Hanya diambil siripnya...Indonesia merupakan lokasi penangkapan ikan hiu terbesar di dunia. Badan Pangan Dunia (FAO) pada tahun 2004 menyebutkan bahwa 15% atau sekitar 122.000 penangkapan ikan hiu terjadi di perairan Indonesia. Kesimpulan tersebut didapatkan dalam seminar memperingati hari laut sedunia (World Ocean Day) yang jatuh pada tanggal 8 Juni lalu. Acara bertema “Make Sea as Your Buddy, Keep Shark in Their Sanctuary” tersebut diadakan hari ini (26/06), di Kampus Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat.

Fakta yang dikemukakan oleh World Wild Fund (WWF) mengenai hiu menjelaskan bahwa hiu sangat rentan terhadap overfishing. Ini dikarenakan beberapa hal, yaitu perkembangbiakannya yang lambat, butuh waktu yang lama untuk menjadi dewasa (dapat mencapai hingga 25 tahun), dan tidak menghasilkan banyak keturunan.

“Kita pilih satu objek untuk dikampanyekan, yaitu hiu. Tujuannya untuk mengembangkan kepedulian kepada laut dengan mengetahui apa yang ada di dalamnya. Saat ini citra hiu memang dianggap mencekam, padahal di balik itu banyak fakta yang menarik,” tandas Project Officer seminar, Ratih Rimayanti, usai berakhirnya acara.

Selain itu, yang justru sangat mencengangkan adalah dimanfaatkannya daging hiu untuk berbagai kepentingan komersial, terutama pemanfaatan siripnya untuk dikonsumsi.

Hidangan sup sirip hiu merupakan hidangan otentik Cina tempo dulu yang selalu digemari sepanjang masa. Hidangan ini tergolong mewah, karena menu ini hanya hadir di perayaan istimewa sebagai simbol kemakmuran dan prestise, seperti pernikahan, Imlek, dan momentum spesial. Kenyataan ini tampaknya tidak menyurutkan berbagai komunitas pencinta lingkungan untuk terus mengkampanyekan perlindungan hiu.

“Saat ini, yang bisa kita lakukan adalah sebisa mungkin meminimalisir konsumsi hiu. Bagi masyarakat Tionghoa, konsumsi hiu memang terkait dengan perayaan besar. Tapi, kita himbau agar konsumsi hiu hanya dilakukan ketika perayaan Imlek saja. Hal ini dilakukan karena kita mesti menyelaraskan dengan budaya mereka.

Kita tidak ingin menerobos batas-batas itu, yang justru sebenarnya mesti dihormati,” ujar Corporate Campaigner for Marine and Marine Species Program WWF, Margareth Meutia.

Kenyataan di atas tentu terkait dengan kondisi laut Indonesia secara umum. Sekarang ini, kondisi laut Indonesia diindikasikan sudah sangat memprihatinkan, terutama menyangkut penangkapan ikan dalam jumlah yang telah berlebihan.

“Kondisi lingkungan laut dan pesisir kita semakin memprihatinkan. Laut yang seharusnya menjadi media tumbuh-kembangnya pengetahuan, budaya, dan menopang pemenuhan pangan sekaligus menyelenggarakan ekonomi kerakyatan, justru kini menjadi media maraknya praktik kejahatan, seperti illegal fishing, pencemaran, illegal logging, hingga perdagangan obat-obatan terlarang dan manusia,” tegas Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) dan peneliti pada Institut Hijau Indonesia, M. Riza Damanik, pada kesempatan yang berbeda.

Pemerintah memang tidak tinggal diam dengan parahnya kondisi yang ada. Regulasi untuk mengatur wilayah laut dan pesisir pun dikeluarkan untuk mengatasi masalah ini. Salah satunya adalah diberlakukannya UU No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Namun, penerapan undang-undang tersebut belum berjalan dengan baik.

“Diberlakukannya UU No. 27 tahun 2007 memang memberikan harapan akan membaiknya kondisi laut Indonesia. Namun, implementasinya belum berjalan dengan baik meskipun memang Rencana Strategis (RENSTRA) sudah dibuat. Pemerintah semestinya mencari terobosan untuk memaksa pemerintah daerah agar menjalankan peraturan itu,” tutur ahli kelautan dan pesisir Institut Pertanian Bogor (IPB), Arif Satria.

Peringatan hari laut sedunia menjadi sebuah langkah penting untuk mengingatkan kita semua bahwa laut tengah terancam dari berbagai tindakan manusia, baik secara sengaja maupun tidak. Aksi nyata dari kita sudah barang tentu sangat membantu perbaikan kondisi laut Indonesia.

“Momentum hari laut adalah waktu yang tepat bagi kita bangsa Indonesia untuk menyegerakan pemutarbalikan krisis kelautan yang ada hari ini ke dalam tindakan progresif yang mengedepankan penyelamatan laut dari aktivitas yang merusa”, Kata Riza Damanik (KIARA)

Ditambahkannya, langkah tersebut dapat dimulai dengan menyegerakan lahirnya UU perlindungan terhadap perairan dan nelayan tradisional, membatalkan UU dan kebijakan lain yang mengarah pada upaya pengkaplingan dan komersialisasi laut, pemulihan ekosistem secara massif, hingga penegakan hukum terhadap praktik yang selama ini mengotori laut Nusantara. Lebih jauh, pembuangan tailing di laut sudah sepantasnya dilarang.

Jika hal tersebut bisa diselenggarakan, maka cita-cita fpara pendiri bangsa untuk mewujudkan masyarakat sejahtera, adil, dan makmur dapat diwujudkan,” ujar M. Riza Damanik.

Sumber: Kiara