JAKARTA
– Mungkin tak banyak yang tahu bahwa tanggal 8 Juni merupakan Hari
Kelautan Dunia. Pada hari yang sama, ratusan penyu terbantai di Raja
Ampat. Penjarahan satwa laut secara internasional kini mengancam
berbagai area, bahkan yang paling dilindungi di Indonesia sekalipun.
Hari
Kelautan Dunia atau World Ocean Day, mulai diberlakukan setelah
pertemuan Rio tahun 1992. Namun, meskipun telah puluhan tahun berlalu,
masih banyak pelanggaran terhadap kelestarian lingkungan kelautan yang
diabaikan.
Salah
satu yang paling menyakitkan merupakan pembantaian ratusan penyu di
perairan utara Papua. Di dekat perbatasan, 8 Juni 2013 lalu kapal KRI
818 Kalakay menangkap sebuah kapal mencurigakan. Posisi penangkapan
berada di lintang utara 131 derajat 25 menit 00 timur, pukul 10.30 Wita.
Dalam
penangkapan ditemukan ratusan penyu hijau (Chelonia mydas) dan penyu
sisik (Eretmochelys imbricata) di dalam kapal. Selain penyu, kecurigaan
bertambah karena adanya aksi penyelaman yang dilakukan anak buah kapal
tersebut.
Barang
bukti yang diamankan berupa kapal nondokumen, bom ikan, enam detonatur,
dua drum racun ikan potasium, satu bendera Vietnam, satu bendera
Malaysia, 1 ton ikan campuran, ratusan penyu hijau dan penyu sisik,
seorang nahkoda berinisial NT dan 11 kru kapal lainnya yang semuanya
orang Vietnam.
Pencurian
ikan yang kini kerap disebut illegal fishing terus menjadi masalah.
Bahkan, kini menjarah makin mendekati daerah konservasi. Salah satunya
yang terjadi di Raja Ampat, yang kini menjadi salah satu daerah
konservasi wisata menyelam yang paling diminati.
Kemudian
menjadi makin miris saat membaca data yang dikeluarkan Koalisi Rakyat
untuk Keadilan Perikanan (Kiara), tahun 2013. Menurut mereka, aktivitas
penangkapan terhadap kapal internasional yang melakukan illegal fishing
terus meningkat di Indonesia. Peningkatan paling signifikan terjadi
antara tahun 2011 dan 2012. Tercatat tahun 2011 terjadi 104 kasus
pencurian ikan, namun tahun 2012 meningkat tajam menjadi 3.782 kasus.
Sekretaris
Jenderal Kiara, Abdul Halim menjelaskan Pusat Data dan Informasi Kiara
bulan Juni 2013 mendapati kapal-kapal tersebut berasal dari Malaysia,
China, Filipina, Korea, Thailand, Vietnam, dan Myanmar.
“Praktik ini jelas merugikan negara
dalam menjaga kelestarian ekosistem laut dan keberlanjutan sumber pangan perikanan,” tambah Halim.
“Destructive Fishing”
Selain
illegal fishing, satu masalah lain juga mendera dunia konservasi
kelautan Indonesia merupakan pengambilan ikan laut secara merusak.
Seperti menggunakan bom, atau racun.
Illegal
fishing kebanyakan dilakukan para pelaut di luar Indonesia, destructive
fishing justru dilakukan para pelaut Indonesia. Salah satu contoh
destructive fishing, adalah yang hingga kini masih sering terjadi di
area konservasi laut Taman Nasional Taka Bonerate (TNTB), di Sulawesi
Selatan.
Begitu
seringnya para pelaut menjarah ikan di sana, sampai-sampai membuat
masyarakat membuat Deklarasi Stop Illegal Fishing. Ditengarai, gara-gara
kegiatan negatif tersebut 85 persen dari 535.000 hektare luas terumbu
karang di kawasan ini dilaporkan telah rusak.
Kepala
TNTB, Noel Layuk Allo bahkan menyatakan sampai harus dikeluarkan
peraturan terbaru mengenai penggunaan kompresor untuk menyelam.
Diperkirakan banyak pengebom ikan menggunakan kompresor sederhana untuk
bertahan hidup di bawah laut.
“Dasar
hukum penggunaan kompressor yang paling kuat adalah UU, dan surat
edaran tidak dapat menggugurkan peraturan UU sehingga penggunaan
kompressor tetap dilarang,” urai Noel.
Alih Penghasilan
Bila
beberapa pelanggaran di lautan tersebut tetap didiamkan, jangan harap
produksi kelautan Indonesia akan bisa berkembang. Bahkan, mungkin saja
justru malah punah karena tingginya pencurian ikan dan perusakan
ekosistem lautan.
Salah
satu cara yang bisa dilakukan untuk mereduksi hal tersebut dengan
pengalihan pendapatan dari para pelaku. Seperti kasus di Taman Nasional
Karimun Jawa (TNKJ). Kini banyak pemandu wisata laut yang dulunya
berasal dari para pelaut yang suka merusak
karang.
Mulyadi
adalah salah satu pemandu yang mulanya kerap memanen ikan jenis
Napoleon dengan menyebar potasium di TNKJ. Pekerjaan itu kemudian ia
tinggalkan karena pemerintah desa kemudian menawarkan program
pengembangan wisata laut kepadanya. Ia ditawarkan menjadi pemandu
wisata, dengan diberikan pelatihan menjadi penyelam dan studi banding ke
Sulawesi.
Sekarang,
ia menjadi salah satu penyelam yang dibanggakan. Menemani orang-orang
juga
untuk sekedar melihat-lihat laut, atau menemani wisatawan untuk
snorkeling. Jumlah wisatawan di Karimun Jawa terus melonjak sekarang
dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Bahkan, 160 pemandu yang ada saat
ini, terhitung kewalahan bila harus menemani seluruh wisatawan yang
berdatangan.
Sekarang
tinggal kita memilih sendiri. Mau rusak semua, atau berubah dan
menikmati keuntungan lebih besar dari lingkungan kelautan yang lestari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar