30 Maret, 2009

Fakta Illegal Fishing di Indramayu dan Konsep Penegakkan

Mengacu pada peraturan mengenai usaha dan pemanfaatan sumber daya ikan di Kabupaten Indramayu, illegal fishing dapat terjadi dalam beberapa tindakan. Tindakan tersebut mencakup : penggunaan alat tangkap destruktif (trawl atau pukat harimau (istilah lokalnya disebut jaring arad atau garok), bahan peledak), menangkap ikan tanpa surat izin (SIUP dan SIPI), dan menjual ikan di luar TPI. Penggunaan input destruktif dan tidak dimilikinya SIUP dan SIPI dapat dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran dalam aspek input perikanan, sedangkan penjualan ikan di luar TPI dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran dalam aspek output. Beberapa informasi media cetak dan hasil penelitian merekam adanya dua macam illegal fishing tersebut di Kabupaten Indramayu.

Tahun 2002 terjadi konflik antar nelayan di Kabupaten Indramayu. Ini merupakan akumulasi masalah sosial–ekonomi dari dua tahun sebelumnya. Konflik tersebut terjadi karena perebutan wilayah penangkapan ikan, protes penggunaan jaring arad dan garok. Konflik ini terjadi pada nelayan tradisional di Kecamatan Kandanghaur dan Cantigi (Pikiran Rakyat, 19/09/02).. Di salah satu bagian wilayah Kecamatan Kandanghaur, yaitu Desa Eretan Kulon, menurut Royani, Sekretaris KUD Nelayan Mina Bahari, sekitar 400 perahu dari total 800 perahu memakai jaring arad. (Kompas, 19/02/09).

Begitupun halnya dengan hasil penelitian Hamdan (2007). Ia mengungkapkan bahwa meski dalam data statistik perikanan Kabupaten Indramayu, alat tangkap arad tidak terdaftar, namun pada kenyataannya di lapangan masih banyak ditemukan nelayan yang menggunakan alat tangkap arad. Pengawasan dan penegakkan terhadap illegal fishing di Kabupaten Indramayu masih lemah, sehingga menurutnya perlu diintensifkan lagi. Kemudian berdasarkan dua dokumen Dina Perikanan Provinsi Jawa Barat, yaitu laporan akhir penelitian tahun 2002 dan laporan tahun 2004, tercatat bahwa sebagian besar nelayan Pantura Jawa Barat menangkap ikan di perairan pesisir dan beberapa diantaranya menggunakan teknologi dan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan. Tingkat kerusakan terumbu karangdi sekitar Pulau Biawak Kabupaten Indramayu mencapai 47,58 persen. Hal ini terjadi akibat masih adanya kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak dan potasium sianida serta penangkapan ikan yang kurang ramah lingkungan.

Hasil survey Nurasa (2005) mencatat bahwa 11 persen nelayan Desa Ilir Kabupaten Indramayu menggunakan jaring arad. Dalam satu musim, nelayan bisa menggunakan beberapa alat tangkap secara bergantian.

Salah satu alasan digunakannya jaring arad adalah biaya pembuatannya lebih murah. Ini diungkapkan oleh Kepala Dinas Perikanan Jawa Barat Tahun 2006, Darsono (Kompas, 07/06/06). Menurutnya, nelayan kecil lebih suka menggunakannya karena biaya pembuatannya murah, hanya sekitar 1,5 juta rupiah. Lebih lanjut ia menurutkan bahwa cara kerja arad sama dengan pukat harimau. Jaring arad sebenarnya kecil, tapi tambangnya panjang dan menggunakan rantai sehingga kuat ditarik berkilometer- kilometer. Akibatnya, apa pun yang dilewati jaring arad akan tersapu. Penertiban jaring arad membuat penggunanya kehilangan mata pencarian kecuali ia mengganti dengan jenis lain, seperti rampus. Namun, jaring rampus perlu diperbaiki sesudah digunakan.

Salam,

Yuhka Sundaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar