JAKARTA--MI: LSM Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mengatakan, studi yang mereka lakukan pada Desember 2008 menunjukkan bahwa lebih dari 23 pulau kecil berada di ambang kehancuran akibat praktik pertambangan.
Menurut siaran pers dari KIARA Jakarta, Selasa (23/12), praktik penambangan itu mengancam pulau kecil karena tidak mempertimbangkan keberlangsungan daya dukung lingkungan hidup dan keberlanjutan hidup masyarakat yang tinggal di pesisir dan pulau kecil.
KIARA juga mengemukakan, hal itu ironis karena praktik penambangan di wilayah pesisir dan laut nusantara telah dijadikan sebagai model pembangunan yang mengedepankan target ekonomis.
Mengenai Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) yang baru disahkan DPR pada 16 Desember 2008, LSM tersebut melihat bahwa sistem perizinan dengan pertimbangan administratif yang terdapat dalam UU tersebut tidak relevan dengan konteks Indonesia sebagai negara kelautan.
Menurut KIARA, seharusnya hal yang dijadikan dasar dari pertimbangan adalah karakter material pencemar yang terdapat dalam kegiatan pertambangan yang bersifat akumulatif dan dapat terdistribusi secara luas.
Sebelumnya, pengesahan RUU Minerba dalam Sidang Paripurna DPR di Jakarta, Selasa (16/12) diwarnai aksi keluar ruangan (walk out) tiga fraksi yakni Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB), dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Ketiga fraksi tersebut melakukan WO karena tidak setuju dengan ketentuan pasal 169 butir a dari RUU tersebut yang menurut mereka bersikap diskriminatif.
RUU Minerba pada bab 25 pasal 169 ayat a menyebutkan kontrak karya (KK) dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B) yang telah ada sebelum berlakunya UU ini tetap diberlakukan sampai jangka waktu berakhirnya kontrak/perjanjian.
Juru bicara Fraksi PAN, Zulkifli Halim mengatakan, selama ini pengusahaan pertambangan yang memakai sistem KK dan PKP2B tidak memberikan manfaat bagi negara. (Ant/OL-03)
Sumber: http://mediaindones ia.com/index. php?ar_id= NTI0NzA=
Abdul Halim
Menurut siaran pers dari KIARA Jakarta, Selasa (23/12), praktik penambangan itu mengancam pulau kecil karena tidak mempertimbangkan keberlangsungan daya dukung lingkungan hidup dan keberlanjutan hidup masyarakat yang tinggal di pesisir dan pulau kecil.
KIARA juga mengemukakan, hal itu ironis karena praktik penambangan di wilayah pesisir dan laut nusantara telah dijadikan sebagai model pembangunan yang mengedepankan target ekonomis.
Mengenai Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) yang baru disahkan DPR pada 16 Desember 2008, LSM tersebut melihat bahwa sistem perizinan dengan pertimbangan administratif yang terdapat dalam UU tersebut tidak relevan dengan konteks Indonesia sebagai negara kelautan.
Menurut KIARA, seharusnya hal yang dijadikan dasar dari pertimbangan adalah karakter material pencemar yang terdapat dalam kegiatan pertambangan yang bersifat akumulatif dan dapat terdistribusi secara luas.
Sebelumnya, pengesahan RUU Minerba dalam Sidang Paripurna DPR di Jakarta, Selasa (16/12) diwarnai aksi keluar ruangan (walk out) tiga fraksi yakni Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB), dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Ketiga fraksi tersebut melakukan WO karena tidak setuju dengan ketentuan pasal 169 butir a dari RUU tersebut yang menurut mereka bersikap diskriminatif.
RUU Minerba pada bab 25 pasal 169 ayat a menyebutkan kontrak karya (KK) dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B) yang telah ada sebelum berlakunya UU ini tetap diberlakukan sampai jangka waktu berakhirnya kontrak/perjanjian.
Juru bicara Fraksi PAN, Zulkifli Halim mengatakan, selama ini pengusahaan pertambangan yang memakai sistem KK dan PKP2B tidak memberikan manfaat bagi negara. (Ant/OL-03)
Sumber: http://mediaindones ia.com/index. php?ar_id= NTI0NzA=
Tidak ada komentar:
Posting Komentar