Berpearahu di Sungai Musi Kawasan Seberang Ulu yang berada di tepian Sungai Musi, Palembang, Sumatera Selatan, Kamis (25/2/2010).
Jannes Eudes Wawa
KOMPAS.com - Ketika pertengahan tahun 2006 ditemukan ikan hiu bermain di Sungai Musi, persisnya di bawah Jembatan Ampera, Kota Palembang, Sumatera Selatan, Eko Prianto (35) sangat kaget. Dia kaget, lantaran jarak muara Sungai Musi dengan jembatan tersebut sekitar 80 kilometer. Peristiwa itu dilukiskan sebagai sebuah tragedi Sungai Musi.
"Ikan hiu habitatnya bukan di air tawar. Peristiwa itu menandakan tingkat penurunan muka air Sungai Musi saat musim kemarau sangat tinggi sehingga air laut mampu bergerak masuk hingga mencapai 80-an kilometer,” kata Eko, peneliti pada Balai Riset Perairan Umum Departemen Kelautan dan Perikanan di Palembang.
Fenomena ikan hiu tersebut membuat Eko terpanggil untuk melakukan riset lebih mendalam terhadap keberadaan ikan di Sungai Musi. Apalagi, degradasi lingkungan yang semakin parah berpeluang mengganggu kelangsungan hidup sumber daya ikan.
Penelitian pun mulai dilakukan tahun 2006. Dia bersama sejumlah temannya dari Balai Riset Perairan Umum Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) menyusuri Sungai Musi mulai dari hulu hingga hilir.
Setelah melakukan penelitian hingga akhir tahun 2007, dia menyimpulkan, di Sungai Musi hidup 230 jenis ikan air tawar. Ikan itu, antara lain, adalah arwana perak, belida, botia, pongkot, puntung hanyut, dan sengarak. Namun, banyak jenis ikan tersebut semakin langka. Ikan pongkot, misalnya, selama penelitian di Sungai Musi tahun 2006-2007, hanya ditemukan satu ekor. Ikan pongkot termasuk keluarga ikan gabus.
Dalam suatu penelitian di Sungai Banyuasin pada 2008-2009, Eko juga menemukan pesut dan lumba-lumba bongkok. Penemuan itu sekaligus mematahkan pendapat yang menyebutkan pesut hanya hidup di Sungai Mahakam.
Namun, populasi lumba-lumba bongkok ternyata makin berkurang. Sebelum tahun 1990-an, para nelayan menemukan dalam satu kelompok biasanya ada sampai 9 ekor. Tetapi, selama tahun 2009 dalam satu kawanan lumba-lumba bongkok di Sungai Banyuasin hanya sebanyak 6 ekor.
Ikan belida yang menjadi ikon Sungai Musi juga semakin sulit ditemukan. Daging ikan ini merupakan bahan baku utama pembuatan pempek. Kini, kalau ingin membuat pempek yang berkualitas bagus, produsen terpaksa mendatangkan ikan belida dari Kalimantan atau daerah lain di Sumatera.
”Penurunan populasi ikan di Sungai Musi ini harus mendapat perhatian. Dalam ilmu ekologi, hilang atau menurunnya populasi suatu jenis ikan sedikit banyak akan menyebabkan terganggunya keseimbangan ekosistem perairan,” kata ayah dua putra tersebut.
Bukan pilihan
Menjadi peneliti pada perairan umum sesungguhnya bukan pilihan utama Eko. Apalagi, saat kuliah magister di Institut Pertanian Bogor (IPB), dia mengambil spesifikasi pada pengelolaan sumber daya pesisir dan lautan. Kegiatan itu digeluti menyusul penugasan setelah dirinya bergabung dengan Departemen Kelautan dan Perikanan pada 2005.
Akan tetapi, setelah lima tahun menekuni penelitian pada perairan umum, dia mengaku mendapat banyak hal baru. Hal baru itu, antara lain, adalah kelangsungan hidup ikan di perairan umum tidak berdiri sendiri seperti di laut. Sumber daya ikan di perairan umum selalu memiliki keterkaitan dengan sektor kehutanan, pertambangan, sumber daya air, aktivitas industri di tepi sungai, perubahan cuaca, dan lainnya.
”Jika kerusakan hutan semakin tidak terkendali, kegiatan penambangan tambah marak, dan pembuangan limbah industri tanpa kendali, otomatis membuat kualitas air sungai pun buruk. Penurunan kualitas air mengakibatkan ikan air tawar terkena berbagai virus, lalu mati. Populasi ikan pun merosot tajam. Apalagi, ruang gerak ikan dalam sungai sangat terbatas,” ujar Eko.
Sebaliknya, di laut, wilayah perairan yang luas memungkinkan ikan-ikan yang ada dengan mudah bermigrasi dari suatu daerah ke daerah lainnya. Dengan begitu, penurunan populasi ikan di laut tidak tajam dalam waktu singkat seperti di perairan umum.
Kendati persoalan sumber daya ikan di perairan umum lebih rumit, sangat jarang peneliti memfokuskan diri pada sektor ini. Terbukti, hingga kini hanya ada sekitar 50 peneliti di Indonesia yang berkonsentrasi melakukan riset di perairan umum. Bahkan, lembaga riset perairan umum juga hanya ada dua, yakni Limnologi yang dikelola Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Balai Riset Perairan Umum DKP.
”Saya tidak tahu mengapa minat peneliti pada perairan umum begitu kecil. Tapi, saya berharap di tahun-tahun mendatang makin banyak peneliti perairan umum sebab tantangannya lebih berat dengan sejumlah permasalahan yang menarik,” ujar Eko.
Menantang
Sungai Musi di mata Eko sungguh menarik dan menantang. Menarik sebab sungai tersebut melewati dua provinsi, yakni Bengkulu dan Sumatera Selatan, serta membelah wilayah Sumatera Selatan. Bahkan, Sungai Musi memiliki sembilan anak sungai yang lebarnya tidak jauh berbeda dengan sungai induk.
Menantang karena Sungai Musi bersama anak-anak sungainya, yang menjadi sumber kehidupan masyarakat, kini menghadapi sejumlah masalah lingkungan. Semua masalah tersebut berimplikasi langsung terhadap kelangsungan hidup sumber daya ikan.
Hal itu misalnya di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI). Di sana berkembang tradisi lelang lebak lebung, yakni suatu wilayah perairan umum tertentu yang dilelang oleh pemerintah setempat kepada individu atau kelompok untuk mengambil ikan yang ada di dalamnya, demi pendapatan asli daerah.
Pemenang lelang yang memiliki motivasi bisnis cenderung hanya ingin memperoleh keuntungan sehingga mengabaikan pelestarian sumber daya ikan. Akibatnya, stok ikan di perairan tersebut pun merosot. ”Untuk itu, kami sudah melakukan pendekatan kepada pemerintah daerah agar menghentikan sistem pelelangan dan mulai konsentrasi pada pelestarian sumber daya ikan. Responsnya cukup baik sehingga dalam waktu dekat kami akan membantu memacu peningkatan stok perikanan,” ujarnya.
Kerisauan Eko lainnya adalah makin maraknya penyakit kutu air yang menempel pada insang dan badan ikan, terutama pada musim kemarau. Penyakit ini dipicu oleh buruknya kualitas air Sungai Musi sebab air di sungai tersebut juga digunakan untuk mandi, membuang kotoran, cuci pakaian, dan penambangan pasir.
Bagi Eko, pemulihan perairan Sungai Musi harus segera dilakukan. Kegiatan itu wajib melibatkan semua pihak. Jika terus ditunda, degradasi Sungai Musi bakal makin parah. Kelak semuanya hanya tinggal cerita.
Jannes Eudes Wawa
KOMPAS.com - Ketika pertengahan tahun 2006 ditemukan ikan hiu bermain di Sungai Musi, persisnya di bawah Jembatan Ampera, Kota Palembang, Sumatera Selatan, Eko Prianto (35) sangat kaget. Dia kaget, lantaran jarak muara Sungai Musi dengan jembatan tersebut sekitar 80 kilometer. Peristiwa itu dilukiskan sebagai sebuah tragedi Sungai Musi.
"Ikan hiu habitatnya bukan di air tawar. Peristiwa itu menandakan tingkat penurunan muka air Sungai Musi saat musim kemarau sangat tinggi sehingga air laut mampu bergerak masuk hingga mencapai 80-an kilometer,” kata Eko, peneliti pada Balai Riset Perairan Umum Departemen Kelautan dan Perikanan di Palembang.
Fenomena ikan hiu tersebut membuat Eko terpanggil untuk melakukan riset lebih mendalam terhadap keberadaan ikan di Sungai Musi. Apalagi, degradasi lingkungan yang semakin parah berpeluang mengganggu kelangsungan hidup sumber daya ikan.
Penelitian pun mulai dilakukan tahun 2006. Dia bersama sejumlah temannya dari Balai Riset Perairan Umum Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) menyusuri Sungai Musi mulai dari hulu hingga hilir.
Setelah melakukan penelitian hingga akhir tahun 2007, dia menyimpulkan, di Sungai Musi hidup 230 jenis ikan air tawar. Ikan itu, antara lain, adalah arwana perak, belida, botia, pongkot, puntung hanyut, dan sengarak. Namun, banyak jenis ikan tersebut semakin langka. Ikan pongkot, misalnya, selama penelitian di Sungai Musi tahun 2006-2007, hanya ditemukan satu ekor. Ikan pongkot termasuk keluarga ikan gabus.
Dalam suatu penelitian di Sungai Banyuasin pada 2008-2009, Eko juga menemukan pesut dan lumba-lumba bongkok. Penemuan itu sekaligus mematahkan pendapat yang menyebutkan pesut hanya hidup di Sungai Mahakam.
Namun, populasi lumba-lumba bongkok ternyata makin berkurang. Sebelum tahun 1990-an, para nelayan menemukan dalam satu kelompok biasanya ada sampai 9 ekor. Tetapi, selama tahun 2009 dalam satu kawanan lumba-lumba bongkok di Sungai Banyuasin hanya sebanyak 6 ekor.
Ikan belida yang menjadi ikon Sungai Musi juga semakin sulit ditemukan. Daging ikan ini merupakan bahan baku utama pembuatan pempek. Kini, kalau ingin membuat pempek yang berkualitas bagus, produsen terpaksa mendatangkan ikan belida dari Kalimantan atau daerah lain di Sumatera.
”Penurunan populasi ikan di Sungai Musi ini harus mendapat perhatian. Dalam ilmu ekologi, hilang atau menurunnya populasi suatu jenis ikan sedikit banyak akan menyebabkan terganggunya keseimbangan ekosistem perairan,” kata ayah dua putra tersebut.
Bukan pilihan
Menjadi peneliti pada perairan umum sesungguhnya bukan pilihan utama Eko. Apalagi, saat kuliah magister di Institut Pertanian Bogor (IPB), dia mengambil spesifikasi pada pengelolaan sumber daya pesisir dan lautan. Kegiatan itu digeluti menyusul penugasan setelah dirinya bergabung dengan Departemen Kelautan dan Perikanan pada 2005.
Akan tetapi, setelah lima tahun menekuni penelitian pada perairan umum, dia mengaku mendapat banyak hal baru. Hal baru itu, antara lain, adalah kelangsungan hidup ikan di perairan umum tidak berdiri sendiri seperti di laut. Sumber daya ikan di perairan umum selalu memiliki keterkaitan dengan sektor kehutanan, pertambangan, sumber daya air, aktivitas industri di tepi sungai, perubahan cuaca, dan lainnya.
”Jika kerusakan hutan semakin tidak terkendali, kegiatan penambangan tambah marak, dan pembuangan limbah industri tanpa kendali, otomatis membuat kualitas air sungai pun buruk. Penurunan kualitas air mengakibatkan ikan air tawar terkena berbagai virus, lalu mati. Populasi ikan pun merosot tajam. Apalagi, ruang gerak ikan dalam sungai sangat terbatas,” ujar Eko.
Sebaliknya, di laut, wilayah perairan yang luas memungkinkan ikan-ikan yang ada dengan mudah bermigrasi dari suatu daerah ke daerah lainnya. Dengan begitu, penurunan populasi ikan di laut tidak tajam dalam waktu singkat seperti di perairan umum.
Kendati persoalan sumber daya ikan di perairan umum lebih rumit, sangat jarang peneliti memfokuskan diri pada sektor ini. Terbukti, hingga kini hanya ada sekitar 50 peneliti di Indonesia yang berkonsentrasi melakukan riset di perairan umum. Bahkan, lembaga riset perairan umum juga hanya ada dua, yakni Limnologi yang dikelola Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Balai Riset Perairan Umum DKP.
”Saya tidak tahu mengapa minat peneliti pada perairan umum begitu kecil. Tapi, saya berharap di tahun-tahun mendatang makin banyak peneliti perairan umum sebab tantangannya lebih berat dengan sejumlah permasalahan yang menarik,” ujar Eko.
Menantang
Sungai Musi di mata Eko sungguh menarik dan menantang. Menarik sebab sungai tersebut melewati dua provinsi, yakni Bengkulu dan Sumatera Selatan, serta membelah wilayah Sumatera Selatan. Bahkan, Sungai Musi memiliki sembilan anak sungai yang lebarnya tidak jauh berbeda dengan sungai induk.
Menantang karena Sungai Musi bersama anak-anak sungainya, yang menjadi sumber kehidupan masyarakat, kini menghadapi sejumlah masalah lingkungan. Semua masalah tersebut berimplikasi langsung terhadap kelangsungan hidup sumber daya ikan.
Hal itu misalnya di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI). Di sana berkembang tradisi lelang lebak lebung, yakni suatu wilayah perairan umum tertentu yang dilelang oleh pemerintah setempat kepada individu atau kelompok untuk mengambil ikan yang ada di dalamnya, demi pendapatan asli daerah.
Pemenang lelang yang memiliki motivasi bisnis cenderung hanya ingin memperoleh keuntungan sehingga mengabaikan pelestarian sumber daya ikan. Akibatnya, stok ikan di perairan tersebut pun merosot. ”Untuk itu, kami sudah melakukan pendekatan kepada pemerintah daerah agar menghentikan sistem pelelangan dan mulai konsentrasi pada pelestarian sumber daya ikan. Responsnya cukup baik sehingga dalam waktu dekat kami akan membantu memacu peningkatan stok perikanan,” ujarnya.
Kerisauan Eko lainnya adalah makin maraknya penyakit kutu air yang menempel pada insang dan badan ikan, terutama pada musim kemarau. Penyakit ini dipicu oleh buruknya kualitas air Sungai Musi sebab air di sungai tersebut juga digunakan untuk mandi, membuang kotoran, cuci pakaian, dan penambangan pasir.
Bagi Eko, pemulihan perairan Sungai Musi harus segera dilakukan. Kegiatan itu wajib melibatkan semua pihak. Jika terus ditunda, degradasi Sungai Musi bakal makin parah. Kelak semuanya hanya tinggal cerita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar