22 Juni, 2009

" Pelabuhan Mengkhawatirkan "

JAKARTA , Gabungan Asosiasi Pengusaha Perikanan Indonesia (Gappindo) menyatakan masih sedikit pengusaha siap menghadapi wajib sertifikasi hasil perikanan tangkap untuk ekspor ke Uni Eropa (UE) pada 2010. Sementara pengamat mengkhawatirkan kesiapan pemerintah dalam membenahi infrastruktur pelabuhan perikanan.

Anggaran DKP yang minim akan menyulitkan pemenuhan target revitalisasi pelabuhan perikanan. Ekspor sulit meningkat apabila kondisi pelabuhan tetap buruk.

“Sebagian masih banyak yang belum siap. Hanya beberapa yang sudah siap, seperti dari asosiasi tuna, saya rasa mereka yang paling siap,” kata Ketua Umum Gabungan Asosiasi Pengusaha Perikanan Indonesia (Gappindo) Herwindo di Jakarta, Minggu (21/6).

Asosiasi lain yang menurut dia cukup siap menghadapi wajib sertifikasi hasil perikanan tangkap yang diterapkan Uni Eropa tanggal 1 Januari 2010 yakni Himpunan Pengusaha Penangkapan Udang Indonesia (HPPI). “HPPI sepertinya sudah ada sertifikasi itu, karena saya lihat mereka sudah sangat teratur (dalam pendataan),” ujar Herwindo.

Sertifikasi itu merupakan bagian dari pemberantasan illegal, unregulated, unreported (IUU) fishing. Ketentuan ini tidak berlaku bagi produk perikanan hasil kegiatan budi daya (air tawar, payau, dan laut), produk perikanan air tawar, ikan hias, kekerangan, rumput laut, scallops, oyster, dan ikan lainnya. 

Pengamat perikanan dan kelautan optimistis, para pengusaha, terutama yang bisnisnya sudah berorientasi ekspor, akan mampu memenuhi persyaratan itu. Menurut Kepala Divisi Riset Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim (PK2PM) Suhana, titik rawan kegagalan sertifikasi ini justru pada kesiapan pemerintah dalam membenahi infrastruktur pelabuhan. “Kondisi pelabuhan perikanan yang masih sangat buruk dan belum ada satu pun yang memenuhi standar UE,” tuturnya.

Bayang-bayang kegagalan itu, tambah Suhana, terlihat dari anggaran Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) yang sangat minim. Untuk 2010, DKP hanya dikucuri 3,097 triliun atau turun 10,14 persen dibandingkan anggaran 2009. Padahal, DKP berencana merevitalisasi sekitar 175 titik lokasi pelabuhan pada tahun ini.

“Angka ini jauh sekali dari yang didapatkan Departemen Pertanian yang mendapatkan anggaran 18 triliun rupiah hanya untuk subsidi benih dan pupuk subsidi 18 triliun. Sementara anggaran Deptan sendiri mencapai 8 triliun rupiah,” terangnya.

Bila infrastruktur pelabuhan terus terbengkalai, kata Suhana, tidak ada harapan lagi untuk menggenjot ekspor produk perikanan ke UE. Padahal, pemerintah telah menargetkan kenaikan ekspor hasil perikanan ke UE senilai 10 juta dollar AS per tahun. Ekspor perikanan ke US pada 2007 mencapai 298 juta dollar AS. 

Direktur Pemasaran Luar Negeri DKP, Saut P Hutagalung, menegaskan Indonesia harus siap menghadapi wajib sertifikasi perikanan itu. “Semua dalam tahap persiapan dan perlu waktu. Para pelaku usaha tentu ada kekhawatiran hal ini dapat mengganggu kelancaran ekspor perikanan. DKP mulai melakukan sosialisasi pendahuluan pada Oktober-November 2008,” ujarnya. 


Produksi Meningkat

Sementara itu, produksi perikanan laut di Jawa Tengah cenderung meningkat. Kabag Produksi Pusat Koperasi Unit Desa (Puskud) Mina Baruna Jateng, Mahmud, mengatakan hingga Mei 2009, hasil produksi tangkapan ikan di wilayah itu mencapai 51.518,87 ton dengan nilai 291,28 miliar rupiah.

“Jumlah tersebut meningkat dibandingkan pada Mei 2008 sebesar 49.783,64 ton dengan nilai 258,10 miliar rupiah,” ujarnya. Hasil tersebut merupakan perolehan hasil keseluruhan produksi perikanan dari 77 tempat pelelangan ikan (TPI) yang ada di Jateng. 

Pada 2008, total produksi ikan hasil tangkapan nelayan di Jateng mencapai 148.597,17 ton dengan nilai 830,69 miliar rupiah. Menurut Mahmud, sebagian besar produksi perikanan itu diekspor seperti rajungan, lobster, ikan tuna, layur, ikan teri nasi, ikan bawal, dan cakalang. (lha/SM/Ant/ N-1)

Sumber : http://www.koran- jakarta.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar