05 April, 2009

Nelayan, Hak Tradisional dan Negara Kepulauan

Oleh
Akhmad Solihin

Dalam artikelnya di Sinar Harapan 18 Oktober 2006 dengan judul “Nelayan Jadi Korban dalam Klaim Perbatasan”, Saudara Sadina mengungkapkan bahwa nasib nelayan Indonesia sangat memprihatinkan dan harus diperjuangkan oleh Bangsa Indonesia. 

Pernyataan ini didasari oleh beberapa tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat negara tetangga di wilayah perairan perbatasan terhadap nelayan-nelayan Indonesia, seperti penangkapan yang juga kerap disertai penembakan oleh aparat Australia, juga oleh aparat Papua Nugini dan Malaysia.

Namun, semangat pembelaan terhadap nasib nelayan Indonesia tersebut perlu diluruskan, terutama mengenai hak perikanan tradisional (traditional fishing rights) sebagaimana yang diatur dalam UNCLOS 1982. Saudara Sadina menyebutkan bahwa “Nelayan merupakan suatu komunitas yang harus ada di dalam negara kepulauan. Tanpa nelayan, negara kepulauan akan kehilangan hak tradisional yang diamanatkan UNCLOS 1982. Dengan keberadaan nelayan, negara kepulauan dapat mengklaim hak tradisionalnya terhadap negara tetangganya apabila perlu untuk mendapatkan hak tradisional melintasi wilayah laut yurisdiksi negara tetangga”.

Pernyataan tersebut menyiratkan bahwa ada hubungan yang kuat antara keberadaan nelayan di suatu negara kepulauan dalam memperoleh hak perikanan tradisional. Benarkah demikian? Apakah setiap nelayan dari suatu negara kepulauan dapat secara otomatis mempunyai hak perikanan tradisional di perairan negara tetangga?

Aturan mengenai hak perikanan tradisional dalam UNCLOS 1982 sa-ngat sedikit, tertuang dalam satu pasal, yaitu Pasal 51 yang isinya “Tanpa mengurangi arti pasal 49, negara kepulauan harus menghormati perjanjian yang ada dengan negara lain dan harus mengakui hak perikanan tradisional dan kegiatan lain yang sah negara tetangga yang langsung berdampingan dalam daerah tertentu yang berada dalam perairan kepulauan. Syarat dan ketentuan bagi pelaksanaan hak dan kegiatan demikian, termasuk sifatnya, ruang lingkup dan daerah di mana hak dan kegiatan demikian berlaku, atas permintaan salah satu negara yang bersangkutan harus diatur dengan perjanjian bilateral antara mereka. Hal demikian tidak boleh dialihkan atau dibagi dengan negara ketiga atau warga negaranya”.

Tidak Secara Otomatis
Menyimak Pasal 51 UNCLOS 1982, hak perikanan tradisional tidak diperoleh secara otomatis. Hak itu dapat diperoleh oleh suatu negara dengan berbagai syarat dan ketentuan teknis yang diatur dalam perjanjian bilateral kedua negara sebagaimana yang diamanatkan UNCLOS 1982, seperti sumber daya ikan apa yang boleh ditangkap, dengan alat tangkap apa, dimana kegiatan penangkapan (fishing ground) harus dilakukan dan lain sebagainya. 

Dengan demikian, hak perikanan tradisional tidak serta-merta embeded menjadi hak setiap nelayan di suatu negara kepulauan. Ini mengingat ada syarat dan perjanjian bilateral yang menjadi alat legitimasi.

Prof. Hasjim Djalal (1988) mengingatkan, bahwa traditional fishing rights harus dibedakan dengan traditional rights to fish. Hal ini dikarenakan, traditional rights to fish diartikan bahwa setiap negara secara tradisional atau hukum berhak menangkap ikan di laut bebas tanpa memperhatikan apakah mereka memang pernah atau tidak melaksanakan hak itu. 

Traditional fishing rights diartikan bahwa hak menangkap ikan tersebut timbul justru karena di dalam praktik mereka telah melakukan penangkapan- penangkapan ikan di perairan-perairan tertentu. Dengan kata lain, hak perikanan tradisional muncul karena suatu masyarakat nelayan telah melakukan kegiatannya secara turun-temurun dan berlangsung lama.

Oleh karena itu, Prof. Hasjim Djalal menegaskan bahwa untuk dapat dianggap termasuk kategori traditional fishing rights, haruslah diperhatikan beberapa ketentuan, yaitu: (1) nelayan-nelayan yang bersangkutan secara tradisional telah menangkap ikan di suatu perairan tertentu; (2) nelayan-nelayan tersebut telah menggunakan alat-alat tertentu secara tradisional; (3) hasil tangkapan mereka secara tradisional adalah jenis ikan tertentu; dan (4) mereka yang melakukan penangkapan ikan tersebut haruslah nelayan yang secara tradisional telah melakukan penangkapan ikan di daerah tersebut. 

Dengan demikian, untuk dapat dikategorikan sebagai traditional fishing rights haruslah memenuhi empat kriteria, yaitu nelayannya, daerah yang mereka kunjungi, kapal atau alat tangkap yang mereka gunakan, dan jenis ikan yang ditangkap. 

Perjanjian Bilateral 
Meski tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat negara tetangga terhadap nelayan Indonesia adalah sama, yaitu pada nelayan-nelayan yang daerahnya berbatasan langsung dengan negara tetangga, namun ternyata kasus ini memiliki perbedaan. 

Pada nelayan yang berbatasan dengan Malaysia dan Papua Nugini, Pemerintah RI tidak mempunyai perjanjian sebagai alat legitimasi dalam memperoleh hak perikanan tradisional. Kasus pada nelayan yang berbatasan dengan Australia, pemerintah RI punya kesepakatan. 

Perjanjian bilateral antara Indonesia dan Australia untuk menuntaskan masalah ini telah dilakukan tiga kali, yaitu: pada tahun 1974, 1981 dan 1989. Nelayan-nelayan tradisional Indonesia yang sering berkunjung ke wilayah perairan Australia, khususnya Pulau Pasir (Ashmore Reef) adalah berasal dari Pulau Rote, Flores, Buton, Sabu, Timor, Alor, Sulawesi, dan Maluku (YPTB, 2005). 
Meski perjanjian garis batas dengan negara tetangga telah disepakati, kasus-kasus kekerasan terhadap nelayan Indonesia oleh aparat negara tetangga di wilayah perairan perbatasan selalu bisa terjadi, selama aparat pemerintah Indonesia kurang memberikan perlindungan keamanan. Ini terutama disebabkan oleh lemahnya armada pertahanan dan keamanan Indonesia (baca: TNI AL). 

Hal lain yang patut dicermati dalam perlindungan nelayan adalah keberpihakan terhadap nelayan kecil dan tradisional. Nelayan kecil senantiasa menjadi pihak yang dikalahkan dalam setiap konflik dengan nelayan skala besar atau modern dan di sektor-sektor lain.

Secara sepintas, dalam UU No. 31/2004 tentang Perikanan terlihat bahwa ada keberpihakan pemerintah terhadap nelayan kecil, seperti pemberdayaan. Namun ternyata bila dikaji secara lebih detail dan mendalam, undang-undang tersebut masih belum memperlihatkan pelindungan terhadap nelayan kecil dan tradisional. UU No. 31/2004 tidak memberikan kesempatan lebih kepada nelayan kecil dan tradisional, baik dalam menghadapi persoalan terbatasnya akses pemanfaatan sumberdaya ikan, menghadapi persaingan dengan dengan pengusaha perikanan, mengatasi irama musim yang tidak menentu serta mengatasi kesulitan pemasaran karena kualitas ikan tangkapan yang cepat sekali busuk (perishable) . 

Dengan demikian, sudah selayaknya perlindungan terhadap nasib nelayan, khususnya nelayan kecil dan tradisional senantiasa menjadi agenda utama dalam pembangunan perikanan dan kelautan Indonesia. 
 


Tidak ada komentar: