19 September, 2013

Pengeboman Ikan Marak di Sulsel, Indikasi Kuat Aparat jadi Pemasok

Oleh Wahyu Chandra (Kontributor Sulawesi Selatan),

Pengeboman ikanmarak  di sejumlah daerah perairan di Sulawesi Selatan. Praktik ini  karena tergiur hasil besar, mencapai 5-10 ton sekali pengeboman. Jauh melebihi hasil menggunakan peralatan penangkapan lain.Habitat biota laut pun terancam. Foto: Idham Malik
Pengeboman ikanmarak di sejumlah daerah perairan di Sulawesi Selatan. Praktik ini karena tergiur hasil besar, mencapai 5-10 ton sekali pengeboman. Jauh melebihi hasil menggunakan peralatan penangkapan lain.Habitat biota laut pun terancam. Foto: Idham Malik

Pengawasan kawasan perairan di Sulawesi Selatan (Sulsel) lemah hingga pengeboman ikan marak. Bahkan ada indikasi keterlibatan aparat keamanan, sebagai backing pelaku hingga penyuplai detonator dan hulu ledak.

Idham Malik, Seafood Savers Officer for Aquaculture, WWF Indonesia, dalam diskusi di Jurnal Celebes, Makassar, Senin (2/9/13) menceritakan hasil penelusuran di sejumlah daerah di Sulsel terkait praktik pengeboman ikan dalam beberapa bulan terakhir ini. “Saya menemukan, antara lain, ada sindikasi dalam pengeboman ikan ini, termasuk keterlibatan aparat keamanan dalam menyediakan detonator dan hulu ledak,” katanya.

Bahan baku pembuatan bom ikan berupa pupuk matahari diduga diperoleh dari penyelundupan oknum keamanan Malaysia dan Kalimantan Timur. “Mereka bekerjasama menyuplai pupuk melalui Sungai Nyamuk. Setelah tiba di Kalimantan, pupuk disebar ke seluruh kawasan penangkapan ikan di Indonesia, termasuk Sulsel.”

Pupuk matahari dimasukkan ke jirigen atau botol ini sebenarnya hasil didikan Jepang pada zaman revolusi dulu. Beberapa tahun lalu, katanya, nelayan masih was-was menggunakan bom. Sebab, sebelum meledakkan, sumbu harus dibakar dan dilempar. “Ceroboh sedikit, tangan dan tubuh bisa terbakar dan hancur. Sudah banyak kejadian nelayan kehilangan tangan atau meninggal akibat kesalahan menggunakan bom ikan ini,” ucap Idham.

Namun, kini kejadian kecelakaan jarang terjadi, karena nelayan sudah lebih pandai menggunakan bom. Nelayan dimudahkan dengan detonator untuk meledakkan bom dari jarak cukup jauh. Detonator mudah diperoleh di toko-toko dengan harga bervariasi, Rp3–7 juta.

 Pengeboman ikan dapat merusak  terumbu karang, yang menjadi tempat pembijahan dan pembiakan ikan, dalam skala besar. Dampaknya bisa dilihat dari produksi ikan di sejumlah daerah  di Sulsel, makin turun.  Terutama di kawasan Spermonde, yang membentang sepanjang Pantai Selatan perairan Makassar dan sekitar. Foto: Awaluddinnoer

Pengeboman ikan dapat merusak terumbu karang, yang menjadi tempat pembijahan dan pembiakan ikan, dalam skala besar. Dampaknya bisa dilihat dari produksi ikan di sejumlah daerah di Sulsel, makin turun. Terutama di kawasan Spermonde, yang membentang sepanjang Pantai Selatan perairan Makassar dan sekitar. Foto: Awaluddinnoer

Pengeboman ini biasa melibatkan tim kecil. Dalam satu kapal tim ada delapan orang, terdiri atas nakhoda jolloro-kapal, pengebom, pendayung, dan pengambil ikan di dasar kolam (penyelam). Tim ini saling bekerjasama. Setiap orang mengerjakan peran masing-masing.  Para pengintai terlebih dahulu melihat posisi kedalaman kerumunan ikan, kalau ikan terlihat mengkilat-kilat di kedalaman 10–15 meter ke bawah, berarti ikan bisa dibom. Mereka juga diuntungkan pengalaman, telah mengenal lalu lintas ikan.

Dalam sekali bom mereka biasa memperoleh 5–10 ton ikan. Guncangan bom bisa mencapai radius 50 meter dan mematikan ikan yang terkena guncangan. Ikan dipungut penyelam menggunakan keranjang yang diikat pada badan. Ikan terhambur di dasar laut. Ikan hancur tidak diambil, biasa sekitar 10-20 persen.

“Kadang masih banyak ikan tersisa, namun kapal sudah penuh. Terpaksa ikan ditinggal di laut,” kata Idham menirukan pernyataan warga. Tanda jika terjadi pengeboman berlangsung yaitu banyak burung-burung beterbangan di tengah laut.
Ikan-ikan ini kemudian ditampung di kapal besar bermuatan 30 ton bersama ikan-ikan dari kapal penangkap lain. Ikan dibongkar di sebuah pulau, lalu disusun ulang ke kapal-kapal Jolloro untuk diangkut ke Makassar.

Idham menemukan indikasi kuat keterlibatan pemodal besar membiayai nelayan mengebom. Bahkan para pemodal ini dibiayai lagi oleh pemodal lebih besar. Ketika para nelayan mendapat masalah dengan aparat keamanan, pemodal inilah yang menyelesaikan.  “Jadi sulit memberantas pengebom ini dan hampir semua tempat terdapat pengebom ikan. Alat tangkap yang mereka bawa hanyalah kamuflase.”

Meskipun memperoleh ikan 5-10 ton per sekali ngebom, kehidupan nelayan tidak beranjak dari keterpurukan. “Hasil terbesar pemilik modal. Mereka selalu terlilit pinjaman, hingga hasil kerja biasa untuk menutupi utang. Mereka pun bekerja tidak tiap hari, tapi hanya setengah bulan dan maksimal 20 hari.”

Apa solusi bagi nelayan? Idham mengatakan, bisa dengan memberikan alternatif mata pencarian, melalui usaha budi daya rumput laut. “Sebenarnya ada beberapa contoh alternatif, yang dilakukan beberapa desa di Sulawesi Tenggara. Sebagian besar masyarakat beralih ke usaha budidaya rumput laut. Padahal itu sebelumnya termasuk daerah pengebom.”

Di Kabupaten Alor, NTT, masyarakat dan pemerintah berinisiatif menetapkan wilayah atau zona bank ikan. Nelayan tidak boleh menangkap di area  itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar