Pemerintah terus berupaya memperkuat perangkat hukum untuk menindak
tegas para pelaku illegal fishing. Diantaranya dengan menambah jumlah
pengadilan perikanan di beberapa kawasan yang rentan terhadap praktek
IUU Fishing. Setidaknya, negara dirugikan hingga Rp 240 Triliun setiap
tahunnya akibat aktivitas haram tersebut. Komitmen pemerintah dalam
menegakkan hukum di laut kali ini diwujudkan dengan menetapkan
pembentukan tiga pengadilan perikanan melalui Keputusan Presiden Nomor 6
Tahun 2014. “Tiga lokasi pengadilan perikanan yang ditetapkan yakni
Pengadilan Perikanan Ambon, Sorong dan Merauke”, ungkap Menteri Kelautan
dan Perikanan Susi Pudjiastuti usai menghadiri acara peresmian
pengadilan perikanan di Pengadilan Negeri Ambon, Kamis (11/12).

Menurut Susi, tiga lokasi pembentukan pengadilan perikanan tersebut
merupakan wilayah rawan kegiatan illegal fishing oleh kapal perikanan
asing (KIA) dan kapal perikanan Indonesia (KII). Wilayah laut Arafura
telah ditetapkan sebagai lumbung ikan nasional dan masuk ke dalam
Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 718. “Arafura merupakan perairan
yang kaya akan potensi ikan, sehingga kapal-kapal tertarik untuk
mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya, bahkan dilakukan dengan
cara-cara illegal”, kata Susi.
Setelah dianalisis dari satelit
radarsat, dalam setahun sebanyak 8.484 unit kapal yang tidak sesuai
izin operasi diduga melakukan aktivitas illegal fishing di Laut Arafura.
Kapal-kapal tersebut berukuran besar dan mampu menampung bobot ikan
sebanyak 2,02 juta ton. Sehingga, apabila estimasi harga ikan US$ 2 per
kg, maka total kerugian negara akibat illegal fishing di perairan
Arafura per tahun diperkirakan mencapai US$ 4,04 miliar atau sekitar Rp
40 triliun. Sementara itu, apabila dikalkulasi sejak 2001-2013, nilai
kerugiannya mencapai Rp. 520 triliun. “Saya berharap dengan dibentuknya
tiga pengadilan perikanan di Indonesia bagian Timur dapat meningkatkan
kualitas proses hukum tindak pidana perikanan, yang pada akhirnya
memberikan efek jera”, tegas Susi.
Susi menambahkan, penetapan
ketiga pengadilan perikanan itu melengkapi jumlah Pengadilan Perikanan
yang sudah terbentuk di tujuh lokasi sebelumnya. Lokasi itu antara lain
Pengadilan Perikanan di Medan, Jakarta Utara, Pontianak, Tual, Bitung,
Tanjung Pinang, dan Ranai di Provinsi Kepulauan Riau. “Pelaksanaan
penegakan hukum di laut sangatlah penting dan strategis guna mendukung
pengelolaan perikanan yang berkelanjutan. Untuk itu, pemerintah akan
terus mendorong pembentukan pengadilan perikanan di beberapa daerah”,
kata Susi.
Lebih lanjut Susi menjelaskan, pengadilan perikanan
dibentuk dalam rangka mempercepat proses penanganan tindak pidana
perikanan sampai dengan tahap putusan (inkracht). Sehingga, kapal-kapal
yang digunakan dalam tindak pidana perikanan masih dapat dimanfaatkan
secara optimal pada saat putusan dibacakan. “Sebagaimana diketahui,
tahun ini hasil operasi Kapal Pengawas Perikanan KKP telah berhasil
memeriksa 1.938 kapal perikanan. Kemudian menangkap 38 kapal perikanan
yang diduga illegal, dan untuk penindakannya memerlukan proses hukum
secara cepat dan tepat”, ungkap Susi.
Perlu diketahui, pembentukan
Pengadilan Perikanan merupakan amanat Pasal 71 Undang-undang Nomor 45
Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004
tentang Perikanan. Pengadilan tersebut berada di lingkungan peradilan
umum, dan diawaki oleh Majelis Hakim yang menangani perkara tindak
pidana perikanan. Majelis itu terdiri dari tiga orang, satu dari
kalangan hakim karir dan dua hakim ad hoc perikanan. Kemudian, dalam
rangka mengisi kebutuhan Hakim Adhoc Perikanan, KKP telah melakukan
kerja sama dengan Mahkamah Agung RI untuk mengadakan pendidikan bagi
hakim Ad Hoc Pengadilan Perikanan sejak tahun 2006, yaitu pada tahun
2006 telah mencetak sebanyak 28 orang, pada tahun 2009 sebanyak 19
orang, dan tahun 2012 sebanyak 20 orang.
Humas Psdkp
Tidak ada komentar:
Posting Komentar