PANGKAL PINANG, - Konsep reklamasi untuk penambangan timah di laut belum jelas. Padahal, penambangan di laut sudah berjalan 100 tahun.
Gubernur Kepulauan Bangka Belitung Eko Maulana Ali menjelaskan, reklamasi penambangan di laut memanfaatkan arus laut. Pasir dari kapal keruk dan kapal hisap akan dibawa arus kembali ke tempat penggalian.
Penambangan di laut dengan di darat berbeda. Pasir dari kapal tidak ke mana-mana, tetap di lokasi. Pasir sisa pengerukan biasanya dibuang hanya beberapa meter dari lokasi pengerukan. Berbeda dengan penambangan di darat yang harus memindahkan pasir ke tempat lain. Akibatnya, tercipta lubang-lubang sisa penambangan.
"Dengan teknologi sekarang, penambangan di laut lebih ramah lingkungan. Memang ada dampaknya, tetapi harus disadari juga manfaatnya bagi masyarakat," kata Eko, di sela pembukaan Peringatan 100 Tahun Teknologi Penambangan di Laut, Selasa (26/4/2011) di Pangkal Pinang.
Menurut Eko, reklamasi memang sepenuhnya tanggung jawab perusahaan yang mendapat konsesi penambangan. Pemerintah hanya mengawasi reklamasi. "Reklamasi di darat, memang belum semua sesuai harapan. Salah satu kendalanya, areal yang sudah direklamasi malah ditambang lagi oleh sekelompok masyarakat untuk mengambil sisa-sisa timah," katanya.
Sementara itu, Direktur Utama PT Timah Wachid Usman tidak menjawab secara tegas konsep reklamasi di laut. Ia hanya menyatakan, teknologi penambangan laut berbeda dengan ketika aktivitas itu dimulai 100 tahun lalu.
Penambangan timah laut di Indonesia dimulai dengan pengoperasian kapal keruk Dabo di perairan Singkep, yang sekarang masuk Kepulauan Riau, pada tahun 1911. Kapal keruk itu hanya mampu menggali sedalam sembilan meter. Akibatnya, aktivitas harus dekat pantai. "Sekarang, kapal keruk dan kapal hisap mampu menggali lebih dalam. Jadi, penambangan bisa dilakukan jauh ke laut lepas," ujarnya.
Saat ini terdapat 11 kapal keruk dan 55 kapal hisap beroperasi di sekitar Bangka Belitung. Sebagian kapal hisap dioperasikan perusahaan yang menjadi mitra PT Timah. Pola kemitraan itu akan berlangsung sampai tahun depan.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Bangka Belitung, Ratno Budi mengatakan, dampak penambangan di laut memang bukan lubang tambang seperti di darat. Penambangan di laut menyebabkan kerusakan terumbu karang dan habitat aneka biota laut. "Terumbu karang rusak karena terkeruk. Sebagian juga mati karena tertutup pasir yang hanyut dari lokasi penambangan," ungkap Ratno.
Kematian terumbu karang akibat tutupan pasir itu bisa terjadi jauh dari lokasi kapal keruk dan kapal hisap beraktivitas. Arus laut membawa pasir dan menutup terumbu karang. "Kematian terumbu karang akan membawa efek berantai pada ekosistem laut," ujar Ratno.
Sumber : Kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar