29 April, 2011

IMPOR IKAN: ANTARA KEBUTUHAN DAN PERLINDUNGAN NELAYAN

Oleh: Arif Sujoko*)

Satu bulan terakhir berita mengenai impor ikan ”ilegal” mendominasi pemberitaan tentang kelautan dan perikanan. Dalam tema ini, sepertinya terjadi titik temu antara pemerintah dengan LSM bahwa impor ikan itu seharusnya dilarang. Kalau kita identifikasi dari pemberitaan yang ada, setidaknya terdapat dua alasan utama larangan impor, yaitu: keamanan untuk dikonsumsi dan perlindungan nelayan.

Dengan dua alasan tersebut, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengambil kebijakan izin impor bagi sebagian perusahaan pengolahan dan keperluan pasar domestik untuk ikan yang tidak tersedia di Indonesia. Alasan keamanan untuk dikonsumsi, kalau memang demikian adanya, tentu sangat tepat bahkan KKP harus lebih tegas lagi mensyaratkan berbagai ketentuan yang harus dipenuhi oleh negara eksportir persis seperti Uni Eropa memaksa kita menghabiskan milyaran rupiah untuk menyediakan produk ikan yang aman bagi mereka. Sedangkan alasan perlindungan nelayan perlu penelaahan yang lebih rasional dan tetap bijaksana dalam kerangka perekonomian bangsa.

Dasar Perekonomian Bangsa

Apakah kebijakan impor yang diambil KKP tersebut tepat ditinjau dari alasan dan kebijakannya sendiri? Untuk mendiskusikannya kita perlu mengenali bahwa kebijakan impor ikan tidak lepas dari dasar perekonomian bangsa. Mungkin sebagian orang bertanya dasar perekonomian bangsa yang mana? Karena yang lebih terlihat dari praktik perdagangan hasil perikanan kita adalah situasi bisnis dan hitungan finansial dari pelakunya tanpa kait-mengkait dengan kebijakan ekonomi apalagi tujuan pembangunan bangsa.

Sejatinya dasar perekonomian Indonesia sudah pernah digariskan oleh Wakil Presiden Muhammad Hatta 6 bulan setelah proklamasi, tepatnya dalam Konperensi Ekonomi di Yogyakarta. Setelah menyampaikan landasan konstitusional Pasal 33 UUD 1945, Beliau menyatakan, ”Dasar-dasar tiap perekonomian ialah mencapai keperluan hidup rakyat. Mana yang tidak dihasilkan sendiri didatangkan dari luar negeri, diimpor. Barulah datang ekspor untuk membayar impor tadi.”

Bagaimana kita mesti menafsirkan pernyataan Bung Hatta tersebut? Menurut saya untuk memenuhi kebutuhan hidup rakyat, ada 2 hal yang bisa dilakukan:

  1. Apabila kebutuhan masyatakat tersebut tidak dapat diproduksi di dalam negeri, maka kebijakan impor harus dilakukan
  2. Apabila kebutuhan masyarakat tersebut tidak dapat dipenuhi oleh produksi dalam negeri maka kebijakan impor harus dilakukan

Tafsiran pertama nampak sama dengan kebijakan KKP dalam impor ikan yang tidak dapat diproduksi dalam negeri, bedanya kalau impor yang dimaksud Bung Hatta adalah untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya, sedangkan impor saat ini adalah untuk memuaskan selera ekspatriat sekaligus mengurangi cadangan devisa demi kesejahteraan mereka.

Diskusi yang menarik adalah pada tafsiran kedua. KKP dan LSM berpendapat kalau jenis ikan tersebut dapat diproduksi di dalam negeri maka impor semestinya dilarang. Mengikuti pendapat ini, kita akan menyimpulkan bahwa impor tetap dilarang meskipun jumlah kebutuhan lebih besar dari jumlah produksi dalam negeri. Tidak peduli dengan kondisi masyarakat yang begitu membutuhkan makanan sehat seperti ikan sebagaimana sering diiklankan dapat meningkatkan kecerdasan.

Di sinilah terjadi benturan kepentingan antara menyediakan ikan kepada seluruh masyarakat termasuk yang miskin dengan harga yang terjangkau atau melindungi nelayan dari harga ikan yang murah.

Fundamen Ekonomi Perikanan Tangkap

Untuk memberikan wacana tentang dilema pemenuhan kebutuhan masyarakat dan perlindungan nelayan ada satu hal pokok yang menjadi alasan larangan impor yaitu harga ikan impor yang lebih murah daripada ikan domestik. Dengan mencermati berbagai pemberitaan, hal ini diduga disebabkan praktik dumping dan hasil dari illegal fishing.

Kalau benar yang terjadi adalah praktik dumping seharusnya pemerintah dengan tegas melakukan kebijakan antidumping. Tetapi kalau yang menyebabkan murahnya ikan impor adalah praktik illegal fishing, selain meningkatkan pengawasan kita perlu memikirkan bagaimana proses illegal fishing tersebut menjadikan harga ikan mereka hanya seperempat dari harga ikan domestik.

Untuk memasuki wilayah perairan Indonesia, kapal asing illegal harus menempuh jarak yang relatif jauh dibandingkan kapal Indonesia kemudian mereka memindahkan hasil tangkapan kepada kapal lain yang akan mengirimnya ke pelabuhan di Indonesia. Secara logika peluang mereka menempuh jarak yang lebih jauh dan waktu yang lebih lama sangat mungkin dibanding dengan kapal Indonesia. Kalau memang demikian kenyataannya, seharusnya biaya operasional kapal asing lebih besar daripada biaya operasional kapal Indonesia dan hasil illegal fishing bukan lebih murah, tetapi semestinya lebih mahal.

Kenyataan ini menyadarkan kita bahwa permasalahan fundamental yang dihadapi oleh nelayan adalah tingginya faktor produksi dalam penangkapan ikan. Kalau pemerintah tidak memiliki program yang jelas dalam membangun fundamen ekonomi perikanan tangkap ini, mustahil masyarakat dapat terpenuhi kebutuhan ikan dengan harga yang terjangkau tanpa harus impor ikan.

Demikian juga larangan impor, sifatnya adalah tanggap darurat yang seyogyanya hanya temporer saja. Hanya seperti parasetamol yang bisa menurunkan suhu tubuh, tetapi tidak menyembuhkan penyakitnya. Dengan demikian semua kementerian terkait harus berkoordinasi untuk membuat roadmap menciptakan fundamen perikanan tangkap yang mampu bersaing dalam era perdagangan bebas.

Quo vadis UPI

Dalam siaran pers (27/4) KKP menyebutkan bahwa izin impor sudah diberikan kepada 15 perusahaan pengolahan. Dibanding dengan jumlah UPI yang mencapai 114, angka 15 adalah angka yang kecil. Masalahnya kalau impor untuk industri pengolahan juga dibatasi, mau dibawa kemana nasib UPI yang ada?

Sebagaimana kebanyakan negara berkembang yang membangun industri barang konsumsi pada tahap awal pembangunan, keberadaan UPI yang banyak semestinya dapat mendorong tumbuhnya industri hulu yang mensuplai bahan baku. Tetapi, kondisi saat ini industri hulu hanya mampu memasok 50% kebutuhan UPI. Dengan kapasitas produksi hanya 50% ini, apa ada jaminan UPI tersebut tidak bangkrut? Kalaupun masih bertahan sampai kapan bisa bertahan sebelum kemudian tutup dan menciptakan pengangguran?

Rendahnya utilitas merupakan penggerusan daya saing produk UPI, karena setiap produk yang dihasilkan menanggung beban penyusutan dan pemeliharaan aset tetap yang sangat tinggi. Jadi produk olahan UPI ini sangat mungkin menjadi mahal karena bahan baku lokal yang sudah mahal dibalik perlindungan nelayan, meskipun yang memasok bisa jadi kapal besar, dan setelah diolah masih menanggung biaya pokok yang tinggi karena rendahnya utilitas. Apakah dengan kondisi seperti ini kita masih mau gebyah uyah asal melarang ikan impor untuk keperluan UPI karena menganggap bahwa ikan tersebut tersedia di Indonesia meskipun jumlahnya tidak mencukupi?

Bagaimana selanjutnya?

Dari analisis di atas, hendaknya persoalan impor ikan saat ini tidak diselesaikan secara reaktif, tetapi dipecahkan dengan membangun dasar-dasar ekonomi perikanan yang kuat. KKP sudah semestinya menjabarkan konsep ini, kalaupun belum ada, mungkin beberapa langkah berikut punya sedikit arti:

  1. Perlindungan terhadap ”nelayan rakyat” yang memasok pasar domestik mutlak dilakukan. Dalam jangka pendek, larangan impor untuk pasar domestik bisa dilakukan. Sedang untuk keperluan jangka panjang perlu analisis kuantitatif tentang kebutuhan ikan dan kemampuan produsen domestik memenuhinya, apabila kebutuhan masih belum bisa dipenuhi, impor bisa dilakukan dan nelayan rakyat diberi kompensasi berupa subsidi baik langsung maupun dikaitkan dengan faktor produksi.
  2. KKP perlu memetakan kemampuan ”nelayan industri” dalam memenuhi pasar domestik maupun UPI. Hukum ekonomi menyatakan bahwa apabila permintaan bertambah, ceteris paribus harga akan naik. Jadi dengan besarnya permintaan dari UPI sementara kemampuan suplay nelayan industri cenderung tetap maka harga yang harus dibayar oleh UPI cenderung lebih tinggi, apalagi tidak ada saingan dari ikan impor. Tingginya harga ikan yang diterima nelayan industri inilah yang harus diteliti, apakah disebabkan oleh biaya faktor produksi yang tinggi atau keuntungan yangkelewat batas dari nelayan industri.
  3. Apabila tingginya harga ikan yang diterima nelayan industri disebabkan oleh ledakan biaya produksi maka tugas pemerintah untuk memberikan intervensi sehingga harga faktor produksi bisa terkendali. KKP juga perlu membuat simulasi dan valuasi atas dampak dari beberapa kebijakan terhadap UPI maupun nelayan industri. Misalnya, kebijakan izin impor dalam kondisi mahalnya faktor produksi penangkapan ikan, apakah memberikan manfaat total yang lebih besar daripada kebijakan larangan impor.
  4. Apabila tingginya harga ikan yang diterima nelayan industri disebabkan oleh keuntungan yang terlalu besar, maka kran impor sudah sepatutnya dibuka tetapi tetap dikendalikan pada tingkat harga yang masih memberikan kelayakan finansial baik bagi UPI maupun nelayan industri. KKP juga perlu meneliti struktur produksi perikanan tangkap agar diketahui dengan pasti apakah teriakan untuk menutup impor ikan tersebut disuarakan nelayan rakyat yang memang kesusahan atau hanya suara nelayan industri agar keuntungan tinggi yang dinikmati tidak terkurangi oleh tambahan suplay ikan impor.
  5. Meskipun impor ikan untuk kebutuhan domestik dan UPI boleh dilakukan, langsung saja saya ingatkan bahwa apabila kita menganggap bahwa ikan merupakan komoditas penting, kita tidak boleh tergantung pada impor tetapi harus bekerja keras mewujudkan kemandirian dalam penyediaan ikan sehingga impor hanya akan berperan sebagai pelengkap saja.

Apa yang saya tulis hanyalah peluit kecil agar kita tidak lupa bahwa suatu kebijakan adalah kristalisasi dari semua diskusi dan pertimbangan matang, bukan sesuatu yang reaktif dan emosional. Oleh karena itu, akan sangat bagus apabila semua pihak yang pro dan kontra atas larangan impor menampilkan tinjauan pemikirannya termasuk mereka yang memiliki data.

Bagaimana pendapat Anda?

*) Anggota KoralAPS

Sumber: http://opiniperikanan.wordpress.com/2011/04/29/impor-ikan-antara-kebutuhan-dan-perlindungan-nelayan/

Tidak ada komentar: