26 Agustus, 2013

Perlu Kepedulian Bersama Menjaga Mangrove

Oleh Wahyu Chandra (Kontributor Sulawesi Selatan), 

Di Sulsel, dari 214 ribu hektar hutan mangrove tahun 1980-an, tersisa sekitar 20%, atau terdegradasi hingga 80% dalam 30 tahun terakhir. Foto: Wahyu Chandra
Di Sulsel, dari 214 ribu hektar hutan mangrove tahun 1980-an, tersisa sekitar 20%, atau terdegradasi hingga 80% dalam 30 tahun terakhir. Foto: Wahyu Chandra

Keberadaan hutan mangrove di kawasan pesisir memiliki andil cukup besar mengurangi pemanasan global. Sayangnya, hutan mangrove mengalami degradasi besar-besaran, terutama di Sulawesi Selatan (Sulsel).  Untuk itu, perlu upaya bersama mempertahankan dan menjaga keberadaan mangrove.
Demikian antara lain, poin penting dari diskusi bertema “Dampak Pemanasan Global bagi Lingkungan,” oleh Oxfam di Gedung Graha Pena, Makassar, Kamis (21/8/13). Hadir sebagai narasumber antara lain, Agustinus Wahyu Irianto dari Oxfam Sulsel, Musmahendra dari Komisi Amdal Sulsel, dan Taufik Kasaming, Walhi Sulsel.

Agustinus mengatakan, penanaman mangrove skala besar, akan berdampak nyata dalam mengurangi pemanasan global. “Sebuah penelitian pernah dilakukan Oxfam menunjukkan dalam satu hektar mangrove bisa menghasilkan karbon 70 ton per tahun. Berarti upaya penyelamatan mangrove sangat penting dalam mengurangi pemanasan global.”
Namun, keadaan saat ini justru menunjukkan hutan mangrove makin terkikis. Untuk Sulsel, dari 214 ribu hektar hutan mangrove tahun 1980-an, tersisa sekitar 20 persen, alias mengalami degradasi sampai 80 persen dalam 30 tahun terakhir.

Penyebabnya, eksploitasi berlebihan dan konversi lahan dari menjadi tambak secara besar-besaran serta makin massif revitalisasi pantai, yang dialihfungsi sebagai kawasan industri dan wisata.
Ironisnya, puluhan ribu hektar hutan mangrove yang sudah dikonverasi menjadi tambak kini terbengkalai. Tambak-tambak tak produktif ditinggalkan begitu saja. Lalu, mencari kawasan lain sebagai lokasi tambak baru.

Program restoring coastal livelyhood (RCL) Oxfam di Sulsel antara lain, konservasi lahan mangrove dengan metode ecological mangrove rehabiliation. Ini tidak melalui penanaman, tetapi memperbaiki kondisi ekologis daerah pesisir agar kondusif bagi pertumbuhan mangrove.
Oxfam juga menguatkan ekonomi masyarakat pesisir, khusus kalangan perempuan. Mereka dari 21 desa, 12 kecamatan di empat kabupaten yaitu Barru, Pangkajene Kepulauan, Takalar dan Maros. Mereka diajarkan membentuk kelompok usaha berbasis potensi daerah, hingga tak lagi semata menggantungkan hidup dari hasil eksploitasi mangrove.

Musmahendra mengatakan, degradasi hutan mangrove selama ini, khusus di Sulsel, tak terlepas dari penegakan hukum lemah. Dalam aturan, saat rencana eksplorasi pada radius 50 meter dari garis pantai harus memiliki Amdal. Dalam Amdal ini akan diketahui bagaimana dampak pembangunan pada berbagai habitat di daerah  itu, termasuk keberadaan mangrove, lengkap dengan nama dan jenis mangrove. “Ini yang kadang kurang diperhatikan dan diabaikan.” Yang terjadi, meskipun sudah dipatok kawasan-kawasan yang bisa dibangun, namun batasan ini bisa dipindahkan tanpa ada sanksi jelas.
Untuk itu, dia menyarankan perlu mempertegas zona-zona kawasan pesisir, hingga dalam pemanfaatan tetap sesuai peruntukan tanpa mengabaikan kondisi lingkungan.

Sedang Taufik Kasaming, berbicara tentang kawasan pesisir terkait ruang. Selama ini,  ruang pesisir dilihat sebagai obyek, yang memberikan ruang sebesar-besarnya pada kapitalis untuk mengeksploitasi tanpa mempertimbangkan kualitas lingkungan.

Kondisi diperparah kala kebijakan tak berpihak lingkungan karena ada dominasi kelompok-kelompok pengusaha di dewan, yang menjadi dapur regulasi. “Saat ini, sekitar 46 persen anggota dewan dari kalangan pengusaha, mungkin hanya 4% kalangan aktivis. Jadi bisa diperkirakan bagaimana kualitas regulasi. Pasti banyak berpihak kepentingan kapitalis alih-alih pada kepedulian lingkungan.”
Hamparan pohon mangrove yang mati, mengering di Gorontalo. Foto: Christopel Paino

Tidak ada komentar:

Posting Komentar