29 Juni, 2009

BERBURU MUATAN KAPAL TENGGELAM

Ladang Perburuan Liar

Sejak lama perairan Indonesia menjadi ladang subur perburuan liar atas Benda Berharga Muatan Asal Kapal Tenggelam (BMKT). Dikenal pula sebagai : harta karun. Penyelam tradisional dan nelayan lokal seringkali melakukan pengambilan benda-benda antik dari dasar laut. Berbagai sindikat internasional pun terlibat di dalamnya. Umumnya, mereka para sindikat internasional, melakukan penjarahan bernda-benda berharga itu dengan peralatan yang serba canggih. Penjarahan ribuan potong keramik antik dan bermacam jenis harta karun dari kapal der Geldermalsen di Perairan Riau dan kapal Flor de Mar di Selat Malaka pada 1980-an, membuka lembaran hitam dunia arkeologi bawah air (ABA) Indonesia. Selain kehilangan data sejarah penting, kita pun harus merelakan kekayaan bernilai jutaan dolar itu terbang ke kantong penjarah. Pengambilan barang-barang antik dari dalam laut itu, anehnya, tetap saja berlangsung di perairan Indonesia (Susantio, 2006). Lalu apa yang harus kita perbuat ?
Angin segar sudah mulai berhembus, ketika Panitia Nasional (PANAS) Pengangkatan Benda Berharga Asal Muatan Kapal yang Tenggelam ditangani oleh periode Menteri Kelautan dan Perikanan, Fredy Numberi selaku Ketua. Semua aktivitas mulai dari survei, pengangkatan sampai ke pemanfaatan BMKT diatur dan diawasi oleh PANAS. Pengawasannya melibatkan 4 (empat) instansi yaitu Direktorat Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan DKP, Direktorat Jenderal Kebudayaan Dep. BUDPAR, TNI-AL, dan Mabes POLRI. Selain itu pihak akademisi juga ikut terlibat dalam penelitian. Bahkan di UI, UGM, UNHAS, dan UDAYANA arkeologi bawah air sudah masuk pada kurikulum wajib. Ruang lingkup mata kuliah ini lebih dikhususkan kepada semua materi peninggalan budaya yang tenggelam atau berada di bawah air, misalnya kapal beserta muatannya yang karam, struktur benteng, gerabah, keramik, bekas kota yang tenggelam di dasar sumur, sungai, danau maupun laut (Mundarjito, 2007).

Terobosan Pengawasan

Dari hasil pengumpulan bahan keterangan (PULBAKET) yang dilakukan oleh Tim dari Direktorat Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan selaku pengawas BMKT sejak masa Fredy Numberi sudah banyak memberi terobosan hasil pengawasan BMKT baik secara legal maupun ilegal.

Terdengar teriakan "mangkok...... guci ...... teko ....... kalung ......." itulah teriakan-teriakan kegembiraan seorang penyelam kompresor yang berasal dari Pulau Untungjawa (Pulau Seribu JKT) dan Tanjungpasir (Tangerang) di pantai utara Cirebon di awal bulan Mei tahun 2004 ketika ia menemukan keramik-keramik Cina berbentuk guci, mangkok, piring, serpihan emas, batu permata, mutiara, batu berharga dan kristal, itu pada kedalamam 56 s/d 60 meter di perairan Pantai Utara Cirebon. Barang terseut berasal dari masa V Dinasti sekitar abad ke-X.

Belum lagi penemuan Kapten Michael Hatcher pada tahun 1985 yang sangat menggemparkan sehingga pada waktu itu pemerintah perlu untuk segera memberi perhatian khusus terhadap masalah pengamanan warisan di laut yang tersebar di perairan Nusantara. Penemuan Hatcher yang spektakuler berupa 126 batang emas lantakan dan 160.000 benda keramik dinasti Ming dan Ching dari sebuah kapal VOC Geldermalsen yang karam di perairan Riau pada bulan Januari 1751, telah menyadarkan kita semua bahwa di dasar laut Indonesia tersimpan warisan yang tak ternilai harganya dan perlu untuk diteliti, dilestarikan dan dimanfaatkan.

Didalam pengawasan BMKT Direktorat Wasdal SDK telah menyiapkan 4 (empat) orang tenaga arkeolog, Ahli Hukum dan tenaga pengawas lainnya yang siap pakai dan siap setiap saat untuk diterjunkan mengawasi BMKT di lapangan.

Banyak hal histories cerita harta karun antara lain tentang apa yang terjadi di awal bulan Mei tahun 2004 di Pantai Utara Cirebon tersebut dan penemuan Hatcher pada tahun 1985 yang spektakuler ternyata sudah lama banyak mempengaruhi pemikiran dan tindakan orang-orang di Indonesia, baik yang bergerak dalam bidang penelitian dan pelestarian maupun dalam bidang pendidikan.

Sejarah bahari Nusantara telah ada sejak 2000 tahun yang lalu. Seabad sebelum orang Eropa pertama bermimpi berpetualang ke Nusantara, daerah tersebut telah menjadi tempat pertemuan yang kaya dan makmur dengan perdagangan lautnya. Setelah keberhasilan perdagangan lokal, hubungan awal perdagangan luar negeri Nusantara adalah dengan India dan Timur Tengah. Hubungan pertama dengan pedagang Arab dan India adalah memperkenalkan rempah-rempah dari Maluku,suatu rempah asli Nusantara, kemudian dengan orang-orang Eropa pada abad ke-4. Komoditas dari Nusantara ini pada awalnya dibawa secara bertahap, pertama melalui laut ke India, kemudian melewati daratan melalui rute perdagangan tua ke Timur Tengah dan kota-kota pelabuhan di Laut Mediteran dan akhirnya ke Eropa. Selain rempah-rempah, kekayaan dalam komoditas lain juga menggalakkan hubungan perdagangan. Pada abad pertama setelah Roman Emperor Vespasion melarang ekspor emas dari Roma, pedagang-pedagang India melirik ke Nusantara sebagai sumber alternatif impor emas khususnya kepulauan Sumatra dan Jawa.

Selain para pedagang Arab dan India ini, bangsa Melayu juga adalah pedagang. Mereka digambarkan sebagai "par exellence yaitu orang-orang laut". Selama berabad-abad, mereka memainkan peran penting dalam membuat rute awal perkapalan timur ke Cina dan rute barat ke India, Timur Tengah, dan Afrika.

Bangsa Cina juga memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan perdagangan di laut dengan mengekspor keramik-keramik oriental dan barang lain. Sejak abad ke-9, porselen Cina telah ada di Nusantara. Dari pelabuhan di Cina Selatan, kapal-kapal layar Cina biasanya mengambil satu dari dua rute melalui Asia Tenggara, berlayar ke pantai barat Filipina, melewati Borneo dan Sulawesi ke kepulauan Maluku, atau menyusuri garis pantai Vietnam, Thailand dan Semenanjung Malaka dengan bantuan angin monsoon. Dari sana, mereka bergerak ke arah selatan ke Jawa atau Sumatra atau ke barat ke Samudera Hindia untuk perjalanan jauh ke India dan ke daerah yang lebih jauh lagi.

Sebagai daerah yang didominasi laut, perdagangan dan perkapalan di Nusantara pada saat itu telah menjadi ciri khas penting secara politik dan ekonomi selama berabad-abad. Pelabuhan perdagangan yang penting di Nusantara adalah Aceh, Pasai dan Kota Cina, Palembang, Banten dan Batavia, Makassar, Seram, Ternate, dsb.

Seberapa Banyak Kapal yang Hilang?
Jumlah kapal yang hilang dan karam selama berabad-abad di perairan Nusantara sangat banyak sehingga tidak terhitung. Perairan Nusantara ini adalah mimpi para ahli arkeolog bawah air dan para pemburu harta karun yang terwujud karena sejumlah besar kekayaan ada di dasar laut tak tersentuh.
• Kapal layar Cina telah mengharungi perairan Asia selama berabad-abad dan selama bertahun-tahun telah banyak kapal yang membawa muatan yang hari ini tidak ternilai harganya, tenggelam.
• Pelayaran dari Portugal ke Atlantik selatan, melalui Samudra Hindia dan ke Asia Tenggara adalah perjalanan yang lama dan bahaya. Sejak tahun 1650, sekitar 800 kapal Portugis berlayar dari Lisabon dimana hampir 150 kapal tidak pernah terdengar lagi. Kemungkinannya hilang tanpa jejak.
• Antara tahun 1600 dan 1800, English east India Company (EIC) telah kehilangan lebih dari 7000 kapal dan kebanyakannya tenggelam ke dasar laut terbawa bersamanya harta kekayaan. Sementara pada tahun 1808 dan 1809, EIC kehilangan 10 kapal yang berlayar pulang dan bersamanya hilang juga satu juta sterling lebih.
• VOC Belanda juga telah kehilangan 105 kapal yang berlayar antara tahun 1602 dan 1794; kapal-kapal yang berlayar pulang 141 kapal antara tahun 1602 dan 1795. periode yang buruk adalah antara tahun 1725-1749 ketika VOC kehilangan 44 kapalnya yang berlayar pulang.
Nilai muatan yang dibawa oleh kapal-kapal tersebut sangat besar. Wajar saja jika dikatakan bahwa ada "Harta Karun" bertebaran di perairan Nusantara.

Muatan yang Hilang
Tidak semua muatan yang ada pada kapal yang hilang di Nusantara berharga hari ini. Setelah tenggelam di laut selama bertahun-tahun, banyak muatannya yang hancur, seperti sutra murni Cina, Teh dari Cina, Opium dari Bengal (Bangladesh), Danuan (India) dan Turki, Bahan katun dari Amerika dan Cina,Rempah dari kepulauan Maluku ,Logam dari Eropa seperti besi,Kulit hewan dari Amerika dan Inggris

Muatan yang Tidak Hancur
Banyak juga kapal yang membawa muatan yang berharga seperti emas, perak, berlian, zamrud, mutiara, batu berharga dan porselen dan keramik Cina dan Jepang. Sebagian besar barang-barang tersebut pernah ditemukan pada kapal karam di perairan Nusantara. Nilai barang yang berharga tersebut tidak terhitung.
Berikut sebagai contoh, berdasarkan kajian histories dari rute perdagangan Nusantara antara tahun 1511 hingga akhir 1800-an di perairan Laut Jawa tercatat berbagai musibah sehingga mengakibatkan kapal tenggelam.

1601
Pada tanggal 26 Desember, terjadi perang laut antara Armada Belanda dan Portugis di lepas pantai Bantam (Jawa Barat). Armada Belanda terdiri dari empat kapal layar dan satu kapal perang, yaitu GUELDERLAND (520 ton), SEALAND (400 ton), UTRECHT (240 ton), WATCHER (120 ton) dan DOVE (50 ton). Armada portugis terdiri dari 8 kapal layar besar dan 22 kapal perang (nama tidak diketahui). Perang ini berlangsung selama enam atau tujuh hari. Dua kapal layar dan tiga kapal perang Portugis mengalami kerusakan berat sehingga awak kapal mencoba mengelabui lawan dengan cara membakar kapal tersebut, tetapi armada Belanda dapat menghindarinya. Tidak satupun kapal Belanda yang hilang dalam pertempuran ini.
Kapal PIE dibawah komando Pereira De Sande, dalam perjalanan dari Malaka menuju Ambon ketika hilang di bebatuan Peressada di timur laut Jawa. Kapal tersebut diperkirakan membawa emas dan perak.

1611 atau 1613
TRADES INCREASE, kapal EIC seberat 1293 ton sedang berada di pelabuhan Banten melapisi kapal dan belum satu bagian selesai dilapisi kapal jatuh pada satu sisinya dan rusak total. Peristiwa ini menyebabkan banyak awak kapal dan pekerja Jawa yang tewas. Berikutnya kapal dibakar sehingga tenggelam oleh orang-orang Jawa yang marah.

1613
TRADES INCREASE, kapal EIC seberat 1100 ton dibawah komando Sir Henry Middleton berlayar dari Eropa ke bagian timur pada tanggal 1 April 1610. Kapal menabrak sebuah batu ketika memasuki Banten sehingga mengalami kebocoran. Ketika diperbaiki kapal miring dan terbakar sehingga akhirnya dihancurkan oleh orang-orang Jawa.

1617
HECTOR, kapal EIC dengan Kapten William Edwardes, hilang pada bulan Juni di lepas pantai Jawa.
1618
BLACK LION, English East Indiaman (berat kapal tidak diketahui), ketika berlabuh di Batavia pada tanggal 25 Desember, terbakar secara tidak sengaja akibat kecerobohan awak kapal.

1623
REFUGE, kapal EIC yang hilang di lepas pantai Semarang dalam perjalanan dari Inggris menuju Asia.

1627
BANTAM, kapal VOC seberat 800 ton, terbakar pada tanggal 24 Maret di tembok pangkalan pelabuhan Batavia. Muatan kapal langsung diselamatkan tak lama kemudian.

1632
NIJMEGEN, Dutch East Indiaman, hilang dekat Batavia dalam perjalanan pulang pada bulan Agustus. Diperkirakan kapal membawa muatan porselen asia.

1633
BREEDAM, kapal VOC seberat 200 ton dengan Kapten Michiel Vis, tiba di Batavia tanggal 24 Mei 1633. Kapal tersebut karam di dekat Pulau Duizend, Kep.Seribu, Batavia).

1633
DELFSHAVEN, Dutch East Indiaman seberat 400 ton, kapten tidak diketahui, tiba di Batavia pada tanggal 9 September 1632. Satu tahun kemudian yaitu pada 12 November 1633 kapal tersebut meledak di Batavia akibat kelalaian.

1653
ZEEMEEUW, Dutch East Indiaman seberat 100 ton dengan Kapten Alexander Hendricksz, hilang di bagian timur Batavia.

1657
LILLO, Dutch East Indiaman seberat 240 ton dengan Kapten Jean Laphart, menuju Batavia (via Pernambuco, Sulawesi) dan karam di pintu masuk pelabuhan Batavia.
1658
WINDHOND, kapal VOC seberat 360 ton, hilang di Pulau Boompjes (timur laut Batavia, Jawa) ketika dalam pelayaran lokal.

1663
GRIFFIOEN, Dutch East Indiaman berat 560 ton, kapten tidak diketahui, tiba di Hindia (Batavia) pada 28 Oktober 1647 dan digunakan di ONRUST (diluar Batavia). Kapal tersebut tenggelam pada 16 November.

1670
NIEUWENDAM, Dutch East Indiaman seberat 210 ton, kapten kapal tidak diketahui, tiba di Batavia pada 18 Juni 1663. Kapal tersebut karam di perairan antara Bima dan Makassar di malam hari tanggal 1 Oktober 1670.

1670
STOMPNEUS, kapal VOC dengan Kapten Anthony Von Doorn, tenggelam di Japara oleh kapal EIC, ZANTE.

1684
HUIS TE KLEEF, Dutch East Indiaman seberat 564 ton dengan Kapten Gerrit Albertsz Schellinger, tiba di Batavia pada tanggal 16 Agustus 1675. Dalam perjalanan menuju Palembang kapal tersebut karam karena menabrak gugusan karang dekat kepulauan seribu pada tanggal 1 September.

1684
BODE, Dutch East Indiaman seberat 96 ton dengan Kapten Adriaan Roelofsz van Asperen, tiba di Batavia pada tanggal 18 November 1674. Pada tanggal 13 September, kapal tersebut karam di dekat Kepulauan Seribu.

1686
KROONVOGEL, Dutch East Indiaman seberat 108 ton dan Kapten Lucas Genzenwinner, tiba di Batavia pada tanggal 4 Juli 1676. Pada tanggal 11 Februari 1686, kapal mendarat dan karam di Pulau Alkmaar dekat Batavia.

1690
ZIJPE, Dutch East Indiaman seberat 488 ton deng kapten Jan Modderman tiba di Batavia pada tanggal 12 Mei 1674. Pada akhirnya kapal diledakkan di pelabuhan Batavia.
1697

BRONSTEDE, Dutch East Indiaman seberat 253 ton dengan Kapten Jakob Barendsz Sonbeek tiba ti Batavia pada tanggal 10 Oktober 1686. Sebelas tahun kemudian tanggal 11 Agustus, kapal karam di rute perjalanan ke Semarang akibat kebocoran.

1698
HONSELAARSDIJK, Dutch East Indiaman seberat 722 ton dengan Kapten Kornelis Ole tiba di Batavia pada 28 Februari 1691. Tujuh tahun kemudian kapal karam di rute perjalanan dari Batavia.

1702
SCHELLAG, kapal VOC seberat 290 ton dengan Kapten Jakob de la Palma tiba di Batavia pada tanggal 10 September 1700. Pada malam tanggal 21 November kapal tersebut tenggelam di rute perjalanan dari Batavia.

1719
OEGSTGEEST, kapal VOC seberat 576 ton dengan Kapten Pieter Jansz Bruin hilang di Gresik.

1728
OUWERKERK, Dutch East Indiaman seberat 658 ton dengan Kapten Jan de Vos karam dekat Jepara.

1740
VALKENISSE, Dutch East Indiaman seberat 1150 ton dengan Kapten Elias Moeninx tiba di Batavia pada tanggal 12 Januari 1734. Enam tahun kemudian kapal karam di Banten pada bulan September.

1744
KASTEEL VAN WOERDEN, Dutch East Indiaman seberat 850 ton yang hilang setelah menabrak sebuah batu yang berada 14 kilometer (9 mil) dari Pamanukan.

1746
HOFWEGEN, Dutch East Indiaman seberat 650 ton dengan Kapten Jan de Wit tiba di Batavia pada tanggal 7 Oktober 1742. Empat tahun kemudian pada tanggal 1 September, kapal meledak di rute perjalanan dari Batavia.

1765
PIJLSWAART, Dutch East Indiaman seberat 880 ton, hilang di rute perjalanan dari Batavia pada tanggal 24 Februari ketika berlayar pulang ke Belanda.

1784
EUROPA, kapal VOC seberat 1200 ton, menabrak Rock of Indramayu dan tenggelam. Kapal tersebut sedang dalam ekskursi perdagangan inter-Asian.

1789
JONGE FRANK, Dutch East Indiaman seberat 592 ton dengan Kapten Jacob Veer, karam pada bulan Agustus 1788 ketika berada di Tanjung Good Hope sedang memuatkan sebagian barang dari kapal pengangkut barang MARIA untuk pelayaran pulang. Kapal JONGE FRANK kemudian bergerak ke Batavia dan tiba di sana pada tanggal 24 Desember 1789. Kapal ini tenggelam ketika di rute perjalanan dari Batavia, dan muatan dari kapal MARIA dinilai seharga 254.877 florin.

1794
INDUS, Dutch East Indiaman seberat 1150 ton dengan Kapten Matthijs Laurens Koster, tiba di Batavia pada tanggal 20 Mei 1791. Tiga tahun kemudian kapal tersebut terbakar hangus di rute perjalanan dari Batavia.

1795 atau 1796
HERTOG VAN BRUNSWIJK, Dutch East Indiaman seberat 1150 ton dengan Kapten jan Olhof, tiba di Batavia pada tanggal 9 juli 1794. Pada tahun 17995 atau 1796, kapal ini karam di luar wilayah Batavia.

1796
DRAAK, kapal VOC seberat 1150 ton dengan Kapten Anthonie van Rijn, pertama kali tiba di Batavia pada tanggal 13 Juli 1793. Tiga tahun kemudian ketika posisi jangkar di rute perjalanan dari Batavia, kapal disambar kilat dan terbakar musnah.

1817
WENA, kapal Belanda yang karam dekat Batavia ketika berlayar dari Rotterdam ke Batavia. Sebagian muatannya diselamatkan pada saat itu.

1854
ZINGARI, kapal layar Amerika yang berlayar dari Batavia ke Singapura, hilang di Brouwers Shoal pada bulan Juni. Kapten, awak dan penumpang kapal dapat diselamatkan.

1856
ROBERTUS HENDRIKUS, kapal Belanda yang berada di rute jalan Batavia ditemukan terbakar di pagi tanggal 10 Juni tahun itu. Semua usaha untuk mengendalikan api telah dilakukan tetapi sia-sia. Pada siang hari api telah menjalar sehingga akhirnya kapal tenggelam dan hanya haluannya yang terlihat di permukaan air. Kapal ini sedang berlayar ke Semarang membawa ?80.000 sterling dalam bentuk kepingan uang logam milik pemerintah, 1000 pical timah, 1500 pical kopi dan sejumlah batubara dan karung goni. Tidak diketahui apakah muatan yang hilang tersebut dapat diselamatkan.

1856
CHINA, kapal dagang Inggris dengan Kapten Ayers, sedang dalam pelayaran dari Manilla ke London ketika menabrak karang dekat Kepulauan Seribu pada malam tanggal 29 Juni. Kapal berhasil keluar tetapi langsung tenggelam. Kapten dan awak kapal berjumlah 27 orang terpaksa menaiki perahu dan keesokan harinya mereka dibawa oleh kapal pengangkut barang Amerika, CYHNTIA yang dibawah komando Kapten Barblet. Mereka selamat tiba di Batavia pada tanggal 1 Juli. Kapal CHINA membawa muatan berupa gula.

1857
LIEUTENANT ADMIRAL STELLINGWERF, kapal layar Belanda yang hilang di 7o1’ LS dan 110o27’ BT (Jawa tengah) ketika berlayar dari Semarang ke Singapura. Dikabarkan bahwa kapal membawa mata uang logam senilai US$20.000 - $30.000.

1858
NICHOLAS CEZARD, kapal Prancis yang menabrak karang di Laut Jawa dan tenggelam.

1860
DERKINA TITIA, kapal Belanda dengan Kapten Evink yang berlayar dari Macau ke Jawa, hilang di Pulau Arends pada tanggal 17 September. Awak kapalnya berhasil tiba di Surabaya dengan selamat.

1861
AGATHA MARIA, kapal Belanda yang hilang pada tanggal 17 Juni pada karang dekat Cilacap yaitu di posisi 7o41’ LS dan 109o5’ BT. Kapal sedang berlayar dari Cilacap ke Amsterdam . Usaha penyelamatan dilakukan pada saat itu tetapi hasilnya tidak diketahui.

1862
PIONEER, kapal Amerika yang berlayar dari Manilla ke Liverpool hilang di pulau Karimun Jawa pada tanggal 27 Desember. Awak kapalnya dibawa kembali ke Semarang.

1862 atau awal 1863
SPEED, kapal layar orang Thailand dibawah bendera Inggris berlayar dari Batavia, menabrak pulau Karimun Jawa dan tenggelam. Awak kapalnya dibawa kembali ke Semarang.

1875
NEVA, kapal French Messageries Maritime yang hilang pada tanggal 7 Agustus, 13 kilometer (8 mil) dari Batavia. Kapal tersebut sedang berlayar dari Singapura ke Batavia.

Sumber Majalah Barracuda Volume VI No. 1 April 2009


27 Juni, 2009

Revolusi Biru Berkelanjutan

Jonson Lumban Gaol 

Meledaknya jumlah penduduk dunia menyebabkan eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran. Tahun 1960-an dicanangkanlah Revolusi Hijau, tetapi lahan darat belum cukup untuk penyediaan pangan sehingga dekade berikutnya dicanangkan Revolusi Biru untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya laut.


Beruntung 70 persen wilayah Indonesia adalah laut yang menyimpan sejumlah besar seperti sumber daya ikan, bahan tambang, air mineral, wisata bahari, dan jasa lingkungan yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat.

Program peningkatan produksi perikanan di Indonesia dimulai sejak tahun 1970-an melalui kegiatan motorisasi penangkapan ikan. Tahun 1973 dioperasikan kapal tuna longline di perairan ZEE Samudra Hindia dan tahun 1974 ratusan kapal purseine di Jawa Timur.

Saat ini terjadi peningkatan jumlah kapal, yakni 790.000 unit, 49 persen di antaranya adalah perahu motor (Statistik, 2007). Produksi dan jumlah nelayan meningkat, tetapi produktivitas masih rendah, sekitar 4,5 kg per nelayan per hari, jauh di bawah nelayan negara-negara maju sekitar 100 kg per nelayan per hari. Dengan demikian, pendapatan nelayan/petani ikan sekitar Rp 15.000 per hari, jauh di bawah upah minimum.


Produksi perikanan tangkap di Indonesia umumnya meningkat sekitar 3 persen per tahun, tetapi di beberapa lokasi, seperti di wilayah selatan Jawa, terjadi penurunan dan perlu diwaspadai. Tidak beroperasinya kapal-kapal akibat naiknya harga bahan bakar minyak menjadi salah satu faktor penurunan produksi (Kompas, 20/10/2005). Sementara itu, tingkat konsumsi ikan masyarakat Indonesia baru 22 kg per kapita per tahun lebih rendah dibandingkan dengan Thailand, 35 kg per kapita per tahun.

Pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan (KP) tidak hanya untuk mengejar target produksi karena peningkatan produksi tidak selalu diikuti dengan peningkatan pendapatan. Selain itu, peningkatan produksi yang tidak memerhatikan aspek sustainability juga akan menjadi bom waktu ambruknya kegiatan perikanan, karena itu fungsi pengelolaan berperan. Pedoman pengelolaan perikanan berkelanjutan dan bertanggung jawab tertuang dalam Code of Conduct for Responsible Fishing (CCRF) yang diadopsi FAO sejak tahun 1995.

Indonesia telah menuangkan implementasi CCRF dalam Undang-Undang Perikanan Nomor 31 Tahun 2004 Pasal 3 yang menyebutkan, tujuan pembangunan perikanan antara lain (1) meningkatkan taraf hidup nelayan kecil dan pembudidaya ikan; (2) meningkatkan penerimaan dan devisa negara; (3) mendorong perluasan kerja, ...; (8) mencapai pemanfaatan sumber daya ikan, lahan pembudidayaan ikan, dan lingkungan sumber daya ikan secara optimal; (9) menjamin kelestarian sumber daya ikan, lahan pembudidayaan ikan, dan tata ruang.

Pemerintah Indonesia telah menggariskan aneka kebijakan dan program untuk tujuan itu, tetapi fungsi pengelolaan belum berjalan mulus. Pemerintah kabupaten/ kota yang berwenang dalam pengelolaan garis pantai harus aktif mengoptimalkan potensi secara lestari sesuai dengan karakteristik wilayah masing-masing. Berdasarkan pengamatan lapangan Kepala PPN Kejawenan Cirebon Ir Jainur, jika fungsi pengelolaan berjalan baik, tujuan pembangunan perikanan akan tercapai.

Garam dan air laut dalam

Ironis. Hingga kini, Indonesia masih mengimpor garam industri sekitar 1,5 juta ton per tahun seharga Rp 600 miliar. Di sisi lain, kini dunia dihadapkan pada krisis air bersih. Menurut World Water Forum, 1 dari 4 orang di bumi kekurangan air.


Laut dalam (> 200 meter) menjadi salah satu sumber air dan garam berkualitas tinggi pada masa mendatang karena kandungan mineralnya tinggi, bebas polusi dan bakteri, serta kandungan NaCl tinggi.

Dengan proses desalinasi, air dan garam dari air laut dalam (ALD) dipisah.

Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) telah mencanangkan program pengembangan ALD beberapa tahun lalu.

Upaya pemanfaatan ALD di Indonesia telah dimulai melalui kerja sama antara Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan IPB dan perusahaan Jepang, Kyowa, dirintis Prof Bonar Pasaribu. Kegiatan eksplorasi di beberapa lokasi sudah dilakukan dan kini produksi dengan kapasitas skala kecil telah dimulai di Bali.

Percepatan Revolusi Biru

Optimalisasi pemanfaatan sumber daya KP tidak lepas dari political will, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta sumber daya manusia. Kemauan politik di bidang KP terlihat sejak dibentuknya DKP 10 tahun lalu. Dalam usia muda, pencapaian tujuan pembangunan KP belum terlaksana optimal, karena itu diperlukan dorongan khusus.

Terlepas dari kekurangan, program Revolusi Hijau (Bimas) berhasil mencapai swasembada beras. Pengalaman yang sama dapat diterapkan dalam percepatan revolusi biru karena banyak sektor terlibat langsung dengan laut dan harus bersinergi agar tujuan pembangunan kelautan dan perikanan.

Iptek dan SDM

Iptek dan SDM akan amat berperan dalam mencapai tujuan Revolusi Biru. Perkembangan iptek kelautan di dunia amat pesat. Mengingat laut yang tidak mengenal batas-batas fisik, teknologi satelit oseanografi berperan penting dalam pemantauan proses oseanografi. Data dari satelit itu mulai dari kelimpahan fitoplankton, ekosistem terumbu karang, mangrove, arah dan energi arus, tinggi gelombang, kecepatan angin, serta suhu. Data dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan produktivitas nelayan, pengaturan daerah penangkapan ikan, dan pemetaan distribusi larva ikan. Data satelit altimeter digunakan untuk penentuan anjungan pengeboran minyak dan alur pelayaran yang optimal.

Pelaku kegiatan di sektor KP mayoritas adalah nelayan yang masih jauh dari sentuhan teknologi sehingga perlu bimbingan dan penyuluhan. Terbatasnya jumlah dan kemampuan penyuluh dapat diatasi melalui kerja sama dengan program KKN mahasiswa yang berperan sebagai agen pembaruan. Program ini dapat dilaksanakan berkesinambungan 10 sampai 20 tahun, dengan harapan terjadi peningkatan tarap hidup nelayan.

Jonson Lumban Gaol Lektor Kepala; Dosen Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan FPIK IPB
Share on Facebook Share on Twitter 


Bynkershoek dan Politik Kelautan RI

Ninok Leksono

 ”Terrae protestas finitur, ubi finitur armorum vis—Kedaulatan teritorial berakhir di mana kekuatan senjata berakhir. ” (Cornelis van Bynkershoek, De Dominio Maris Desertatio, 1703)

Apa yang disampaikan oleh Bynkershoek di atas mengingatkan pada semua negara yang memiliki wilayah laut, maka kedaulatan suatu negara di laut sangat bergantung pada kemampuan negara tersebut dalam melakukan pengawasan secara fisik terhadap wilayah laut yang dikuasainya itu. Artinya, kata Ahli Peneliti Utama LIPI, Syamsumar Dam, di Seminar Asosiasi Ilmu Politik Indonesia di Manado, Maret silam, semakin luas wilayah laut yang dikuasai oleh satu negara, semakin besar pula tanggung jawab negara tersebut untuk mengawasinya.
Indonesia, negara maritim terbesar di dunia dengan panjang garis pantai mencapai 81.000 km dan luas laut 5,8 juta km atau tiga perempat dari total luas wilayah, dengan perbatasan laut berimpit dengan 10 negara, jelas memiliki tanggung jawab sangat besar.

Sejauh ini, sebagaimana di perbatasan darat yang berimpit dengan perbatasan tiga negara, pemenuhan tanggung jawab terhadap wilayah laut dirasakan belum memadai.

Pernah satu ketika Laksamana Muda (Purn) Wahyono SK menyampaikan, kebutuhan ideal untuk menjaga wilayah laut kita dapat dihitung dari luas wilayah dibagi dengan kemampuan jelajah kapal. Bila sebuah frigat bisa mengawasi luas 300.000 km, kebutuhan kapal jenis ini adalah hampir 20 unit. Sementara untuk kapal patroli yang masing-masing punya jelajah pengawasan 50.000 km, yang dibutuhkan adalah 116 kapal.

Padahal, sekarang ini, seperti dicatat The Military Balance IISS (2008), jumlah frigat yang kita miliki—tanpa memperhitungkan umurnya—hanya 11 unit, sementara kapal patroli dan kapal yang punya kemampuan tempur pantai hanya 41 unit.

Ketika muncul ketegangan dengan negara lain, misalnya ketika Indonesia dihadapkan pada tumpang tindih klaim teritorial, seperti terjadi di Ambalat, menguatlah kesadaran akan kebutuhan alat utama sistem persenjataan (alutsista) laut.

Dipenuhi sendiri

Mengatasi kendala pembelian alutsista yang makin tak terjangkau, semangat yang pernah mencuat—dan sejauh ini banyak dijadikan bahan pernyataan politik—adalah ”penuhi sendiri” kebutuhan yang ada, kecuali yang belum bisa dibuat oleh industri dalam negeri.

Dalam realitas, meski PT PAL telah mencapai kemampuan untuk membuat korvet, bahkan juga kapal selam, belum ada order untuk pembuatan kapal-kapal jenis itu. (Dalam kaitan ini, bisa diwujudkannya order 150 panser untuk TNI AD dari PT Pindad amat membesarkan hati, dengan segala tantangan yang menyertainya. )

Yang lebih memprihatinkan, kabar yang muncul beberapa pekan terakhir dari PT PAL justru bernuansa suram. Industri kapal nasional yang sebelum ini banyak dibanggakan ini justru dilanda kelangkaan dana, merugi, sehingga terpaksa harus menggilir kerja karyawan.

Benturan dengan logika

Ilustrasi PT PAL dewasa ini sekali lagi melukiskan adanya kesenjangan antara penguasaan teknologi dan kemampuan manajemen. Kemampuan rekayasa maju pesat diwujudkan dengan bisa memproduksi tanker 30.000 ton dan kapal barang 50.000 ton, juga kapal patroli cepat FPB 57. Sekali lagi, relevan apa yang dikemukakan oleh Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono bahwa untuk masalah teknologi, kemampuan bangsa kita tak perlu diragukan. Tapi kemampuan manajemen, yang mencakup keterampilan untuk mengoordinasikan berbagai urusan, tampaknya masih banyak yang harus dipelajari.

Pada masa lalu, mantan Presiden BJ Habibie yang juga pernah memimpin PT PAL sering menyampaikan, menurut teori, kebutuhan akan kapal di Indonesia, mulai dari kapal perang hingga kapal nelayan, tidak akan pernah ada habisnya.

Pendekatan lain

Persoalan laut ini rupanya juga bisa dikaji dari disiplin lain. Dalam studi hubungan internasional dikenal politik kelautan, yang bertumpu pada pandangan kaum realis. Di sini, pemikir kekuatan laut Amerika, Alfred Mahan, menyatakan, potensi kelautan yang dimiliki oleh satu negara harus dapat dijadikan sebagai kekuatan laut yang menjadi unsur utama kekuatan nasional.

Pandangan Mahan di atas, menurut Syamsumar Dam, telah diperkaya oleh ahli teori lain, seperti Hans Morgenthau, Eric Grove, dan Sam Tangredi, yang memasukkan berbagai faktor untuk mendukung kelangsungan hidup satu negara, mulai dari geografis, sumber daya alam, kemampuan industri, kesiapan militer, penduduk, karakter nasional, moral nasional, kualitas diplomasi, kualitas pemerintahan, hingga perdagangan maritim internasional.

Dan, ditegaskan, meski tidak akan menjadi kekuatan laut utama dunia seperti AS, Indonesia juga tidak ingin lagi dijadikan mangsa oleh bangsa lain.

Dalam konteks inilah Indonesia membutuhkan peninjauan kembali atas politik kelautan yang selama ini diterapkan.. Kelapangan untuk mengakui masih adanya kelemahan dalam implementasi politik kelautan nasional diharapkan bisa menjadi pembuka jalan bagi hadirnya wawasan baru yang lebih progresif dan menjawab tantangan zaman.

Sumber: http://cetak. kompas.com

Menlu: Blok Ambalat Itu Hak Berdaulat Indonesia

Surabaya (ANTARA News) - Menteri Luar Negeri (Menlu) Hassan Wirajuda menegaskan bahwa Blok Ambalat itu merupakan bagian dari hak berdaulat Indonesia, namun laut Ambalat itu sesungguhnya bukan kedaulatan Indonesia.

"Blok Ambalat tidak masuk dalam 12 mil dari baseline (tepi pangkal) yang menjadi wilayah kedaulatan Indonesia, tapi laut Ambalat itu masuk wilayah hak berdaulat dari Indonesia yang berada di luar 12 mil dan masih menjadi hak eksplorasi Indonesia," katanya di Surabaya, Jumat.

Ia mengemukakan hal itu di hadapan ratusan mahasiswa dalam kuliah umum bertajuk "Perundingan Batas Wilayah Maritim Dengan Negara Tetangga" yang diadakan Fakultas Hukum (FH) Universitas Airlangga (Unair) Surabaya.

Dalam acara yang juga dihadiri Wakil Menlu, Triyono Wibowo, ia mengatakan negara pantai seperti Indonesia menurut hukum Laut Internasional berhak atas laut teritorial (12 mil laut), zona tambahan (24 mil laut), zona ekonomi eksklusif atau ZEE (200 mil laut) dan landas kontinen (350 mil laut atau bahkan lebih).

Kendati wilayah hak berdaulat itu bukan wilayah kedaulatan, tapi wilayah hak berdaulat yang dihitung setelah 12 mil itu memberi kewenangan kepada Indonesia untuk melakukan eksplorasi sumberdaya laut yang ada.

"Masalahnya, provokasi yang dilakukan Malaysia dalam beberapa tahun terakhir sudah melanggar keduanya yakni wilayah kedaulatan Indonesia dan wilayah hak berdaulat Indonesia itu," katanya ketika ditanya ANTARA setelah memberi kuliah tamu.

Namun, kata Menteri yang menyelesaikan program doktor di Virginia School of Law, Charlottesville, Amerika Serikat itu, Indonesia tidak ingin berperang dengan Malaysia.

"Kita memiliki perbatasan laut dengan 10 negara dan perbatasan darat dengan tiga negara yakni Malaysia, Timor Leste, dan Papua Nugini, karena itu kita mengedepankan perundingan, bukan perang," katanya.

Menurut dia, perundingan batas wilayah itu tidak bisa cepat penyelesaiannya seperti orang membeli kacang, tapi membutuhkan waktu yang lama, karena itu bila penyelesainnya lama bukan berarti pemerintah tidak serius atau lembek.

"Dalam sengketa dengan Vietnam terkait Batas Landas Kontinen (BLK) di perairan antara Pulau Kalimantan dengan Vietnam di daratan Asia Tenggara, ternyata dapat diselesaikan dalam 32 tahun, sedangkan penyelesaian sengketa Indonesia-Singapura membutuhkan waktu lima tahun," katanya.

Terkait dengan laut Ambalat, katanya, pihaknya saat ini sudah melakukan 13 kali perundingan, namun provokasi dari Malaysia juga sudah banyak.

"TNI AL lewat Panglima TNI sudah berkali-kali menyampaikan surat ke saya terkait adanya insiden dengan mencatat nama kapal, berapa kali masuk, dan langkah-langkah yang sudah dilakukan TNI AL," katanya.

Hasilnya, katanya, surat Panglima TNI itu sudah disampaikan kepadanya dan dirinya juga sudah menyampaikan nota protes kepada Menlu Malaysia.

"Protes itu sendiri masih ditanggapi dengan klaim Malaysia, karena itu kita akan memprioritaskan pada perundingan agar masalah itu tidak berlarut-larut, tapi saya setuju bila TNI AL melakukan perkuatan personel di sana agar Malaysia dapat menahan diri sebelum perundingan selesai," katanya.(*)

24 Juni, 2009

Bakau Tolai Makin Memprihatinkan

PARIGI – Hutan bakau yang ada di Desa Tolai Barat, Kecamatan Torue yang selalu menjadi sasaran para penebang liar, kondisinya semakin memprihatinkan. Hal tersebut terlihat ketika Kades Tolai Barat, I Made Sukajati bersama anggota Lembaga Pecinta Alam dan petualangan LPAP EI Capitan Parimo, melihat dari dekat kondisi hutan bakau tersebut.

Bahkan mereka sempat memergoki beberapa oknum penebang liar yang tengah mengangkut hasil jarahnya dengan mengunakan perahu. I Made Sukajati mengatakan, aksi penebangan liar tersebut sudah terjadi dalam kurut waktu satu tahun, namun belum terungkap.

“Karena masyarakat disekitarnya belum melihat adanya kerusakan. Namun setelah beberapa bulan terakhir, ternyata aksi penebangan liar semakin menjadi-jadi dan kerusakan yang ditimbulkan juga cukup parah, akhirnya merekapun menjadi resah,” kata Sukajati. Sukajati mengaku sudah sering mengingatkan agar hutan bakau yang menjadi asset desa untuk kelangsungan hidup biota laut itu, hendaknya dilindungi sehingga tidak dapat mencegah musiba dikemudian hari. Sukajati mengatakan, akan menggandeng aparat keamanan untuk ikut menjaga kelestarian hutan bakau yang mencapa 2 km itu,”Pelaku pencurian kayu ini akan ditindak tegas melalui bantuan pihak kepolisian,” tuturnya.

Sementara itu Ketua LPAP El Capitan Parimo, Sudirman mengungkapkan kprihatinanya atas kondisi hutan bakau yang ada di Desa Tolai Barat itu. Padahal kata Sudirman hutan bakau itu memiliki nilai yang cukup potensial untuk menghasilkan biota laut yang juga merupakan makanan manusia.

Selain itu, fungsi hutan bakau sebagai penahan proses abrasi pantai dan pemecah ombak, tidak bisa dianggap sebelah mata. Kami selaku Lembaga yang Intens terhadap kelestarian alam, bukan hanya sebatas mewacanakan kondisi hutan bakau ini, dengan keprihatinan saja, akan tetapi kami melakukan beberapa hal untuk menjaga hutan ini, sebagai pinjaman untuk anak cucu kita,” tegasnya.

Odit sapaan akrabnya, menyatakan, dalam waktu dekat ini akan menurunkan relawannya untuk melakukan aksi tanam kembali untuk meremajakan hutan bakau yang semakin gundul itu, agar kondisinya tetap seperti semula.“Yang perlu diantisipasi adalah pemilik tambak yang sewenang-wenang memberikan izin kepada penjuri kayu. Padal hutan itu bukan milik pribadi,” tekannya, seraya memberikan ultimatum kepada pencuri kayu yang kedapatan mengambil kayu deangan ancaman akan menyerahkan mereka kepihak kepolisian, jika kedapatan menjarah dihutan tersebut.(Mbh)

Perairan Natuna Paling Rawan Pencurian Ikan oleh Kapal Asing

PONTIANAK, KOMPAS.com — Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) memetakan wilayah perairan Natuna hingga Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) di Laut China Selatan sebagai wilayah yang paling rawan pencurian ikan oleh kapal asing. 

Setelah Sabtu (20/6), delapan kapal nelayan China tertangkap saat mencuri ikan di sana, giliran dua kapal nelayan Vietnam yang tertangkap kapal patroli DKP, Selasa (23/6).

Direktur Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan Perikanan DKP Aji Sularso, Rabu (24/6), mengungkapkan, pada tahun 2008 ada 242 kapal asing yang tertangkap melakukan illegal fishing di wilayah perairan Indonesia, dengan total kerugian diperkirakan mencapai Rp 650 miliar. Dari jumlah kapal asing yang tertangkap tersebut, separuh lebih ditangkap di perairan Natuna hingga ZEEI di Laut China Selatan.

Adapun pada tahun 2009, ada 67 kapal asing yang tertangkap saat melakukan illegal fishing di wilayah perairan Indonesia dengan perkiraan kerugian negara mencapai Rp 180 miliar. Dari jumlah kapal asing itu, sekitar 60 persennya ditangkap di perairan Natuna hingga ZEEI di Laut China Selatan.

Selain di wilayah perairan Natuna, praktik pencurian ikan oleh kapal nelayan asing juga dijumpai di perairan Sulawesi bagian utara yang berbatasan dengan Filipina, serta Laut Arafuru.

DKP Tangkap Lagi 8 (Delapan) Kapal China Di Perairan Natuna

Dalam rangka operasi pemberantasan Illegal fishing di perairan Indonesia, 3 (tiga) Kapal Pengawas Perikanan Ditjen P2SDKP,Departemen Kelautan dan Perikanan, berhasil menangkap 8 (delapan) kapal trawl illegal berbendera China di laut Natuna, kawasan Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia. Kedelapan kapal penangkap ikan illegal beserta 80 (delapan puluh) ABK Asing ini rata-rata berbobot 300 GT. Kini kedelapan kapal illegal ini tengah di-adhock menuju stasiun pengawasan Pontianak. Dengan penangkapan ini kerugian negara yang berhasil diselamatkan mencapai Rp.24 Milyard lebih.

Seperti kita ketahui, Laut Natuna adalah salah satu dari tiga daerah penangkapan ikan yang menjadi primadona para pencuri ikan, atau dikenal sebagai focal area. Oleh sebab itu, ketiga wilayah ini menjadi prioritas operasi pengawasan (patroli) meliputi : Laut Arafura, perairan sebelah utara Sulawesi Utara dan perairan Natuna. Dari pengalaman selama ini, di ketiga wilayah ini memang ditengarai banyak kapal eks asing illegal yang beroperasi. Ini dimungkinkan karena mereka menganggap ketiga kawasan tersebut sepi dari kegiatan patroli, baik yang dilakukan oleh TNI AL, POLRI maupun patroli oleh kapal pengawas DKP. Alasan lainnya, adalah, di ketiga wilayah ini relatif masih sangat potensial sebagai daerah perairan yang masih banyak ikannya.

Modus Operandi Pelanggaran

Dari berbagai kasus illegal fishing selama ini, modus operandi pelanggaran yang dilakukan oleh kapal asing maupun eks asing antara lain : pelanggaran tanpa dokumen izin, menyalahi fishing ground, menyalahi ketentuan alat tangkap, transhipment di laut, pemalsuan dokumen dan manipulasi hasil tangkapan atau ikan yang diangkut. Bahkan terjadi juga alamat perusahaan fiktif dan pemalsuan dokumen yang dikeluarkan oleh instansi lain. Data antara lain menggambarkan bahwa sejak Januari hingga Juni 2009 ini jumlah kapal yang ditangkap sebanyak 61 buah. Dari jumlah tersebut ternyata yang tidak memiliki dokumen(SIUP/SIPI/SIKPI) atau tanpa izin mencapai 56 kapal. Dokumen yang tidak lengkap berjumlah 3 kapal, pelangggaran daerah penangkapan (fishing ground) 1(satu) kapal, alat tangkap tidak sesuai dengan izin (SIPI) 1(satu) buah dan lain sebagainya. Pada tahun 2007 Kapal patroli DKP berhasil menangkap sebanyak 184 kapal ikan illegal dan pada tahun 2008 mengalami kenaikan, yaitu sebanyak 2242 Kapal illegal.

Ke depan, intensitas patroli di ZEE perlu ditingkatkan dengan menghadirkan kapal-kapal DKP dan TNI-AL. Untuk keperluan tersebut, kerjasama operasi di laut akan lebih ditingkatkan dengan menyediakan APBN yang diusulkan oleh DKP.


Jakarta, Juni 2009
Direktur Jenderal P2SDKP

ttd

Dr.Ir.Aji Sularso,MMA

22 Juni, 2009

Ikan monster yang lebih ganas dari piranha ditemukan di Inggris



Kita mengenal hiu dan piranha sebagai predator air paling ganas. Namun kelihatannya reputasi mereka mendapat saingan berat dari seorang pendatang baru. Seekor ikan liar yang lebih mematikan dibanding piranha dan telah membunuh orang baru-baru ini ditangkap di pantai Inggris untuk pertama kalinya.

The Giant Snakehead - disebut demikian karena tubuhnya yang panjang dan giginya yang menakutkan tertangkap oleh seorang pemancing di Lincolnshire, Inggris. Giant Snakehead adalah salah satu spesies dari bermacam-macam jenis ikan Snakehead.

Ikan ini diberi julukan "gangster" nya dunia ikan. Ia memakan apapun yang terlihat olehnya dan bahkan dilaporkan telah membunuh manusia. Monster ini yang diduga berasal dari Asia Tenggara juga dapat merayap di daratan dan bertahan hidup tanpa air hingga 4 hari. Walaupun baru ditemukan, ikan ini telah memiliki reputasi sebagai predator yang menakutkan di beberapa bagian dunia. Di Amerika Serikat, ikan ini dijuluki "Franken Fish" karena kelihatan seperti makhluk yang keluar dari film horor.



Ikan ini pertama kali ditangkap oleh Andy Alder dari Lincoln. Tanpa sengaja ia menangkap ikan sepanjang 60 cm ini ketika ia sedang memancing di sungai Witham dekat Hykeham utara, Inggris. Dia berkata,"Ikan itu memiliki mulut penuh dengan gigi setajam silet. Sejujurnya, saya takut setengah mati."

Setelah ditemukan, ikan ini bukan saja membuat panik para pemancing saja namun juga para aktivis konservasi alam. Sebuah organisasi lingkungan hidup berkata bahwa apabila spesies ini berkembang biak, maka ia dapat memusnahkan makhluk lain di dalam air dan mereka beranggapan bahwa ini adalah sebuah bencana besar. Ben Weir, seorang wartawan dari majalah memancing berkata,"Selama hidupku bekerja di bidang pemancingan, aku belum pernah mendengar banyak suara kekuatiran seperti sekarang. Ikan ini nyata dan mereka tidak segan-segan menyerang manusia untuk melindungi anak-anak mereka."

Para ahli telah meneliti foto-foto ikan ini dan mengkonfirmasi bahwa ikan ini adalah predator sejati. Sekarang, ikan ini telah masuk dalam daftar hitam spesies yang dilarang untuk diimpor oleh Inggris. Ada kekuatiran bahwa ikan ini dapat diselundupkan untuk hewan piaraan akuarium dan kemudian dilepaskan secara ilegal. Salah satu pemancing terkemuka didunia, Jean Francois Helias dari majalah Angling Adventures Thailand berkata bahwa ikan ini yang bernama latin Channa Micropeltes adalah ikan terjahat dari semua spesies Snakehead. "Giant Snakehead tidak mengenal rasa takut" Katanya.

Ikan yang sama juga telah menimbulkan kekacauan ketika mereka masuk ke perairan Amerika Serikat tahun 2002. Para penembak jitu disiapkan di pinggir sungai untuk menembaki mereka. Pada waktu itu, air sungai dipenuhi oleh darah untuk memancing mereka keluar.

Untuk diketahui, Snakehead dewasa dapat mencapai panjang 90 cm dan berat 20 kilogram, Dan tebak, darimana persisnya ikan ini berasal ? ya, Indonesia. Kita mengenal jenis snakehead dengan sebutan IKAN GABUS. Giant Snakehead adalah salah satu variannya.



Pembangunan Perikanan Wajib Berbasis Ekosistem

Sebagai negara anggota Asia Pacific Fisheries Commission – Food and Agriculture Organization (APFIC-FAO), Indonesia pada dasarnya harus menganut prinsip-prinsip Ecosystem Approach Fisheries (EAF) dan Ecosystem Aquaculture Approach (EAA) atau pembangunan perikanan dan akuakultur dengan pendekatan berbasis ekosistem. Hal tersebut teungkap dalam hasil Regional Consultative Workshop yang diselenggarakan oleh APFIC-FAO di Colombo, Srilanka beberapa waktu lalu.

Pertemuan yang dibuka oleh Menteri Perikanan dan Sumberdaya Kelautan Republik Srilanka ini bertujuan untuk menyusun suatu strategi pengelolaan perikanan yang berkelanjutan, bertanggung jawab dan mampu meningkatkan kesejahteraan pelaku usaha. Untuk pemerintah dan organisasi-organisasi non pemerintahan, dengan adanya pertemuan ini diharapkan mampu mengubah kebijakan perikanan yang semula hanya berorientasi target spesies, berubah kepada perikanan yang memperhatikan pengelolaan sumberdaya yang berkelanjutan.

Selain Indonesia pertemuan ini juga diikuti oleh perwakilan dari negara-negara Asia Pacific seperti Vietnam, Thailand, Kamboja, Philiphina, India, Bangladesh, Pakistan, Maldives, Srilanka, Jepang, Myanmar, Nepal dan organisasi-organisasi perikanan regional. Masing-masing negara peserta menyampaikan mengenai pengelolaan perikanan yang telah dilakukan terkait dengan penerapan EAF dan EAA.

Delegasi Indonesia yang diketuai oleh Dr. Suseno Sukoyono beserta perwakilan negara anggota APFIC lainnya dikelompokkan dalam tiga Group besar yaitu: Bay of Bengal Large Marine Ecosystem (BOBLME), Aquaculture dan South China Sea . Dalam Group tersebut dibahas mengenai langkah-langkah penerapan EAF dan EAA yang secara garis besar dibagi menjadi 5 langkah yakni mengumpulkan data-data mengenai daerah yang akan diterapkan EAF dan EAA, melakukan identifikasi permasalahan dengan mengkalrifikasi permasalahan yang ada, menerapkan prioritas utama masalah yang dihadapi, penyiapan rencana pengelolaan EAF/EAA yang terintegrasi dan yang terakhir, yaitu menyusun rencana pengelolaan untuk 3 masalah prioritas yaitu Ecological well-being, Human well-being dan Governance atau pertimbangan ekologis, pertimbangan untuk kesejahteraan umat manusia serta penataan atau pengelolaan sumberdaya perairan yang baik.

Dengan aktifnya Indonesia di APFIC-FAO, serta dalam berbagai organisasi regional (RFMO) seperti IOTC, dan CCSBT, maka semakin menunjukan komitmen negara ini kepada pembangunan yang memperhatikan aspek ekologis yang berkelanjutan (sustainability). Selanjutnya harus ada pemantauan yang lebih positif secara nasional yakni memprioritaskan penelitian status sumberdaya perairan (stock assasment), pengaturan yang tegas, bila perlu ada penetapan musiman atau pada wilayah tertentu. Di negara lain juga sudah mulai ditetapkan pembelian kapal nelayan oleh pemerintah untuk mengarungi jalur kapal yang sudah berlatih.

Segala penertiban tersebut harus dibarengi dengan pemantauan dan pengawasan, dan tentu saja perlu langkah-langkah yang serius memangkas adanya pungutan liar dan tindak pidana korupsi di segala lini.

Jakarta, Juni 2009

Kepala Pusat Data, Statistik dan Informasi

" Pelabuhan Mengkhawatirkan "

JAKARTA , Gabungan Asosiasi Pengusaha Perikanan Indonesia (Gappindo) menyatakan masih sedikit pengusaha siap menghadapi wajib sertifikasi hasil perikanan tangkap untuk ekspor ke Uni Eropa (UE) pada 2010. Sementara pengamat mengkhawatirkan kesiapan pemerintah dalam membenahi infrastruktur pelabuhan perikanan.

Anggaran DKP yang minim akan menyulitkan pemenuhan target revitalisasi pelabuhan perikanan. Ekspor sulit meningkat apabila kondisi pelabuhan tetap buruk.

“Sebagian masih banyak yang belum siap. Hanya beberapa yang sudah siap, seperti dari asosiasi tuna, saya rasa mereka yang paling siap,” kata Ketua Umum Gabungan Asosiasi Pengusaha Perikanan Indonesia (Gappindo) Herwindo di Jakarta, Minggu (21/6).

Asosiasi lain yang menurut dia cukup siap menghadapi wajib sertifikasi hasil perikanan tangkap yang diterapkan Uni Eropa tanggal 1 Januari 2010 yakni Himpunan Pengusaha Penangkapan Udang Indonesia (HPPI). “HPPI sepertinya sudah ada sertifikasi itu, karena saya lihat mereka sudah sangat teratur (dalam pendataan),” ujar Herwindo.

Sertifikasi itu merupakan bagian dari pemberantasan illegal, unregulated, unreported (IUU) fishing. Ketentuan ini tidak berlaku bagi produk perikanan hasil kegiatan budi daya (air tawar, payau, dan laut), produk perikanan air tawar, ikan hias, kekerangan, rumput laut, scallops, oyster, dan ikan lainnya. 

Pengamat perikanan dan kelautan optimistis, para pengusaha, terutama yang bisnisnya sudah berorientasi ekspor, akan mampu memenuhi persyaratan itu. Menurut Kepala Divisi Riset Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim (PK2PM) Suhana, titik rawan kegagalan sertifikasi ini justru pada kesiapan pemerintah dalam membenahi infrastruktur pelabuhan. “Kondisi pelabuhan perikanan yang masih sangat buruk dan belum ada satu pun yang memenuhi standar UE,” tuturnya.

Bayang-bayang kegagalan itu, tambah Suhana, terlihat dari anggaran Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) yang sangat minim. Untuk 2010, DKP hanya dikucuri 3,097 triliun atau turun 10,14 persen dibandingkan anggaran 2009. Padahal, DKP berencana merevitalisasi sekitar 175 titik lokasi pelabuhan pada tahun ini.

“Angka ini jauh sekali dari yang didapatkan Departemen Pertanian yang mendapatkan anggaran 18 triliun rupiah hanya untuk subsidi benih dan pupuk subsidi 18 triliun. Sementara anggaran Deptan sendiri mencapai 8 triliun rupiah,” terangnya.

Bila infrastruktur pelabuhan terus terbengkalai, kata Suhana, tidak ada harapan lagi untuk menggenjot ekspor produk perikanan ke UE. Padahal, pemerintah telah menargetkan kenaikan ekspor hasil perikanan ke UE senilai 10 juta dollar AS per tahun. Ekspor perikanan ke US pada 2007 mencapai 298 juta dollar AS. 

Direktur Pemasaran Luar Negeri DKP, Saut P Hutagalung, menegaskan Indonesia harus siap menghadapi wajib sertifikasi perikanan itu. “Semua dalam tahap persiapan dan perlu waktu. Para pelaku usaha tentu ada kekhawatiran hal ini dapat mengganggu kelancaran ekspor perikanan. DKP mulai melakukan sosialisasi pendahuluan pada Oktober-November 2008,” ujarnya. 


Produksi Meningkat

Sementara itu, produksi perikanan laut di Jawa Tengah cenderung meningkat. Kabag Produksi Pusat Koperasi Unit Desa (Puskud) Mina Baruna Jateng, Mahmud, mengatakan hingga Mei 2009, hasil produksi tangkapan ikan di wilayah itu mencapai 51.518,87 ton dengan nilai 291,28 miliar rupiah.

“Jumlah tersebut meningkat dibandingkan pada Mei 2008 sebesar 49.783,64 ton dengan nilai 258,10 miliar rupiah,” ujarnya. Hasil tersebut merupakan perolehan hasil keseluruhan produksi perikanan dari 77 tempat pelelangan ikan (TPI) yang ada di Jateng. 

Pada 2008, total produksi ikan hasil tangkapan nelayan di Jateng mencapai 148.597,17 ton dengan nilai 830,69 miliar rupiah. Menurut Mahmud, sebagian besar produksi perikanan itu diekspor seperti rajungan, lobster, ikan tuna, layur, ikan teri nasi, ikan bawal, dan cakalang. (lha/SM/Ant/ N-1)

Sumber : http://www.koran- jakarta.com

20 Juni, 2009

Ketika Laut kelebihan CO2

Banyak yang dapat berubah di sekitar kita dalam 5 tahun terakhir ini. Sebelumnya di tahun 2004 para ilmuwan memberi posisi ke-36 dari 40 rangking ancaman masa depan laut khususnya ekosistem terumbu karang dunia. Seiring dengan itu banyak sudah bukti ilmiah (lebih dari 300 publikasi) muncul ‘menakutkan’ dari yang dipikir sebelumnya diantaranya dari Orr et al 2005, Raven et al 2005, Hoegh-Guldberg et al 2007 dan lead-scientist lainnya meyakini implikasi ancaman ‘Ocean Acidification’ bagi penghuni lautan melebihi ancaman peningkatan suhu (ocean warming). 

Ocean acidification adalah hal ’baru’ dalam ‘science’ yang telah memiliki petunjuk dan bukti mulai dari pengujian dalam laboratorium-mesocosm juga berkembang sampai field research-insitu dalam bidang ekologi. Berubahnya sistem penyanggah kimia lautan dengan menurunnya pH 3 kali lebih besar dibanding waktu lalu (periode transisi glacial ke interglacial sekitar 21 ribu tahun lalu) yang diangkat oleh Caldeira dan Wickett (2003) belum dikenal luas dan sering diinterpretasi lain. Pemahaman mendasar yang keliru juga terkait status laut dalam siklus biogeokimianya sebagai Sink/Source CO2 membawa miskonsepsi dan ‘kepentingan’ lain di segala bidang masuk ke rona politik-ekonomi (mis.carbon trade). Kontras di saat gaung mengenai peran laut didengungkan, disamping degradasi aktual lain yang sementara terjadi; sebenarnya laut dan penghuninya sementara mengalami perubahan: menjadi KORBAN akibat kelebihan CO2. Konsekwensi perubahan ini jelas akan berdampak pada manusia, memukul balik di semua sendi kehidupan termasuk ekonomi global (multiplier effect dari hilangnya mata pencaharian-studi terbaru Cooley &. Doney 2009)

Ocean acidification atau proses pengasaman laut menunjuk pada air laut yang tidak akan jatuh benar-benar asam di bawah pH 7 (pure water), dalam bentuk ’acid rain’ apalagi sampai ’battery acid’ (pH 0). ‘Acidification’ adalah untuk mengambarkan proses yang menurunkan pH, proses penurunan pH. Antara tahun 1751-2004 seiring dengan meningkatnya karbondioksida (CO2), diestimasi pH permukaan laut dunia (danau besar planet bumi yang terkoneksi) telah menurun sekitar 0.1 unit dan saat ini sedang serta sementara berlangsung (prediksi saat ini sekitar 0.25-0.33 pH per unit bahkan mendekati 0.4)(Key et al 2004, Orr et al 2005, Harley et al 2006, Solomon et al 2007, etc). Proses penurunan pH yang meskipun sangat kecil namun memberi efek signifikan biogeokimia lautan beserta organisme penghuninya... multum in parvo!.

Sistem penyanggah dalam lautan atau ’buffer system’ TIDAK selamanya stabil, dalam siklus karbon secara alami konsentrasi CO2 berproses, berputar-mengalir di lautan, daratan (terestrial) dan atmosfir bumi dalam ‘kesetimbangan’. 650 ribu tahun sebelum revolusi industri (1800) konsentrasi gas penting CO2 berada pada kisaran antara 180-300 ppmv (part per million by volume). Peningkatan pembakaran bahan bakar fosil yang erat dengan industrialisasi, pabrik, kendaraan bermotor, polusi, dll (antropogenik¨’efek rumah kaca’) diyakini turut menyebabkan peningkatan secara signifikan CO2 yang saat ini telah mencapai sekitar 380 (ppmv) dan terus bergerak meningkat. Rata-rata kenaikan dalam tahun-tahun terakhir ini sangat pesat dalam skala waktu manusia dan yang menjadi kecemasan adalah kita tidak tahu pada angka berapa titik balik kandungan polutan di atmosfer serta bagaimana efeknya terhadap penghuni bumi. Jelas peningkatan emisi CO2 berpotensi merubah kondisi kimia laut yang tak pernah terjadi sejak punahnya dinosaurus ribuan tahun lalu. JEN Veron (2008) salah satu ahli Coral terkemuka dunia menyimpulkan laut khususnya terumbu coral akan menghadapi ‘mass extinction’ yang ke-6, dalam ‘gap’ terakhir yang terjadi sekurang-kurangnya 4 juta tahun. 

Selama periode tahun 1800-1994, lautan yang melapisi lebih dari 70 persen permukaan bumi telah memainkan peran alami-nya dalam menyerap/mengabsorbsi (sink) gas antropogenik CO2 yang bersumber dari daratan antara 39 - 48 persen. Lebih dari dua dekade 1980-an dan 1990-an sekitar setengah CO2 yang dilepaskan aktifitas manusia di atmosfer telah diabsorbsi laut sebesar 30 persen dan wilayah terestrial 20 persen. Walaupun belum dapat dipisahkan secara statistik, terdapat indikasi dalam skala waktu bahwa kemampuan alami laut untuk menyerap CO2 lewat biological maupun solubility pump telah menurun pada posisi sekitar 26 persen-constant pada daerah terestrial (Sabine et al 2004a, b). Studi intens lainnya mengenai sistem carbon-climate (Gruber et al 2004) mengindikasikan hal serupa bahwa efisiensi laut terus berkurang dalam menyerap CO2 seiring dengan meningkatnya CO2 di atmosfer. 

Ketika CO2 mengalir masuk dalam siklusnya ke laut, terlarut, bereaksi dengan air maka akan membentuk keseimbangan kimia ionik/non-ionik: CO2 terlarut bebas, carbonic acid (H2CO3), bicarbonate (HCO3-) dan carbonate (CO32-). Ratio keseimbangan jenis-jenis ini ditentukan oleh berbagai faktor terutama suhu dan alkalinitas. Ketika konsentrasi pCO2 di laut meningkat proporsional seiring dengan peningkatan tekanan parsial CO2 di atmostfir yang melebihi ’kondisi normal’, maka hal ini akan turut meningkatkan/menghasilkan carbonic acid (asam karbon) pada air laut sehingga mengurangi konsentrasi ion carbonate. Meningkatnya CO2 akan turut meningkatkan konsentrasi ion Hydrogen (H+) air laut dan karenanya merubah-menurunkan pH lautan. Peningkatan konsentrasi ion Hydrogen ini yang menyebabkan ‘increase in acidity’ (pH = -log [H+], skala log berarti setiap unit penurunan dalam skala pH, konsentrasi ion hydrogen meningkat 10-fold). Hasil lain dilepaskannya ion-ion hydrogen yaitu adalah kombinasi dengan ion-ion carbonate dalam air membentuk ion bicarbonate. Reaksi ini mengurangi ion-ion carbonate dari air, menyulitkan organisme calcifier dalam membentuk-mengikat calsium carbonat (CaCO3) kerangka kapur (tulang) organisme. 

Menurunnya pH yang diikuti penurunan konsentrasi ion carbonat memang tidak secara langsung mematikan organisme laut tetapi membawa permasalahan yang berdampak pada akumulasi ion-ion calcium dan carbonate sebagai bahan baku penting kerangka organisme laut (calcifier). Walaupun perubahannya kecil terutama pada permukaan air-umum di perairan dangkal termasuk habitat terumbu maka konsekwensi negatif dengan berubahnya siklus biogeokimia alami lautan akan berdampak pada organisme calcifier (penghasil kerangka keras polymorph mineral calcite dan aragonite). Organisme calcifier yang penting ini tersebar dalam rantai makanan, auto-heterotrophs yaitu dari bermacam-macam species Coral (+pre-info: average Coral = SOURCE CO2 see Gattuso et al 1999, Suzuki & Kawahata 2003), Cocolithopore, Foraminifera, Echinoderm, Crustacean, Molluscs (kerang-kerangan), Coraline Red Algae, dll.

Dibawah kondisi ini, coral dan organisem calcifier lainnya akan mensekresi ion-ion calcium carbonate (CaCO3) lebih sedikit dan kerangka kapur yang dibentuk (limestone aragonite ataupun calcite) menjadi lebih rapuh dan gampang larut. Berkurangnya kemampuan calcifier ini dalam membentuk kerangka kerasnya akan turut mempengaruhi kompetisi dalam menempati ruang, sehingga kepadatan berkurang sekaligus menjadikan organisme ini lebih rentan lagi, mempengaruhi ekosistem. Penelitian terkini langsung (in situ) maupun eksperimental menemukan bahwa kemampuan coral untuk bertumbuh dan membentuk terumbu (kalsifikasi) telah berkurang dengan meningkatnya CO2. Diproyeksikan, kelipatan pCO2 dua kali sebelum masa revolusi industri (560 ppmv) akan menghasilkan penurunan kalsifikasi organisme maksimum sebesar 56 persen; sedangkan kelipatan tiga kali (840 ppmv-sebelum tahun 2100) menghasilkan penurunan maksimum sebesar 83 persen (scenario IPCC bussiness-as-usual, Raven et al 2005; Kleypas et al 2006, Cooper et al 2008, Fabricus 2008). Struktur keras terumbu jelas terancam karena daya tahan terhadap erosi menurun dengan menurunnya pH dan diperkirakan terumbu karang (coral) yang terlihat sekarang akan berubah dan hilang sebelum abad ini berakhir. Berbagai penelitian dalam skala individu dari larva sampai dewasa, dan aspek ekologi lain dari perilaku sampai perubahan jaring makanan pada semua tingkatan tropik dari organisme benthos (seperti coral) maupun pelagic (seperti ikan) semuanya memperlihatkan respons ’drastis’ terhadap perubahan ini. Studi oleh Wooton et al (2008) mendapatkan dalam 8 tahun terakhir perubahan pH lautan berubah sangat cepat dibanding perkiraan semula dan berdampak langsung lewat penurunan kalsifikasi dan secara tidak langsung mempengaruhi ekosistem. Penelitian langsung terhadap coral oleh Death et al 2009 menemukan terjadinya penurunan kalsifikasi drastis (14% sejak 1990) yang belum terjadi sekurang-kurangnya dalam 400 tahun terakhir di sepanjang Great Barrier Reef menunjuk pada acidification dan kenaikan suhu laut yang berhubungan dengan peningkatan CO2.

Selain ancaman ’acidification’ dan ’warming’ (the evil twins CO2) karena kelebihan suatu gas penting yang tidak ’normal’, ada banyak pula ancaman lain muncul atau yang mulai muncul langsung maupun tidak langsung beriringan akibat hilangnya ’keseimbangan’ apa yang ada di bumi. Ada banyak emisi-emisi gas yang sifatnya negatif dan berbahaya bagi penghuni bumi dan ‘sesuatu’ yang kita masukan-lepaskan melebihi apa yang bisa diterima akan mempengaruhi-berubah karena semuanya memiliki ’batasan’. Keberadaan sistem-sistem ekologi sebagai modal persediaan (capital stock) alam adalah kritis-sangat penting untuk berfungsi mendukung sistem kehidupan bumi, berkontribusi bagi kesejahteraan manusia langsung maupun tak langsung, penyokong aktifitas ekonomi, kualitas hidup dan sosial. Krisis sistem kehidupan saat ini yang berasal dari tekanan yang banyak sekali dilakukan oleh manusia terhadap komunitas mikroba, tumbuhan dan satwa melemahkan serta terkadang mengacaukan seluruh ekosistem, baik kecil, besar - menglobal. 

Lepas dari ’kepentingan/kesepakatan’ dalam berbagai pertemuan dunia yang dilaksanakan misalnya Konferensi Kelautan Dunia (WOC) di ibukota ujung semenanjung utara Sulawesi-Indonesia, areal pusat keanekaragaman hayati laut dunia (Coral Triangle) waktu lalu sangat diharapkan tidak hanya menjadi momentum menglobal yang hanya ’seketika’ bagi penguatan fungsi-fungsi dan peran laut namun ke dalam momentum tersebut diharapkan menjadi penggerak keterlibatan masyarakat yang meningkatkan apresiasi dan partisipasi dalam mengelola-melestarikan sumberdaya alam dari ancaman degradasi aktual yang terus terjadi. Kemampuan kita untuk terus memanfaatkan sumberdaya akan sangat tergantung kombinasi efektif dari manajerial yang berdasar keilmuan (science-based), dukungan publik dan political will. Penghuni bumi ini tentunya memiliki tanggungjawab bersama, bergandengan tangan, bergerak untuk menyelamatkan sumberdaya tempat kita bergantung secara berkelanjutan. 

Commemorated yearly on 5 June worldwide awareness of the environment :
'Your Planet Needs You-UNite to Combat Climate Change'.

by: J.R.Pahlano Daud 
copyright: pahlano@multiply.com


18 Juni, 2009

TNI-AL Tangkap Kapal Malaysia

Jakarta----TNI-AL kembali meringkus kapal asing yang tertangkap mencuri ikan. KRI Kapitan Pattimura-371 menangkap kapal Malaysia PKFB 450 karena memasuki teritorial Indonesia secara ilegal di dekat Selat Malaka kemarin (17/6). Saat ditangkap, kapal asing itu tak dilengkapi dokumen sesuai dengan ketentuan dan perundang-undangan yang berlaku. 

  Kepala Dinas Penerangan Angkatan Laut (Kadispenal) Laksamana Pertama TNI Iskandar Sitompul mengatakan, kapal PKFB 450 milik Chan Leng Kooi itu jenis kapal pukat tunda dengan bobot 39,43 ton. Kapal tersebut memiliki empat anak buah kapal (ABK). Yakni, nakhoda Tan Koon Siang (warga Tiongkok), Wichai (Thailand), Than Tan (Thailand), dan Twe (Thailand). 

  "Sebelum tertangkap, kapal tersebut menangkap 300 kg ikan," ujarnya kepada wartawan kemarin. Kapal yang tertangkap pada posisi 02. 44 75 utara ? 100 57 40 timur itu lalu digiring ke Pangkalan TNI-AL (Lanal) Dumai untuk diproses hukum. 

  Minggu lalu, KRI Kapitan Pattimura-371 juga menangkap dua kapal ikan Thailand di Selat Malaka. Yaitu, kapal motor (KM) Daung Pramong 11 pada posisi 05 32 05 utara ? 098 12 40 timur, serta KM Lap 17 pada posisi 05 28 29 utara ? 198 15 10 timur. Saat itu, masing-masing membawa muatan ikan 5 ton dan 2,5 ton, tapi tak dilengkapi dokumen. Kapal dan awaknya beserta barang bukti kini menjalani proses hukum di Belawan, Medan.

  Tim Operasi Keamanan Laut Pangkalan TNI-AL di Sorong, Papua, juga menangkap delapan tersangka penangkap ikan dengan menggunakan bom ikan. Mereka sering melanggar hukum di sekitar perairan Pulau Batanta, Sorong. TNI-AL mengamankan satu unit kapal jenis longboat berikut tiga motor tempel berkapasitas 40 PK serta hasil tangkapan hampir satu ton ikan jenis Lalosa dan Lema.

  "Penangkapan itu berawal dari laporan warga yang resah akibat aksi pengeboman ikan," katanya. Berdasar informasi itu, Lanal Sorong menurunkan tim buru sergap. Para tersangka dan barang buktinya selanjutnya dibawa ke Lanal Sorong untuk proses lanjut. Mereka diancam penjara paling lama 6 tahun atau denda paling banyak Rp 1,2 miliar sesuai UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang perikanan.(rdl/dwi)

Potensi Wilayah Pesisir dan Laut sebagai Kawasan Wisata Bahari

Potensi Wilayah Pesisir dan Laut sebagai Kawasan Wisata Bahari

 Wilayah Pesisir dan Laut memiliki sumberdaya alam yang dapat di manfaatkan, salah satunya menjadikan objek wisata bahari, berbagai jenis organisme yang ada didaerah itu dapat menjadi nilai jual seperti terumbu karang, hutan bakau, lamun serta adanya keindahan pantai. Disaat Indonesia mengalami masa krisis berkepanjangan sector pariwisata merupakan salah satu aset negara dalam menanggulangi masalah tersebut. Dengan pemanfaatan dan pengembangan wilayah pesisir kita dapat konstribusi yang positif yaitu menjadikan wilayah pesisir dan laut sebagai kawasan wisata bahari.  

Wisata bahari merupakan suatu bentuk wisata potensial. Daerah dapat dikatakan berhasil menjadi tempat wisata bahari apabila memenuhi berbagai komponen terkait dengan kelestarian lingkungan alami, kesejahteraan penduduk yang mendiami wilayah tersebut, kepuasan pengunjung yang menikmatinya dan keterpaduan komunitas dengan area pengembangannya. 

 Belakangan ini setiap daerah berusaha untuk memanfaatkan wilayah pesisir menjadi tempat atau objek wisata bahari karena sebagai daya tarik untuk wisatawan datang ke daerah tersebut sehingga menambah pemasukan bagi Pemerintah daerah, namun dalam pengembangannya dibutuhkan strategi yang terencana dan sistematis sehingga wilayah pesisir yang dijadikan wisata bahari bermanfaat juga bagi masyarakat di daerah tersebut.

 Selain strategi dalam pembangunan wilayah pesisir di perlukan juga keterlibatan dan partisipasi masyarakat lokal sehingga masyarakat merasa terlibat dan bertanggungjawab untuk menjaga dan melestarikan lingkungan dan ekosistem yang ada hal ini pun sebenarnya menguntungkan bagi kehidupan ekonomi mereka dengan system pembangunan berkelanjutan.

 Pembangunan berkelanjutan memiliki arti penting baik bagi pengunjung, masyarakat maupun kelestarian lingkungan. Secara harfiah yaitu pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi sekarang maupun yang akan datang dengan pengelolaan yang tepat tanpa membahayakan system alam yang mendukung semua aspek kehidupan. Pembangunan wilayah pesisir harus berbasis kemasyarakatan dengan tujuan membantu kesejahteraan masyarakat pesisir. sumber http://www.kp3k.dkp.go.id

Pelantikan Pejabat Eselon I DKP yang \'Rahasia\'

Pelantikan Pejabat Eselon I DKP yang \Rahasia\
Jakarta - Suasana pelantikan pejabat eselon I Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) di Gedung Mina Bahari Lantai G kantor DKP pada Selasa (16 Juni 2009) terlihat beda. Tak ada istri pejabat baru yang hadir. Pelantikan juga berlangsung seakan rahasia, karena wartawan juga tidak dihadirkan.

Di gedung yang beralamat di Jalan Medan Merdeka Timur no 16 Jakarta Pusat itu, Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi melantik empat pejabat baru eselon 1.

Empat pejabat baru yang dilantik Freddy itu adalah:

1. Prof. Dr. Ir. M. Syamsul Maarif, M.Eng., Dipl.Ing.DEA, sebagai Sekretaris Jenderal (Sekjen)
2. Dr. Ir. Dedy Heryadi Sutisna, MS, sebagai Direktur Jenderal Perikanan Tangkap
3. Prof. Dr. Ir. Alex S.W. Retraubun, M.Sc, sebagai Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (KP3K)
4. Dr. Ir. Irwandi Idris, M.Si, sebagai Staf Ahli Menteri Kelautan dan Perikanan Bidang Kebijakan Publik

Syamsul Maarif, Dedy Heryadi, dan Alex Retraubun, merupakan pejabat lama yang mendapat mutasi dan promosi. Syamsul sebelumnya menjabat Direktur Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (KP3K), sedangkan Dedy sebelumnya menjabat Sekretaris Direktorat (Sesdit) Ditjen Tangkap, dan Alex Retraubun sebelumnya menjabat Direktur Pengembangan Pulau-pulau Kecil.

Sedangkan pejabat eselon 1 DKP yang dicopot adalah Widi Agoes Pratikto (Sekjen DKP) dan Ali Supardan (Dirjen Tangkap).

Pergantian pejabat eselon I di tubuh DKP ini berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 62\/M tahun 2009.

Namun, ada sesuatu yang ganjil. Informasi yang didapatkan detikcom<\/strong>, Kamis (18\/6\/2009) Widi Agoes Pratikto tidak hadir dalam pelantikan pejabat baru. Padahal, biasanya pejabat baru dan pejabat lama hadir dalam acara pergantian pejabat tersebut.

Pelantikan pejabat baru oleh Freddy Numberi ini juga tidak dihadiri oleh istri para pejabat yang dilantik. Padahal, biasanya istri-istri pejabat baru dihadirkan. \\\"Undangan pelantikan juga ditulis \\\'rahasia\\\',\\\" kata sumber detikcom itu.

Yang bisa menjadi masalah, pelantikan pejabat baru eselon I itu bertentangan dengan surat edaran atas nama pemerintah RI yang ditandatangani Seskab Sudi Silalahi. Surat edaran itu intinya melatang ada pergantian eselon I di semua departemen\/lembaga pemerintah\/nonpemerintah sampai Pilpres selesai.

Pelantikan pejabat eselon I yang ganjil ini, seperti diberitakan Bisnis Indonesia, Rabu (17\/6\/2009), pelantikan pejabat baru itu juga tidak diliput wartawan. Wartawan yang hadir hanya diperbolehkan di lobi dan tidak diperkenankan masuk. Freddy Numberi, anggota DPR terpilih 2009-2014 dari Partai Demokrat yang juga tim sukses SBY-Boediono juga tidak bisa ditemui wartawan saat itu.

Kepala Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), Soenan Adi Poernomo, juga menolak menjelaskan secara terperinci tentang pergantian pejabat eselon satu tersebut. \\\"Alasannya biasa saja untuk penyegaran jabatan di lingkungan departemen,\\\" kata dia.

https://news.detik.com/berita/d-1149984/pelantikan-pejabat-eselon-i-dkp-yang-rahasia- 

Merebut` hak Indonesia atas tuna sirip biru

Oleh Mustopa

KASUS pencurian ikan di wilayah perairan laut Indonesia hingga kini masih menjadi persoalan pelik yang belum teratasi. Kasus 'illegal fishing' itu bahkan telah memunculkan dampak yang multidimensional bagi Indonesia selaku negara maritim terbesar di dunia. Sebab, akibat kasus tersebut Indonesia tidak saja mengalami kerugian besar karena sumberdaya perikanan yang dimilikinya banyak dicuri oleh kapal-kapal asing, tetapi juga saat ini Indonesia telah dituduh sebagai 'pelaku' pencurian ikan terbesar di dunia oleh kalangan negara-negara di dunia.

Ini sungguh ironis. Sebagai salah satu dari enam negara yang memiliki 'coral triangle' karena memiliki lebih dari 500 spesies terumbu karang yang menjadi tempat hidup, singgah, dan berkembang biaknya berbagai jenis ikan, Indonesia dituduh sebagai pencuri ikan terbesar di dunia karena menangkap ikan tuna sirip biru yang jumlahnya melebihi kuota yang ditetapkan oleh negara-negara lain, terutama kelompok negara tujuan ekspor. Padahal, penangkapan jenis ikan yang populasinya semakin berkurang di dunia itu dilakukan oleh para nelayan Indonesia di wilayah perairan sendiri.

Sikap sejumlah negara yang menetapkan kuota ekspor ikan tuna sirip biru asal Indonesia jelas sangat tidak berdasar. Sebab, selain penetapan kuota itu dilakukan secara sepihak, juga umumnya hanya berdasarkan pada alasan yang mengada-ada, misalnya karena populasi ikan termahal di dunia itu saat ini semakin menipis. Bahkan, tak jarang ketika negara-negara lain seperti Jepang, Amerika Serikat, dan negara-negara di kawasan Uni Eropa melakukan penangkapan jenis ikan tuna sirip biru itu secara berlebihan, malah Indonesia yang dituntut melakukan moratorium. Tuntutan semacam itu terkesan hanya 'akal-akalan' negara lain untuk mencegah dominasi produk ikan asal Indonesia di pasar dunia. Langkah itu bisa juga merupakan bentuk konspirasi sejumlah negara yang sesungguhnya menjadi 'pelaku' pencurian ikan tuna sirip biru, tetapi mereka 'melempar' tanggung jawabnya ke Indonesia. Sebab, kerapkali penolakan ekspor produk ikan asal Indonesia di negara lain dan tuntutan pembatasan penangkapan ikan tuna sirip biru di wilayah perairan laut nusantara tidak berdasarkan alasan yang rasional.

Bayangkan, sebagai negara bahari yang mempunyai potensi bidang perikanan yang berlimpah, Indonesia diharuskan membatasi upaya memanfaatkan sumberdaya perikanan yang dimilikinya oleh masyarakat dunia. Padahal, seperti negara lain yaitu Malaysia, Filipina, Timor Leste, Papua Nugini, dan Kepulauan Solomon yang memiliki 'coral triangle' yang menjadi tempat hidup, singgah, dan berkembang biaknya berbagai jenis ikan, pemanfaatan sumberdaya perikanan di Indonesia hingga sekarang masih tergolong rendah.

Karena itu, pembatasan kuota ekspor ikan tuna sirip biru oleh sejumlah negara jelas sangat merugikan Indonesia, bukan saja kerugian finansial seperti yang dialami oleh para eksportir nasional tetapi juga kerugian non-finansial karena citra Indonesia sebagai negara maritim menjadi buruk di mata dunia. Apalagi jika pembatasan kuota ekspor ikan tuna sirip biru itu selalu dikaitkan dengan tuduhan sejumlah negara lewat laporan Convention for the Conservation of Southern Blue fin Tuna (CCSBT) yang menyebutkan bahwa Indonesia merupakan penyumbang terbesar kasus pencurian ikan di dunia.

Untuk memberi legitimasi terhadap citra buruk yang melekat pada Indonesia terkait dengan tuduhan sebagai 'pelaku' utama pencurian ikan terbesar di dunia, sejumlah negara di kawasan Uni Eropa dan Amerika selama ini terkesan mempersulit masuknya produk ekspor ikan asal Indonesia dengan berbagai dalih. Perlakuan buruk dari sejumlah negara terhadap produk ekspor ikan asal Indonesia itu tentu tidak bisa dibiarkan. Apalagi jika yang menjadi alasan munculnya perlakuan itu hanya tuduhan tak berdasar sejumlah negara terhadap Indonesia yang dianggap sebagai pelaku pencurian ikan terbesar di dunia. Sebab, pada kenyataannya dalam kasus pencurian ikan, Indonesia termasuk negara yang sangat dirugikan karena berdasarkan data Departemen Perikanan dan Kelautan setiap tahun banyak sekali kapal asing yang tertangkap saat mereka tengah mencuri ikan di perairan milik Indonesia.

Bahkan, menurut Menteri Perikanan dan Kelautan Freddy Numberi yang mengutip data FAO, setiap tahun Indonesia mengalami kerugian sekitar Rp30 triliun akibat kasus pencurian ikan yang dilakukan oleh pihak asing. Pelaku-pelaku pencurian ikan di wilayah perairan laut Indonesia itu diduga merupakan kelompok terorganisasi tingkat dunia yang secara periodik selalu melakukan aksinya. Namun demikian, dari sekian pelaku pencurian ikan yang tertangkap di wilayah perairan Indonesia, sebagian besar berasal dari Thailand dan Vietnam. Sementara itu berdasarkan data yang dimiliki oleh Kiara diketahui bahwa negara yang melakukan pencurian ikan di wilayah perairan Indonesia selama ini selain Thailand dan Vietnam, juga Malaysia, Filipina, Taiwan, Korea, Panama, Kamboja, Myanmar, dan Cina.

Bertolak dari hal-hal di atas, maka sudah sepantasnya jika pemerintah Indonesia mengambil langkah-langkah berani untuk memperjuangkan dirinya mendapatkan hak-haknya sebagai negara maritim yang memiliki wilayah perairan yang sangat luas. Bahkan, berkaitan dengan pembatasan penangkapan ikan tuna sirip biru, Indonesia seharusnya berani melakukan penolakan melalui forum-forum internasional seperti sidang tahunan IOTC [Indian Ocean Tuna Commission] atau Konferensi Kelautan Dunia [World Ocean Confrence/WOC] dan Coral Triangle Initiative [CTI] yang akan diselenggarakan di Manado pada Mei 2009.

Pada forum-forum seperti itu, delegasi Indonesia harus berani mempersoalkan sikap dunia yang selama ini terus menuduh Indonesia sebagai pelaku pencurian ikan terbesar di dunia, padahal pada kenyataannya dalam kasus pencurian ikan tersebut Indonesia adalah korban dan bukan pelaku. Di sisi lain, sebagai negara yang wilayah perairannya menjadi tempat hidup dan ber-kembang biak ikan tuna sirip biru, maka tentu tidaklah adil apabila Indonesia hanya diperbolehkan menangkapnya sebanyak 750 ton setiap tahunnya.

Untuk itu, Indonesia harus memperjuangkan tidak adanya pembatasan secara sepihak oleh sejumlah negara terkait pengambilan ikan tuna sirip biru yang di Indonesia terdapat di sepanjang perairan Sumatera hingga Nusa Tenggara itu. Dengan demikian, cap sebagai pelaku pencurian ikan terbesar di dunia tidak lagi bisa melekat, karena sebagai pemilik wilayah perairan yang kaya ikan tuna sirip biru itu, tentu sudah sewajarnya jika Indonesia memiliki hak penuh untuk mengambil-nya sesuai dengan tuntutan kebutuhan yang ada. (Penulis adalah wartawan Harian Terbit)

Sumber: http://www.hariante rbit.com

KM. Samudera Jaya Terbakar di Kendari.

Kapal ikan KM. Samudera Jaya bertonage 74 GT milik PT. Dharma Samudera Fishing Industries terbakar dini hari tadi sekitar jam 5,20 Wita, di dermaga perusahaan di Kampung Kendari Cadi Kota Kendari. Peristiwa tersebut menyebabkan 1 orang meninggal bernama Mahaseng terbakar di ruang mesin dan satu lagi luka bakar ringan dapat meloloskan diri dengan memecah kaca jendela.


Kapal ini rencananya akan berangkat karena sudah melakukan pemuatan es dan tinggal pemuatan BBM yang rencananya akan berlayar menuju pelabuhan Dobo untuk melakukan pemuatan ikan disana. Saat ini kapal sudah dalam penyidikan polisi karena sudah dipasang polisi line.

Global Warming Picu Kematian Prematur

Permukaan Laut RI Naik 17 Cm
 
Jakarta---Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memberi warning kepada negara-negara di dunia soal bahaya perubahaan iklim (climate change). Menurut organisasi di bawah payung PBB itu, dampak climate change tidak lagi jangka panjang, melainkan sudah terjadi saat ini. Untuk Indonesia, pada 2017 diperkirakan permukaan laut akan naik hingga 17 cm.

  Persoalan itulah yang melatarbelakangi seminar regional dampak perubahan iklim terhadap kesehatan yang digelar Kedutaan Besar Prancis untuk Indonesia dan WHO di Hotel Shangri-La, Jakarta, kemarin. Seminar itu dihadiri berbagai instansi pemerintahan dan perwakilan dari sejumlah negara. 

  Enviromental Health Advisor WHO Sharad Adhkary mengatakan, tak ada satupun negara di dunia ini yang akan terhindari dampak climate change. Karena itu, sedini mungkin dampak itu harus dikikis. ’’Pertemuan ini akan merumuskan berbagai solusi yang bakal kita tempuh,’’ terangnya. 

  Wakil Dubes Prancis Jean Yves Roux mengatakan, ironisnya banyak yang tidak menyadari akibat buruk perubahan iklim itu. ’’Orang berpikir itu akan terjadi pada masa mendatang. Padahal, sekarang sudah terjadi. Karena itu, jalan satu-satunya adalah mencegah perluasan dampak,’’ terangnya.

  Direktur Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan Wan Alkadri menambahkan, dampak buruk perubahan iklim bisa dicermati dengan meningkatnya suhu saat ini. Peningkatan suhu yang sekitar 1-3 derajat itu dinilai amat rentan terutama bagi lansia maupun penderita jantung. ’’Itu baru efek tidak langsung,’’ ujarnya.

  Imbas langsungnya malah cukup luas. Menurutnya, saat ini telah terjadi perubahan iklim di daerah selatan dengan menurunnya curah hujan. Akibatnya, terjadi kemarau panjang dan kekeringan di berbagai daerah. Sebaliknya, di daerah utara curah hujan turun cukup tinggi. Alhasil, daerah di sepanjang utara kerap langganan banjir. Dampak yang terjadi juga cukup besar.

  ’’Mereka yang harusnya tidak perlu terkena bencana itu, jadi korban. Bahkan ada yang meninggal. Inilah yang kami sebut dengan kematian tinggi,’’ terangnya. Perubahan iklim juga mengakibatkan tingginya angka kematian, kesakitan, dan terjadinya kecacatan.
 Bukan hanya itu. Pola perubahan iklim praktis berpengaruh kepada musim bercocok tanam di Indonesia. Jika perubahan itu terjadi terus menerus, dikhawatirkan negara ini akan kekurangan pangan. Ujung-ujungnya problem malnutrisi meningkat.

  Karena itu, Indonesia harus bergerak cepat menangani persoalan itu. Apalagi, pada 2017 diperkirakan permukaan air laut di Indonesia bakal naik 17 cm. ’’Masalah ini sangat merugikan. Terutama, bagi daerah perkotaan miskin dan dekat dengan pantai,’’ ujarnya. 
 Itulah sebabnya, perwakilan dari berbagai negara diundang. Tujuannya, saling bertukar strategi menghadapi masalah global tersebut.(kit/oki)

15 Juni, 2009

Pemutihan dan Predator Drupella Ancam Terumbu Karang Pemuteran

Oleh: Pariama Hutasoit

Pemuteran, Go Blue - Meningkatnya temperatur air laut telah menyebabkan karang-karang yang berada dalam lingkup proyek Bio-Rock, Pemuteran, mengalami pemutihan (coral bleaching). Ancaman ini diperparah dengan terjadinya wabah predator drupella, siput yang memakan dan merusak jaringan karang, yang belum diketahui secara pasti penyebabnya.

Berdasarkan monitoring Bio-Rock Center pemutihan telah terjadi sejak awal Mei 2009. Sedangkan drupella yang telah berhasil diambil dari karang-karang mulai 11 Nopember 2008 hingga awal Juni 2009 sebanyak 26.374 ekor.

Pemantauan langsung Go Blue dan kontributor the Jakarta Post bersama Proyek Manager Bio-Rock Center, Komang Astika, pemutihan umumnya terjadi pada karang keras jenis acropora (karang bercabang) baik yang berada di dalam struktur maupun tidak, dan jenis fungia (jamur) yang berada di luar struktur. Secara keseluruhan pemutihan yang terjadi pada karang-karang di kawasan proyek Bio-Rock yang terletak di depan Hotel Taman Sari, kurang dari 10% saja. Namun yang mengejutkan ada satu struktur Bio-Rock, yang dinamai Donat karena bentuknya yang mirip donat, hampir 70% karangnya yang didominasi jenis karang bercabang (acropora) mengalami pemutihan. Sebagian bahkan tampak sudah mati dan ditutupi alga.

Astika mengatakan bahwa pemutihan diketahui sudah mulai terjadi sejak awal Mei 2009. Saat itu temperatur air yang sempat dicatat berada di atas 30Cº dan bahkan sempat mencapai 34º selama 1 minggu. “Saat itu purnama (full moon), selama satu minggu langit di atas Pemuteran hampir tidak berawan dan lautnya mengalami surut sangat rendah lebih lama dibanding biasanya” ungkapnya. Pada saat surut sangat rendah tersebut, lanjutnya, sebagian puncak struktur-struktur Bio-Rock ada yang berada di kedalaman 1.5 - 3 meter dan hanya 4 meter pada saat pasang. Tidak lama kemudian sebagian karang mulai memutih, khususnya jenis karang bercabang. Pengecekan terakhir yang dilakukan pada 31 Mei, temperatur air laut sudah turun 2 derajat, dan pada saat penyelaman kemarin, 12 Mei, temperatur sudah bergerak turun hingga di bawah 30 derajat.

Meskipun temperatur telah bergerak normal, namun ada ancaman lain yang mengkuatirkan kesehatan terumbu karang Pemuteran, blooming predator drupella di sekitar struktur yang diketahui mulai terjadi sejak Nopember 2008 lalu. Berdasarkan informasi Bio-Rock Center jumlah total yang sudah diambil bersama tim penyelam dari Bali Academy Diving, dive operator di sana, mulai 11 Nopember 2008 hingga awal Juni 2009, mencapai 26.374 ekor. Jumlah ini berasal hanya dari satu kawasan proyek Bio-Rock (52 struktur) yang terletak di depan Hotel Taman Sari, tidak termasuk Bio-Rock yang dikelola Reef Gardeners of Pemuteran yang terletak di depan Reef Seen Aquatic.

Sementara informasi dari Melanie, pengelola Bali Diving Academy, pemutihan dan drupella juga ditemui di kawasan penyelaman Menjangan. Khusus untuk predator drupella, diakuinya belum ada data seberapa besar jumlahnya karena belum ada yang melakukan pengecekan. “Sampai saat ini kami belum tahu apa penyebab predator drupella mewabah di sini. Yang bisa kami lakukan hanyalah mengambilnya supaya tidak merusak karang,” kata Melanie yang mengaku lulusan marine ecologist.

Dengan kedua ancaman yang terjadi secara bersamaan ini, Melanie mengaku sangat kuatir dengan kesehatan terumbu karang di sana, terutama karena mereka masih sangat awam dan kurang memahami cara penanganannya. “Kami sangat memerlukan bantuan untuk mengatasi problem ini. Siapa saja yang mau melakukan penelitian demi membantu memecahkan masalah ini, akan sangat menolong,” ungkapnya.

Sebelumnya berdasarkan survey cepat dengan metode twim swim yang dilakukan oleh Reef Check menunjukkan bahwa terumbu karang di Bali sisi utara mengalami pemutihan 20-35%. Reef Check melakukan pengamatan cepat di Pemuteran, Lovina, Sembiran, Bondalem, Tejakula, Penuktukan, Tulamben, Amed, Padang Bay dan Sanur.