Oleh Suhana
Juli 2008 akan menjadi gerbang menuju “kehancuran” pembangunan kelautan dan perikanan Indonesia, di mana laut akan dikaveling-kaveling sesuai dengan yang dipesan para investor. Hal ini disebabkan akan berlaku efektifnya Undang-Undang No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Selain itu, sejak Januari 2008, Departemen Kelautan dan Perikanan juga telah memberlakukan secara efektif Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 5 Tahun 2008 tentang Izin Usaha Perikanan Tangkap. Kedua peraturan tersebut memberikan peluang kepada semua orang untuk mengkaveling laut sebagai sarana usaha di sektor perikanan dan kelautan.
Penolakan masyarakat terhadap pengkavelingan laut tersebut sangat tinggi, mengingat akan mengancam nasib para nelayan dan keberlanjutan sumber daya ikan di wilayah perairan Indonesia.
Undang-Undang No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil mengatur masalah Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3) yang dapat dimiliki oleh siapa saja dan dapat diperjualbelikan.
Dengan bermodal sertifikat HP-3 para pengusaha besar dapat dengan leluasa memanfaatkan wilayah perairan dengan rencana usahanya.
Dalam sebuah diskusi di Universitas Satya Negara Indonesia (USNI) beberapa waktu yang lalu pihak TNI-AL menyatakan bahwa penyelundupan narkoba dan barang terlarang lainnya selama ini lebih banyak dilakukan lewat laut karena sistem dan sarana pengawasan di laut Indonesia belum memadai.
Dengan demikian, apabila HP-3 tersebut diberlakukan maka tidak menutup kemungkinan akan dijadikan sarana untuk menyelundupkan narkoba atau barang terlarang lainnya, dengan berkedok usaha perikanan.
Apabila HP-3 dibiarkan begitu saja maka nelayan kecil yang umumnya melakukan aktivitas penangkapan ikan diwilayah tersebut akan semakin tersingkirkan. Sementara itu, hegemoni pemodal besar dan birokrasi lokal akan semakin menguat.
Akumulasi modal yang terjadi hanya akan diserap oleh pemilik modal dan tidak oleh masyarakat. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi di wilayah pesisir hanya akan menguntungkan para pemodal besar dan penguasa lokal, sementara para nelayan dan pembudidaya ikan kecil akan semakin termarginalkan.
Perang Sumber Daya
Hal yang sama juga terjadi dalam pengelolaan perikanan tangkap yang diatur dalam Permen No 5 Tahun 2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap. Pasal 74 Permen tersebut secara jelas mengatakan bahwa pengelolaan perikanan tangkap akan dilakukan secara klaster dengan batasan wilayah sebesar koordinat daerah penangkapan ikan.
Artinya bahwa pengelolaan perikanan akan semakin dikotak-kotakan dan nelayan kecil yang umumnya tidak memiliki izin di wilayah koordinat tersebut akan semakin tersingkirkan. Akibatnya “perang sumber daya” yang merebutkan sumbe rdaya ikan antara nelayan kecil dengan para pengusaha besar di wilayah pesisir akan semakin tinggi.
Apalagi pemerintah saat ini sudah memberlakukan kembali trawl di perairan Indonesia melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 6 Tahun 2008, walaupun baru terbatas di wilayah Kalimantan Timur. Namun demikian apabila sistem klaster ini dilaksanakan maka tidak menutup kemungkinan para pengusaha perikanan akan menguras sumber daya ikan di wilayah klasternya dengan mengguakan trawl.
Hal ini disebabkan faktor pengawasan dan penindakan keamanan di wilayah laut yang masih jauh dari optima. Dengan demikian keberlanjutan sumber daya ikan di wilayah perairan Indonesia akan semain teracam.
Padahal data Food Outlook (FAO 2007) menunjukan bahwa produksi perikanan tangkap Indonesia mengalami penurunan sebesar 4,55 persen. Penurunan tersebut dua kali lebih besar dari rata-rata penurunan produksi perikanan dari sepuluh negara produser perikanan dunia, yaitu sebesar 2,37 persen. Hal ini memperkuat dugaan para ahli bahwa kondisi sumber daya ikan di beberapa wilayah perairan sudah mengalami degradasi.
Berdasarkan hal tersebut, pemeritah perlu secara cepat melakukan berbagai upaya guna menyelamatkan sumber daya perikanan di wilayah perairan Indonesia. Publikasi FAO lainnya pada tahun yang sama (2007) malah menggambarkan bahwa kondisi sumber daya ikan di sekitar perairan Indonesia, terutama di sekitar perairan Samudera India dan Samudera Pasifik sudah menujukan kondisi full exploited.
Di perairan Samudera Hindia kondisinya bahkan cenderung mengarah kepada overexploited. Artinya bahwa dikedua perairan tersebut saat ini sudah tidak memungkinkan lagi untuk dilakukan ekspansi penangkapan ikan secara besar-besaran.
Dewan Perikanan Nasional
Berdasarkan kondisi diatas terlihat bahwa menjelang akhir pemeritahan Indonesia Bersatu ini, arah pembangunan kelautan dan perikanan semakin tidak jelas keberpihakannya terhadap nasib nelayan dan keberlanjutan sumber daya ikan.
Diawal-awal pemerintahannya padahal terlihat semangat pemerintah untuk berupaya mensejahterakan nelayan dan melestarikan sumber daya ikan tersebut. Hal ini terlihat dari program revitalisasi perikanan dan kelautan.
Namun sampai saat ini, kondisi perikanan Indonesia belum mengalami “kevitalan” kembali seperti yang diharapkan. Yang terjadi pemerintah bahkan akan menguras habis sumber daya ikan yang tersedia di wilayah perairan Indonesia tersebut. Artinya bukan “memvitalkan” akan tetapi “menghancurkan” sumber daya ikan.
Guna mengembalikan semangat pemerintah untuk melestarakn sumber daya ikan dan kesejahteraan nelayan maka sudah saatnya mempertimbangkan pembentukan Dewan Perikanan Nasional yang sudah diamanatkan oleh Undang-Undang No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Namun demikian sampai saat ini pemerintah belum menerbitkan Keputusan Presiden tentang Dewan Perikanan Nasional.
Dalam undang-undang perikanan tersebut dijelaskan bahwa tugas dari Dewan Perikanan Nasional tersebut adalah memberikan pertimbangan arah kebijakan pembangunan perikanan guna mempercepat dan memperjelas pembangunan perikanan nasional.
Dewan Perikanan Nasional tersebut dipimpin langsung oleh Presiden RI dan beranggotakan dari instansi pemerintah, pelaku usaha perikanan, masyarakat nelayan dan masyarakat umum yang peduli terhadap pembangunan perikanan nasional.
Berdasarkan hal tersebut diatas maka beberapa hal yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah pertama, amandemen dan revisi kedua peraturan perundang-undangan yang telah memarginalkan nasib nelayan Indonesia, yaitu UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan Permen Kelautan, Perikanan No 5 Tahun 2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap, dan Permen Kelautan dan Perikanan No 6 Tahun 2008 tentang Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela di Perairan Kabupaten Kalimantan Timur Bagian Utara Kedua, mempercepat terbentuknya Keputusan Presiden tentang Dewan Perikanan Nasional. Keberadaan dewan perikanan tersebut sangat diperlukan guna menyatukan semua kepentingan dalam pembangunan perikanan nasional.
Dus, tanpa adanya upaya tersebut dikhawatirkan pembangunan perikanan akan semakin berpihak kepada para pemodal besar dan memarginalkan nelayan kecil dan kelestarian sumber daya ikan. Oleh sebab itu kemauan politik dari pemerintah dan dukungan dari masyarakat luas sangat diperlukan.
Penulis adalah dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Satya Negara Indonesia (USNI) Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar