Isu tentang bagaimana membayar utang Indonesia yang terus menumpuk, bahkan disebut-sebut begitu seorang anak lahir di negeri ini ia sudah ikut menanggung beban utang negara hingga Rp 7,7 juta, kini seperti menjadi pertanyaan dan pernyataan klise. Apalagi di tengah kebijakan pemerintah yang cenderung untuk terus berutang, lalu kapan kita akan mampu melunasinya?
Dihadapkan pada kenyataan ini, banyak kalangan pesimistis. Akan tetapi, benarkah kita sebagai bangsa tidak akan pernah bisa melunasi utang-utang yang sudah mencapai Rp 1.623 triliun tersebut hingga akhir zaman sehingga nasib negeri ini tak ubahnya bagai tokoh Sisiphus dalam mitologi Yunani Kuno, yang terus digantoli beban tak berkesudahan setiap kali harus naik ke puncak bukit?
Bagi pakar ekonomi maritim, seperti La Ode Masihu Kamaluddin, jalan untuk lepas dari ”kutukan Sisiphus” itu sebetulnya masih terbuka. ”Indonesia bisa bayar utang dari laut. Caranya? Kembangkan ekonomi maritim yang berbasis pantai,” kata Masihu, panggilan akrab lelaki kelahiran Kaledupa, sebuah pulau kecil di gugusan Kepulauan Tukang Besi yang kini menjadi bagian dari wilayah Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, ini.
Berkat pengembangan ekonomi maritim berbasis pantai, negara kepulauan seperti Maladewa mampu menghidupi negeri mereka dari potensi ekonomi kelautannya. Selain dari sektor perikanan dan perkapalan, lebih dari 500.000 wisatawan yang setiap tahun datang berlibur ke negara kecil di Samudra Hindia tersebut adalah sumber pendapatan utama mereka.
Sadar sebagai negara kepulauan, Maladewa memang memfokuskan pembangunan ekonomi mereka pada sektor kelautan: ekonomi berbasis pariwisata dan perikanan. Karena fokusnya jelas, hasilnya pun jelas. Dari sektor wisata bahari saja, sumbangan terhadap pendapatan kotor negara tercatat hingga 60 persen, mengantarkan pendapatan sekitar 300.000 jiwa penduduknya mencapai 3.460 dollar AS per kapita.
Baru sebatas potensi
Dalam hal potensi sumber daya laut dan pantai, Indonesia kurang apa? Selain potensi minyak dan gas bumi, seperti di blok Ambalat yang kini diincar Malaysia, emas, uranium, dan titanium pun terkandung di bawah dasar laut Nusantara. Belum lagi potensi perikanan serta keragaman jenis terumbu karang dan aneka biota laut yang bisa dikembangkan untuk kepentingan industri wisata bahari.
Dengan wilayah laut yang sangat luas dan pantai yang sangat panjang, kesempatan Indonesia untuk menggali sumber pendapatan negara memang masih terbuka lebar. Indonesia memiliki ratusan dan bahkan ribuan pulau, dengan panorama pantai dan keragaman sumber daya bawah lautnya yang tak ternilai, yang bisa dikembangkan untuk menarik kunjungan wisatawan mancanegara.
Di luar 13 kawasan wisata bahari yang diunggulkan oleh pemerintah, ratusan tempat lain juga tak kalah potensial untuk ditata. Di luar 16 lokasi penyelaman terbaik Indonesia versi hasil survei National Geographic Traveler Indonesia (NGTI), masih ada puluhan titik penyelaman lain yang bisa dikelola untuk para penjelajah bawah laut.
Sayangnya, pengelolaan wisata bahari di negara kepulauan terbesar di dunia ini—dengan potensi ekonomi kelautan yang tak ”alang kepalang” kayanya—belum menjadi suatu kebijakan yang terintegrasi. Semua masih setengah hati. Potensi laut yang begitu besar itu masih dilihat sebagai potensi semata, tanpa disertai orientasi kebijakan pengelolaan yang jelas dan terarah.
Dibandingkan dengan Thailand saja, dalam hal pengelolaan industri wisata bahari untuk bidang penyelaman, Indonesia tertinggal jauh. Meski lokasi penyelaman mereka kurang dari sepertiga yang dimiliki Indonesia, pendapatan Thailand dari wisata bahari ini sudah mencapai 240 juta dollar AS setahun. Indonesia? Hanya 10 persen dari total pendapatan mereka.
Pusat keunggulan
Wakatobi, sebuah kabupaten kepulauan di Sulawesi Tenggara, mencoba menangkap sinyal yang menempatkan laut sebagai harapan untuk masa depan kehidupan. Sebagai wilayah yang terletak di jantung segitiga karang dunia—meliputi enam negara: Indonesia, Malaysia, Filipina, Papua Niugini, Kepulauan Salomon, dan Timor Leste—Wakatobi memang dikaruniai keragaman jenis biota laut yang tak ternilai.
”Wakatobi memiliki 90 persen dari sekitar 850 jenis terumbu karang dunia dengan 914 spesies ikannya,” kata Hugua, Bupati Wakatobi.
Kekayaan laut inilah yang ingin dijadikan pusat keunggulan Wakatobi. Berangkat dengan visi besar yang terkesan ambisius, ”terwujudnya surga nyata bawah laut di jantung segitiga karang dunia”, Wakatobi pun menempatkan sektor perikanan, kelautan, dan pariwisata sebagai fokus pembangunan mereka. Untuk itu, sejumlah langkah berikut penyediaan sarana dan prasarana penopang mulai dibenahi, termasuk pembangunan bandar udara sebagai pintu gerbang masuk calon wisatawan.
”Tidak ada pilihan bagi kami, Wakatobi harus mengedepankan pembangunan ekonomi berbasis kelautan. Ini adalah niat, sebuah cita-cita, yang akan mengiringi perjalanan kami dalam membangun daerah ini,” kata Hugua.
Langkah besar itu memang sudah diayunkan. Namun, mengutip keprihatinan La Ode Masihu Kamaluddin, selama kebijakan pemerintah secara umum masih berorientasi ke darat, sulit untuk menggenjot pertumbuhan pembangunan kelautan.
Sambil ”menikmati” sengkarut persoalan menjelang pemilu presiden pada 8 Juli mendatang, kita sebagai anak bangsa layak berharap: akankah muncul calon pemimpin negeri ini yang benar-benar tergerak hatinya untuk menolehkan kebijakannya ke laut? Akankah muncul kesadaran bahwa sesungguhnya tumpuan masa depan bangsa ini ada di laut…. (KEN)
Sumber: http://cetak. kompas.com/
Dihadapkan pada kenyataan ini, banyak kalangan pesimistis. Akan tetapi, benarkah kita sebagai bangsa tidak akan pernah bisa melunasi utang-utang yang sudah mencapai Rp 1.623 triliun tersebut hingga akhir zaman sehingga nasib negeri ini tak ubahnya bagai tokoh Sisiphus dalam mitologi Yunani Kuno, yang terus digantoli beban tak berkesudahan setiap kali harus naik ke puncak bukit?
Bagi pakar ekonomi maritim, seperti La Ode Masihu Kamaluddin, jalan untuk lepas dari ”kutukan Sisiphus” itu sebetulnya masih terbuka. ”Indonesia bisa bayar utang dari laut. Caranya? Kembangkan ekonomi maritim yang berbasis pantai,” kata Masihu, panggilan akrab lelaki kelahiran Kaledupa, sebuah pulau kecil di gugusan Kepulauan Tukang Besi yang kini menjadi bagian dari wilayah Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, ini.
Berkat pengembangan ekonomi maritim berbasis pantai, negara kepulauan seperti Maladewa mampu menghidupi negeri mereka dari potensi ekonomi kelautannya. Selain dari sektor perikanan dan perkapalan, lebih dari 500.000 wisatawan yang setiap tahun datang berlibur ke negara kecil di Samudra Hindia tersebut adalah sumber pendapatan utama mereka.
Sadar sebagai negara kepulauan, Maladewa memang memfokuskan pembangunan ekonomi mereka pada sektor kelautan: ekonomi berbasis pariwisata dan perikanan. Karena fokusnya jelas, hasilnya pun jelas. Dari sektor wisata bahari saja, sumbangan terhadap pendapatan kotor negara tercatat hingga 60 persen, mengantarkan pendapatan sekitar 300.000 jiwa penduduknya mencapai 3.460 dollar AS per kapita.
Baru sebatas potensi
Dalam hal potensi sumber daya laut dan pantai, Indonesia kurang apa? Selain potensi minyak dan gas bumi, seperti di blok Ambalat yang kini diincar Malaysia, emas, uranium, dan titanium pun terkandung di bawah dasar laut Nusantara. Belum lagi potensi perikanan serta keragaman jenis terumbu karang dan aneka biota laut yang bisa dikembangkan untuk kepentingan industri wisata bahari.
Dengan wilayah laut yang sangat luas dan pantai yang sangat panjang, kesempatan Indonesia untuk menggali sumber pendapatan negara memang masih terbuka lebar. Indonesia memiliki ratusan dan bahkan ribuan pulau, dengan panorama pantai dan keragaman sumber daya bawah lautnya yang tak ternilai, yang bisa dikembangkan untuk menarik kunjungan wisatawan mancanegara.
Di luar 13 kawasan wisata bahari yang diunggulkan oleh pemerintah, ratusan tempat lain juga tak kalah potensial untuk ditata. Di luar 16 lokasi penyelaman terbaik Indonesia versi hasil survei National Geographic Traveler Indonesia (NGTI), masih ada puluhan titik penyelaman lain yang bisa dikelola untuk para penjelajah bawah laut.
Sayangnya, pengelolaan wisata bahari di negara kepulauan terbesar di dunia ini—dengan potensi ekonomi kelautan yang tak ”alang kepalang” kayanya—belum menjadi suatu kebijakan yang terintegrasi. Semua masih setengah hati. Potensi laut yang begitu besar itu masih dilihat sebagai potensi semata, tanpa disertai orientasi kebijakan pengelolaan yang jelas dan terarah.
Dibandingkan dengan Thailand saja, dalam hal pengelolaan industri wisata bahari untuk bidang penyelaman, Indonesia tertinggal jauh. Meski lokasi penyelaman mereka kurang dari sepertiga yang dimiliki Indonesia, pendapatan Thailand dari wisata bahari ini sudah mencapai 240 juta dollar AS setahun. Indonesia? Hanya 10 persen dari total pendapatan mereka.
Pusat keunggulan
Wakatobi, sebuah kabupaten kepulauan di Sulawesi Tenggara, mencoba menangkap sinyal yang menempatkan laut sebagai harapan untuk masa depan kehidupan. Sebagai wilayah yang terletak di jantung segitiga karang dunia—meliputi enam negara: Indonesia, Malaysia, Filipina, Papua Niugini, Kepulauan Salomon, dan Timor Leste—Wakatobi memang dikaruniai keragaman jenis biota laut yang tak ternilai.
”Wakatobi memiliki 90 persen dari sekitar 850 jenis terumbu karang dunia dengan 914 spesies ikannya,” kata Hugua, Bupati Wakatobi.
Kekayaan laut inilah yang ingin dijadikan pusat keunggulan Wakatobi. Berangkat dengan visi besar yang terkesan ambisius, ”terwujudnya surga nyata bawah laut di jantung segitiga karang dunia”, Wakatobi pun menempatkan sektor perikanan, kelautan, dan pariwisata sebagai fokus pembangunan mereka. Untuk itu, sejumlah langkah berikut penyediaan sarana dan prasarana penopang mulai dibenahi, termasuk pembangunan bandar udara sebagai pintu gerbang masuk calon wisatawan.
”Tidak ada pilihan bagi kami, Wakatobi harus mengedepankan pembangunan ekonomi berbasis kelautan. Ini adalah niat, sebuah cita-cita, yang akan mengiringi perjalanan kami dalam membangun daerah ini,” kata Hugua.
Langkah besar itu memang sudah diayunkan. Namun, mengutip keprihatinan La Ode Masihu Kamaluddin, selama kebijakan pemerintah secara umum masih berorientasi ke darat, sulit untuk menggenjot pertumbuhan pembangunan kelautan.
Sambil ”menikmati” sengkarut persoalan menjelang pemilu presiden pada 8 Juli mendatang, kita sebagai anak bangsa layak berharap: akankah muncul calon pemimpin negeri ini yang benar-benar tergerak hatinya untuk menolehkan kebijakannya ke laut? Akankah muncul kesadaran bahwa sesungguhnya tumpuan masa depan bangsa ini ada di laut…. (KEN)
Sumber: http://cetak. kompas.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar