(Penulis Buku “GAJAH MAJA: PIMPIN
EKSPEDISI PADOMPO, PROKLAMASIKAN BIMA”)
Lagi-lagi
saya harus ngomong saklek. Penamaan Suku Mbojo itu mengada-ada, keliru dan
menyesatkan orang Bima. Saya pikir ini ulah segelintir oknum bangsawan
Mbojo/Mbojo Nae/Rasanae yang terobsesi oleh kebesaran masa lalu mereka.
Padahal, menilik sejarahnya, sejumlah bangsawan Mbojo Nae dulu bertindak
sebagai second man alias Londo ireng, Belanda Hitam.
Mereka
menganggap dirinya bayangan kolonial Belanda di Tanah Bima. Makanya ketika
Jenateke Muhammad Salahuddin menerima pengahargaan Officer de Orde van Orange
dari Ratu Wilhelmina atas jasa-jasa Sang Jenateke menyukseskan operasi militer
Belanda di Pulau Sumbawa, orang Mbojo Nae senang bukan alang-kepalang.
Sementara orang/dou Kae seperti Ngali serta orang/dou Bolo serta dou Donggo
menangis dalam nestapa.
Bagi mereka
itu tidak adil. Operasi militer itu telah membuat mereka terpuruk hingga jatuh
miskin karena terjebak rentenir. Mereka meratapinya karena kebijakan pajak
kolonial yang mencekik leher ditoleransi oleh elit-elit priyayi Kerajaan Bima
seperti Sultan Ibrahim, yang berkedudukan di Mbojo Nae. Orang Ngali (Kae),
Rasanggaro dan Dena (Bolo/Sila) dan Kala (Donggo) yang suntuknya menyundul
langit, akhirnya bangkit melawan.
Kita tahu
pula, raja-raja Dompu bersikeras menolak kooperatif dengan Belanda hingga
Manuru Kupang harus membayar dengan nyawanya sendiri. Baginya lebih baik mati
daripada mengikuti kehendak Belanda.
Saya lihat
sejumlah oknum bangsawan/bekas bangsawan Mbojo terjebak kesombongan ilutif
dengan menganggap Mbojo itu sama dengan Bima, bahkan lebih agung dari Bima.
Tidak! Itu keliru besar.
Mbojo hanya
bagian dari Bima, bukan sebaliknya. Bahkan dibandingkan dengan Sape, Kore,
Tambora (atau Sanghyang) menurut Nagarakrtagama yang menorehkannya abad ke-14,
Mbojo itu bukan apa-apa, kecuali sebuah semesta baru, yang muncul belakangan
jauh setelah Sape, Kore dan Sanghyang atau Gunung Tambora (bukan Gunung
Sangiang di Wera) eksis, seperti yang diabadikan kitab Nagarakrtagama. Raba pun
tidak masuk Mbojo, karena orang Raba jika ke Pasar Bima, ke Asi atau
keluarganya di Sarae atau Kampung Sumbawa, kerap bilang, “lao di mbojo”.
Satu hal
lagi, jika berani dan mengaggap Mbojo/Mbojo
Nae/Rasanae itu unggul, kenapa Anda tidak menggunakan saja Kota Mbojo untuk
nama administratif Kota Bima sekarang. Buang Bima-nya ambil Mbojo-nya. Jangan
setengah-setengah. Nyatanya Anda ciut nyalinya. Itu tandanya, Mbojo ada dan
hidup karena ada Bima. Tanpa Bima dia tidak berarti apa-apa, hanya sebuah
kampung besar.
Dengan posisi seperti itu bagaimana mungkin Mbojo menjadi sebuah nama
suku dan dikukuhkan oleh Diknas sebagai sebuah nomenklatur suku?
Ada pun
pembentukan quarted frasa kata adik saya Endo Ibra di FB seperti dou mbojo,
sangaji mbojo, nggahi mbojo, dana mbojo dan lainnya, itu bukan rumus baku tapi
kebiasaan belaka seperti orang menyebut nggahi/dou Kore, nggahi/dou Donggo,
nggahi/dou Sambori, nggahi/dou Kolo, dou Sila, dou Kae, dou Wera dan lainnya.
Nah, ada pun
frasa itu dipakai secara luas karena dikukuhkan dengan modus dominasi oleh
priyayi Mbojo dalam waktu ratusan tahun kala daulah Kerajaan Bima masih
bercokol di Tanah Bima, bukan Dana Mbojo. Frasa-frasa tersebut malah bernuansa
rasis.
Kalau pun
ada yang menganggapnya baku sebutan nggahi mbojo untuk bahasa Bima, itu salah
salah kaprah. Itu sekadar kebiasaan. Kalau kita menyebut nggahi Bima untuk
bahasa Bima itu tidak salah. Seperti halnya bahasa Jawa untuk nggahi Jawa,
bahasa Sunda/nggahi Sunda.
Dari sekian
inskripsi tentang Bima, tidak satupun yang menyebut Mbojo sebagai semesta utama
di Bima. Baik Pararaton, Piagam Jawa, Nagarakrtagama tidak ada yang menisbatkan
Mbojo, kecuali BO, yang tergolong naskah baru dan bukan naskah kuno karena
ditulis di era modern, dan zaman kertas kala kolonial bercokol akhir abad
ke-19.
Sejarawan
Prof. Slamet Mulyana serta Prof. Agus Aris Munandar dari Universitas Indonesia
juga hanya menyebut Bima di buku-bukunya. Para pakar seperti Michael Hichcock
mempertegas kalau Bima dibagi dua; lowland
yakni satu kawasan dataran rendah sempit yang kemudian menjadi Mbojo di timur
teluk dan highland di luar itu. Hichcock
sama sekali tidak menyebut Mbojo. Dia menyebut juga barat teluk sebagai Donggo.
Begitu pun
Heinrich Zollinger (1818-1859), cuma menyebut Bima bukan Mbojo ketika dia
mengeluh soal sejarah Bima yang dia bilang ribet karena tidak sampai ke hal-hal
yang benar tapi penuh dimensi magi. Dalam artikelnya “Verslag van eene reis
naar Bima en Sumbawa”, cendekiawan berkebangsaan Swis namun bekerja pada Hindia
Belanda ini hanya menyebut Bima dan tak mengenal Mbojo.
Juga dokumen
Zollinger tentang bahasa Bima dan aksara Bima sama sekali tidak menyebut Mbojo.
Literatur-literatur Belanda umumnya menyebut Bima bukan Mbojo seperti buku
Jonker “Bimaneesche Texten” dan selusin buku lain.
Begitu pun
Raffles dalam karyanya History of Java hanya menyebut Bima bukan Mbojo. Hj
Maryam R. Salahuddin pun yang membahas soal aksara Bima bersama Syukri Abubakar
juga tidak menyebut aksara Mbojo.
Dennys
Lombard di bukunya yang menjadi salah satu “Kitab Suci” bagi sejarawan modern
juga tidak pernah menyebut Mbojo melainkan Bima. Lontara Gowa-Makassar juga
tidak secuilpun menyebut Mbojo tapi Bima atau Gima.
Ratusan
kajian linguistik bahasa Bima, juga tidak ada yang menyebut bahasa Mbojo. Satu
diantaranya tesis Syamsuddin, “Kelompok Bahasa Bima-Sumba. Kajian Makna
Penghormatan dan Solidaritas” (1996). Atau tesis Made Sri Satyawati, “Pemarkah Diatesis Bahasa Bima” dan
banyak lagi. Dalam studi linguistik komparatif ihwal kekerabatan bahasa, juga
disebut bahasa Bima sebagai kerabat bahasa Lio, Sumba, Ende, dan lainnya.
Jadi, salah kaprah. Penamaan Suku Mbojo ini tidak memiliki dasar
yang bisa dipertanggungjawabkan. Dulu, di era daulah raja-raja, nama
keramat Mbojo Nae memang didesain sebagai alat propaganda raja untuk
memarginalkan dan mendominasi kawasan di luar Mbojo Nae, seperti Kae,
Bolo, Donggo,Sanggar, Sape, Wera.
Mbojo Nae dalam
buku baru saya yang segera terbit, “GAJAH MADA: PIMPIN EKSPEDISI PADOMPO,
PROKLAMASIKAN BIMA”, para priyayi Mbojo Nae menganggap Mbojo itu Kota Dewa yang
dihuni oleh warga kelas satu. Adapun di luar itu, mereka sebut pedalaman
seperti Kae, Bolo, Donggo, Sanggar, Sape dan Wera berdasarkan pemahaman kaum
orientalis kolonial Belanda mereka sebut Kota Duniawi yang dihuni oleh warga
kelas dua.
Frasa, BO,
hukum, kehendak dan norma-norma mereka produksi di Kota Dewa untuk didedakkan
ke kepala manusia kelas dua. Mbojo bahkan dikira nama lain bahkan nama kuno
Bima oleh orang Bima kebanyakan karena begitu masifnya penyebutan nama ini
dalam BO maupun folklore seperti mpama/dongeng. Semua itu proyek politik
priyayi/bangsawan Mbojo Nae. Tak heran kalau yang menjajah bangsa Bima selain
kolonialisme Belanda juga feodalisme bangsawan.
Karena
pikiran saya dianggap bisa meruntuhkan tembok pemikiran feodal oknum bangsawan
Mbojo Nae, saya cermati eks wangsa bangsawan Mbojo/Rasanae soal Mbojo dan Bima
hampir semuanya kontra dengan status saya sebelumnya.
Saya tak
bergeming! Pendapat mereka tidak ada yang bisa dipertanggungjawabkan secara
ilmiah. Semuanya memakai ilmu Cocokologi alias dicocok-cocokkan saja dengan apa
yang mereka dengar dari orang lain.
Pijakan
ilmiahnya tidak ada, seperti ada kalangan dari Mbojo Nae yang menyebut jauh
sebelum Gajah Mada atau Majapahit ke Bima, Kerajaan Bima sudah eksis dan kuat.
Ini kata siapa? Ini taklebih dari mpama-mpemo karawo witi.
Lantas ada
pula yang beranggapan kalau Bima itu mengalami transformasi sejak zaman naka
sebagai Negeri Babuju, zaman kerajaan awal disebut Mbojo dan zaman kesultanan
menjadi Bima. Ini ilusi, tidak ada dasarnya, validitasnya rendah karena
mengada-ada dan sepenuhnya ngarang.
Zaman naka
itu tidak ada. Itu realitas gadungan/simulakra, sama dengan ncuhi, hasil ilusi
pujangga Bo, seperti ditengarai pakar asal Belanda Cornelis Christiaan Berg
(1934-1912) diperoleh dengan cara gaib dan mereka bukan berbicara tentang masa
lalu tapi justru berfantasi tentang masa depan.
Mereka
menggunakan kekuatan sihir, jin-jin dan roh-roh orang dulu/nenek moyang yang
dipanggil lewat jasa iblis untuk mengumpulkan informasi. Dus, soal naka dan
ncuhi itu sesat dan penuh kurafat.
Moral dari
tulisan saya ini adalah untuk membela dan mempertahankan marwah Bima sebagai
sebuah identitas suku-bangsa yang sangat otentik, genuine, historis bahkan
agung. Nama itu punya makna filosofis yang kuat dan mendalam. Dus, bukan untuk
memarjinalkan, mendiskreditkan apalagi membunuh Mbojo/Mbojo Nae/Rananae.
Mbojo tetap
bagian integral Bima sejak semesta ini terbentuk sebagai elemen Kerajaan Bima.
Itu tidak bisa dinafikan. Bahkan dalam perkembangannya dia mengungguli kawasan
lain berkat posisinya di pesisir yang memang lazimnya sangat dinamis seperti
disitir oleh mendiang Dr Kuntowijoyo, sejarawan dari UGM.
Nama Mbojo
itu sendiri jika ditilik secara filosofis ternyata tidak memiliki arti dan
makna yang jelas. Cuma BO menengarainya dengan mengacu pada panggung alam
berjuluk “dana mababuju”, tempat raja-raja Bima dilantik dulu-kala. Lantas
dikukuhkan oleh sejarawan tradisional dari Mbojo Nae lewat analisis yang aneh
dan mengada-ada menjadi Mbojo. Perubahan kata babuju menjadi Mbojo itu asli
ngarang, tipu-tipu, ilusi, mimpi di siang bolong, irasional serta absurd. Karenanya
tidak ilmiah, tidak baku dan tanpa makna filosofis yang jelas dalam pandangan
orang Bima.
Analisis
sejarawan tempo doeloe juga terbilang alay, artinya norak, kampungan dan
berlebihan. Apa istimewanya “dana mababuju?” Tulisan ini juga bukan untuk
mendikotomikan Mbojo dengan kawasan lain seperti Kae, Bolo, sape, Donggo, Wera,
Sanggar, Tambora dan lainnya.
Justru lewat
tulisan ini, saya mengingatkan para loyalis Mbojo Nae, Anda jangan korbankan
nama historis Bima hanya arena ego Mbojo Nae/Ranasae. Dulu, memang harus kita
akui Mbojo itu pusat karena di situlah raja bersemayam dan di situ pula
berkumpulnya bangsawan selaku state apparatus negara Bima.
Itu dulu,
tuan! Sekarang lupakan segala kelebihan tersebut. Lupakan pula privilese untuk
wangsa bangsawan yang diberikan oleh kolonial Belanda di era kolonial. Episode
itu sudah berakhir. Kedudukan Mbojo Nae dengan Kae, Bolo/Sila, Donggo, Tambora,
Sape dan Wera sama saja.
Nyatanya yang juara dunia MTQ di Turki orang Rada (Sila/Bolo) Syamsuri Firdaus; yang ketua MK orang Rasabou (Sila/Bolo) Anwar Usman; yang Kejati NTB Arif SH, MH, orang kananga (Bolo/Sila); yang Gubernur NTB pertama dari sipil setelah era Orde Baru sekaligus Wakil Gubernur DKI Jakarta pertama dari NTB itu Harun Al Rasyid itu orang Rato (Sila/Bolo); yang rektor Universitas Muhammadiyah Mataram Dr H Arsyad Gani dari Kampo Sigi-Rato (Sila/Bolo); yang Walikota Jakarta Barat H Burhanuddin era Gubernur Ahok, orang Rato (Sila/Bolo).
Dus, Anda mengedepankan Mbojo Nae sama dengan membunuh Bima sebagai sumber rasa bangga, sumber inspirasi sekaligus ikon suku kita yang punya makna transeden, punya filosofi mendalam, bernilai historis tinggi, dinukil oleh naskah-naskah bermutu tinggi seperti Nagarakrtagama dan Pararaton.
Dengan mengedepankan Mbojo, Anda pun ikut membunuh elemen pembentuk Bima yang lain yakni Kae, Bolo, Wera, Sape, Donggo dan Tambora. Dan Anda membunuh dirimu sendiri karena berarti mau mengkudeta induk semangmu yang bernama Bima.
Nyatanya yang juara dunia MTQ di Turki orang Rada (Sila/Bolo) Syamsuri Firdaus; yang ketua MK orang Rasabou (Sila/Bolo) Anwar Usman; yang Kejati NTB Arif SH, MH, orang kananga (Bolo/Sila); yang Gubernur NTB pertama dari sipil setelah era Orde Baru sekaligus Wakil Gubernur DKI Jakarta pertama dari NTB itu Harun Al Rasyid itu orang Rato (Sila/Bolo); yang rektor Universitas Muhammadiyah Mataram Dr H Arsyad Gani dari Kampo Sigi-Rato (Sila/Bolo); yang Walikota Jakarta Barat H Burhanuddin era Gubernur Ahok, orang Rato (Sila/Bolo).
Dus, Anda mengedepankan Mbojo Nae sama dengan membunuh Bima sebagai sumber rasa bangga, sumber inspirasi sekaligus ikon suku kita yang punya makna transeden, punya filosofi mendalam, bernilai historis tinggi, dinukil oleh naskah-naskah bermutu tinggi seperti Nagarakrtagama dan Pararaton.
Dengan mengedepankan Mbojo, Anda pun ikut membunuh elemen pembentuk Bima yang lain yakni Kae, Bolo, Wera, Sape, Donggo dan Tambora. Dan Anda membunuh dirimu sendiri karena berarti mau mengkudeta induk semangmu yang bernama Bima.
http://lakeynews.com/2019/07/05/suku-mbojo-itu-keliru-dan-menyesatkan-1/#.XuYAfOdpzIV
MENGENAL SILSILAH RAJA BIMA / MBOJO
PANGERAN DIPONEGORO BERDARAH BIMA
Lihat Artikel Siraman Rohani Lainnya
|
Sangat luar biasa tapi saya penasaran asal usul nama BIMA Pak tolong di jelaskan asal usul dari kata BIMA. . . .! wassalam 🙏🙏
BalasHapus