10 Juni, 2009

Membangun Wakatobi dari Laut

Oleh ESTER LINCE NAPITUPULU

”Surga bawah laut yang sebenarnya ada di Wakatobi. Dari tiga pusat penyelaman kelas dunia, Wakatobi memiliki jenis karang laut terbanyak,” kata Hugua, Bupati Wakatobi, dalam berbagai kesempatan saat memaparkan keunggulan salah satu kabupaten di Sulawesi Tenggara ini.

Keanekaragaman hayati bawah laut di Wakatobi diklaim jauh lebih tinggi dibandingkan Karibia dan Mesir yang jadi pusat penyelaman dunia. Sekitar 90 persen dari 850 jenis karang dunia, yakni 750 jenis, ada di Wakatobi.

Perairan Karibia, yang kondang dengan wisata lautnya, ternyata belum apa-apa jika dibandingkan dengan Wakatobi. Hanya ada 50 jenis karang di Karibia. Sementara di Laut Merah, Mesir, yang dikenal sebagai gudang terumbu karang cuma memiliki 300 jenis.
Berbekal data itulah Pemerintah Kabupaten Wakatobi memfokuskan pembangunan wilayahnya guna terwujudnya surga nyata bawah laut di jantung segitiga karang dunia. Sektor andalan yang giat dikembangkan tak jauh dari potensi bahari yang ada, yakni perikanan, kelautan, dan pariwisata.

Menurut Hugua, Wakatobi sebenarnya destinasi yang cukup populer di mata wisatawan mancanegara dari Amerika Serikat dan Eropa, terutama mereka yang suka menyelam. Apalagi selama belasan tahun terakhir keindahan bawah laut Kepulauan Wakatobi—yang merupakan singkatan dari nama empat pulau utama di sana: Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko—sudah jadi ”jualan” utama PT Wakatobi Dive Resorts yang dimodali pengusaha asal Swiss.

Hanya saja, untuk bisa tinggal di resor dengan segala fasilitas penyelamannya, wisatawan mesti sabar untuk masuk daftar tunggu hingga setahun ke depan. Untuk paket 10 hari biayanya sekitar 3.000 dollar AS, belum termasuk tiket pesawat dari Bali ke Pulau Tomia, untuk kemudian menuju Pulau Onemobaa, lokasi resor yang punya titik penyelaman berkelas internasional tersebut.

Pundi-pundi dollar mengalir deras ke sektor pariwisata di daerah ini lewat resor tersebut. Tetapi, tetesan dollar itu belum dirasakan punya dampak signifikan bagi peningkatan pendapatan asli daerah. ”Potensi alam Wakatobi harus bisa dimanfaatkan dengan baik untuk kesejahteraan masyarakat juga,” kata Hugua.

Mulai membangun

Langkah terobosan untuk membuka mata bangsa ini dan dunia internasional akan keberadaan surga bawah laut Wakatobi adalah dengan membangun Bandar Udara Matahora di Pulau Wangi-Wangi, tak jauh dari pusat ibu kota Wakatobi di Wanci.

Kehadiran bandar udara yang baru beberapa waktu lalu diresmikan penggunaannya itu setidaknya membuat Wakatobi tak terlalu bergantung pada penerbangan melalui lapangan terbang Maranggo di Pulau Tomia, yang sesungguhnya milik Wakatobi Dive Resorts. Kehadiran Bandara Matahora sekaligus meretas rute laut, yang biasanya ditempuh wisatawan pada umumnya ke Wakatobi.

Pada saatnya nanti, rute penerbangan lewat Bandara Matahora difokuskan dari Bali, Manado, dan Raja Ampat. Rute ini dipilih karena di tiga titik penerbangan itu sudah lebih dulu dikenal keindahan bawah lautnya oleh wisatawan asing dan lokal.

Dengan adanya bandara di pusat ibu kota kabupaten, Pulau Wangi-Wangi diharapkan bisa jadi pusat wisata baru yang tumbuh. Wisatawan umum yang lebih luas juga bisa menikmati pasir putih dan birunya laut, serta keindahan karang di pusat ibu kota tersebut.

Keunikan lain ada di perkampungan suku Bajo. Kanal-kanal yang mengitari perkampungan suku Bajo dilintasi perahu-perahu kayu yang jadi sarana transportasi untuk berbagai tujuan. Pemandangan orang-orang mengayuh dayung kayu di kanal-kanal yang cukup lebar itu seakan membawa angan berperahu di Venesia.

Dari Wangi-Wangi, pilihan wisata yang ditawarkan adalah Pulau Hoga di Kecamatan Kaledupa. Setidaknya perlu waktu kurang dari satu jam dengan kapal motor cepat untuk tiba di lokasi nan indah itu.

Suasana sunyi menyergap kawasan Pulau Hoga yang masuk dalam kawasan Taman Nasional Wakatobi. Pemerintah Kabupaten Wakatobi memang ingin membiarkannya tetap sunyi dengan tidak mengizinkan pulau ini dihuni secara permanen. Rumah-rumah kayu tersedia hanya sebagai penginapan, yang umumnya disinggahi banyak peneliti dan pelajar asing.

Veda Santiaji, Project Leader Joint Program The Nature Conservancy- WWF untuk Taman Nasional Wakatobi, mengatakan bahwa sumber daya alam di Wakatobi sangat memungkinkan untuk dimanfaatkan sebagai laboratorium alam yang luar biasa. WWF mengidentifikasi delapan sumber daya alam penting di Taman Nasional Wakatobi.

Sumber daya alam itu meliputi terumbu karang, mangrove, lamun atau padang rumput laut (sea grass), daerah pemijahan ikan, mamalia laut, burung-burung migrasi, peneluran penyu, dan ikan-ikan pesisir. ”Tetapi, yang penting, Pemerintah Kabupaten Wakatobi harus tegas soal zonasi wilayah yang sudah disepakati,” kata Veda.

Sebagai kawasan taman nasional yang ditetapkan dengan SK Menhut No 393/Kpts-VI/ 1996 tanggal 30 Juli 1996, tentu Pemerintah Kabupaten Wakatobi mesti bisa membangun daerahnya tanpa mengusik taman nasional. Kekayaan laut mesti bisa ”dijual” untuk ekowisata, tanpa menafikan masyarakat kecil.

Wisata bahari

Aktivitas wisatawan ke masa mendatang diprediksikan berorientasi ke laut: wisata bahari. Hal itu disebabkan obyek wisata di darat identik dengan kehancuran. Indonesia memiliki ekosistem dan alam laut yang tak kalah menarik dan memiliki daya jual yang tinggi jika dikelola secara profesional. Karena itu, pengembangan wisata bahari di pulau-pulau kecil harus berbasis masyarakat.

Tetapi, sebagian pulau-pulau dengan ekosistem laut dan daratan yang indah, unik, dan menarik sudah digarap bahkan dijual ke pihak asing. Masyarakat pun ”gigit jari”, bahkan aksesnya menangkap ikan semakin terbatas.

Tak aneh bila kemudian, di banyak tempat, aktivitas pengeboman ikan oleh nelayan semakin sering terjadi sehingga berdampak pada kerusakan terumbu karang. Di Wakatobi, perilaku semacam itu sudah terjadi.

Persoalan lain yang mesti diatasi adalah mengamankan taman nasional yang kaya keanekaragaman hayati dan bernilai ekonomi sangat tinggi. Pencurian karang laut dan penjarahan ikan bisa jadi ancaman serius jika armada laut untuk pengamanan wilayah perairan Wakatobi tak memadai.

Laode Hajifu, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Wakatobi, mengatakan bahwa jenis ikan napoleon (Cheilunus undulatus) merupakan sasaran pencurian di wilayah Taman Nasional Wakatobi. Ikan ini merupakan salah satu ikan yang sangat dilindungi dan dilarang perdagangannya saat ini oleh International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN).

”Harganya yang sangat mahal tentu cukup menggiurkan. Untuk memelihara Taman Nasional Wakatobi ini perlu melibatkan semua pihak, termasuk masyarakat,” kata Laode.

Riza Damanik (Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan perikanan) dalam diskusi panel Pariwisata Bahari yang digelar Kompas bekerja sama dengan Departemen Pariwisata dan Kebudayaan mengingatkan pengembangan potensi bahari meski juga berpihak pada nasib nelayan. Seperti di Wakatobi, disebutkan nelayan tidak bisa lagi secara adat menangkap ikan mengelilingi kawasan Wakatobi.

”Karena wilayah yang dibolehkan menangkap ikan itu-itu saja, hasil tangkapan ikan stagnan, tidak menggembirakan. Lalu, pilihan masyarakat adalah mengebom ikan,” ujar Damanik.

La Ode Ali, guru SD yang peduli pada budaya, mengatakan bahwa pengembangan pariwisata Wakatobi jangan mengabaikan kekayaan seni budaya yang dimiliki masyarakat. Geliat pemeliharaan tradisi warisan nenek moyang mesti bisa sejalan dengan tumbuhnya pariwisata Wakatobi yang perlahan-lahan mulai ditingkatkan.

”Bukan cuma untuk melestarikan budaya, tetapi generasi muda bisa punya bekal untuk hidup dengan memanfaatkan seni budaya warisan leluhur, di tengah maraknya perkembangan pariwisata Wakatobi nantinya,” ujar La Ode Ali.

Yang penting, geliat wisata bahari yang tumbuh itu tidak memarjinalkan masyarakat, terutama wong cilik. Tetesan madu dari surga bawah laut Wakatobi seharusnya dikembalikan pada tujuan untuk memajukan pulau dan masyarakat secara bersama-sama. (ELN)

Sumber: http://cetak. kompas.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar