29 Agustus, 2013

Mendesak, Penugasan Pemantau Perikanan Indonesia di Area Konvensi WCPFC Tahun 2013

Western and Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC), salah satu organisasi RFMOs tuna, telah merilis beberapa dokumen Tindakan Pengelolaan dan Konservasi (Conservation and Management Measure – CMM) atas tiga jenis ikan (tuna mata besar, madidihan, dan cakalang) di area konvensinya yaitu Pasifik bagian barat dan tengah. Salah satunya adalah CMM 2012-01 tentang Tindakan Konservasi dan Pengelolaan untuk Tuna Mata Besar, Madidihang, dan Cakalang di Bagian Barat dan Tengah Samudera Pasifik. Secara umum, tindakan pengelolaan dalam dokumen tersebut bertujuan untuk menjaga ketersediaan stok ikan melalui pengaturan penangkapan.
 
Satu butir penting pengaturan tersebut adalah tindakan sementara (Interim Measure) untuk tahun 2013 yang mengatur penangkapan tuna dan cakalng di ZEE dan laut lepas. pelarangan penangkapan tuna dan cakalang menggunakan alat bantu pengumpul ikan (disebut Fish Agregating Device – FAD) pada bulan Juli – September. Alat-alat yang tergolong FAD yang biasa digunakan nelayan Indonesia antara lain adalah rumpon dan lampu.

Mengacu pada CMM 2009-02 tentang FAD Closure and Catch Retention (Penutupan Penggunaan Alat Bantu Penangkapan dan Penyimpanan Hasil Tangkapan), CMM 2012-01 mengatakan bahwa pelarangan penggunaan FAD oleh kapal pukat cincin berlaku pada Juli, Agustus, dan September 2013 di ZEE dan laut lepas. Sebagai peraturan tambahan untuk mengurangi penggunaan FAD, CMM 2012-01 memberi pilihan kepada negara untuk memilih salah satu tindakan (paragraf 11) yaitu (a) melanjutkan pelarangan penggunaan FAD hingga Oktober atau (b) pembatasan penggunaan FAD sebanyak 8/12 rerata jumlah FAD antara tahun 2001-2011. Indonesia pun memilih opsi pertama untuk meneruskan pelarangan penggunaan FAD di Bulan Oktober. Opsi ini ditempuh tampaknya karena data tentang jumlah rumpon dan kapal lampu di Indonesia simpang siur dan tidak terdata dengan baik sehingga Indonesia tidak pernah melaporkan dugaan jumlah rumponnya kepada WCPFC (CMM 2012-01, Lampiran A). Kementerian Kelautan dan Perikanan sendiri mengeluarkan ijin pemasangan rumpon secara sangat terbatas. Namun rupanya hal ini menyebabkan rumpon yang terpasang di perairan laut Indonesia jauh melebihi jumlah yang diijinkan.
Kutipan CMM 2012-01 pada bagian Tindakan Sementara 2013
Kutipan CMM 2012-01 pada bagian Tindakan Sementara 2013

Dengan pilihan tersebut, maka Indonesia melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan harus menempatkan pemantau di atas kapal perikanan yang biasa menggunakan rumpon dan lampu yang beroperasi di WPP 716 dan 717 (kedua WPP tersebut berbatasan langsung dengan Samudera Pasifik dan masuk ke dalam area konvensi WCPFC) dan laut lepas Samudera Pasifik dalam periode Juli – Oktober 2013. Kapal penangkap tuna mata besar, madidihang, dan cakalang yang umum menggunakan rumpon dan lampu di WPP 716 dan 717 adalah pukat cincin, huhate dan pancing ulur.
 
Satu hal yang perlu dicatat Direktur Jenderal Perikanan Tangkap selaku penanggung jawab kegiatan pemantauan di atas kapal di Indonesia adalah pemantauan tersebut harus dilakukan terhadap operasi penangkapan mulai 1 Juli 2013 pukul 00.00 waktu setempat. Untuk itu, penempatan Pemantau di atas kapal sebaiknya sejak akhir Juni agar ketika kapal beroperasi di awal Juli, kegiatan penangkapan oleh kapal tersebut sudah terpantau.

Hal yang Harus Dipantau dan Dilaporkan
CMM 2012-01 dan CMM 2009-02 memberi sederet catatan tentang berbagai hal yang harus dipantau dan dilaporkan, baik oleh nelayan maupun oleh Pemantau. Sebelum sedikit membeberkan catatan-catatn itu, saya bermaksud menyampaikan bahwa Direktur Jenderal Perikanan Tangkap selaku perwakilan negara bertanggung jawab atas hal-hal yang harus dilaporkan tersebut. Letak tanggung jawabnya adalah memastikan bahwa butir-butir yang harus dilaporan tersebut benar-benar dilaporkan dengan cara menyediakan perangkat hukum dan menyediakan media pelaporan di lapangan. Nelayan dan Pemantau melaporkannya ke Direktur Jenderal Perikanan Tangkap, lalu Direktur Jenderal Perikanan Tangkap menyusunnya dalam Laporan Tahunan Indonesia ke WCPFC atas nama Menteri Kelautan dan Perikanan.

Pertama, seluruh kapal pukat cincin yang beroperasi di periode penutupan penggunaan FAD harus membawa Pemantau di atas kapal (CMM 2012-01, Paragraf 21). Negara melalui Pemantau tersebut mengumpulkan data dan informasi di atas kapal sebagai bahan kebijakan perikanan, termasuk perkiraan stok ikan. Sebetulnya, data tersebut adalah kepentingan nasional di mana tanpa permintaan WCPFC pun sesungguhnya Direktur Jenderal Perikanan Tangkap butuh sehingga melakukannya dengan kebijakan sendiri pun bisa. Namun demikian, amanat ini cukup membantu agar pemantauan di atas kapal sebagai metode pengumpulan data yang akurat dapat terlaksana sesegera mungkin.

Kedua, Pemantau harus memastikan bahwa seluruh ikan yang tertangkap disimpan di atas kapal (CMM 2012-01, Paragraf 17). Pemindahan hanya boleh dilakukan di pelabuhan. Pengecualian diberlakukan bila palkah tidak dapat memuat seluruh ikan tertangkap pada setting terakhir. Bila terjadi demikian, maka ikan dapat dipindahkan ke kapal lain di tengah laut (dengan catatan pemindahan hasil tangkapan di tengah laut tersebut tidak melanggar hukum negara). Pengecualian lain adalah bila ikan rusak dan tidak sehat untuk dimakan manusia, dan saat terjadi kerusakan peralatan di atas kapal. Dalam kondisi tersebut, ikan rusak boleh dibuang. CMM 2009-02 mengatur bahwa pembuangannya harus dilakukan setelah Pemantau mengestimasi komposisi hasil tangkap ikan-ikan yang akan dibuang tersebut (Paragraf 11). Lalu nelayan harus melaporkan peristiwa pembuangan ikan tersebut dalam jangka waktu 48 jam setelah pembuangan (CMM 2009-02, Paragraf 12). Hal yang dilaporkan antara lain (a) identitas kapal, (b) nama Pemantau yang bertugas, (c) tanggal, waktu, dan lokasi (lintang, bujur) pembuangan, (d) alasan pembuangan, dan (e) estimasi berat dan komposisi jenis ikan terbuang.
 
Ketiga, kapal penangkap ikan harus mengirim sinyal VMSnya setiap 30 menit pada periode 1 Juli – 1 Nopember (paragraf 23). Peningkatan biaya atas peningkatan frekuensi VMS tersebut akan ditanggung Komisi. Hal ini menjadi tanggung jawab nakhoda dan Pemantau harus memastikan Nakhoda melakukannya. Peran Direktur Jenderal Perikanan Tangkap di sini adalah menyediakan mekanisme klaim peningkatan biaya VMS setiap kapal kepada Komisi. Selain itu, Direktur Jenderal Perikanan Tangkap dapat meminta data penelusuran (tracking) VMS tersebut ke Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP). Data tracking tersebut dapat digunakan untuk dicocokkan dengan data Pemantau dan data logbook penangkapan ikan.

Jumlah Pemantau yang Dibutuhkan dan Kompetensi Dasarnya
Hal yang menjadi pertimbangan penting dalam penempatan pemantau di atas kapal adalah jumlah pemantau yang harus ditempatkan. Mengingat bahwa yang menjadi fokus adalah pencegahan penggunaan alat bantu pengumpul ikan di WPP-NRI yang berbatasan dengan Samudera Pasifik, maka Kementerian Kelautan dan Perikanan harus fokus pada kapal-kapal huhate, pancing ulur, dan pukat cincin penangkap tuna dan cakalang di WPP-NRI 716 (Laut Sulawesi dan sebelah utara Pulau Halmahera), WPP 717 (Teluk Cendrawasih dan Samudera Pasifik) dan laut lepas Samudera Pasifik. Kedua jenis alat penangkapan tersebut umumnya menggunakan alat bantu berupa rumpon dan lampu untuk menangkap ikan.

Menurut Laporan Kegiatan Bulan Mei 2013 Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan, Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, terdapat 29 kapal huhate, 18 kapal pukat cinci pelagis besar, dan 38 kapal pukat cincin armada penangkap di kedua WPP-NRI tersebut (Tabel 1).

Jumlah kapal berdasarkan jenis alat tangkap di WPP-NRI (Sumber: Laporan Kegiatan Bulan Mei 2013 Direktorat Pelayanan Usaha, DJPT, KKP.)
Jumlah kapal berdasarkan jenis alat tangkap di WPP-NRI (Sumber: Laporan Kegiatan Bulan Mei 2013 Direktorat Pelayanan Usaha, DJPT, KKP.)

Sebagai informasi, terdapat sedikit perbedaan pada kapal pukat cincin pelagis besar dan kapal pukat cincin armada penangkap. Kapal pukat cincin pelagis besar adalah kapal pukat cincin yang menyimpan hasil tangkapannya di palkah pada kapal itu sendiri. Sedangkan kapal pukat cincin armada penangkap adalah kapal pukat cincin yang tidak memiliki palkah sendiri dan menyimpan hasil tangkapannya di kapal pengumpul atau pengangkut. Metode penangkapan pukat cincin pelagis besar yang beroperasi sendiri (memiliki palkah pada kapal penangkap) memiliki sedikit perbedaan pukat cincin armada yang beroperasi berkelompok (kapal penangkap tidak memiliki palkah). Oleh sebab itu, Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan pada tabel 1 tersebut membedakan keduanya dan menyebutkan masing-masing jumlah armada penangkap dan armada pengangkut pada pukat cincin armada.

Kembali ke jumlah kapal penangkap ikan di mana terdapat 29 kapal huhate, 18 kapal pukat cincin pelagis besar, dan 38 kapal pukat cincin armada penangkap di kedua WPP-NRI tersebut (Tabel 1), maka Direktur Jenderal Perikanan Tangkap berpatokan pada data tersebut untuk menentukan jumlah pemantau yang harus ditugaskan. Secara total, terdapat 85 kapal penangkap ikan. Bila seorang pemantau ditugaskan pada satu kapal selama periode penutupan rumpon sebagaimana diatur dalam CMM 2012-01, maka Direktur Jenderal Perikanan membutuhkan setidaknya 85 orang Pemantau yang masing-masing bertugas selama 4 bulan. Hal ini dengan asumsi bahwa setiap kapal tersebut beroperasi penuh pada periode ini. Namun penugasan seorang Pemantau selama 4 bulan penuh di atas kapal adalah hal yang mustahil. Kejenuhan bekerja di atas kapal akan membuat Pemantau tidak dapat bekerja optimal, setidaknya ketika masa kerjanya memasuki bulan ke tiga di atas kapal. Dengan demikian, setidaknya Direktur Jenderal Perikanan Tangkap membutuhkan 170 orang pemantau dengan asumsi satu kapal akan dipantau oleh dua orang Pemantau selama periode tersebut. Masing-masing Pemantau bertugas selama dua bulan.

Agar pemantauan berjalan lancar dan data yang diharapkan pun terkumpul, Direktur Jenderal Perikanan Tangkap perlu memastikan bahwa 170 Pemantau tersebut memenuhi syarat. Salah satu masalah adalah Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap harus menyediakan dana cukup besar bila akan menempatkan pemantau ke seluruh 85 kapal selama 4 bulan yang membutuhkan 170 orang Pemantau tersebut. Masalah lain adalah kompetensi Pemantau. Peraturan Menteri Nomor 1/PERMEN-KP/2013 tentang Pemantau Kapal Penangkap Ikan dan Kapal Pengangkut Ikan pasal 4 menyebutkan beberapa syarat agar seseorang bisa menjadi Pemantau, yaitu antara lain memiliki pendidikan perikanan, kelautan, atau biologi. Namun pekerjaan sebagai Pemantau yang cukup berat ditambah minimnya Pemantau yang sudah dilatih, sepertinya Direktur Jenderal Perikanan Tangkap harus memastikan bahwa Pemantau sudah berpengalaman bekerja di kapal penangkap ikan yang memiliki alat penangkap ikan yang sama yang akan dipantau. Hal ini penting untuk menjawab kebutuhan Pemantau yang mendesak. Di masa mendatang, saat proses pengadaan Pemantau tidak didesak kebutuhan, maka Direktur Jenderal Perikanan Tangkap bersama Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BPSDMKP) dapat melatih calon Pemantau yang masih minim pengalaman.

Borang Pemantau dan Kualitas Data
Untuk memenuhi data dan informasi yang disyaratkan WCPFC, Direktur Jenderal Perikanan Tangkap dapat mengacu pada Standar Data WCPF untuk Program Pemantau Regional (WCPFC Data Standards for Regional Observer Programme) yang merupakan hasil Pertemuan Reguler Ketiga Komisi Ilmiah pada Agustus 2007. Selain itu, WCPFC juga memiliki Lembar Data Standar Minimum Pemantau untuk FAD (FAD – Observer Minimum Standards Data Fields). Lembar khusus FAD ini menyediakan ruang lebih banyak untuk mencatat data tentang alat bantu pengumpul ikan (FAD) yang digunakan. Direktur Jenderal Perikanan Tangkap tidak perlu menyusun borang baru karena borang Pemantau yang terdapat pada Peraturan Menteri tentang Pemantau (Nomor 1/PERMEN-KP/2013) sudah cukup memadai. Hanya saja Direktur Jenderal Perikanan Tangkap nantinya perlu menyesuaikan laporan pemantauan di atas kapal yang telah dilakukan dengan format data WCPFC dan ini bukanlah hal sulit.

Selain menyediakan borang sesuai kebutuhan data, Direktur Jenderal Perikanan Tangkap juga perlu melakukan beberapa langkah untuk memastikan Pemantau dapat bekerja dengan baik dan data yang diperoleh dapat diolah. Langkah tersebut antara lain adalah menyediakan perlengkapan Pemantau yang terdiri dari pakaian kerja (termasuk alat keselamatan) dan perlengkapan kerja. Perlengkapan kerja yang cukup vital bagi Pemantu adalah kamera digital dan GPS. Kamera digital sangat berguna untuk merekam segala aktivitas termasuk hasil tangkapan sampingan, spesies terancam punah yang tertangkap, kondisi cuaca, dll. Sedangkan GPS berguna agar Pemantau dapat memperoleh data secara mandiri di atas dek sambil melakukan pengambilan contoh (sampling), tidak tergantung GPS kapal yang berada di anjungan.

Langkah lain adalah melakukan pembekalan (briefing) sebelum Pemantau berangkat dan tanya jawab (debriefing) sesaat setelah Pemantau mendarat. Briefing bermanfaat sebagai media komunikasi terakhir dan Pemantau dapat bertanya hal yang masih mengganjal di hatinya tentang tugasnya. Debriefing sangat bermanfaat bagi Direktur Jenderal Perikanan Tangkap untuk mengklarifikasi data dan informasi berupa tulisan tangan Pemantau yang kurang jelas di atas borang agar jelas maksudnya dan dapat dimasukkan ke dalam sistem pengolahan. Briefing dan debriefing ini wajib dilakukan di Jepang dan Amerika karena pengelola pemantauan perikanan di atas kapal di kedua negara tersebut ingin memastikan bahwa pemantauan yang sudah dilakukan dengan biaya mahal itu dapat berguna. Selain itu, pengelola pemantauan perikanan di atas kapal di kedua negara tersebut secara terpisah mengatakan kepada saya bahwa briefing dan debriefing juga dapat menjadi ajang negara mengevaluasi kinerja Pemantau.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar