22 November, 2012

Diperbudak Kapal Korea, ABK Indonesia Pulang


ABK Indonesia mengaku diperbudak kapal Korea
ABK Indonesia mengaku diperbudak kapal Korea (Auckland Now)

VIVAnews -- Tujuh awak kapal asal Indonesia yang mogok kerja menuntut pembayaran upah, meninggalkan Auckland, Selandia Baru, tanpa uang sepeser pun. Selama dua tahun bekerja di kapal pemancingan ikan milik Korea, mereka mengaku diperlakukan tak pantas.

Imigrasi Selandia Baru memberi pilihan pada awak Shin Ji -- kapal berusia 34 tahun -- itu dua pilihan: meninggalkan negara itu atau dideportasi.

Seorang perempuan yang peduli dengan nasib para kru, terlihat emosional melihat keberangkatan mereka untuk pulang ke Indonesia. "Mereka tak punya uang sepeser pun, bahkan untuk membayar utang mereka. Bayangkan, kerja seperti itu selama dua tahun dan tidak mendapat apa-apa," kata perempuan yang tak mau disebut namanya itu, seperti dimuat stuff.co.nz, Jumat 26 Agustus 2011.

Kepulangan para ABK menyusul kepulangan 32 kru Indonesia yang bekerja di kapal boat, Oyang 75 di Lyttelyon. Mereka memilih hengkang karena memprotes kekerasan fisik yang mereka alami.

Mereka, baik ABK Kapal Shin Ji dan Oyang awalnya mengaku takut pulang, ngeri menghadapi agen yang merekrut mereka atas nama perusahaan Korea, Oyang Corporation.  Namun, mereka akhirnya kembali dengan bantuan pihak Federasi Transportasi Internasional.

Pemulangan para ABK dari Selandia Baru dilakukan meski ada permintaan dari Labour and Green Parties yang meminta mereka tetap tinggal, untuk kepentingan membantu penyelidikan kementerian terkait kasus mirip perbudakan yang menimpa sekitar 2.000 pria Asia yang dipekerjakan di kapal carter asing. Menyusul sejumlah studi yang dilakukan University of Auckland Business School, yang menemukan adanya kondisi tak manusiawi dan kekerasan di sana.

Kapal Shin Ji yang telah berkarat -- tempat para ABK bekerja -- memiliki reputasi buruk. Kali pertama ABK, Hendra (30) dan enam rekannya tiba dua tahun lalu, mereka syok melihat kapal itu. "Kapal itu sangat tua, kami selalu berpikir, suatu saat pasti akan tenggelam," kata dia.

Tak hanya dibayar kecil, mereka juga diperintahkan mengerjakan yang bukan tugasnya. Misalnya, memijat kapten kapal asal Korea yang bertubuh besar. Alih-alih terima kasih, Kapten itu justru bersikap kasar, menyebut mereka 'binatang' atau 'setan'. "Saya tidak takut padanya, tapi dia kapten. Dia punya kekuasaan dan kami harus menurut. Namun, akhirnya kami menyadari telah diperbudak.

Dia menambahkan, salah satu kru kapal tewas di tangki belut tahun lalu. Saat tiba di pelabuhan, polisi Selandia Baru hanya mengambil keterangan singkat, dan tak ada apapun yang dilakukan.

Mereka mengaku dipaksa kerja 16 jam sehari, bahkan salah satu dari mereka harus bekerja 30 jam tanpa henti. Para ABK itu menunjukkan bekas luka di tubuhnya, yang mereka sebut karena kelelahan.

Mereka dilarang berhenti, meski sedang sakit. "Meski dibayar uang banyak, kami dipaksa terus bekerja. Ini seperti perbudakan modern," lanjut Hendra. Setelah melarikan diri dari kapal, para kru tinggal di sebuah motel. Namun mereka akhirnya kehabisan uang dan makanan, sehingga harus minta bantuan. (eh)

Tidak ada komentar: