pengelolaan kawasan konservasi perairan tidak terlepas dari pengelolaan sumberdaya ikan
secara keseluruhan. Konservasi sumberdaya ikan adalah upaya melindungi
melestarikan dan memanfaatkan sumberdaya ikan untuk menjamin keberadaan,
ketersediaan dan kesinambungan jenis ikan bagi generasi sekarang maupun yang
akan datang. Sebagai upaya konservasi wilayah perairan, pesisir dan pulau-pulau
kecil, pemerintah telah menetapkan kebijakan
penetapan target nasional konservasi
laut yang disampaikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
pada pertemuan Convention on Biological
Diversity (CBD) di Brazil tahun 2006, yaitu pencanangan target
10 juta hektar kawasan konservasi Laut pada tahun 2010, dan
selanjutnya target 20 juta hektar pada tahun 2020, sebagaimana
pernyataan Presiden mengenai Coral Triangle Initiative (CTI) dalam
forum APEC Leaders Meeting di Sydney,
2007.
Mandat CBD mengamanatkan setiap negara melaksanakan pengelolaan efektif
kawasan konservasi perairan sebesar 10 (sepuluh) persen dari wilayah teritorial
lautnya. Indonesia memiliki wilayah teritorial laut seluas lebih kurang 310
juta hektar, komitmen Indonesia untuk
mengelola 20 Juta Hektar Kawasan Konservasi pada tahun 2020 masih baru
menjangkau sekitar 6 (enam) persen, belum memenuhi total 10 (sepuluh) persen
wilayah teritorial yang terhitung mencapai tidak kurang dari 31 juta hektar.
Komitmen konservasi tentu merupakan bentuk keberpihakan kepada masyarakat dan
nelayan lokal, mengingat wilayah terumbu karang berada di kawasan perairan
pesisir dan pulau-pulau kecil yang dapat dimanfaatkan untuk perikanan
berkelanjutan bagi masyarakat, bukan untuk nelayan besar atau eksploitasi
sumberdaya yang berlebihan. Dukungan kebijakan kebijakan nasional dalam
pengembangan kawasan konservasi perairan dibuat secara menyeluruh dan terpadu
serta mempertimbangkan desentralisasi dalam pelaksanaannya. Berbagai
kebijakan, peraturan, pedoman terkait pengelolaan kawasan konservasi perairan
telah dikembangkan.
Paradigma
baru pengelolaan kawasan konservasi perairan, pesisir dan pulau-pulau kecil, semakin
memperkuat keberpihakan konservasi terumbu karang untuk kesejahteraan
masyarakat lokal, paradigma ini paling tidak memuat dua hal penting, pertama: Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan diatur dengan sistem
ZONASI. Paling tidak, ada 4 (empat) pembagian zona yang dapat dikembangkan di
dalam Kawasan Konservasi Perairan, yakni: zona inti, zona
perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan dan zona lainnya. Zona perikanan berkelanjutan tidak pernah
dikenal dan diatur dalam regulasi pengelolaan kawasan konservasi kawasan
konservasi terdahulu baik menurut UU No. 5 tahun 1990 dan PP No. 68 tahun 1998. Kedua: Desentralisasi
Kewenangan Pengelolaan,
yakni pengelolaan kawasan
konservasi yang selama ini menjadi kewenangan pemerintah pusat saja, kini berdasarkan
UU
No. 27 Tahun 2007 (Lebih lanjut, pengaturan mengenai kawasan konservasi di wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil juga telah diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan
Perikanan Nomor: Per.17/Men/2008) dan PP No. 60 Tahun 2007 serta Permen Men KP no
Per.02/Men/2009, Pemerintah
daerah diberi kewenangan dalam mengelola kawasan konservasi di wilayahnya.
Hal ini sejalan dengan mandat UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah,
sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 12 tahun 2008, khususnya
terkait pengaturan pengelolaan wilayah laut
dan konservasi.
Pengaturan sistem zonasi dalam pengelolaan
kawasan konservasi serta
perkembangan desentralisasi dalam pengelolaan kawasan konservasi, jelas hal ini
merupakan pemenuhan hak-hak bagi masyarakat lokal, khususnya nelayan. Kekhawatiran akan mengurangi
akses nelayan yang disinyalir banyak pihak dirasakan sangat tidak mungkin. Justru hak-hak tradisional
masyarakat sangat diakui dalam pengelolaan kawasan konservasi. Masyarakat
diberikan ruang pemanfaatan untuk perikanan di dalam kawasan konservasi (zona
perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan,
maupun zona lainnya), misalnya untuk budidaya dan penangkapan ramah lingkungan
maupun pariwisata bahari dan lain sebagainya. Pola-pola seperti ini dalam
konteks pemahaman konservasi terdahulu (sentralistis) hal ini belum banyak
dilakukan. Peran Pemerintah pusat dalam
konteks ini, hanya memfasilitasi dan menetapkan kawasan konservasi, sedangkan
proses inisiasi, identifikasi, pencadangan maupun pengelolaannya secara
keseluruhan dilakukan dilakukan sepenuhnya oleh pemerintah daerah. Hak-hak
tradisional masyarakat adat sangat dijaga dalam pengelolaan konservasi kawasan
yang dilakukan, pun demikian manfaat kawasan konservasi yang diperoleh
sepenuhnya untuk kepentingan masyarakat lokal, seperti Contoh pengelolaan kawasan konservasi di Bintan, melalui program coremap
telah dikembangkan mata pencaharian alternatif pengelolaan kepiting bakau di
KKP-D. Hasilnya cukup lumayan, bahkan dapat dijadikan wisata saat pemanenannya
(wisata kuliner/seafood kepiting). di Raja Ampat, dikelola dengan sistem
Pungutan Konservasi berupa PIN bagi pengunjung KKP-D untuk kegiatan menyelam
dll. Sistem buka tutup (sasi) yang dikembangkan di Kawasan Kawe - Raja Ampat
telah memberikan hasil ekonomi yang signifikan bagi masyarakat. KKP tersebut
ditutup 1 tahun dan dibuka di akhir periode, dengan hasil lebih Rp.1,5 juta hanya
dalam waktu 1 minggu saja.
Terdapat
sejumlah kegiatan ekonomi yang dilaksanakan oleh kelompok-kelompok masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi perairan di lokasi binaan COREMAP
II, sebagaimana ditulis dalam “Konservasi sumberdaya Ikan
berbasis Kearifan Lokal”. Diantaranya di wilayah barat, salah satu
kegiatan ekonomi yang diminati dan memiliki prospek yang baik adalah budidaya
perikanan. Jenis-jenis kegiatan budidaya perikanan tersebut antara lain; (i)
pembesaran ikan kerapu, (ii) pembesaran kepiting bakau, dan (iii) pembesaran
ikan lele. Kegiatan ini meskipun mempunyai siklus panen yang relatif panjang
(rata-rata 3 s/d 8 bulan), tetapi dengan pengelolaan waktu yang efektif
kegiatan budidaya ini tetap memberikan manfaat bagi kelompok-kelompok masyarakat
yang melaksanakannya. Hingga tahun 2010 kegiatan pembesaran
ikan kerapu, kepiting bakau dan ikan lele yang masih berjalan dan sedang dalam
pengembangan adalah di Batam (pembesaran ikan kerapu), Lingga (pembesaran ikan
kerapu), Bintan (kepiting bakau) dan ikan lele (Tapteng). Meskipun
kegiatan pembesaran ikan kerapu di Batam belum memberikan peningkatan
pendapatan secara langsung bagi kelompok-kelompok masyarakat, akan tetapi
sejumlah kelompok masyarakat telah melakukan panen beberapa kali, yaitu di
Pulau Mubud, Pulau Abang dan Pulau Karas. Secara umum, 1 kelompok masyarakat (1
KK) mendapat dukungan pembiayaan sebanyak Rp. 15 juta, dalam masa 8 bulan akan
panen dengan hasil Rp. 15 juta. Hasil ini dibagi menjadi 3 bagian, yaitu Rp. 4
juta digunakan untuk membeli bibit baru, Rp. 3 juta digunakan untuk mencicil
pinjaman, dan Rp. 8 juta digunakan untuk kebutuhan hidup keluarga selama 8
bulan, jadi rata-rata Rp. 1 juta perbulan. Saat proses pembesaran, anggota
kelompok masyarakat ini telah menjalankan aktifitas penangkapan ikan dengan
jadual yang tetap (seperti biasanya) karena pembesaran ikan kerapu tidak
membutuhkan waktu yang banyak dalam pemeliharaannya. Hasil tangkapan yang
kualitasnya bagus akan dijual dan selebihnya digunakan sebagai pakan.
Pendapatan kelompok masyarakat menangkap ikan sekitar Rp 500 – Rp. 750 ribu
perbulan. Untuk kegiatan pembesaran ikan lele di
Tapteng mengalami perkembangan yang cukup pesat. Umumnya kelompok masyarakat
mulai mengembangkan kegiatannya dengan menambah kolam yang tadinya hanya 1 unit
sekarang menjadi 3 sampai 4 unit kolam dengan biaya sendiri. Investasi awal
yang digunakan oleh setiap kelompok (1 KK) sekitar Rp. 3 juta. Dalam waktu 3 bulan,
ikan peliharaan dipanen, dan dari panen diperoleh hasil rata-rata sebesar Rp.
400 – Rp. 600 ribu setiap unit kolam, sehingga dengan 3 unit kolam mereka
memperoleh hasil rata-rata Rp. 1.200.000 – Rp. 1.600.000. Sebelum melakukan
kegiatan pembesaran ikan lele anggota kelompok masyarakat memiliki aktifitas
memancing dan berdagang dengan penghasilan rata-rata sebesar Rp. 600 ribu.
Dengan adanya kegiatan pembesaran ikan lele ini, pendapatan kelompok masyarakat
menjadi meningkat. Sementara kegiatan
pembesaran kepiting bakau meskipun telah beberapa kali panen, tetapi hasilnya
masih digunakan untuk pengadaan bibit dan pakan. Hal ini disebabkan karena
kelompok masyarakat belum mampu meningkatkan kapasitas produksi. Beberapa
faktor yang menyebabkan hasil panen tidak sesuai dengan perencanaan karena
pencurian kepiting oleh monyet dan banyaknya kepiting yang lepas. Akan tetapi,
kegiatan pembesaran kepiting bakau ini memiliki nilai lebih karena lokasi dan
penataan tempatnya cukup baik, sehingga areal pembesaran dijadikan sebagai
lokasi wisata dan edukasi bagi siswa sekolah.
Berkembangnya kegiatan
budidaya ikan kerapu di Batam dan budidaya ikan lele di Tapteng telah mampu
mengispirasi masyarakat yang lainnya (di luar kelompok binaan COREMAP II) untuk
mencoba bahkan menggeluti dengan lebih serius kegiatan budidaya ini secara
swadaya (kemampuan sendiri). Kegagalan usaha yang selama ini menghantui masyarakat seakan sirna dan
berganti dengan semangat serta keyakinan yang tinggi bahwa kegiatan budidaya ini
akan memberikan keuntungan/manfaat yang besar bukan hanya secara ekonomi
(pendapatan meningkat), tetapi juga akan memberikan jaminan kelestarian
sumberdaya terumbu karang dan asosiasinya. Kelompok masyarakat di
Pulau Mubud, Pulau Karas dan Pulau Abang secara kontinyu mengawasi serta
menjaga lingkungan perairan agar terhindar dari pencemaran akibat tumpahan
limbah kapal, rusak akibat praktek perikanan destruktif, sampah rumah tangga
dan lain-lain, karena semuanya itu akan mengganggu kegiatan budidaya yang
mereka lakukan.
Tak berbeda
dengan di wilayah barat, di wilayah
timur terlaksana kegiatan budidaya yang cukup potensial seperti budidaya rumput
laut di Kabupaten Biak Numfor, Buton, Sikka dan Wakatobi. Contohnya yang telah dikembangkan oleh masyarakat di kawasan
pulau Pai dan Nusi ,Kabupaten Biak sebagai mata pencaharian alternatif yang sangat digemari oleh
masyarakat setempat. Hal ini selain
pemeliharaannya mudah, cepat panen juga ada yang menampung hasilnya. Selama ini
masyarakat melakukan budidaya rumput laut hanya masih sebatas “pilot project” yang awalnya dibantu oleh
Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Biak.
Walaupun demikian
masyarakat mulai bisa merasakan bahwa budidaya rumput laut ini cukup
menjanjikan karena pasarnya sudah jelas.
Pada saat ini pengembangan rumput laut masih terbatas dari segi luasan
maupun minat dan pengetahuan masyarakat akan budidaya rumput laut. Oleh karena itu kedepan perlu penelitian yang
lebih seksama pada daerah lain untuk pengembangannya yang secara lingkungan
cukup potensial. Kendala utama yang
dihadapi masyarakat sekarang ini adalah masalah pengetahuan, sumber bibit dan
modal awal. Melalui program pengembangan
mata
pencaharian alternatif dalam pemngelolaan kawasan konservasi terumbu karang di wilayah COREMAP II, maka usaha ini bisa menjadi
solusi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Salah satu kegiatan mata pencaharian
alternatif yang
dapat diandalkan di Kabupaten Raja Ampat adalah usaha ikan hidup di Kampung
Manyaifun. Kegiatan ini dilakukan oleh Bapak Elias Maturuti. Kegiatan ini
dilihat oleh pihak program cukup strategis untuk mengintervensi peminimalan
cara tangkap yang tidak ramah lingkungan.
Melalui Pak Elias diminta untuk tidak membeli ikan dari nelayan yang
melakukan penangkapan dengan cara yang tidak ramah dan ikut membantu
menyampaikan pesan konservasi kepada para nelayan yang memasok ikan hidup.
Adapun dana perolehan awal yaitu sebesar
Rp. 10.000.000,- di peruntukan penambahan modal pembelian ikan hidup
terhadap masyarakat serta renovasi keramba penampung. Hal ini dirasakan sangat
bermanfaat karena selama ini hanya mengandalkan modal sendiri yang jumlahnya
pas-pasan sekarang telah terbantu dengan fasilitas yang mudah diakses serta
mengerti kondisi obyektif di lapangan. Disamping itu adanya pembekalan secara
informal yang dilakukan staf lapangan terhadap manajemen usaha yang baik sangat
mempengaruhi jalanya usaha yang ditekuninya.
Kegiatan budidaya ikan hias dan ikan hidup di Indonesia wilayah bagian Timur meskipun
belum dimanfaatkan secara optimal, namun budidaya ini merupakan salah satu mata pencaharian
alternatif di bagian zona perikanan berkelanjutan pada kawasan konservasi
perairan yang
potensial serta dapat membuat masyarakat pesisir untuk bersama-sama menjaga
lingkungan ke arah yang lebih baik secara berkelanjutan. Selain di Kawasan
Konservasi, kegiatan budidaya perikanan juga dilakukan di area pemanfaatan umum
wilayah pesisir dan laut desa mereka. Oleh karena itu program COREMAP II II memfasilitasi
masyarakat mengembangkan potensi ikan hias ini, salah satunya adalah di
kabupaten Pangkep yang telah mampu menjalin jalur pemasaran dengan pihak
eksportir di Jakarta. Sampai dengan tahun 2009, telah ada 3 kelompok nelayan di
Pangkep dan 1 kelompok di Buton yang mengikuti program dan telah memiliki
jaringan perdagangan dengan eksportir yang berstatus memiliki sertifikasi
Marine Aquatic Council (MAC). Proses Sertifikasi untuk kedua lokasi
dilaksanakan pada tahun 2010 lalu.
Kegiatan budidaya kepiting
juga teah diupayakan di kawasan konservasi serta disekitar daerah perlindungan
laut masyarakat pada lokasi
program COREMAP II wilayah timur khususnya di Kab Biak dan Buton. Di Kabupaten
Biak budidaya kepiting ini telah dicoba dan diusahakan oleh mayarakat kampung
Mnurwar Distrik Oridek. Kegiata ini
cukup berhasil, namun kondisi prasarana pendukung seperti bahan keramba
yang masih sederhana hanya menggunakan patok-patok bambu sehingga banyak
kepiting yang akhirnya lolos. Selain itu
tingkat pengetahuan mereka tentang tehnik budidaya ini juga masih sangat
terbatas. Dari sisi pasar pada saat itu
sudah terdapat permintaan secara kontinyu. Pengembangan budidaya ini belum
optimal tetapi potensi usaha ini cukup besar. Ke depan budidaya ini perlu
mendapat perhatian sebagai salah satu mata pencaharian alternatif yang cukup prospektif. Hal ini juga
terjadi di Kabupaten Buton ,sehingga penguatan dan pengembangan dari berbagai
pihak sangat dibutuhkan.
Dalam mendukung
efektivitas pengelolaan kawasan konservasi, harapan ekonomi tak hanya
berkembang di wilayah perairan dan sekitar kawasan konservasi saja. Usaha
masyarakat di bidang perdagangan
juga berkembang di beberapa wilayah COREMAP, salah satu contohnya di Raja
Ampat. Perolehan dana alternative
Income Generation ‘distrik Fund’
sejumlah Rp. 15.000.000,- telah merubah total kehidupan Bapak Ma Udin Kampung
Yenwaupnor. Dengan
bermodalkan semangat ingin membantu masyarakat kampung serta pengalaman kerja
dagang kaki limanya di tambah dengan kepercayaan yang di berikan oleh petugas
Lapangan Coremap II Kabupaten Raja Ampat, Bpk. Ma Udin dengan kiosnya telah
dapat memenuhi kebutuhan masyarakat Kampung Yenwaupnor pada umunya dan dengan
kiosnya pula Bpk. Ma Udin sekarang telah memperoleh Omzet Perbulan berkisar 15
Juta sampai dengan 25 juta perbulan dengan keuntungan bersih bisa mencapai 5
juta sebulan. Keberhasilan ini di peroleh dari pelayanan terhadap kebutuhan
masyarakat yang berbanding lurus dengan kepentingan Bisnis. Selain kegiatan
usaha kios Pak Ma Udin juga pembeli ikan asin dari masyarakat dengan
memperhatikan harga yang saling menguntungkan dengan pihak penjual. Komitmen
ini yang dipegang Pak Ma Udin untuk ikut mengembangkan ekonomi masyarakat
setempat. Di
desa Gerak Makmur kabupaten Buton juga telah berkembang kedai/warung yang
menjual beberapa bahan pokok, mereka menyebutnya dengan ‘Kedai COREMAP’, kedai
ini mampu menyuplai kebutuhan pokok masyarakat bahkan bahan bakar yang
diperlukan oleh nelayan desa sekitarnya seperti desa Lapandewa Makmur,
Burangasi, Lakaliba dan Lapandewa.
Tingkat
partisipasi masyarakat yang tinggi untuk turut mengelola kawasan konservasi
perairan yang dikelola pemerintah/pemerintah daerah di beberapa daerah
sebagaimana dikemukakan tersebut, jelas
menganulir pernyataan pihak tertentu bahwa program konservasi terumbu karang yang dilakukan
melalui program COREMAP membatasi
akses nelayan tradisional dan mengabaikan kearifan lokal dalam mengelola dan
memanfaatkan sumberdaya laut. Pernyataan pihak dimaksud jelas tidak beralasan, contohnya
di Wakatobi, dalam
pelaksanaan COREMAP II, kolobarasi
antara pemerintah daerah, masyarakat dan pengelola
taman nasional Wakatobi berjalan dengan baik, masyarakat mempunyai ruang
membuat DPL (Daerah Perlindungan Laut) di zona pemanfaatan tradisional Taman
Nasional. Ada 28 DPL yang diinisiasi masyarakat di Wakatobi, kemudian secara keseluruhan
lokasi program COREMAP II lebih dari 400 DPL telah diinisiasi dan dikelola oleh
masyarakat lokal. Jadi tidak benar jika Masyarakat nelayan tidak dilibatkan
dalam pembentukan pengelolaan konservasi wilayah pesisir. Proses pembentukan DPL-DPL
di seluruh desa COREMAP II sejak awal diinisiasi masyarakat terlibat dan aktif
berpartisipasi, proses identifikasi potensi desa, konsultasi publik, sampai
pengesahan/penetapan oleh Desa seluruhnya berbasis masyarakat. Masyarakat
secara partisipatif membuat peta/denah lokasi DPL, menyusun aturan pengelolaan
yang kemudian dikukuhkan aturannya dalam Peraturan Desa (PERDES). Rencana
pengelolaan terumbu karang (RPTK) yang merupakan petunjuk dan arahan bagi desa
dalam mengelola DPL, disusun dan dibuat oleh masyarakat dengan dibantu oleh
beberapa fasilitator. DPL-DPL tersebut
merupakan bagian “No Take Area” dari
Kawasan Konservasi Perairan Kabupaten. Disamping itu, program COREMAP II telah
memberikan perhatian khusus terhadap keberadaan Suku Bajo khususnya di wilayah
Sulawesi Tenggara. Sebagai bagian proses pembelajaran, buku “Bajo Berumah di Laut
Nusantara”, telah diterbitkan oleh COREMAP II.
Beberapa
penuturan cerita
di atas, merupakan pembelajaran COREMAP II, dapat dilihat bahwa kegiatan-kegiatan
mata
pencaharian alternatif sangat
penting dalam sebuah program yang mendorong perubahan perilaku masyarakat dalam
memelihara alamnya serta mengelola kawasan konservasi terumbu karang yang
lestari. Para pelaku pencaharian alternatif ini dapat menjadi mitra pelaku
konservasi, karena masyarakat akan
memelihara alam jika mereka mendapat manfaat ekonomi dari alam itu. Sementara “Kedai COREMAP”
tidak kalah membanggakan, karena kedai ini telah mampu menyuplai kebutuhan
pokok masyarakat, bahkan bahan bakar untuk kebutuhan nelayan melaut.
Berdasarkan paparan keberhasilan program mata pencaharian alternatif, maka
pelibatan masyarakat sebagai mitra pelaku konservasi adalah upaya COREMAP untuk
mengubah perilaku masyarakat dalam memelihara kelestarian ekosistem terumbu
karang dan asosiasinya. Teramat jelas guratan asa alternatif ekonomi masyarakat
lokal tergambar dari semangat dan upayanya melestarikan terumbu karang. Semoga
upaya positif ini tetap terjaga untuk mewujudkan terumbu karang sehat, ikan
berlimpah dan masyarakat yang sejahtera. (sji)
SURAJI
surajis.wordpress.com
http://suraji78.blogspot.com
http://suraji.s5.com
Kepala Seksi Perlindungan dan Pelestarian Kawasan
Head of Conservation Area Protection and Preservation
Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan, Ditjen KP3K - Kementerian Kelautan dan Perikanan
Directorate of Conservation Area and Fish Species, Directorate General of Marine, Coasts and Small Islands, Ministry of Marine Affairs and Fisheries.
Jl. Medan Merdeka Timur No. 16, Gd. Mina Bahari III lt. 10 Jakarta Pusat. T./F. +62 21-3522045
Tidak ada komentar:
Posting Komentar