14 Mei, 2009

Kawasan Konservasi Berau Terancam

SAMARINDA, KOMPAS.com - Pemanfaatan sumber daya kelautan yang kurang lestari mengadang penyelamatan Kawasan Konservasi Laut Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Padahal kawasan tersebut merupakan salah satu tempat dengan keragaman hayati kelautan terbaik di dunia.

Demikian pandangan A Syafei Sidik selaku guru besar pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Mulawarman, Kota Samarinda. Dia dimintai pendapat seputar persoalan KKL Berau terkait Konferensi Kelautan Dunia di Manado, Sulawesi Utara, 11-15 Mei ini.

KKL Berau seluas 1,27 juta hektar ditetapkan lewat Peraturan Bupati Berau Nomor 31 Tahun 2005. Arealnya bagian dari jantung segitiga terumbu karang yang paling beragam dan paling produktif di dunia. Menurut sejumlah penelitian, di KKL Berau terdapat 444 jenis karang keras, 872 jenis ikan, 233 jenis algae, 16 jenis rumput laut, 33 jenis bakau, dan ubur-ubur endemik yang tidak bersengat. Di sana juga tempat hidup 22 jenis mamalia laut seperti dugong dan lumba-lumba, lima dari enam jenis penyu di dunia, dan area peteluran penyu hijau terbesar se-Asia Tenggara.

Semua itu menjadikan KKL Berau dinobatkan sebagai daerah dengan kekayaan hayati terbaik ketiga di dunia. Yang terkaya ialah Kepulauan Solomon. Urutan kedua ialah Raja Ampat di Papua Barat.

Tidak lestari

Namun, menurut Syafei, banyak aktivitas yang tidak lestari, seperti penangkapan ikan dengan pukat harimau atau trawl, racun, dan bom yang merusak ekosistem, masih terjadi. Masih dijumpai pula, meskipun cukup sulit, ialah penangkapan ikan memakai bagang dengan lampu bercahaya kuat. Cahaya akan menarik ikan-ikan yang besar dan kecil mendekat sehingga mudah ditangkap. “Pemakaian bagang dengan cahaya itu mengancam kelestarian,” katanya.

Masalah lainnya ialah pengambilan telur penyu dari Pulau Sangalaki dan Pulau Semama, kawasan perlindungan satwa yang terancam punah itu. Pengawasan dilakukan oleh pemerintah dan lembaga, tetapi belum maksimal. Telur-telur penyu itu bahkan diperdagangkan secara bebas di Samarinda, sekitar 500 kilometer dari Berau. “Meskipun sudah ada operasi berkali-kali, tetapi buktinya, penjual telur penyu masih ada,” kata Syafei.

Selain itu, muncul resor-resor terutama milik pengusaha mancanegara yang terkesan eksklusif bahkan menutup peluang usaha warga setempat.

Oleh sebab itu, menurut Syafei yang ikut menyusun rencana manajemen, perlu dibentuk badan pengelola KKL Berau yang berisi unsur pemerintah dan LSM-LSM yang saat ini masih bekerja sama. Lewat badan pengelola, kerja sama antarpihak diharapkan bisa maksimal.

“Namun, untuk modal badan pengelola melangkah, perlu disusun rencana strategis KKL Berau,” kata Syafei. KKL Berau, lanjut Syafei, sebaiknya dibagi-bagi dalam zona perlindungan dan pemanfaatan terbatas. Yang untuk perlindungan seperti Sangalaki, Kakaban, Semama, dan sejumlah lokasi perairan yang penting.

Pemanfaatan untuk pariwisata sehingga menghasilkan pemasukan bagi pemerintah dan warga, lanjut Syafei, sebaiknya tidak menganut prinsip turisme massal. Pulau-pulau seperti Derawan dan Maratua sebaiknya sekadar menjadi tempat untuk berkunjung menikmati panorama dan penyelaman. Sarana dan prasarana pariwisata sebaiknya dikonsentrasikan di Tanjung Batu, di daratan Pulau Kalimantan, sekitar 30 menit berperahu cepat dari Pulau Derawan.
BRO



Tidak ada komentar:

Posting Komentar