10 Februari, 2009

Produk Perikanan Vs Krisis Global

Oleh Muhamad Husen

Dampak krisis global diperkirakan semakin nyata pada tahun 2009. Keadaan ini akan memberikan perubahan cukup signifikan bagi kinerja ekspor produk perikanan. Pasalnya, Amerika Serikat masih tercatat sebagai pasar terbesar Indonesia di samping Jepang dan Uni Eropa. Meski begitu, prospek perikanan diperkirakan tetap menjanjikan, khususnya di dalam negeri, karena masih sangat diperlukan sebagai salah satu sumber protein hewani.

Di pasar dunia, kontribusi ekspor perikanan Indonesia hanya 2 persen. Pada 2007 total ekspor produk perikanan kita 2,3 miliar dollar AS dengan negara tujuan utama AS, Jepang, dan Uni Eropa. Adapun China menempati posisi puncak dengan 10 persen, Thailand 6 persen, dan Vietnam 4 persen.

Munculnya kendala pasar luar negeri akan pahit dirasakan para pelaku perikanan. Apalagi, daya beli masyarakat Indonesia juga cenderung menurun sehingga dikhawatirkan konsumsi pangan berkurang. Namun, konstelasi bisnis budidaya perairan ini akan tetap prospektif di tengah krisis keuangan global. Alasannya, masyarakat Indonesia tetap perlu makanan bergizi tinggi sehingga memungkinkan terjadi substitusi sumber protein dari daging ke ikan.

Apalagi, ikan memiliki banyak keunggulan komparatif sebagai makanan berprotein tinggi, murah, mudah dijangkau, dan praktis. Bahkan, sebagian besar pelaku usaha perikanan berada di pedesaan sehingga dengan sendirinya akan memberikan harapan bagi ketahanan sosial masyarakat. Untuk mendorong pertumbuhan di tengah krisis global sekaligus agar bisnis perikanan tetap berjalan, seyogianya kita selalu menyiasati berbagai peluang pasar, termasuk menggenjot pasar domestik, agar menjadi andalan.

Renegosiasi

Data Departemen Kelautan dan Perikanan menyebutkan, sampai periode Agustus 2008 nilai ekspor produk perikanan Indonesia ke Negeri Paman Sam baru mencapai 580 juta dollar AS, sedangkan ke Jepang dan Uni Eropa masing-masing 430 juta dollar AS dan 240 juta dollar AS. Sebesar 50 persen dari total produk perikanan yang dipasarkan ke AS adalah udang. Alhasil, komoditas unggulan negara kita itu diperkirakan akan terkena dampak terbesar di antara komoditas ekspor perikanan lain. Kondisi seperti itu dengan sendirinya secara total akan membawa penurunan volume ekspor.

Penurunan memang belum terjadi saat ini, tetapi akan mulai dirasakan beberapa bulan ke depan. Realisasi ekspor sekarang ini hakikatnya adalah hasil kontrak yang ditandatangani sebelum krisis. Karena itu, renegosiasi dipandang sangat perlu, terutama menyangkut volume dan harga produk.

Bukan mustahil dampak krisis diperkirakan mengakibatkan keterlambatan pembayaran produk yang telah diekspor. Biasanya sebelum kargo mendarat di pelabuh-an tujuan, pembayaran boleh dianggap sudah lunas. Akan tetapi, kini meski produk sudah diturunkan di pelabuhan, pembayarannya besar kemungkinan belum bisa dilakukan.

Persoalannya, bagaimana menyiasati agar bisnis perikanan yang selama ini telah berlangsung tidak putus di tengah jalan. Kuncinya, para pelaku perikanan senantiasa meningkatkan daya saing dan mengimbanginya dengan tidak meninggalkan pasar AS. Sebab, bagaimanapun, Negeri Paman Sam ini pada dasarnya merupakan pasar terbesar produk perikanan kita.

Peningkatan daya saing dilakukan dengan melakukan pengujian produk melalui peningkatan kapasitas laboratorium pengujian mutu dalam rangka analisis antibiotic stable metabolite, di antaranya menghindari kontaminasi produk oleh logam berat ataupun histamin. Selain itu, menerapkan cara berbudidaya ikan yang baik (best aquaculture practice) dengan merunut pada issue traceability, yaitu kemampuan berbudidaya untuk senantiasa menelusuri, mengikuti, dan mengidentifikasi secara unik suatu unit produk melalui semua tahap produksi, pengolahan, dan distribusi.

Salah satu contoh untuk trace-ability bahan baku ialah mengenai jumlah lot, tanggal panen, identifikasi, rantai pemilik produk, input produksi (pupuk, irigasi, benih), termasuk tanggal aplikasi, serta sejumlah input lain.

Perluasan pasar

Selain peningkatan daya saing, dipandang perlu juga melakukan tindakan perluasan pasar, terutama ke negara-negara yang relatif tidak terkena dampak krisis, seperti kawasan Timur Tengah dan Eropa Timur. Meski demikian, perluasan pasar ini tidak segampang yang diucapkan karena memerlukan waktu dan menuntut kejelian intelijen pasar. Namun, kita tidak bisa selalu menggantungkan pada pasar tunggal meskipun negara tersebut merupakan pasar terbesar serta menjanjikan harga paling menguntungkan.

Di kawasan Timur Tengah terdapat negara kaya, sedangkan perekonomian Eropa Timur saat ini sedang berkembang cukup pesat. Data Departemen Kelautan dan Perikanan 2008 menunjukkan, nilai ekspor produk perikanan kita ke Timur Tengah tercatat mencapai 40 juta dollar AS per tahun dengan rincian ke Arab Saudi 18 juta dollar AS, Jordania 15 juta dollar AS, dan Mesir 7 juta dollar AS.

Melihat potensi pasar yang ada, bukan tidak mungkin nilai ekspor tersebut bisa lebih ditingkatkan. Walaupun pemasok produk perikanan ke Timur Tengah juga negara lain seperti Filipina, Thailand, dan China, produk perikanan Indonesia diperkirakan memiliki peluang besar untuk dapat diterima. Sebab, negara kita dan Timur Tengah memiliki kesamaan sebagai negara berpenduduk mayoritas Muslim. Adanya sertifikat halal yang dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia akan sangat dipercaya negara-negara itu.

Solusi lain untuk menyelamatkan produk perikanan kita adalah memperkuat dan merebut pasar dalam negeri. Artinya, masih tingginya permintaan domestik sejatinya harus menjadi tumpuan bagi pelaku perikanan untuk memperpanjang daya tahan hidupnya.

Namun, pasar dalam negeri pun akan tertekan daya beli masyarakat, bahkan kemungkinan pasar domestik bakal diserbu pula produk dumping dari luar negeri. Ini mengingat pelaku perikanan di luar negeri juga berupaya mencari pasar lain setelah pasar domestiknya tertekan. Itu terbukti dengan munculnya kasus eksportir kita yang diduga melakukan tindakan pemindahan barang antarkapal (transshipment) dari China, beberapa waktu lalu.

Dalam hal ini pemerintah harus benar-benar serius mencegah gempuran masuknya produk perikanan dari luar negeri walaupun dalam konteks era globalisasi pasar. Kasus ikan patin asal Vietnam yang kini mulai merambah pasar dalam negeri dan dikenal dengan sebutan ikan dori hanya contoh kecil yang harus diwaspadai karena ternyata menjadi pesaing kuat bagi ikan patin dalam negeri.

Tidak ada cara lain untuk memperkuat pasar domestik kecuali menjaga daya beli masyarakat tetap tinggi dan menggelorakan terus kampanye makan ikan. Berikutnya, pembenahan manajemen suplai dan distribusi sering menjadi persoalan krusial.

MUHAMAD HUSEN Ketua Departemen Perikanan Budidaya DPP HNSI


1 komentar:

http://iiss08.student.ipb.ac.id mengatakan...

krisis global memang merupakan keadaan yang bisa membuat keadaan perekonomian merendah, tapi buakn berarti kita akan kalah karena krisis global tersebut. maju terus perikanan indonesia.