07 April, 2009

Nelayan, Pahlawan Protein yang Terlupa & Tergilas

Hari Nelayan Indonesian Indonesia - Enam April, kali ini sepi. Seluruh komponen bangsa ‘tersibukkan’ perayaan Pemilihan Umum, yang sebenarnya tidak lebih istimewa, semacam rutinitas lima tahunan, tanpa perubahan. Bagai potret nasib nelayan, tak berubah. Terlupa dan tergilas. Industri tambang berkontribusi terhadap perusakan perairan dan perikanan, sebuah fakta yang layak direnungkan di hari Nelayan.

Sejumlah Koran yang saban hari memenuhi dengan pemberitaan seputar kampanye dan Situ Gintung—lebih tepatnya kampanye di Situ Gintung, juga melupakan hari nelayan. Tak ada berita tentang perayaan hari nelayan, tak ada profil nelayan luar biasa, yang saban hari mempertaruhkan nyawa, demi ikan segar yang terhidang di piring-piring penduduk perkotaan miskin hingga kaum the have. Bahkan jika anda berkunjung ke www.dkp.go.id, situs Departemen Kelautan dan Perikanan RI (DKP) tak ada satu kalimat pun menyinggung hari Nelayan. Ucapan selamat pun tak tampak.

Ada juga ajang internasional terkait kelautan bulan depan. Tapi, pagelaran WOC (World Ocean Conference) dan CTI (Coral Triangle Initiative) pada 11-15 Mei di Manado, Sulawesi Utara ini, belum menempatkan kepentingan Nelayan di atas segalanya. Dilihat dari agenda yang dibahas, pertemuan itu terkesan melindungi kepentingan negara-negara dan lembaga donor. Persoalan pokok lautan yang menjadi muara sedimentasi dan limbah industri, ‘surga’ bagi pencurian ikan oleh kapal-kapal asing, meluasnya degradasi ekosistem pesisir akibat industrialisasi pertambakan udang dan reklamasi pantai, serta dampak perubahan iklim yang kian terasa, terpinggir hasrat ekonomis sesaat. Inilah awal keraguan ajang internasional ini mampu menyelesaikan substansi persoalan kelautan dunia.

Fakta ini, isyarat betapa nelayan Indonesia akan terus tergilas dan terlupa. Sejumlah nelayan kita juga tertangkap di perairan Australia bernasib mengenaskan. Kapal mereka dibakar di lautan, mereka diproses pengadilan, sebelum akhirnya dicampakkan di bandara Kupang. Tak satupun aparat pemerintah menyambut kedatangan nelayan di bandara. Sepanjang 2007 sebanyak 980 nelayan yang merupakan awak 119 kapal ikan Indonesia ditangkap. Bahkan tahun sebelumnya, sekitar 2.500 nelayan dan 365 kapal ditangkap otoritas Australia.

Sungguh berbeda dengan mudahnya hilir mudik kapal asing di perairan Indonesia. Bahkan, sejumlah perusahaan perikanan asing mengkapling lautan sedemikian bebasnya di sejumlah perairan, seperti perairan Bali Utara, perairan Sapeken dan Kangaian Madura. Dan sejumlah perairan pesisir Sumatra dan Kalimantan. Mereka bahkan menggunakan bahan peledak, pukat harimau, dan sejenis alat tangkap yang kerap mengalahkan nelayan kita.

Perairan Indonesia bagai surga bagi nelayan asing dan medan perang bagi nelayan tradisional, mereka terkepung dari berbagai penjuru. Di samudera lepas kalah oleh kecepatan nelayan asing dengan peralatan canggihnya. Di pesisir pantai hingga 12 mil, mereka disibukkan gangguan-gangguan operasi perusahaan tambang baik skala kecil dan besar.

Pembuangan limbah PT Newmont Nusa Tenggara di teluk Senunu Sumbawa Nusa Tenggara Barat, membuat nelayan pesisir Sumbawa hingga Lombok Timur mengeluh pendapatannya menurun drastis. Ikan makin sulit ditangkap, sejak 120 ribu ton limbah tailing dibuang ke laut. Di Pulau Sumbawa, mulai pantai Sagena, Labuhan Lalar, Benete, Rantung, Snutuk hingga Tolanang, para nelayan mengeluhkan menurunnya hasil tangkap Cumi dan Tongkol, sejak tailing Newmont dibuang. Sementara di pulau Lombok – berdekatan dengan lokasi pembuangan tailing, nelayan Tanjung luar dan pulau Maringik melaporkan hal yang sama.

Pada Juni 2005, di sekitar tambang Newmont lainnya, Teluk Buyat Minahasa Sulawesi Utara, ada sekitar 266 warga yang pindah dari kampungnya ke Duminanga. Mereka berulang-ulang melaporkan menurunnya penghasilan hingga gangguan kesehatan sejak PT Newmont Minahasa Raya membuang tailingnya di Teluk Buyat. Kini, sekitar 5 juta ton lebih limbah tailing di sana.

Sementara PT Freeport Indonesia (FI), pada 2005 saja membuang tailingnya lebih dari 220 ribu ton perhari, telah merusak wilayah produktif berupa hutan, sungai, dan lahan basah. Tailing telah merusak hutan bakau seluas 21 – 63 km2. Bahkan sebagain pesisir kawasan Taman nasional Lorenz, situs warisan dunia ini terkena dampak penimbunan tailing PT FI. Hasil kajian ERA tahun 2002 menunjukkan sekitar 250 juta ton tailing dialirkan ke muara Ajkwa masuk ke laut Arafura.

Di Bengkulu lain lagi. Nelayan yang tinggal disekitar Desa Penago Baru dan Rawa Indah, Kecamatan Ilir Talo, Kabupaten Seluma, kini terancam pengerukan pasir besi Wealthy Ltd. asal Hongkong yang mendapatkan Kuasa Pertambangan (KP) dari Bupati Seluma No 35 Tahun 2005 seluas 3.645 ha, meliputi kawasan pemukiman hingga laut.

Akibatnya kawasan pantai yang dulu rimbun hijau hutan bakau, seluas 10 ha, juga berstatus kawasan Cagar Alam Pasar Talo, kini nyaris ludes. Sepanjang garis pantai, dalam tiga tahun terakhir terancam abrasi akut. Angin besar kerap menerpa pemukiman yang hanya berjarak 50 m dari bibir pantai. Mayoritas masyarakat yang semula menggantungkan hidupnya dari hasil laut kini gigit jari akibat perusahaan langsung menggelontorkan limbahnya ke laut lepas.

Perusahaan baru juga mengancam. Salah satunya, tambang emas PT Indo Multi Niaga di pesisir selatan Banyuwangi Jawa Timur. Perusahaan berencana menggunakan air Sungai Kali Baru untuk proses ekstraksi emas hingga 2,38 juta liter per hari dan membuang limbah tailing sebesar 2.361 ton/hari. Jika ini diteruskan, saat perusahaan tutup akan ada 3,4 juta ton tailing di laut Pancer dan sekitarnya. Limbah itu beresiko membuat industri perikanan Banyuwangi gulung tikar. Di Muncar saja, ada 
30-an pabrik pengalengan dan penepungan ikan, disusul ribuan nelayan mulai dari Pancer, Pondok dadap, Rajegwesi, Lampon, Muncar, bahkan hingga Bali, Sumenep, Prigi, dan Jember.

Daftar pencemaran laut oleh industri minyak tak kalah panjang. Pada 1994 tabrakan Kapal Tangker MV. Bandar Ayu dengan Kapal Ikan, Robeknya Tangker MT King Fisher (1999) Tenggelemnya HM HCC (2000) minyak mentah hasil eksplorasi Premiere Oil yang sudah beroperasi sejak tahun 1998 tumpah menghadirkan kerugian luar biasa bagi nelayan sekitar Tuban, Gresik, dan Lamongan (2002).

Tangkjer MT LL dan MT Lucky Lady menabrak karang (2004) dan sejumlah kerugian nelayan Madura saat operasi pertambangan Santos Oyong Australia di Sampang dan Gili Raje Sumenep menghancurkan 563 rumpon nelayan.

Tragisnya, menanggapi sederet tragedi di atas, pemerintah RI terkesan acuh. Mereka malah keluar dengan UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP-PPK), yang justru akan membatasi akses nelayan tradisional. Padahal, 60 persen penduduk Indonesia tinggal dan sangat tergantung sumber daya laut dan perikanan nasional di 8.090 desa pesisir. Mereka pelaku utama ekonomi Indonesia, yang terus didorong memenuhi ambisi ekspor non migas 15-20% pada 2009. Bahkan mereka terbukti berkontribusi besar dalam mendongkrak produk perikanan nasional sebesar 10 juta ton pertahun.

Mestinya kita berterimaksih kepada enam juta nelayan dan petambak tradisional Indonesia. Merekalah Pahlawan protein, yang menyediakan pemenuhan protein utama bagi penduduk negeri kepulauan ini. [ ] Editorial JATAM, 6 April 2009

Tidak ada komentar: