Oleh Muhamad Karim Dan Auhadillah Azizy
Pengelolaan wilayah pesisir dan laut di Indonesia sudah berlangsung lebih satu dasa-warsa. Sudah menghasilkan pelbagai dokumen, pemetaan, dan aturan main. Aturan main terakhir adalah Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K). Sayangnya UU itu menyisakan pelbagai kontroversi, mulai dari privatisasi perairan pesisir sampai belum terbitnya turunan UU itu berbentuk peraturan pemerintah (PP). Juga masih ada klausal aturan pengelolaan belum terakomodasikan, seperti teluk, delta, selat, estuaria dan tanjung. Kalaupun ada, sifatnya lokalitas dan tertentu. Misalnya, teluk Tomini di Provinsi Gorontalo. Maka, isu ketidakjelasan arah pengelolaan pesisir mengemuka.
Pengelolaan wilayah pesisir dan laut selama ini berbasis ekosistem yakni mangrove, terumbu karang, lamun dan pulau-pulau kecil (PPK). Model ini belum mengakomodasikan kawasan khusus yang tidak hanya memiliki keterkaitan ekologis, ekonomi dan social semata. Melainkan, memiliki keterkaitan geologis, antropologis serta complicated, seperti teluk, delta, selat, estuaria maupun tanjung. Anehnya, pengelolaan pesisir selama ini mengabaikan eksistensi kawasan khusus ini.
Kompleksitas kawasan ini yakni
pertama, ekosistem khas daerah tropik seperti mangrove, terumbu karang, lamun pantai berpasir dan pulau-pulau kecil juga berlokasi didalamnya. Uniknya lagi ekosistem itu memiliki flora teluk, dan fauna delta, selat, estuaria maupun tanjung eksotik. Ini disebabkan wilayah Indonesia dipisahkan garis Wallace yang membedakannya.
Kedua, secara ekologis kawasan ini memiliki keterkaitan dengan ekosistem daratan yang mencirikan keunikan flora dan faunanya. Umpamanya, ekosistem nipah mendominasi kawasan Delta Mahakam dan masih hidup ikan-ikan endemik (ikan baung, lais dan seluang) yang secara genetik memiliki kesamaan dengan ikan-ikan air tawar pulau Sumatera. Di hulunya hidup ikan pesut Mahakam yang di dunia hanya ada di daerah ini.
Ketiga, kawasan ini menyimpan situs-situs arkeologi yang menunjukkan eksistensi bangsa Indonesia sebagai bangsa maritim dan berbudaya bahari. Para arkeolog mensinyalir kawasan Delta sungai Batanghari di Jambi dan Estuaria Sungai Musi di Sumatera Selatan sebagai lokasi kerajaan maritim Sriwijaya yang dibuktikan dengan temuan perahu kuno, artefak peralatan rumah tangga serta alat penangkapan ikan.
Keempat, kawasan yang memilki aktivitas ekonomi beragam berupa dari jalur transportasi, perdagangan, perikanan, kota pantai, kepelabuhanan, pertambangan, dan industri. Kawasan teluk Jakarta, teluk Tomoni, teluk Cendrawasih, teluk Sibolga serta selat Malaka, selat Sunda, selat Ombai-Wetar, Delta Mahakam, selat Bali maupun Lombok merupakan kawasan khusus yang membutuhkan model pengelolaan tersendiri. Apabila terabaikan, maka berpotensi menciptakan konflik seperti kawasan selat Bali yang memisahkan pulau Jawa dan Bali karena manjadi fishing ground ikan Lemuru.
Konflik ini terjadi karena tumpang tindih aturan main dan hak kepemilikannya. Kawasan Delta Mahakam di Kabupaten Kutai Kartanegara tak bisa dimanfaatkan oleh siapapun karena kewenangannya dibawah Departemen Kehutanan. Pihak lain yang berkiprah di kawasan itu dianggap ilegal. Atau, intervensi asing di selat Malaka, selat Sunda, selat Lombok maupun Selat Ombai-Wetar karena termasuk alur pelayaran internasional strategis yang menghubungkan kawasan Atlantik dan Pasifik.
Kelima, kawasan ini kerapkali menjadi “keranjang sampah” untuk membuang sampah rumah tangga dan polutan. Kawasan Teluk Jakarta menjadi tempat pembuangan sampah masyarakat dan industri. Kasus kematian ikan masal ikan setiap tahunnya membuktikannya, Selat Malaka kerap mengalami tumpahan minyak maupun buangan air balas kapal laut yang melayarinya sehingga mengancam kehidupan ikan dan biota lainnya.
Pendekatan Kawasan
Berlakunya UU No. 27 Tahun 2007 tentang PWP3K bukan menyelesaikan masalah, tetapi malah memunculkan masalah baru. Berbagai hal yang melatarinya.
Pertama, UU itu merujuk pada peraturan yang diberlakukan di Kanada dan Jepang. Padahal kedua Negara itu secara geologis, kultural maupun klimatologi berbeda dengan Indonesia. Keduanya berada di daerah subtropis, keragaman sumberdayanya rendah, dan Kanada Negara kontinental. Sementara Indonesia berada di daerah tropis, keragaman sumberdaya dan budaya tinggi. Munculnya konsep hak pengelolaan perairan pesisir (HP3) dan pulau-pulau kecil menyalahi kultur pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya laut di Indonesia yang bersifat open access.
Kedua, naskah akademik yang digunakan menjustifikasi lahirnya UU ini bersifat text book thinking dan tak mempertimbangkan kondisi aktual wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Indonesia yang memiliki kawasan khusus. Akibatnya, semangat pengelolaannya bersifat administratif ketimbang kawasan. Contohnya, adanya klausal kewajiban daerah (Kabupaten/kota maupun Provinsi) berpesisir menyusun Rencana Strategis (Renstra) Pengelolaan pesisirnya adalah fakta tak terbantahkan. Mengapa tidak menggunakan pendekatan kawasan? Misalnya, renstra kawasan Delta Batanghari, Renstra Teluk Bone maupun Renstra Selat Bali.
Ketiga, dalam UU itu mengandung inkonsistensi subtansi maupun isi. Di situ ada pasal yang mengakui kearifan lokal dan hukum adapt. Tapi, di sisi lain ada pengaturan pengelolaan melalui privatisasi ala HP3. Lucunya, lagi HP3 ini perizinannya dikeluarkan pemerintah daerah Kabupaten/Kota. Padahal, kewenangan mereka menurut pasal 10 UU No 32 tahun 2004 hanya 1/3 dari provinsi (12 mil laut).
Keempat, para pakar yang menyusun dokumen maupun naskah akademik UU itu tak memiliki kapasitas dan kapabilitas pengetahuan memadai masalah kelautan dan pesisir Indonesia. Bahkan cenderung karbitan dan menduplikasi negara asing. Buktinya, terabaikannya kawasan-kawasan khusus dan keberatan pemerintah daerah dengan HP3 serta inkonsistensi dan kontroversi isi UU. Padahal tak selamanya dari negara asing itu cocok dengan Indonesia. Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (PPK) Indonesia amat penting mengedepankan pendekatan kawasan. Tak perlu menggunakan pendekatan ”administratif” yang berpotensi menimbulkan konflik antar daerah, aturan main maupun institusi negara. Terakomodasinya pendekatan kawasan dalam mengelola pesisir dan PPK setidaknya mampu membangun kesadaran kolektif dan soliditas antar institusi negara, masyarakat dan pemerintah daerah. Tak ada lagi ego institusional maupun daerah yang merasa paling ”kuasa” dalam suatu kawasan. Di masa datang pengelolaan yang berkembang adalah model pengelolaan dan pemanfataan delta, teluk, estuaria, selat, dan tanjung. Guna mewujudkannya, kehadiran disain institusional (organisasi dan aturan main) yang jelas dan tepat amatlah penting.
Penulis penulis adalah Direktur dan Sekretaris Eksekutif Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim.
Pengelolaan wilayah pesisir dan laut di Indonesia sudah berlangsung lebih satu dasa-warsa. Sudah menghasilkan pelbagai dokumen, pemetaan, dan aturan main. Aturan main terakhir adalah Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K). Sayangnya UU itu menyisakan pelbagai kontroversi, mulai dari privatisasi perairan pesisir sampai belum terbitnya turunan UU itu berbentuk peraturan pemerintah (PP). Juga masih ada klausal aturan pengelolaan belum terakomodasikan, seperti teluk, delta, selat, estuaria dan tanjung. Kalaupun ada, sifatnya lokalitas dan tertentu. Misalnya, teluk Tomini di Provinsi Gorontalo. Maka, isu ketidakjelasan arah pengelolaan pesisir mengemuka.
Pengelolaan wilayah pesisir dan laut selama ini berbasis ekosistem yakni mangrove, terumbu karang, lamun dan pulau-pulau kecil (PPK). Model ini belum mengakomodasikan kawasan khusus yang tidak hanya memiliki keterkaitan ekologis, ekonomi dan social semata. Melainkan, memiliki keterkaitan geologis, antropologis serta complicated, seperti teluk, delta, selat, estuaria maupun tanjung. Anehnya, pengelolaan pesisir selama ini mengabaikan eksistensi kawasan khusus ini.
Kompleksitas kawasan ini yakni
pertama, ekosistem khas daerah tropik seperti mangrove, terumbu karang, lamun pantai berpasir dan pulau-pulau kecil juga berlokasi didalamnya. Uniknya lagi ekosistem itu memiliki flora teluk, dan fauna delta, selat, estuaria maupun tanjung eksotik. Ini disebabkan wilayah Indonesia dipisahkan garis Wallace yang membedakannya.
Kedua, secara ekologis kawasan ini memiliki keterkaitan dengan ekosistem daratan yang mencirikan keunikan flora dan faunanya. Umpamanya, ekosistem nipah mendominasi kawasan Delta Mahakam dan masih hidup ikan-ikan endemik (ikan baung, lais dan seluang) yang secara genetik memiliki kesamaan dengan ikan-ikan air tawar pulau Sumatera. Di hulunya hidup ikan pesut Mahakam yang di dunia hanya ada di daerah ini.
Ketiga, kawasan ini menyimpan situs-situs arkeologi yang menunjukkan eksistensi bangsa Indonesia sebagai bangsa maritim dan berbudaya bahari. Para arkeolog mensinyalir kawasan Delta sungai Batanghari di Jambi dan Estuaria Sungai Musi di Sumatera Selatan sebagai lokasi kerajaan maritim Sriwijaya yang dibuktikan dengan temuan perahu kuno, artefak peralatan rumah tangga serta alat penangkapan ikan.
Keempat, kawasan yang memilki aktivitas ekonomi beragam berupa dari jalur transportasi, perdagangan, perikanan, kota pantai, kepelabuhanan, pertambangan, dan industri. Kawasan teluk Jakarta, teluk Tomoni, teluk Cendrawasih, teluk Sibolga serta selat Malaka, selat Sunda, selat Ombai-Wetar, Delta Mahakam, selat Bali maupun Lombok merupakan kawasan khusus yang membutuhkan model pengelolaan tersendiri. Apabila terabaikan, maka berpotensi menciptakan konflik seperti kawasan selat Bali yang memisahkan pulau Jawa dan Bali karena manjadi fishing ground ikan Lemuru.
Konflik ini terjadi karena tumpang tindih aturan main dan hak kepemilikannya. Kawasan Delta Mahakam di Kabupaten Kutai Kartanegara tak bisa dimanfaatkan oleh siapapun karena kewenangannya dibawah Departemen Kehutanan. Pihak lain yang berkiprah di kawasan itu dianggap ilegal. Atau, intervensi asing di selat Malaka, selat Sunda, selat Lombok maupun Selat Ombai-Wetar karena termasuk alur pelayaran internasional strategis yang menghubungkan kawasan Atlantik dan Pasifik.
Kelima, kawasan ini kerapkali menjadi “keranjang sampah” untuk membuang sampah rumah tangga dan polutan. Kawasan Teluk Jakarta menjadi tempat pembuangan sampah masyarakat dan industri. Kasus kematian ikan masal ikan setiap tahunnya membuktikannya, Selat Malaka kerap mengalami tumpahan minyak maupun buangan air balas kapal laut yang melayarinya sehingga mengancam kehidupan ikan dan biota lainnya.
Pendekatan Kawasan
Berlakunya UU No. 27 Tahun 2007 tentang PWP3K bukan menyelesaikan masalah, tetapi malah memunculkan masalah baru. Berbagai hal yang melatarinya.
Pertama, UU itu merujuk pada peraturan yang diberlakukan di Kanada dan Jepang. Padahal kedua Negara itu secara geologis, kultural maupun klimatologi berbeda dengan Indonesia. Keduanya berada di daerah subtropis, keragaman sumberdayanya rendah, dan Kanada Negara kontinental. Sementara Indonesia berada di daerah tropis, keragaman sumberdaya dan budaya tinggi. Munculnya konsep hak pengelolaan perairan pesisir (HP3) dan pulau-pulau kecil menyalahi kultur pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya laut di Indonesia yang bersifat open access.
Kedua, naskah akademik yang digunakan menjustifikasi lahirnya UU ini bersifat text book thinking dan tak mempertimbangkan kondisi aktual wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Indonesia yang memiliki kawasan khusus. Akibatnya, semangat pengelolaannya bersifat administratif ketimbang kawasan. Contohnya, adanya klausal kewajiban daerah (Kabupaten/kota maupun Provinsi) berpesisir menyusun Rencana Strategis (Renstra) Pengelolaan pesisirnya adalah fakta tak terbantahkan. Mengapa tidak menggunakan pendekatan kawasan? Misalnya, renstra kawasan Delta Batanghari, Renstra Teluk Bone maupun Renstra Selat Bali.
Ketiga, dalam UU itu mengandung inkonsistensi subtansi maupun isi. Di situ ada pasal yang mengakui kearifan lokal dan hukum adapt. Tapi, di sisi lain ada pengaturan pengelolaan melalui privatisasi ala HP3. Lucunya, lagi HP3 ini perizinannya dikeluarkan pemerintah daerah Kabupaten/Kota. Padahal, kewenangan mereka menurut pasal 10 UU No 32 tahun 2004 hanya 1/3 dari provinsi (12 mil laut).
Keempat, para pakar yang menyusun dokumen maupun naskah akademik UU itu tak memiliki kapasitas dan kapabilitas pengetahuan memadai masalah kelautan dan pesisir Indonesia. Bahkan cenderung karbitan dan menduplikasi negara asing. Buktinya, terabaikannya kawasan-kawasan khusus dan keberatan pemerintah daerah dengan HP3 serta inkonsistensi dan kontroversi isi UU. Padahal tak selamanya dari negara asing itu cocok dengan Indonesia. Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (PPK) Indonesia amat penting mengedepankan pendekatan kawasan. Tak perlu menggunakan pendekatan ”administratif” yang berpotensi menimbulkan konflik antar daerah, aturan main maupun institusi negara. Terakomodasinya pendekatan kawasan dalam mengelola pesisir dan PPK setidaknya mampu membangun kesadaran kolektif dan soliditas antar institusi negara, masyarakat dan pemerintah daerah. Tak ada lagi ego institusional maupun daerah yang merasa paling ”kuasa” dalam suatu kawasan. Di masa datang pengelolaan yang berkembang adalah model pengelolaan dan pemanfataan delta, teluk, estuaria, selat, dan tanjung. Guna mewujudkannya, kehadiran disain institusional (organisasi dan aturan main) yang jelas dan tepat amatlah penting.
Penulis penulis adalah Direktur dan Sekretaris Eksekutif Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar