05 Januari, 2018

Catatan Akhir Tahun : Penggantian Alat Tangkap Ikan Ramah Lingkungan Berjalan Mulus atau Tidak?



Tanggal 1 Januari 2018 akan menjadi momen istimewa bagi pelaku usaha perikanan tangkap dan juga Pemerintah Indonesia. Di tanggal tersebut, larangan penggunaan alat tangkap tidak ramah lingkungan akan resmi mulai diberlakukan. Pelarangan tersebut, mundur dua tahun dari rencana awal setelah diterbitkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.2/2015 tentang Pelarangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Trawl dan Seine Nets .


Salah satu alat penangkapan ikan (API) yang tidak boleh digunakan lagi pada 2018, adalah cantrang. Alat tangkap tersebut masuk kategori tidak ramah lingkungan. Oleh KKP, cantrang dan API tidak ramah lingkungan lain diberikan waktu transisi hingga 31 Desember 2017.




Sekretaris Jenderal Kementerian Kelautan dan Perikanan Rifky Effendi di Jakarta, mengatakan, pemberlakuan larangan API tidak ramah lingkungan, hingga saat ini masih mendapat penolakan. Tetapi, selain yang menolak, masih ada juga yang setuju untuk menghentikan penggunaan API tidak ramah lingkungan dalam aktivitas penangkapan ikan di Indonesia.


“Kita harus terus berlanjut. 1 Januari 2018 adalah momen untuk kita semua. Jadi, walau ada yang menentang, kita akan tetap berlakukan. Kita sudah dua tahun melakukan sosialisasi dan masa transisi kepada pengguna API tidak ramah lingkungan,” jelasnya pada pekan lalu di Jakarta.


Dengan diberlakukannya Permen KP No.2/2015, Rifky menyebut, seluruh nelayan dan pemilik kapal harus patuh dan tunduk untuk menggunakan API ramah lingkungan. Jika setelah diberlakukan nanti ternyata masih ada yang melanggar, maka bisa dipastikan tindakan hukum akan dikenakan kepada para pelanggar tersebut.


“Cantrang selesai sudah (polemik pelarangannya), tidak perlu dibahas lagi. Pada 1 Januari 2018 pelarangannya diterapkan, jadi artinya cantrang tidak boleh beroperasi di Indonesia. Kalau ada yang menolak (pelarangan), ya silakan saja. Tapi aturan akan tetap dilaksanakan,” ujar dia.



Rifky mengatakan, meski pelarangan akan resmi berlaku per 1 Januari 2018, namun dia tidak membantah masih ada nelayan atau pemilik kapal yang belum mendapatkan bantuan API pengganti yang ramah lingkungan. Kasus seperti itu, akan diselesaikan secara bertahap dan diharapkan tuntas secepat mungkin.






Seorang nelayan dari kelurahan Tidore, Sangihe, Sulut, sedang menarik jaring dari atas perahu pajeko. Foto : Themmy Doaly/Mongabay Indonesia



Pengakuan hampir sama diungkapkan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Pemprov Jawa Tengah Muhammad Syafriadi. Menjelang 31 Desember 2017 yang menjadi batas akhir penggunaan API tidak ramah lingkungan, Pemprov Jateng belum mendapat arahan seperti apa tentang API cantrang yang masuk kategori tidak ramah lingkungan.


Syafriadi menjelaskan, kapal yang berhak mendapat bantuan API ramah lingkungan dari Pemerintah Pusat, adalah kapal yang berukuran di bawah 10 ribu gros ton (GT). Untuk kapal ukuran tersebut, di Jateng saat ini terdapat sekitar 18 ribu unit dan sebanyak 6.400 unit di antaranya sudah dinyatakan menggunakan API tidak ramah lingkungan.

Akan tetapi, Syafriadi menambahkan, dari semua kapal yang sudah dinyatakan menggunakan API tidak ramah lingkungan, KKP baru memberikan bantuan API baru yang ramah lingkungan untuk 2.341 unit saja. Dengan kata lain, dari total 6.400 unit kapal, baru sekitar 20 persen saja yang sudah mendapatkan bantuan API baru.

“Saat ini, proses distribusi masih terus berlangsung ke semua kabupaten dan kota di Jateng,” jelasnya.




Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo sudah mengatakan, jika masih ada nelayan atau pemilik kapal berukuran di bawah 10 GT dan belum mendapatkan bantuan API ramah lingkungan, maka diminta untuk segera melapor ke instansi terkait di daerah masing-masing. Saat melapor, sebaiknya data-data lengkap juga dilampirkan ke instansi tersebut.

Dengan adanya laporan lengkap, Ganjar menyebut, Pemprov Jateng bisa memfasilitasi nelayan yang belum mendapat bantuan. Namun, dia tidak mau nelayan tersebut adalah pemilik kapal di atas 10 GT atau sudah tidak masuk kelompok penerima bantuan.


“Kita tunggu datanya masuk dulu. Kita harus tahu secara lengkap datanya seperti apa, biar bantuan benar-benar untuk nelayan yang tepat,” tutur dia.

Jika pun nelayan yang melaporkan datanya ternyata kapalnya berukuran di atas 10 GT, Ganjar menambahkan, maka Pemprov akan memfasilitasi bantuan permodalan dari perbankan. Untuk bantuan tersebut, Pemerintah Pusat sudah berjanji akan memberi kemudahan sehingga semua nelayan di atas 10 GT mendapatkan bantuan pembelian API baru.


Untuk nelayan pemilik kapal di atas 10 GT, Ganjar menjelaskan, perbankan akan memberikan kemudahan jika memang ternyata nelayan tersebut masih memiliki utang ke bank. Jika itu terjadi, kata dia, bank akan melakukan penjadwalan ulang (reschedule) dulu. Yang penting, bantuan lancar dulu,” papar dia.







Nelayan Bajo Sangkuang saat menarik ikan. Foto: Faris Bobero/ Mongabay Indonesia



Proses Rumit

Lambatnya penyaluran bantuan alat tangkap, menurut Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati, karena penyaluran dilakukan menjelang pergantian tahun dari 2017 ke 2018. Padahal, selama penyaluran dilakukan, proses yang harus dilewati juga sangatlah rumit dan memakan waktu yang tidak sebentar.

“Penyaluran alat tangkap masih banyak kendala di sana sini,” kata dia.

Namun, menurut Susan, yang permasalahan paling substansif adalah alat tangkap pengganti yang diharapkan oleh nelayan berbeda dengan apa yang diberikan oleh DKP atau KKP. Dampaknya, banyak sekali alat bantuan yang didistribusikan tidak membawa manfaat dan malah tidak bisa digunakan.


Dia mencontohkan, kasus di Demak, Jateng, banyak nelayan berharap API Gill Net berbahan Jaring Millenium, tapi yang diberikan Gill Net yang berbahan Jaring Nilon. Menurut dia, itu akan berpengaruh banyak pada hasil tangkapan saat para nelayan tersebut melakukan aktivitas penangkapan ikan di laut.


Mengingat tenggat waktu yang akan berakhir pada 31 Desember 2017, Susan menyebut, proses pembagian API akan berkejaran dengan waktu. Namun, melihat fakta di lapangan, masih banyak nelayan yang belum masuk dalam pendataan calon penerima bantuan, dia pesimis penyaluran akan selesai pada tenggat waktunya.



Sejauh ini KIARA tidak melihat program akan berjalan baik hingga bisa tersalurkan semua. Program yang dijalankan memiliki kencenderungan sebagai program tambal sulam dan kejar target. Salah satunya, adalah kegagalan KKP mendeteksi alat tangkap yang pas dan sesuai yang dibutuhkan oleh setiap nelayan di semua daerah.


Dari peruntukkan alat tangkap yang salah tersebut, Susan menyebut, KIARA mendapat laporan bahwa nelayan kemudian enggan untuk menggunakannya saat menangkap ikan di laut. Jika itu terjadi, maka nelayan yang akan dirugikan. Penyebab terjadinya hal tersebut, kata dia, karena mekanisme distribusi dan verifikasi lemah dan cenderung berantakan.


“Dampak dari mandeknya distribusi membuat nelayan terlilit utang. Bahkan di Kendal, Jawa Tengah rata-rata para nelayannya memilih jadi ABK (anak buah kapal) dari kapal-kapal yang berangkat ke Papua. Dampak jangka panjangnya tentu akan berpengaruh pada menurunnya jumlah nelayan di tahun-tahun berikutnya,” jelas dia.







Seorang nelayan di Teluk Jakarta sedang memperbaiki jaring penangkap ikannya. Foto: Sapariah Saturi/Mongabay Indonesia



Kinerja Berulang

Di sisi lain, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim berpendapat, jika sampai akhir tahun yang tinggal menghitung hari, program bantuan alat tangkap tidak tersalurkan dengan baik, maka bisa dipastikan itu akan mengulang kinerja yang sama pada 2016. Kinerja tersebut yang mencoreng nama baik KKP di mata Badan Pemeriksa Keuangan RI.


“APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) 2017 tidak terserap sebagaimana telah direncanakan oleh KKP, dan buruknya laporan keuangan KKP tahun 2017 atau mengulangi tahun 2016. Lebih dari itu, masyarakat kelautan dan perikanan dirugikan karena aspirasinya sebagaimana telah dianggarkan tidak berhasil direalisasikan,” ungkap dia.

Menurut Halim, ada empat alasan kenapa program penyaluran kapal dan alat tangkap rumit dan berakibat pada tidak terserapnya APBN 2017. Alasan tersebut adalah, karena data penerima yang tidak bisa divalidasi, ketidakterlibatan kelompok nelayan dalam menyusun spesifikasi kapal/alat tangkap, proses pengelolaan anggaran yang amburadul, dan minusnya akses permodalan untuk mengoperasikan kapal atau alat tangkap.


Dengan permasalahan seperti itu, Abdul Halim pesimis kalau penyaluran program bantuan alat tangkap bisa diselesaikan pada 2017. Untuk itu, Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan mengusulkan kepada Presiden dan DPR RI agar program tersebut dimoratorium. Tujuannya, agar APBN tidak terbuang percuma.

“Berkaca pada pelaksanaan program pengadaan kapal dan alat tangkap pada tahun 2016, mustahil program serupa tuntas dijalankan pada tahun 2017,” tandas dia.



Berkaitan dengan itu, Halim juga meminta kepada DPR RI untuk memaksa Pemerintah segera melakukan moratorium bantuan alat tangkap ataupun kapal pada tahun anggaran 2018 mendatang, sehingga semua pihak berkepentingan bisa belajar dari kesalahan yang terjadi pada dua periode 2016 dan 2017.

“Keputusan ini mendesak untuk dilakukan apabila proses penyaluran kapal dan alat tangkap ikan untuk tahun 2016-2017 belum dituntaskan,” pungkas dia.






Nelayan tradisional yang menggantungkan hidupnya dengan mencari ikan sedang memperbaiki jaringnya. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia



Pendapat senada diungkapkan Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch Indonesia Moh Abdi Suhufan. Menurut dia, jika program bantuan gagal dibagikan pada akhir 2017, maka itu akan berdampak pada pencapaian target produksi tahun depan. Mengingat, program pengadaan bantuan alat tangkap dan juga kapal untuk 2017 jumlahnya cukup signifikan.


Tak hanya pencapaian, Abdi Suhufan menjelaskan, kegagalan penyaluran juga akan berdampak pada skenario dan target pengadaan kapal ikan yang sudah direncanakan oleh KKP dalam kurun waktu 2015-2019. Kemudian, dampak lainnya adalah dalam hal penyerapan anggaran.

“Dampak secara psikologis pada kelompok nelayan dan koperasi yang sudah bersiap menerima kapal tentunya akan kecewa, jika bantuan kapal yang sudah mereka nantikan rupanya tak kunjung mereka terima,” tutur dia.


Mengingat dampak yang ditimbulkan sangat besar, untuk tahun mendatang KKP perlu menyiapkan formula pembagian tanggung jawab antara pusat daerah tentang mekanisme penyaluran bantuan. Dengan dibangunnya tanggung jawab, maka program bantuan akan menjadi milik bersama dan itu akan memperbaiki kinerja secara keseluruhan.

Perlunya dilibatkan daerah lebih jauh, karena dalam program bantuan sebelumnya, keterlibatan daerah masih sangat kurang. Daerah yang seharusnya mengendalikan urusan teknis, justru tidak mendapatkan porsi tersebut dan kewenangannya dikendalikan KKP sebagai wakil dari Pemerintah Pusat.


“KKP terlalu jauh masuk ke urusan teknis yang harusnya didelegasikan ke daerah. Tidak ada pembagian wilayah kerja tersebut, mengakibatkan setiap masalah apapun harus ditanggung sendirian oleh KKP,” tutur dia.

“Tidak desentralisasi di pusat yang menyebabkan spesifikasi kapal bantuan menjadi celah untuk dipermasalahkan kemudian oleh kelompok penerima, dengan alasan tidak sesuai dengan kebutuhan dan kebiasaan nelayan,” tambah dia.






Ilustrasi. Nelayan menangkap ikan dengan pancing huhate (pool and line). Foto : PT PNB/Mongabay Indonesia



Suhufan menegaskan, dalam proses perencanaan dan pelaksanaan di lapangan, ada hal-hal yang kurang diantisipasi dengan baik oleh KKP. Hal-hal tersebut antara lain, sistem penganggaran, keterlibatan pemerintah daerah kab/kota, dan assessment serta database untuk kebutuhan perencanaan pengadaan kapal.

“Tujuan KKP dalam program bantuan kapal dan alat tangkap sebenarnya sangat baik, yaitu bagaimana agar potensi kelimpahan ikan bisa ditangkap dan dinikmati oleh nelayan-nelayan tradisional yang selama ini ‘tertekan’ karena adanya praktik IUU fishing oleh kapal ukuran besar,” tandas dia.



Berkaitan dengan pernyataan DPR RI yang akan menerapkan moratorium bantuan jika penyaluran gagal diselesaikan pada akhir 2017, Abdi Suhufan berpendapat kalau itu adalah pernyataan kurang pas. Seharusnya, kata dia, untuk program pemberdayaan nelayan seperti pengadaan kapal, sikap DPR tidak perlu seradikal itu.

“Bahwa ada masalah dalam proses pengadaan, mestinya menjadi bahan evaluasi bersama antara KKP dan DPR,” tegas dia


Menurut Abdi Suhufan, program bantuan yang digulirkan KKP saat ini, terlepas dari banyaknya masalah, tetaplah program bermanfaat. Apalagi, jika dikaitkan dengan keinginan Presiden Joko Widodo menjadikan Indonesia sebagai pusat poros maritim dunia, seharusnya DPR RI melihat bahwa program bantuan akan membantu proses ke arah yang dimau Presiden.

“Salah satu caranya adalah dengan memperkuat armada perikanan tangkap nasional. Penguatan tersebut salah satunya dengan penambahan armada tangkap baik dengan intervensi pemerintah melalui APBN maupun pembangunan kapal oleh pihak swasta,” kata dia.

http://www.mongabay.co.id/2017/12/27/catatan-akhir-tahun-penggantian-alat-tangkap-ikan-ramah-lingkungan-berjalan-mulus-atau-tidak/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar