Oleh
Muhamad Karim
Sinar Harapan 31 Maret 2009. Sebentar lagi World Ocean Conference (WOC) akan berlangsung di Manado (11-15 Mei 2009). Dalam diskusi di Sinar Harapan 25 Maret 2009, Robert Mangindaan, Ketua Forum Pengkajian Pertahanan dan Maritim, mengajukan sebuah pertanyaan, pesan politik apa yang akan kita bawa di WOC? Forum yang akan diikuti 121 negara dan telah mendapatkan dukungan Amerika Serikat, Jepang, Uni Eropa dan Australia ini jelas memiliki kepentingan politik biarpun dibungkus isu perubahan iklim. Ada tiga agenda besar yang saling bertautan di Manado , yaitu WOC, Coral Triangle Inisiative (CTI) dan Fleet Review (Agustus 2009).
Kawasan segitiga terumbu karang itu mencakup Indonesia, Papua Nugini, Filipina, Timor Leste, Malaysia, Solomon, Australia. Kawasan ini diperkirakan mampu mengatasi masalah perubahan iklim global dan menyerap karbon. Di sini Indonesia memegang banyak keunggulan. Pertama, kawasan Indonesia di lepas pantai maupun daratan kepulauannya memiliki sumber daya minyak dan gas yang berlimpah. Amerika Serikat dan Uni Eropa berkepentingan dengan WOC. Sebab, pelbagai perusahaan pertambangan multinasional mereka beroperasi di kawasan CTI. Celakanya, perusahaan-perusaha an itu diduga keras membuang limbah ke laut sekitar 3.000 ton per tahun.
Kedua, kawasan CTI memiliki sumber daya perikanan melimpah jenis pelagis besar. Perairan Arafura, Aru, Halmahera, Banda, Laut Flores, Laut Sulawesi sampai Samudera Pasifik adalah jalur migrasi ikan tuna dunia. Hasil riset terbaru, perairan bagian barat Pulau Sumbawa termasuk fishing ground ikan tuna. Forum WOC juga mengagendakan ikan tuna. Bukankah ikan tuna tergolong migratory species yang tak ada kaitannya dengan terumbu karang? Para ilmuwan mengaitkannya dengan penggunaan BBM dalam operasi penangkapan tuna yang meningkatkan emisi CO2.
Ajang bagi Indonesia
Dr Raymond Tan dari Center for Engineering Sustainable Development and Research, De La Salle University, Filipina, menyimpulkan (2008), total carbon footprint sebesar 51% bersumber langsung dari operasi penangkapan ikan. Laporan FAO 2008 menyebutkan rasio rata-rata penggunaan bahan bakar dengan emisi CO2 dalam kegiatan perikanan tangkap yaitu 3 teragram CO2 per satu juta ton bahan bakar yang dipergunakan. Kedua justifikasi ini mengindikasikan seolah-olah aktivitas perikanan tuna menghasilkan emisi karbon sehingga perlu diatur dalam kesepakatan internasional. Atau, negara maju (misal Amerika Serikat) ingin ikut mengatur perdagangan tuna jenis Southern Bluefin Tuna (SBT) yang harganya “amat mahal” karena selama ini hanya dikendalikan Jepang, Australia dan Selandia Baru dalam Commission for Conservation Southern Bluefin Tuna (CCSBT)?
Ketiga, kawasan ini merupakan kawasan terumbu ka-rang yang tersubur di dunia selain Great Barrier Reef di Australia (penutupan karang >50%). Di CTI akan ditetapkan kawasan konservasi laut (KKL) sampai seluas 10 juta hektare di tahun 2010. Saat ini baru mencapai 5.370.026 hektare (54%), yang dari luasan itu Indonesia mencakup 4.787.367 hektare (89,15%).
Keempat, kawasan ini berlokasi pulau-pulau kecil (PPK) strategis untuk pangkalan militer, seperti Morotai, Biak, Buru , Miangas dan Banda. Fleet Review (FR) yakni pamer kekuatan angkatan laut berlangsung dekat Taman Laut Bunaken yang juga memiliki PPK. Apa ini ada kaitannya dengan agenda keamanan laut di Pasifik (Maritime Security)? Atau, Amerika Serikat mengincar salah satu pulau kecil di CTI Indonesia untuk pangkalan militernya. Atau, mengamankan kepentingan oligopoli/oligopson i dari Jepang, Australia dan Selandia Baru atas perikanan Southern Bluefin Tuna (SBT) yang fishing ground-nya di pantai selatan Pulau Jawa, Bali, NTB dan perairan Australia.
WOC sejatinya menjadi ajang bagi Indonesia melahirkan political message yang bermanfaat bagi kepentingan nasionalnya. Pertama, tentang illegal fishing. WOC bisa dijadikan tempat bagi Indonesia meminta kesepakatan yang mengikat untuk “menghentikan” aktivitas illegal fishing di perairan Indonesia maupun kawasan CTI. Kedua, membangun kesepakatan dengan negara maju yang memiliki perusahaan pertambangan untuk menghentikan pembuangan limbahnya di lautan yang bisa mematikan terumbu karang, memupus populasi ikan dan biota laut, serta merusak ekosistem pantai.
Pertanggungjawaban Negara Maju
Ketiga, momentum untuk memastikan keselamatan nelayan Indonesia . Pasalnya, di Australia dan Filipina, nelayan kita kerap ditangkap dengan alasan melanggar batas Zona Ekonomi Eksklusifnya. Padahal, hukum laut internasional (UNCLOS) membolehkan nelayan tradisional menangkap ikan di mana pun di dunia. Problemnya, ada perbedaan terminologi “nelayan tradisional” versi Australia dan Indonesia. Indonesia perlu menarik kedua negara tetangganya itu untuk bersepakat tentang kategori nelayan tradisional yang sesuai UNCLOS 1982.
Keempat, forum WOC menjadi ajang bagi Indonesia untuk menaikkan posisinya dalam organisasi perdagangan tuna sirip biru (Commission for Conservation Southern Bluefin Tuna, CCSBT) dan organisasi tuna internasional (Indian Ocean Tuna Commission). Pasalnya dalam CCSBT, (i) Indonesia hanya sebagai peninjau belum menjadi anggota penuh; (ii) fishing ground SBT sampai di pantai selatan Jawa, Bali dan NTB, dan (iii) Indonesia dianggap sebagai unregulated countries dalam perikanan SBT di mana 2006 melebihi kuota; (iv) Jepang, Australia dan Selandia Baru sudah menguasai perikanan SBT sejak tahun 1960-an.
Kelima, menuntut pertanggungjawaban negara-negara maju (Amerika Serikat, China dan Uni Eropa) sebagai penyumbang terbesar dalam peningkatan emisi CO2 di bumi. Mereka tak hanya memaksa negara berkembang memperluas kawasan konservasi lautnya dengan iming-iming kucuran dana US$ 250 juta dalam skema CTI. Melainkan, mereka wajib menurunkan emisi karbonnya dan masuk skema Protokol Kyoto.
Di Indonesia, tekanan yang “berjubah” konservasi ini sudah dimulai di Selat Pantar, Kabupaten Alor akibat perluasan KKL dari 48.004,4 hektare menjadi 400.008,3 hektare (naik 88%) yang terumbu karangnya 3.331,007 hektare (Kompas, 24 Maret 2009). Perluasan KKL berpotensi meminggirkan nelayan tradisional dan tak menjamin akan mampu menurunkan emisi karbon. Makanya, negara-negara maju harus mau mengurangi emisi karbonnya, dan tak membebankannya kepada negara-negara berkembang dengan dalih konservasi maupun warisan dunia (world heritage).
Kolonialisme baru datang bersenjatakan “konservasi” dan “perubahan iklim”, di baliknya membonceng kepentingan ekonomi untuk mendapatkan minyak, gas, dan sumber daya mineral lainnya di lautan, tuna sirip biru dan pariwisata bahari. Sekaligus memperkuat hegemoni politiknya di kawasan Asia Pasifik.
Penulis adalah Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim.
Muhamad Karim
Sinar Harapan 31 Maret 2009. Sebentar lagi World Ocean Conference (WOC) akan berlangsung di Manado (11-15 Mei 2009). Dalam diskusi di Sinar Harapan 25 Maret 2009, Robert Mangindaan, Ketua Forum Pengkajian Pertahanan dan Maritim, mengajukan sebuah pertanyaan, pesan politik apa yang akan kita bawa di WOC? Forum yang akan diikuti 121 negara dan telah mendapatkan dukungan Amerika Serikat, Jepang, Uni Eropa dan Australia ini jelas memiliki kepentingan politik biarpun dibungkus isu perubahan iklim. Ada tiga agenda besar yang saling bertautan di Manado , yaitu WOC, Coral Triangle Inisiative (CTI) dan Fleet Review (Agustus 2009).
Kawasan segitiga terumbu karang itu mencakup Indonesia, Papua Nugini, Filipina, Timor Leste, Malaysia, Solomon, Australia. Kawasan ini diperkirakan mampu mengatasi masalah perubahan iklim global dan menyerap karbon. Di sini Indonesia memegang banyak keunggulan. Pertama, kawasan Indonesia di lepas pantai maupun daratan kepulauannya memiliki sumber daya minyak dan gas yang berlimpah. Amerika Serikat dan Uni Eropa berkepentingan dengan WOC. Sebab, pelbagai perusahaan pertambangan multinasional mereka beroperasi di kawasan CTI. Celakanya, perusahaan-perusaha an itu diduga keras membuang limbah ke laut sekitar 3.000 ton per tahun.
Kedua, kawasan CTI memiliki sumber daya perikanan melimpah jenis pelagis besar. Perairan Arafura, Aru, Halmahera, Banda, Laut Flores, Laut Sulawesi sampai Samudera Pasifik adalah jalur migrasi ikan tuna dunia. Hasil riset terbaru, perairan bagian barat Pulau Sumbawa termasuk fishing ground ikan tuna. Forum WOC juga mengagendakan ikan tuna. Bukankah ikan tuna tergolong migratory species yang tak ada kaitannya dengan terumbu karang? Para ilmuwan mengaitkannya dengan penggunaan BBM dalam operasi penangkapan tuna yang meningkatkan emisi CO2.
Ajang bagi Indonesia
Dr Raymond Tan dari Center for Engineering Sustainable Development and Research, De La Salle University, Filipina, menyimpulkan (2008), total carbon footprint sebesar 51% bersumber langsung dari operasi penangkapan ikan. Laporan FAO 2008 menyebutkan rasio rata-rata penggunaan bahan bakar dengan emisi CO2 dalam kegiatan perikanan tangkap yaitu 3 teragram CO2 per satu juta ton bahan bakar yang dipergunakan. Kedua justifikasi ini mengindikasikan seolah-olah aktivitas perikanan tuna menghasilkan emisi karbon sehingga perlu diatur dalam kesepakatan internasional. Atau, negara maju (misal Amerika Serikat) ingin ikut mengatur perdagangan tuna jenis Southern Bluefin Tuna (SBT) yang harganya “amat mahal” karena selama ini hanya dikendalikan Jepang, Australia dan Selandia Baru dalam Commission for Conservation Southern Bluefin Tuna (CCSBT)?
Ketiga, kawasan ini merupakan kawasan terumbu ka-rang yang tersubur di dunia selain Great Barrier Reef di Australia (penutupan karang >50%). Di CTI akan ditetapkan kawasan konservasi laut (KKL) sampai seluas 10 juta hektare di tahun 2010. Saat ini baru mencapai 5.370.026 hektare (54%), yang dari luasan itu Indonesia mencakup 4.787.367 hektare (89,15%).
Keempat, kawasan ini berlokasi pulau-pulau kecil (PPK) strategis untuk pangkalan militer, seperti Morotai, Biak, Buru , Miangas dan Banda. Fleet Review (FR) yakni pamer kekuatan angkatan laut berlangsung dekat Taman Laut Bunaken yang juga memiliki PPK. Apa ini ada kaitannya dengan agenda keamanan laut di Pasifik (Maritime Security)? Atau, Amerika Serikat mengincar salah satu pulau kecil di CTI Indonesia untuk pangkalan militernya. Atau, mengamankan kepentingan oligopoli/oligopson i dari Jepang, Australia dan Selandia Baru atas perikanan Southern Bluefin Tuna (SBT) yang fishing ground-nya di pantai selatan Pulau Jawa, Bali, NTB dan perairan Australia.
WOC sejatinya menjadi ajang bagi Indonesia melahirkan political message yang bermanfaat bagi kepentingan nasionalnya. Pertama, tentang illegal fishing. WOC bisa dijadikan tempat bagi Indonesia meminta kesepakatan yang mengikat untuk “menghentikan” aktivitas illegal fishing di perairan Indonesia maupun kawasan CTI. Kedua, membangun kesepakatan dengan negara maju yang memiliki perusahaan pertambangan untuk menghentikan pembuangan limbahnya di lautan yang bisa mematikan terumbu karang, memupus populasi ikan dan biota laut, serta merusak ekosistem pantai.
Pertanggungjawaban Negara Maju
Ketiga, momentum untuk memastikan keselamatan nelayan Indonesia . Pasalnya, di Australia dan Filipina, nelayan kita kerap ditangkap dengan alasan melanggar batas Zona Ekonomi Eksklusifnya. Padahal, hukum laut internasional (UNCLOS) membolehkan nelayan tradisional menangkap ikan di mana pun di dunia. Problemnya, ada perbedaan terminologi “nelayan tradisional” versi Australia dan Indonesia. Indonesia perlu menarik kedua negara tetangganya itu untuk bersepakat tentang kategori nelayan tradisional yang sesuai UNCLOS 1982.
Keempat, forum WOC menjadi ajang bagi Indonesia untuk menaikkan posisinya dalam organisasi perdagangan tuna sirip biru (Commission for Conservation Southern Bluefin Tuna, CCSBT) dan organisasi tuna internasional (Indian Ocean Tuna Commission). Pasalnya dalam CCSBT, (i) Indonesia hanya sebagai peninjau belum menjadi anggota penuh; (ii) fishing ground SBT sampai di pantai selatan Jawa, Bali dan NTB, dan (iii) Indonesia dianggap sebagai unregulated countries dalam perikanan SBT di mana 2006 melebihi kuota; (iv) Jepang, Australia dan Selandia Baru sudah menguasai perikanan SBT sejak tahun 1960-an.
Kelima, menuntut pertanggungjawaban negara-negara maju (Amerika Serikat, China dan Uni Eropa) sebagai penyumbang terbesar dalam peningkatan emisi CO2 di bumi. Mereka tak hanya memaksa negara berkembang memperluas kawasan konservasi lautnya dengan iming-iming kucuran dana US$ 250 juta dalam skema CTI. Melainkan, mereka wajib menurunkan emisi karbonnya dan masuk skema Protokol Kyoto.
Di Indonesia, tekanan yang “berjubah” konservasi ini sudah dimulai di Selat Pantar, Kabupaten Alor akibat perluasan KKL dari 48.004,4 hektare menjadi 400.008,3 hektare (naik 88%) yang terumbu karangnya 3.331,007 hektare (Kompas, 24 Maret 2009). Perluasan KKL berpotensi meminggirkan nelayan tradisional dan tak menjamin akan mampu menurunkan emisi karbon. Makanya, negara-negara maju harus mau mengurangi emisi karbonnya, dan tak membebankannya kepada negara-negara berkembang dengan dalih konservasi maupun warisan dunia (world heritage).
Kolonialisme baru datang bersenjatakan “konservasi” dan “perubahan iklim”, di baliknya membonceng kepentingan ekonomi untuk mendapatkan minyak, gas, dan sumber daya mineral lainnya di lautan, tuna sirip biru dan pariwisata bahari. Sekaligus memperkuat hegemoni politiknya di kawasan Asia Pasifik.
Penulis adalah Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar