga Pain, SH

( Pengawas dan PPNS Perikanan lingkup Pangkalan PSDKP Jakarta )







Insentif nilai ekonomi

Tuna merupakan spesies ikan ekonomis tinggi yang hingga saat ini menjadi ikan target buruan utama (prime target) tentu saja karena nilai ekonomi. Ikan tuna ( thunnus sp ) yang terdiri dari banyak spesies dari yang biasa kita kenal, seperti tongkol, cakalang, madidihang, albakora, mata besar sampai pada tuna sirip biru atau blue fin tuna yang sangat mahal, konon jenis ini di Jepang harga satu ekor grade sashimi kelas satu sama dengan harga sebuah mobil mercy. Karena nilai ekonomi pula maka spesies yang bersifat highly migratory atau beruaya lintas samudera ini banyak menjadi sumber sengketa sekaligus praktek illegal fishing. Dan perlu dicatat banyak negara dengan MCS yang maju sering melakukan hot pursuit terhadap armada kapal long liner asing yang melakukan pencurian ikan jenis ini.

Akhirnya masyarakat internasional pun turun tangan dengan membentuk organisasi perikanan regional (Regional Fisheries Management Organisation) seperti CCSBT dan IOTC yang sangat berkepentingan dan kita cepat atau lambat ”dipaksa” untuk mengikuti agenda global tersebut. Kita pun dituntut untuk melakukan pengawasan di ZEE disamping pengawasan di laut teritorial kita sendiri dari tindak pencurian ikan maupun pengrusakan lingkungan perairan tersebut.

Penangkapan dan penggunaan bom

Pelaku penangkapan tuna ini terdiri dari nelayan tradisional dengan pancing tangan (hand line) maupun rawai tuna (long line) baik skala kecil maupun industri. Hand line banyak dilakukan oleh nelayan di bagian timur yaitu Banda, Maluku, Papua dan Flores. Sementara armada long line skala menengah dan besar banyak terkonsentrasi di pelabuhan Benoa Bali dan Muara Baru Jakarta. Ada juga metode lain yaitu dengan purse seine yang biasanya dengan mengandalkan alat bantu rumpon (fish aggregation device) terutama untuk jenis tuna cakalang di Indonesia timur dan Laut selatan.

Namun dalam kurun beberapa dekade berlangsung, ada yang luput dari perhatian kita yaitu penggunaan bom ikan untuk menangkap tuna, selama ini kita kenal bom sering digunakan untuk menangkap jenis ikan karang. Dari hasil identifikasi ternyata modus seperti ini sering terjadi di daerah terpencil yang kaya sumberdaya ikan namun kurang infrastruktur pengawasannya. Salah satu daerah yang menjadi locus delicti adalah perairan Flores Timur.

Kabupaten Flores Timur merupakan kabupaten kepulauan yang terdiri dari 3 (tiga) buah pulau besar termasuk pulau Flores bagian Timur dan 10 (sepuluh) buah gugusan pulau-pulau kecil disekitarnya. Secara geografis, Kabupaten Flores Timur terletak pada 8004’ - 8040’ LS dan 122038’ - 123020’ BT. Karena letaknya yang jauh dan kondisi laut Sawu yang bergelombang besar, maka ini menjadi insentif bagi pelaku illegal untuk menjalankan operasinya. Menurut MRAG (1995) dan Legallic (2004) pelaku illegal fishing akan selalu menjajagi variabel ekonomi yang ada, artinya ongkos yang dikeluarkan untuk melakukan kegiatan ilegal (termasuk pengadaan bom ikan, biaya menghindar, biaya sogokan apabila mungkin) berbanding lurus dengan hasil tangkapannya ( illegal yield ). Salah satu komponen yang dijajagi adalah pengawasan atau enforcement dan kontroling perijinan, apabila lemah maka akan menjadi insentif untuk tetap beroperasi.

Kasus di Flores Timur

Terjadinya pengrusakan sumber daya laut karena penggunaan bahan peledak terhadap ikan demersal dan ikan pelagis besar (Tuna & Cakalang) dan racun untuk menangkap ikan, pengambilan terumbu karang dan penebangan bakau. Sering terjadi secara kontinyu para nelayan Kecamatan Solor Timur (Desa Watobuku, Watohari, Motonwutun) Solor Barat (Desa Selewaseng, Kelike, Pulau Tiga) yang terletak dilaut Sawu melakukan penangkapan ikan Tuna dengan berat 50-150 Kg menggunakan bahan peledak, rata-rata hasil ikan Tuna hasil bom adalah 158 ekor perhari. (Simon, 2009.)

Tindak Pidana perikanan dalam tahun 2009 sebanyak 8 kasus, 5 kasus tindak pidana perikanan berupa penangkapan ikan Tuna dengan bahan peledak telah diproses secara hukum dan telah memiliki hukum tetap berdasarkan keputusan pengadilan sedangkan 3 kasus yang lain berupa pelanggaran administrasi.

Jumlah armada kapal penangkapan dan kapal pengangkutan pada tahun 2009 mencapai 70 unit kapal yang terdiri dari 30 GT sebanyak 18 kapal, 200 GT sebanyak 8 kapal sedangkan 5 GT s/d 29 GT sebanyak 44 kapal. Yang aneh adalah banyaknya kapal penangkut yang tidak mempunyai armada penangkap seperti long line namun hampir dipastikan membawa tangkapan tuna. Hal ini disinyalir merupakan hasil tangkpan dengan cara mengebom.

Pada bulan Juli Tahun 2010 penangkapan terhadap kapal KM. Mas 05 sebagai kapal yang menampung ikan Tuna hasil Bom, proses hukum dan putuisan pengadilan 1 ( satu ) terhadap tersangka. Pada September 2010 penangkapan yang dilakukan oleh Satker PSDKP bersama pihak kepolisian terhadap kapal penampung ikan Tuna Bom Terbit 01 di perairan Motunwutun Solor Timur ikan tuna sebanyak 55 ekor, dan kasus ini telah disidangkan dan tersangka dihukum 2 Tahun penjara.

Yang menarik adalah hampir di daerah-daerah yang rawan tersebut tidak ditemukan modus perakitan atau bahan-bahan pembuat bom, hasil identifikasi menunjukkan bahwa jalur distribusi bahan bom adalah berpangkal dari Manila – Singapore – Johor – Batam – Maumere, kemudian distribusi diteruskan ke Larantuka melalui desa Nangahale dan Pemana kemudian jam 3 malam dipasok ke Lamahala dan Matonwutun. Diduga perakitan ini dilakukan pada malam hari dengan tenaga yang berpengalaman. Sedang kapal yang digunakan adalah kapal kayu berdimensi panjang 8 meter lebar 1,5 meter dengan kekuatan mesin 25 PK. ABK terdiri dari 7 orang dengan operator bom 5 orang 1 fishing master dan nakhoda juru mudi 1 orang ( Simon, 2010).

Kendala yang dihadapi

Walaupun pengawasan terhadap modus penangkapan tuna dengan bom tersebut telah dilakukan baik oleh lembaga Satker PSDKP maupun masyarakat setempat melalui POKMASWAS, dan beberapa pelaku dan alat bukti bom telah berhasil di sita, namun dengan terbatasnya jumlah SDM Pengawas maupun Pokmaswas yang hanya sekitar 200 orang dibandingkan dengan luas wilayah yang dihadapi ternyata belum sebanding. Sarana kapal patroli yang minim menyebabkan sulitnya menangkap basah para pelaku di laut. Ikan hasil tangkapan sangat sulit dibuktikan bahwa ikan adalah hasil peledakan, hal ini karena belum tersedianya laboratorium penguji dengan parameter baku. Yang lebih penting lagi adalah adanya kontrol yang rasional terhadap penerbitan ijin khususnya kapal pengangkut baik ijin pusat maupun daerah. Namun demikian menurut pak Simon ( Kepala Satker PSDKP Larantuka ) semangat untuk melindungi sumberdaya ikan yang kaya di wilayah Flores Timur tidak pernah padam, demi Indonesia tanah air beta.


Jenis tuna yellow fin atau madidihang hasil penangkapan dengan bom ikan.


Pengejaran terhadap kapal pelaku pengeboman yang lari dan berhasil di tangkap

Barang bukti bahan bom dan hasil rakitan yang siap digunakan berhasil di sita.



Sumber Majalah Barracuda III/2010 Hal 44 - 47

Tidak ada komentar: