Oleh Muhammad Karim
Pemilihan presiden dan wakil presiden tinggal dua hari lagi. Menariknya, di pelbagai media massa cetak maupun elektronik terjadi perdebatan mazhab pembangunan ekonomi. Mulai dari yang mengusung ekonomi kerakyatan, ekonomi kemandirian sampai ekonomi jalan tengah. Sayangnya, sektor ke-lautan dan perikanan abai dalam perdebatan tersebut. Prof Adrie Lapian, sejarawan Maritim Indonesia yang terkenal, mengungkapkan bahwa perdagangan dan pelayaran antarpulau, kepelabuhanan, pasar, perikanan hingga kota pantai jadi basis kekuatan ekonomi maritim abad 15-17. Dinamikanya berlangsung dalam ranah domestik (antarpulau di Nusantara) maupun internasional mulai Timur Tengah, China, hingga Afrika.
Wujud ekonomi kerakyatan di kelautan dan perikanan bukan hal baru. Berkembangnya kota-kota pantai mulai dari Jakarta, Surabaya, Makassar, Medan, hingga ke wilayah Indonesia Timur adalah kontribusinya. Sejatinya, bila bangsa ini mau berkembang pesat dan menguasai perdagangan internasional, kekuatan ekonomi maritim harusnya jadi pilar utamanya. Kekuatan ekonomi itu dapat dikelompokkan; pertama, ekonomi pesisir dan laut termasuk pulau kecil (coastal and maritime economic) berbasiskan sumber daya alam yang antara lain budi daya laut, budi daya pantai, dan penangkapan ikan. Budi daya laut berupa rumput laut, teripang, ikan hias laut, kerang hijau dan ikan karang ala jaring apung (kerapu, kakap).
Sementara itu, budi daya pantai yakni pertambakan udang dan ikan jenis kerapu lumpur maupun kakap. Penangkapan ikan bermula dari aktivitas nelayan tradisional hingga di laut lepas utamanya Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. Jenis ikannya ialah tuna, udang, tongkol, tenggiri, bawal, dan lainnya. Sejarah membuktikan bahwa aktivitas penangkapan berupa teripang, sirip hiu, dan lola sudah berlangsung sejak abad 16 akibat terbukanya perdagangan dengan bangsa China (Stacy, 1999; Ham, 2001 dalam Purwati, 2005).
Kebijakan Afirmatif
Kedua, ekonomi pesisir dan laut (termasuk pulau kecil) berbasiskan jasa yang mencakup transportasi laut (pelayaran rakyat, kepelabuhanan, nelayan buruh), pariwisata bahari (penyelaman, perhotelan dan resor, olahraga air, restoran, wisata pantai dan sejarah hingga keunikan pulau-pulau kecil). Termasuk wisata kekhasan budaya bahari mulai dari kearifan tradisional dalam mengelola sumber daya ikan, pembuatan kapal tradisional pinisi di Sulawesi Selatan, tradisi pesta laut hingga tradisi adat menangkap ikan paus di Lamalera dan Lamakera Nusa Tenggara Timur (NTT).
Pendekatan mewujudkan ekonomi kerakyatan di kelautan dan perikanan ialah ekonomi kelembagaan melalui kebijakan mirip ”totok nadi”. Negara berperan aktif (bukan dominan) dalam memberikan kebijakan afirmatif (affirmative policy) melalui keberpihakan yang jelas. Di satu sisi berkontribusi menyelesaikan problem pembangunan kelautan dan perikanan. Tapi, di sisi lain mampu mengatasi problem struktural berupa pengangguran dan kemiskinan di pesisir.
Lima langkahnya, pertama, perbaikan infrastruktur lingkungan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil melalui rehabilitasi dan restorasi. Prosesnya melalui pemberdayaan masyarakat setempat, mulai dari pembibitan, pemeliharaan, penanaman hingga pengelolaan. Negara menyediakan pembiayaannya dalam jangka waktu 2-3 tahun. Setelahnya pemerintah memberikan hak penguasaan lahan dan hutan mangrove melalui organisasi komunitas seumpama koperasi. Kebijakan ini akan mencegah abrasi pantai, menyediakan lapangan kerja karena sifatnya padat karya. Sekaligus meningkatkan produktivitas perikanan yang bisa meningkatkan pendapatan ekonomi keluarga nelayan karena secara ekologis habitatnya mengalami perbaikan. Menjamin kelangsungan hajat hidup nelayan tradisional yang mendominasi aktivitas perikanan artisanal.
Kedua, merevitalisasi industri perkapalan tradisional yang mendukung pelayaran rakyat, kelonggaran kredit, stimulus fiskal dan moneter. Dampaknya, lapangan kerja pada usaha pembuatan kapal, mengurangi ketergantungan dari asing, dan mendinamiskan jasa pelayaran antarpulau dan kepelabuhanan di Indonesia. Ketiga, menggalakkan budi daya laut mulai ikan hingga rumput laut di daerah potensial yang dikelola rakyat. Terbukti rumput laut mendominasi 55% ekspor budi daya Indonesia (Suhana, 2009). Negara (daerah) memberikan dukungan “pasar” melalui kebijakan harga dasar bagi pembudi daya ikan. Termasuk akses teknologi maupun permodalan yang mampu meningkatkan nilai tambah produk. Akibatnya, pelaku usaha domestik lebih menikmati surplus value-nya ketimbang negara tujuan ekspor atau perantara.
Pulau-pulau Kecil di Perbatasan
Keempat, memanfaatkan pulau-pulau kecil tak berpenghuni di perbatasan dengan negara tetangga sebagai basis penangkapan ikan di ZEE. Kelebihannya, menghemat bahan bakar, mengukuhkan kedaulatan nasional atas pulau kecil perbatasan, mudah memantau pergerakan kapal asing yang akan mengeruk ikan di perairan Indonesia hingga aktivitas membuang limbah pencemar di laut.
Yang strategis antara lain Kepulauan Natuna untuk perairan Laut Cina Selatan, Kepulauan Sangihe-Talaud di utara Laut Sulawesi hingga perairan Samudera Pasifik serta Pulau Banyak, Mentawai dan Enggano di Samudera Hindia. Negara aktif mendorong peranan swasta nasional maupun BUMN/BUMD dengan insentif stimulus fiskal maupun moneter. Negara juga lebih mengutamakan pasar dalam negeri ketimbang ekspor sehingga mendukung kedaulatan pangan. Nantinya berdampak dalam menurunkan angka pengangguran di kota-kota besar karena dengan sendirinya mobilitas tenaga kerja antarpulau di sektor perikanan maupun penghelanya ikut meningkat.
Kelima, menggerakkan wisata bahari kepulauan dan pesisir yang memosisikan rakyat sebagai pelaku utama melalui koperasi hingga organisasi komunitas. Tak perlu melibatkan pihak asing atau lembaga internasional yang tak jelas motivasinya. Negara berperan memberi insentif (infrastruktur transportasi) serta kontrol maupun akses atas pulau kecil dan sumber daya sekitarnya berupa terumbu karang, ikan karang dan situs sejarah menyerupai reformasi agraria. Negara juga menyediakan aransemen kelembagaan (aturan main) dan pelatihan keterampilan bagi pelaku wisata. Pengelolaannya memosisikan rakyat sebagai pelaku dari hulu hingga hilir.
Gagasan ini dengan pelbagai kebijakan afirmatifnya setidaknya akan mampu menggerakkan ekonomi rakyat di sektor kelautan dan perikanan yang kini jauh dari panggang. Selain memang akibat masalah degradasi sumber daya (tangkap lebih), serbuan kapal asing terus-menerus, klimatologi yang tak menentu (perubahah iklim). Juga lahirnya instrumen hukum yang diskriminatif yang sekaligus meminggirkan nelayan tradisional (UU No 31 Tahun 2004 dan UU No 27 Tahun 2007) ikut menyumbang keterpurukan kelautan dan perikanan nasional hingga kini.
Penulis adalah Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim (PK2PM).
Pemilihan presiden dan wakil presiden tinggal dua hari lagi. Menariknya, di pelbagai media massa cetak maupun elektronik terjadi perdebatan mazhab pembangunan ekonomi. Mulai dari yang mengusung ekonomi kerakyatan, ekonomi kemandirian sampai ekonomi jalan tengah. Sayangnya, sektor ke-lautan dan perikanan abai dalam perdebatan tersebut. Prof Adrie Lapian, sejarawan Maritim Indonesia yang terkenal, mengungkapkan bahwa perdagangan dan pelayaran antarpulau, kepelabuhanan, pasar, perikanan hingga kota pantai jadi basis kekuatan ekonomi maritim abad 15-17. Dinamikanya berlangsung dalam ranah domestik (antarpulau di Nusantara) maupun internasional mulai Timur Tengah, China, hingga Afrika.
Wujud ekonomi kerakyatan di kelautan dan perikanan bukan hal baru. Berkembangnya kota-kota pantai mulai dari Jakarta, Surabaya, Makassar, Medan, hingga ke wilayah Indonesia Timur adalah kontribusinya. Sejatinya, bila bangsa ini mau berkembang pesat dan menguasai perdagangan internasional, kekuatan ekonomi maritim harusnya jadi pilar utamanya. Kekuatan ekonomi itu dapat dikelompokkan; pertama, ekonomi pesisir dan laut termasuk pulau kecil (coastal and maritime economic) berbasiskan sumber daya alam yang antara lain budi daya laut, budi daya pantai, dan penangkapan ikan. Budi daya laut berupa rumput laut, teripang, ikan hias laut, kerang hijau dan ikan karang ala jaring apung (kerapu, kakap).
Sementara itu, budi daya pantai yakni pertambakan udang dan ikan jenis kerapu lumpur maupun kakap. Penangkapan ikan bermula dari aktivitas nelayan tradisional hingga di laut lepas utamanya Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. Jenis ikannya ialah tuna, udang, tongkol, tenggiri, bawal, dan lainnya. Sejarah membuktikan bahwa aktivitas penangkapan berupa teripang, sirip hiu, dan lola sudah berlangsung sejak abad 16 akibat terbukanya perdagangan dengan bangsa China (Stacy, 1999; Ham, 2001 dalam Purwati, 2005).
Kebijakan Afirmatif
Kedua, ekonomi pesisir dan laut (termasuk pulau kecil) berbasiskan jasa yang mencakup transportasi laut (pelayaran rakyat, kepelabuhanan, nelayan buruh), pariwisata bahari (penyelaman, perhotelan dan resor, olahraga air, restoran, wisata pantai dan sejarah hingga keunikan pulau-pulau kecil). Termasuk wisata kekhasan budaya bahari mulai dari kearifan tradisional dalam mengelola sumber daya ikan, pembuatan kapal tradisional pinisi di Sulawesi Selatan, tradisi pesta laut hingga tradisi adat menangkap ikan paus di Lamalera dan Lamakera Nusa Tenggara Timur (NTT).
Pendekatan mewujudkan ekonomi kerakyatan di kelautan dan perikanan ialah ekonomi kelembagaan melalui kebijakan mirip ”totok nadi”. Negara berperan aktif (bukan dominan) dalam memberikan kebijakan afirmatif (affirmative policy) melalui keberpihakan yang jelas. Di satu sisi berkontribusi menyelesaikan problem pembangunan kelautan dan perikanan. Tapi, di sisi lain mampu mengatasi problem struktural berupa pengangguran dan kemiskinan di pesisir.
Lima langkahnya, pertama, perbaikan infrastruktur lingkungan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil melalui rehabilitasi dan restorasi. Prosesnya melalui pemberdayaan masyarakat setempat, mulai dari pembibitan, pemeliharaan, penanaman hingga pengelolaan. Negara menyediakan pembiayaannya dalam jangka waktu 2-3 tahun. Setelahnya pemerintah memberikan hak penguasaan lahan dan hutan mangrove melalui organisasi komunitas seumpama koperasi. Kebijakan ini akan mencegah abrasi pantai, menyediakan lapangan kerja karena sifatnya padat karya. Sekaligus meningkatkan produktivitas perikanan yang bisa meningkatkan pendapatan ekonomi keluarga nelayan karena secara ekologis habitatnya mengalami perbaikan. Menjamin kelangsungan hajat hidup nelayan tradisional yang mendominasi aktivitas perikanan artisanal.
Kedua, merevitalisasi industri perkapalan tradisional yang mendukung pelayaran rakyat, kelonggaran kredit, stimulus fiskal dan moneter. Dampaknya, lapangan kerja pada usaha pembuatan kapal, mengurangi ketergantungan dari asing, dan mendinamiskan jasa pelayaran antarpulau dan kepelabuhanan di Indonesia. Ketiga, menggalakkan budi daya laut mulai ikan hingga rumput laut di daerah potensial yang dikelola rakyat. Terbukti rumput laut mendominasi 55% ekspor budi daya Indonesia (Suhana, 2009). Negara (daerah) memberikan dukungan “pasar” melalui kebijakan harga dasar bagi pembudi daya ikan. Termasuk akses teknologi maupun permodalan yang mampu meningkatkan nilai tambah produk. Akibatnya, pelaku usaha domestik lebih menikmati surplus value-nya ketimbang negara tujuan ekspor atau perantara.
Pulau-pulau Kecil di Perbatasan
Keempat, memanfaatkan pulau-pulau kecil tak berpenghuni di perbatasan dengan negara tetangga sebagai basis penangkapan ikan di ZEE. Kelebihannya, menghemat bahan bakar, mengukuhkan kedaulatan nasional atas pulau kecil perbatasan, mudah memantau pergerakan kapal asing yang akan mengeruk ikan di perairan Indonesia hingga aktivitas membuang limbah pencemar di laut.
Yang strategis antara lain Kepulauan Natuna untuk perairan Laut Cina Selatan, Kepulauan Sangihe-Talaud di utara Laut Sulawesi hingga perairan Samudera Pasifik serta Pulau Banyak, Mentawai dan Enggano di Samudera Hindia. Negara aktif mendorong peranan swasta nasional maupun BUMN/BUMD dengan insentif stimulus fiskal maupun moneter. Negara juga lebih mengutamakan pasar dalam negeri ketimbang ekspor sehingga mendukung kedaulatan pangan. Nantinya berdampak dalam menurunkan angka pengangguran di kota-kota besar karena dengan sendirinya mobilitas tenaga kerja antarpulau di sektor perikanan maupun penghelanya ikut meningkat.
Kelima, menggerakkan wisata bahari kepulauan dan pesisir yang memosisikan rakyat sebagai pelaku utama melalui koperasi hingga organisasi komunitas. Tak perlu melibatkan pihak asing atau lembaga internasional yang tak jelas motivasinya. Negara berperan memberi insentif (infrastruktur transportasi) serta kontrol maupun akses atas pulau kecil dan sumber daya sekitarnya berupa terumbu karang, ikan karang dan situs sejarah menyerupai reformasi agraria. Negara juga menyediakan aransemen kelembagaan (aturan main) dan pelatihan keterampilan bagi pelaku wisata. Pengelolaannya memosisikan rakyat sebagai pelaku dari hulu hingga hilir.
Gagasan ini dengan pelbagai kebijakan afirmatifnya setidaknya akan mampu menggerakkan ekonomi rakyat di sektor kelautan dan perikanan yang kini jauh dari panggang. Selain memang akibat masalah degradasi sumber daya (tangkap lebih), serbuan kapal asing terus-menerus, klimatologi yang tak menentu (perubahah iklim). Juga lahirnya instrumen hukum yang diskriminatif yang sekaligus meminggirkan nelayan tradisional (UU No 31 Tahun 2004 dan UU No 27 Tahun 2007) ikut menyumbang keterpurukan kelautan dan perikanan nasional hingga kini.
Penulis adalah Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim (PK2PM).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar