29 Mei, 2009

Perda Pesisir di Kalbar

Oleh : Ir. Dionisius Endy Vietsaman, MMP

Kalbar memiliki 212 pulau menurut verifikasi Toponimi 2008, ditambah 5 yang masih perlu klarifikasi pengelolaan di tingkat pusat antara Provinsi Kalbar dengan Kepulauan Riau dan Kalimantan Tengah. Serta garis dinamis pantai sepanjang 822 km hingga 1. 163 km yang merekat 7 kabupaten pesisir. Ekosistim pesisir dipagari hutan mangrove, hamparan padang lamun berikut terumbu karang sebagai sumber daya hayati dan non hayati berikut plasma nutfah.

Potensi budi daya ikan maupun tangkap hingga eksplorasi bahan tambang seperti pasir kuarsa, sarana transportasi laut, suaka laut dan wisata bahari serta jasa lainnya, menanti sentuhan pengelolaan termasuk pemanfaatan energi non konvensional dari gelombang laut dan perbedaan pasang surut.

Namun fenomena selama ini terjadi adalah degradasi biogeofisik pada wilayah pesisir berupa eksploitasi tanpa kendali, lemahnya koordinasi pengelolaan dan pengawasan pembangunan maritim, terutama lowongnya tata laksana hukum daerah dalam mengawal pemanfaatan sekaligus pelestarian sumber daya bahari secara terpadu. Sehingga pemanfaatan potensi sosial ekonomi dan jasa lingkungan pesisir dan pulau secara optimal sekaligus berkelanjutan belum menjadi prioritas pembangunan daerah Kalbar, terutama bagi kepentingan kesejahteraan masyarakat pesisir dan kelayakan kaum nelayan tradisional khususnya.

Hakikat NKRI adalah negara hukum, merupakan azas utama penegakan terhadap pengembangan sistem pengelolaan wilayah pesisir dan kepulauan sebagai prinsip pembangunan berkelanjutan. Dengan dasar hukum yang komprehensif serta berwawasan lingkungan dapat menjamin kewenangan dalam mewujudkan pemanfaatan, perlindungan serta pelestarian sumber daya pesisir secara terkendali dan terpadu. 

Pertimbangan ini meliputi penanganan degradasi wilayah pesisir di seluruh dunia yang secara umum makin mengkhawatirkan. Data Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) melaporkan, 30 persen kegiatan penangkapan ikan bersifat merusak dalam dekade terakhir. Data Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebutkan, kerusakan terumbu karang di Indonesia mencapai 33,17 persen dari total luas terumbu karang nasional 85.700 hektar.

Sementara situasi perekonomian nasional menghendaki optimasi dari sektor perikanan, sehingga pemerintah menerapkan kebijakan pro pasar dengan memberi nilai ekonomis pada pesisir dan laut serta mendorong investasi di pulau-pulau kecil. Hal ini sejalan dengan Orientasi Pembangunan Kelautan yang digariskan pada Undang Undang Nomor 2 tahun 2007 tentang RPJP Nasional 2005 – 2025 yakni "Mewujudkan Indonesia menjadi negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat dan berbasiskan kepentingan nasional", serta ditegaskan pada Perpres Nomor 7 tahun 2005 tentang RPJM Nasional yakni "Kegiatan pembangunan nasional diperkuat dengan kerjasama yang serasi antar pusat dan daerah dalam hal perencanaan regional, penentuan prioritas pembangunan, penggunaan sumber daya dan sumber dana secara efektif dan efisien, serta menghindari terjadinya duplikasi dalam regulasi".

Pemerintah telah menerbitkan Undang Undang Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (PWP3K), sebagai optimasi pengelolaan perairan Indonesia dan perkembangan industri perikanan berkelanjutan sebagaimana ratifikasi pedoman Code of Conduct for Responsible Fisheries (FAO), serta perlindungan terhadap aktivitas nelayan dan masyarakat adat setempat. Selanjutnya ruang lingkup dan substansi dari UU 27 / 2007 (PWP3K) sebagai landasan hukum dan peraturan perundangan adalah meliputi aspek Perencanaan WP3K (Dokumen Hirarkis), aspek Pemanfaatan WP3K (HP3), serta aspek Pengawasan dan Pengendalian WP3K (Akreditasi) . Serta sebagai amanat UU 27 / 2007 akan didukung peraturan turunan berupa 4 Peraturan Pemerintah, 6 Peraturan Presiden dan 11 Peraturan Menteri yang kemudian akan menjadi pokok landasan hukum bagi setiap proses rancangan Perda PWP3K.

Inisiatif dalam penyusunan Perda PWP3K adalah mengutamakan azas transparansi, partisipasi, serta koordinasi dan keterpaduan, yang melibatkan berbagai pihak atau instansi meliputi kepala daerah, DPRD, Bappeda, serta instansi terkait dan stakeholder. Proses penyusunannya melalui delapan tahapan, yaitu identifikasi masalah, identifikasi landasan hukum dan peraturan perundangan, naskah akademik, penyusunan rancangan Perda, konsultasi publik, pembahasan Ranperda di DPRD, penetapan Perda, serta implementasinya. Adapun materi Perda PWP3K terdiri dari tiga kategori muatan. Yakni: Materi muatan utama meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian pemberian ijin, dan organisasi pengelola; Muatan penting berisi ketentuan tentang konservasi, mitigasi, jaminan lingkungan, sempadan pantai, dan pengelolaan pulau-pulau kecil; serta Muatan pendukung berupa pemberdayaan masyarakat pesisir, penyelesaian sengketa dan pembiayaan.

Perda PWP3K akan mengamanatkan substansi UU 27 / 2007 (PWP3K) sebagai lingkup pengaturan yang meliputi perencanaan, pengelolaan, serta pengawasan dan pengendalian melalui pendekatan pengelolaan wilayah pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil secara terpadu (Integrated Coastal Management). Sekaligus memuat substansi UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur kedaulatan atau kewenangan berdasarkan batas administrasi kewilayahan, serta substansi UU 26 / 2007 mengenai penataan ruang dimana pasal 6 ayat 5 mengamanatkan tentang klasifikasi penataan ruang laut dan ruang udara, pengelolaannya diatur dengan undang-undang tersendiri.

Melalui Perda PWP3K akan mengamanatkan beberapa turunan UU 27 / 2007 (PWP3K) yang beberapa diantaranya masih dalam proses penerbitan, terutama Permen 16 / 2008 tentang Perencanaan PWP3K sebagai Dokumen Hirarkis. Pengaturan ini merupakan acuan dan landasan pembangunan wilayah pesisir untuk menghindari konflik tumpang tindih wewenang dan benturan kepentingan, yang secara operasional dituangkan dalam jejaring perencanaan meliputi : (a) Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RSWP-3-K), merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari rencana pembangunan jangka panjang setiap Perintah Daerah; (b) Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP-3-K), sebagai arahan pemanfaatan sumber daya di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil; (c) Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RPWP-3-K); dan (d) Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RAWP-3-K).

Akhirnya melalui Perda PWP3K merupakan akselerasi kebijakan pembangunan daerah dalam aspek pemanfaatan, perlindungan, pelestarian sumber daya pesisir secara terpadu, berikut realisasi pentaatan terhadap hukum pengelolaan sumberdaya pesisir. Sekaligus telah mengakomodasi kepastian hukum, transparansi, dan akuntabilitas dalam pemanfaatan potensi ekonomi dan jasa-jasa lingkungan wilayah pesisir secara optimal serta berkelanjutan, terutama bagi tujuan mendasar yakni pembangunan dan kemakmuran rakyat. *

* Penulis, pemerhati kebijakan maritim Kalbar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar