Abdul Salam (60) bersama ribuan nelayan di Pasuruan, Jawa Timur menjerit. Di
setiap musim ikan, wilayah tangkapan mereka selalu didatangi pencuri yang
membawa bahan peledak. Akibatnya, populasi ikan di Selat Madura menurun
drastis dalam empat tahun terakhir. Tak ayal, hasil tangkapan biasanya 1-3
ton sekali melaut, kini hanya 4-5 kwintal. Pada lingkup nasional, praktek
serupa jamak ditemui di Selat Madura, Laut Cina Selatan, Laut Natuna, Laut
Sulawesi, dan Laut Arafura.
Data termutakhir Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengungkap fakta
statistik bahwa tren penangkapan ikan ilegal di Indonesia cenderung positif.
Jumlah kapal asing ilegal yang berhasil ditangkap mencapai 184 kapal (2007),
242 kapal (2008), dan 203 kapal (2009). Di sisi lain, Lembaga Pangan Dunia
(FAO, 2004) telah menyebut kerugian ekonomis satuan ikan yang dicuri dari
perairan Indonesia mencapai Rp30 trilyun per tahunnya. Lantas, bagaimana
dengan hari ini—di tengah euforia pemberantasan 9 sektor mafia di
Tanah-Air?
*Manipulatif*
Pada Maret 2010 silam, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK RI) mengeluarkan
laporan resmi terkait Manajemen Perikanan Tangkap. Laporan setebal 270
halaman tersebut mengurai hasil audit pada Kementerian Kelautan dan
Perikanan; Dinas Perikanan Provinsi Sumatera Utara, Sulawesi Utara, Maluku;
serta Kota Medan, Ambon, Bitung, dan Manado. Dari representasi pemerintah
pusat-daerah, wilayah bagian barat dan timur Indonesia tersebutlah,
diperoleh sejumlah kejanggalan.
Pada level nasional, KKP secara faktual telah mengeluarkan izin kepada 4
kapal yang tonasenya tidak sesuai dengan fisik kapal sesungguhnya, yakni:
kapal bernama Ulang Ulie XI milik PT Arabikatama Khatulistiwa dengan bobot
asli 60 GT, namun dicatat 24 GT; kapal bernama S&T Samudera Jaya 6 milik PT
S&T Mitra Mina Industri dengan bobot asli 442 GT, tapi dicatat 398 GT; serta
dua kapal milik PT Cilacap Samudera F.I, masing-masing: Cilacap Maluku Jaya
Enam berbobot 153 GT, dicatat 78 GT, dan Samudera Maluku Jaya Delapan
berbobot 157 GT, dicatat 60 GT.
Tidak saja manipulasi bobot kapal, pemberian izin juga terkesan
sewenang-wenang. Pemerintah Provinsi Sumatera Utara misalnya, mengeluarkan
izin untuk 9 kapal ikan dengan bobot kapal antara 40 sampai 79 GT. Padahal,
berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.5 Tahun 2008 tentang
Usaha Perikanan Tangkap, kapal-kapal dengan bobot fisik di atas 30 GT harus
memperoleh izin dari pemerintah pusat. Barang tentu, 9 kapal tersebut dapat
leluasa memasuki jalur penangkapan di bawah 12 mil laut, sekaligus
“memenangkan” kompetisi perebutan sumberdaya ikan dari kapal-kapal berbobot
kecil.
Tindakan manipulatif dengan modus mereduksi bobot kapal kerap dilakukan oleh
para pengusaha perikanan untuk menekan biaya perizinan; membayar lebih
rendah—atau bahkan tidak membayar—kewajiban pungutan perikanan, berupa PPP
(Pungutan Pengusahaan Perikanan) dan PHP (Pungutan Hasil Perikanan);
mendapat wilayah tangkap produktif dan kapal hasil lelang dengan harga
‘persaudaraan’; hingga memburu rente dari tiap-tiap transaksi haram.
*Bergegas*
Inisiatif Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhamad melaporkan secara
tertulis terkait mafia perikanan, khususnya dalam kaitannya dengan lelang
kapal sitaan kepada Jaksa Agung Hendarman Supandji dan Mabes Polri beberapa
waktu lalu, patut diberikan apresiasi. Namun hal tersebut pastilah tidak
cukup, mengingat mafia perikanan ada dan marak: di wilayah hulu untuk
perijinan, tengah untuk pengawasan dan penegakan hukum, hingga hilir untuk
pungutan perikanan. Ketiganya luput dari perhatian publik, termasuk Satuan
Tugas (Satgas) Pemberantasan Mafia Hukum dan Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK).
Sebagai negara yang menjunjung tinggi konstitusi, bermartabat dan dewasa,
pemerintah dan segenap pihak sepatutnya menyegerakan pemberantasan
hulu-hilir mafia perikanan. Mengapa tidak? Selain kerugian ekonomi pada
satuan komoditas ikan yang dicuri tiap tahunnya, Koalisi Rakyat untuk
Keadilan Perikanan (KIARA) juga memperkirakan pemerintah gagal memperoleh
sedikitnya Rp 50 triliyun dari sektor pungutan perikanan sebagaimana
diisyaratkan dalam Peraturan Pemerintah No.19 Tahun 2006 tentang Pendapatan
Negara Bukan Pajak (PNBP). Lebih dahsyat lagi, ketika krisis perikanan telah
mengganggu asupan pangan dan protein untuk rakyat Indonesia.
Untuk itulah, baik Satgas maupun KPK perlu segera menindaklanjuti
butir-butir kejanggalan yang dilaporkan oleh BPK, 19 Maret silam. Demikian
juga kepada Menteri Kelautan dan Perikanan, hendaknya memperkuat dukungan
kepada Satgas dan KPK guna membongkar dan memutus rantai mafia perikanan
yang merugikan negara serta merusak keberlanjutan ketersediaan ikan.
Terakhir, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) perlu mengambil peran legislasinya
untuk kembali melakukan penyempurnaan terhadap UU Perikanan, terkhusus pada
Pasal 46A UU No.45 Tahun 2009, yang saat ini membatasi keterlibatan publik
dalam mengawasi kegiatan perikanan skala industri. Jika tidak segera
dilakukan, pastilah keberadaan Kementerian Kelautan dan Perikanan hanya akan
menjadi beban anggaran!
Mida Saragih
Divisi Manajemen Pengetahuan KIARA (Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan)
Sumber: Majalah Forum, Edisi 21-27 Juni 2010 No. IX, hal 46;
http://kiara.or.id/content/view/1101/70/
----------------------------
Keanekaragaman budaya Indonesia dari satu sisi adalah kekayaan, tetapi dari
sisi lain adalah kerawanan. Sebagai kekayaan, keanekaragaman budaya dapat
menjadi sumber pengembangan budaya hibrida yang kaya dan tangguh, melalui
penyuburan silang budaya. Sebagai kerawanan, keanekaragaman budaya
melemahkan kohesi antar suku dan pulau.
Berbagi informasi adalah hal terpenting dalam bermasyarakat. Terlebih bagi
nelayan tradisional dan masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil dan masyarakat luas yang tinggal di belahan bumi lainnya.
Kunjungi situs web KIARA di http://www.kiara.or.id. Pastikan Anda adalah
orang yang pertama kali mengetahui perkembangan informasi kelautan dan
perikanan nasional.
----------------------------------------------------
Mida Saragih
Divisi Manajemen Pengetahuan KIARA
mida@kiara.or.id
Sekretariat Nasional Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
Jl. Tegal Parang Utara No. 43
Mampang, Jakarta 12790
Indonesia
Telp. +62 21 797 0482
Faks. +62 21 797 0482
setiap musim ikan, wilayah tangkapan mereka selalu didatangi pencuri yang
membawa bahan peledak. Akibatnya, populasi ikan di Selat Madura menurun
drastis dalam empat tahun terakhir. Tak ayal, hasil tangkapan biasanya 1-3
ton sekali melaut, kini hanya 4-5 kwintal. Pada lingkup nasional, praktek
serupa jamak ditemui di Selat Madura, Laut Cina Selatan, Laut Natuna, Laut
Sulawesi, dan Laut Arafura.
Data termutakhir Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengungkap fakta
statistik bahwa tren penangkapan ikan ilegal di Indonesia cenderung positif.
Jumlah kapal asing ilegal yang berhasil ditangkap mencapai 184 kapal (2007),
242 kapal (2008), dan 203 kapal (2009). Di sisi lain, Lembaga Pangan Dunia
(FAO, 2004) telah menyebut kerugian ekonomis satuan ikan yang dicuri dari
perairan Indonesia mencapai Rp30 trilyun per tahunnya. Lantas, bagaimana
dengan hari ini—di tengah euforia pemberantasan 9 sektor mafia di
Tanah-Air?
*Manipulatif*
Pada Maret 2010 silam, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK RI) mengeluarkan
laporan resmi terkait Manajemen Perikanan Tangkap. Laporan setebal 270
halaman tersebut mengurai hasil audit pada Kementerian Kelautan dan
Perikanan; Dinas Perikanan Provinsi Sumatera Utara, Sulawesi Utara, Maluku;
serta Kota Medan, Ambon, Bitung, dan Manado. Dari representasi pemerintah
pusat-daerah, wilayah bagian barat dan timur Indonesia tersebutlah,
diperoleh sejumlah kejanggalan.
Pada level nasional, KKP secara faktual telah mengeluarkan izin kepada 4
kapal yang tonasenya tidak sesuai dengan fisik kapal sesungguhnya, yakni:
kapal bernama Ulang Ulie XI milik PT Arabikatama Khatulistiwa dengan bobot
asli 60 GT, namun dicatat 24 GT; kapal bernama S&T Samudera Jaya 6 milik PT
S&T Mitra Mina Industri dengan bobot asli 442 GT, tapi dicatat 398 GT; serta
dua kapal milik PT Cilacap Samudera F.I, masing-masing: Cilacap Maluku Jaya
Enam berbobot 153 GT, dicatat 78 GT, dan Samudera Maluku Jaya Delapan
berbobot 157 GT, dicatat 60 GT.
Tidak saja manipulasi bobot kapal, pemberian izin juga terkesan
sewenang-wenang. Pemerintah Provinsi Sumatera Utara misalnya, mengeluarkan
izin untuk 9 kapal ikan dengan bobot kapal antara 40 sampai 79 GT. Padahal,
berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.5 Tahun 2008 tentang
Usaha Perikanan Tangkap, kapal-kapal dengan bobot fisik di atas 30 GT harus
memperoleh izin dari pemerintah pusat. Barang tentu, 9 kapal tersebut dapat
leluasa memasuki jalur penangkapan di bawah 12 mil laut, sekaligus
“memenangkan” kompetisi perebutan sumberdaya ikan dari kapal-kapal berbobot
kecil.
Tindakan manipulatif dengan modus mereduksi bobot kapal kerap dilakukan oleh
para pengusaha perikanan untuk menekan biaya perizinan; membayar lebih
rendah—atau bahkan tidak membayar—kewajiban pungutan perikanan, berupa PPP
(Pungutan Pengusahaan Perikanan) dan PHP (Pungutan Hasil Perikanan);
mendapat wilayah tangkap produktif dan kapal hasil lelang dengan harga
‘persaudaraan’; hingga memburu rente dari tiap-tiap transaksi haram.
*Bergegas*
Inisiatif Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhamad melaporkan secara
tertulis terkait mafia perikanan, khususnya dalam kaitannya dengan lelang
kapal sitaan kepada Jaksa Agung Hendarman Supandji dan Mabes Polri beberapa
waktu lalu, patut diberikan apresiasi. Namun hal tersebut pastilah tidak
cukup, mengingat mafia perikanan ada dan marak: di wilayah hulu untuk
perijinan, tengah untuk pengawasan dan penegakan hukum, hingga hilir untuk
pungutan perikanan. Ketiganya luput dari perhatian publik, termasuk Satuan
Tugas (Satgas) Pemberantasan Mafia Hukum dan Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK).
Sebagai negara yang menjunjung tinggi konstitusi, bermartabat dan dewasa,
pemerintah dan segenap pihak sepatutnya menyegerakan pemberantasan
hulu-hilir mafia perikanan. Mengapa tidak? Selain kerugian ekonomi pada
satuan komoditas ikan yang dicuri tiap tahunnya, Koalisi Rakyat untuk
Keadilan Perikanan (KIARA) juga memperkirakan pemerintah gagal memperoleh
sedikitnya Rp 50 triliyun dari sektor pungutan perikanan sebagaimana
diisyaratkan dalam Peraturan Pemerintah No.19 Tahun 2006 tentang Pendapatan
Negara Bukan Pajak (PNBP). Lebih dahsyat lagi, ketika krisis perikanan telah
mengganggu asupan pangan dan protein untuk rakyat Indonesia.
Untuk itulah, baik Satgas maupun KPK perlu segera menindaklanjuti
butir-butir kejanggalan yang dilaporkan oleh BPK, 19 Maret silam. Demikian
juga kepada Menteri Kelautan dan Perikanan, hendaknya memperkuat dukungan
kepada Satgas dan KPK guna membongkar dan memutus rantai mafia perikanan
yang merugikan negara serta merusak keberlanjutan ketersediaan ikan.
Terakhir, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) perlu mengambil peran legislasinya
untuk kembali melakukan penyempurnaan terhadap UU Perikanan, terkhusus pada
Pasal 46A UU No.45 Tahun 2009, yang saat ini membatasi keterlibatan publik
dalam mengawasi kegiatan perikanan skala industri. Jika tidak segera
dilakukan, pastilah keberadaan Kementerian Kelautan dan Perikanan hanya akan
menjadi beban anggaran!
Mida Saragih
Divisi Manajemen Pengetahuan KIARA (Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan)
Sumber: Majalah Forum, Edisi 21-27 Juni 2010 No. IX, hal 46;
http://kiara.or.id/content/view/1101/70/
----------------------------
Keanekaragaman budaya Indonesia dari satu sisi adalah kekayaan, tetapi dari
sisi lain adalah kerawanan. Sebagai kekayaan, keanekaragaman budaya dapat
menjadi sumber pengembangan budaya hibrida yang kaya dan tangguh, melalui
penyuburan silang budaya. Sebagai kerawanan, keanekaragaman budaya
melemahkan kohesi antar suku dan pulau.
Berbagi informasi adalah hal terpenting dalam bermasyarakat. Terlebih bagi
nelayan tradisional dan masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil dan masyarakat luas yang tinggal di belahan bumi lainnya.
Kunjungi situs web KIARA di http://www.kiara.or.id. Pastikan Anda adalah
orang yang pertama kali mengetahui perkembangan informasi kelautan dan
perikanan nasional.
----------------------------------------------------
Mida Saragih
Divisi Manajemen Pengetahuan KIARA
mida@kiara.or.id
Sekretariat Nasional Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
Jl. Tegal Parang Utara No. 43
Mampang, Jakarta 12790
Indonesia
Telp. +62 21 797 0482
Faks. +62 21 797 0482
Tidak ada komentar:
Posting Komentar