14 Juli, 2008

BBM, Nelayan, dan Pencurian Ikan

Mufid A. Busyairi

Anggota Komisi IV DPR RI dari Fraksi Kebangkitan Bangsa

Lonceng "kematian" nelayan tengah ditabuh. Guncangan sosial-ekonomi akibat kenaikan harga bahan bakar minyak beruntun lebih dari 150 persen pada 2005 belum pulih, kini nelayan dihadapkan pada guncangan dari banyak lini yang jauh lebih dahsyat. Pemicu munculnya guncangan itu adalah kenaikan harga BBM 28,7 persen, 24 Mei lalu. Tanpa banyak disadari, kenaikan harga BBM ternyata membiakkan ragam persoalan yang berpotensi memiskinkan nelayan.

Pertama, kenaikan harga BBM membuat armada perikanan rakyat dan perikanan nasional menghentikan aktivitasnya. Ini terjadi bukan hanya karena pasokan terbatas dan pembelian dibatasi, tapi juga karena kenaikan harga BBM membuat biaya operasional penangkapan melonjak. Perkiraan moderat kenaikan harga BBM membuat biaya meningkat 30-40 persen, meliputi BBM serta makanan dan minuman. Dihadapkan pada risiko yang kian besar, kenaikan biaya operasi membuat nelayan dan armada perikanan berpikir seribu kali untuk melaut.

Sebelum kenaikan harga BBM, nelayan sudah kesulitan melaut. Menurut data Masyarakat Perikanan Nusantara (Koran Tempo, 16 Mei 2008), nelayan yang melaut di sepanjang Pantura Jawa tinggal 35 persen. Selain karena faktor cuaca, nelayan tak mampu membeli solar. Pada 2005, nelayan masih bisa melaut dengan mengoplos solar dengan minyak tanah. Setelah program konversi minyak tanah ke elpiji, minyak tanah kian mahal dan semakin sulit didapat. Setelah harga BBM naik, lengkap sudah penderitaan nelayan.

Nelayan kecil dengan kapasitas kapal di bawah 10 gross ton adalah kelompok nelayan yang paling rawan terpukul kenaikan harga BBM. Menurut Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Departemen Kelautan dan Perikanan (2007), rata-rata pendapatan 2,7 juta nelayan kecil di Indonesia hanya Rp 445 ribu per keluarga per bulan. Pendapatan ini jauh di bawah pendapatan standar hidup layak. Setelah harga BBM, hidup mereka akan kian menderita.

Kedua, untuk menghemat BBM, armada perikanan skala besar akan mengalihkan wilayah tangkapan ke wilayah pesisir. Padahal pesisir sudah mengalami tangkap lebih. Ini tak hanya mengancam sumber kehidupan nelayan tradisional, tapi juga berpotensi menimbulkan konflik horizontal karena penyerobotan wilayah perikanan tradisional. Akibatnya, konflik nelayan tradisional-armada perikanan besar semakin akut dan terbuka.

Ketiga, pencurian ikan oleh kapal asing kian merajalela. Data menunjukkan, akhir Mei 2008, kapal pengawasan telah menangkap 15 unit kapal asing di perairan Kepulauan Natuna. Nelayan dari pantai selatan Jawa di Kabupaten Cianjur melaporkan maraknya kapal-kapal modern berbendera asing menangkap ikan dengan pukat harimau di perairan itu. Kedua peristiwa ini terjadi tak lama setelah kenaikan harga BBM. Mengapa itu terjadi?

Kapal pengawas milik Departemen Kelautan dan Perikanan serta patroli TNI AL juga menggunakan BBM. Bahkan 90 persen biaya operasional kapal berasal dari BBM. Kenaikan harga BBM akan mengurangi aktivitas pengawasan. Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi dalam rapat kerja dengan Komisi IV DPR, 23 Juni 2008, menjelaskan, akibat kenaikan harga BBM, sisa 29 hari operasi 21 kapal DKP menyusut tinggal 21 hari. Pengawasan yang mengendur akan berimplikasi pada kian maraknya pencurian.

Selama ini, dengan 21 dari 70 (kebutuhan) kapal pengawas yang diawaki 232 orang dari kebutuhan 408 awak sepanjang 2007 berhasil menangkap 184 kapal (89 di antaranya kapal asing) yang melakukan aktivitas ilegal di perairan Indonesia. Januari-Juni 2008, 155 kapal ikan ditangkap. Data ini menunjukkan tren aktivitas pencurian makin naik. Ketika patroli kapal pengawas kendur, pencurian dipastikan kian merajalela. Padahal pencurian ikan (terutama oleh asing) tiap tahun merugikan negara Rp 30 triliun.

Kondisi ini tak bisa dibiarkan. Dalam jangka pendek, perlu dilakukan langkah-langkah darurat. Fokus kebijakan diarahkan pada upaya menekan pencurian ikan dan membuat armada perikanan tetap beroperasi. Pertama, memberikan subsidi BBM kepada nelayan dan kapal pengawas. Menurut hitungan Karim (2008), nilai subsidi perikanan Rp 5,74 triliun (35 persen). Ini didasarkan pada asumsi kenaikan harga BBM dunia (US$ 120 per barel) dan kenaikan rata-rata biaya operasional. Jika dikonversi dalam rupiah (kurs Rp 9.323), harga BBM 12,3 juta kiloliter untuk kebutuhan perikanan mencapai Rp 16,4 triliun. Bila subsidinya 35 persen, harga BBM perikanan semestinya Rp 4.575 per liter, bukan Rp 5.500 per liter.

Kedua, memasok kebutuhan energi untuk perikanan. Caranya, mengoptimalkan 225 unit SPDN (solar packed dealer untuk nelayan) yang kapasitasnya baru 20 persen dan mengakselerasi pendirian SPDN hingga mencapai 600 buah. Birokrasi Pertamina yang rumit membuat pendirian SPDN berjalan lambat dan pasokan BBM jauh dari memadai. Tertutupnya akses nelayan pada SPDN plus rendahnya pasokan BBM di SPDN membuat biaya operasi nelayan naik berkali lipat, tak sebanding dengan perolehan hasil melaut.

Ketiga, mengembangkan teknologi dan alat bantu penangkapan hemat BBM, seperti rumpon, lampu celup bawah air, GPS, alat penghemat konsumsi BBM pada mesin kapal, penggunaan biofuel dan energi alternatif lain (seperti energi angin dan matahari). Keempat, mengembangkan budidaya ikan yang tak menggunakan BBM, seperti budidaya rumput laut, ikan lele, patin, nila, dan gurame. Ini bisa dimaknai sebagai diversifikasi pendapatan nelayan, seperti laiknya pengembangan mata pencaharian lewat pengolahan.

Kelima, diversifikasi teknologi. Nelayan jatuh miskin karena sering kali gagal beradaptasi dengan variasi musim ikan akibat terbatasnya jenis alat tangkap. Di Pasuruan, musim teri nasi adalah Desember-April. Setelah April, mereka butuh alat tangkap lain agar bisa menangkap ikan selain teri (Satria, 2008). Ini terjadi pada nelayan daerah lain. Keterbatasan modal membuat nelayan hanya punya satu alat tangkap, sehingga kepastian hidupnya hanya saat musim teri. Aneka langkah ini mutlak harus dilakukan, jika pemerintah tidak ingin dituding telah memberikan lisensi yang amat murah kepada kapal-kapal asing untuk menguras sumber daya perikanan nasional dengan cara menaikkan harga BBM.

Sawah, hutan, dan lautan adalah serangkai cikal kesejahteraan yang kita miliki tapi diurus setengah hati. Namun, jangankan kepada semesta, kepada nelayan, manusia yang punya rasa dan nyawa, pemerintah kerap menutup mata. Menaikkan harga BBM, bagi orang-orang Istana, enteng saja. "Demonya tidak akan lamalah," katanya. Mungkin perkara biasa untuk mereka. Tapi bagi nelayan dan kebanyakan rakyat Indonesia, itu air mata, menyakitkan seperti menyaksikan perahu sumber hidup anak dan keluarga nelayan kita yang dibakar negara tetangga.

Tidak ada komentar: