Oleh D Elcid Li
http://www.pos- kupang.com/ index.php? speak=i&content= file_detail& jenis=14& idnya=24077& detailnya= 1
Peneliti spesies manusia, anggota Forum Academia NTT (FAN), sedang
dikonservasi di Birmingham, Inggris
KETIKA pertama kali diteliti oleh perwakilan pemberi beasiswa (Ford
Foundation) tiga tahun lalu penulis ditanya, "Apa hal yang paling
berbeda antara di sini (Birmingham, Inggris) dan di Indonesia yang
mengagetkan Anda?" Saya menjawab, "Kalau di sini anjing yang obesitas
(kelebihan berat badan) ada program khusus untuk diet, menurunkan
berat badan, sedangkan di kampung bayi yang mati busung lapar tidak
ada yang peduli." Peneliti yang juga antropolog dari AS itu diam.
Mungkin ada yang ia pikirkan.
Cerita di atas seolah terulang kembali ketika membaca berita tentang
pecinta ikan paus dan program insitusi lingkungan global semacam WWF
(World Wild Fund) yang hendak membikin lokasi konservasi baru di Laut
Sawu, dan bingungnya nelayan Lamalera yang merasa terancam
penghidupannya.
Tulisan ini semata-mata mencoba mendudukkan di mana artinya manusia di
mata manusia lain dengan pandangan bahwa sejarah manusia itu berbeda
dan itu membuat pandangannya terhadap dunia pun beda. Alur tulisan ini
ada dalam alur anthropocentric. Argumentasi lanjutannya dalam
pandangan hidup di Indonesia dikenal dengan nama berdikari (berdiri di
atas kaki sendiri), atau dalam ulasan yang lebih memadai oleh Ivan
Illich (1973) disebut conviviality. Konsep ini coba dibuka untuk
melihat kembali kaitan antara intervensi lembaga lingkungan ini dan
implikasinya terhadap kemampuan berdikari masyarakat.
Pornografi WWF?
Kisah ini bermula dua tahun silam, ketika sejumlah wartawan takjub
meliput ada 'dermawan' yang memberikan kamera kepada warga pesisir di
Lamalera, di Pulau Lembata untuk merekam kehidupan mereka. Hasil
pengambilan gambar itu kemudian dibawa ke mana-mana untuk dipamerkan
oleh institusi pencinta satwa liar ini.
Sebagian orang di kalangan ini menyebut sebagai usaha penelitian
partisipatif. Menyertakan masyarakat dalam terlibat dalam project itu.
Tetapi, apakah benar begitu, kita yang tamu malah mengajak orang
setempat untuk terlibat? Kapan ada waktu untuk mengenal mereka, dan
keluar dari manual project yang dibawa, sehingga kita pun bisa
orisinil dan asli dalam bereaksi? Dan slogan partisipasi tak seperti
slogan orang yang hendak menyuntik serum tanpa perlu tahu apa
penyakit? Atau, kalau pun tak ada penyakit, tetap saja intervensi itu
harus dijalankan dengan asumsi bahwa yang sederhana dan berbeda itu
tetap keliru dan harus diperbaiki?
Pertanyaan-pertanya an itu ditunda dulu. Sejumlah warga di Lamalera
dilukiskan oleh para juru warta sibuk dan gembira menggunakan kamera
(pinjaman yang totalnya 50 biji) untuk mengambil gambar seisi
kehidupan mereka. Tapi dua minggu ini di akhir Bulan Maret 2009,
berita tentang embrio ide pelarangan perburuan ikan paus; maupun
setelah mendapat reaksi keras pihak pecinta ikan paus memberi
alibi/mengedit pesan menjadi: yang dilarang adalah perburuan ikan paus
tertentu dan yang sedang hamil. Dan seorang penelitinya berujar, "Ini
serupa dengan apa yang telah menjadi kearifan masyarakat lokal?"
Pertanyaan kepada para cerdik pandai ini, "Jikalau kearifan itu sama
dengan apa yang hendak kalian paparkan, lantas mengapa para orangtua
di kampung harus ketakutan?" Dan lagi, "Jikalau sama apa yang hendak
kalian bedakan dengan menambah peraturan ini?" Kalau pun para nelayan
Lamalera bukanlah target utama dari project WWF, mengapa intervensi
itu langsung diarahkan kepada mereka? Kalau memang nelayan dengan
kapal-kapal moderen yang menjadi target, kenapa kalian harus pergi ke
Lamalera?
Firasat dulu ketika membaca berita di atas itu ternyata terbukti,
kamera yang dipinjamkan kepada masyarakat adalah 'kuda troya' untuk
mempertontokan aurat kehidupan masyarakat ini. Singkat kata, air susu
dibalas dengan air tuba. Atau, dalam bahasa yang lebih tajam, para
kawan-kawan dari WWF tidak mengerti manusia dan lebih mengerti 'satwa
liar', sehingga tidak tahu mengucapkan kata 'terima kasih' dengan
pantas untuk kepercayaan masyarakat yang pernah menerima mereka dengan
suka cita. Sehingga hari-hari ini berita yang ada di media adalah
suara kebingungan orang kampung para nelayan pemburu ikan paus
tradisional yang dilakukan musiman.
Bagi para peneliti satwa liar dan para pegawainya. Lamalera hanyalah
tempat singgah sementara untuk sebuah project. Bahkan dalam pandangan
ilmuwan, ini cuma satu titik perjalanan kawanan ikan paus dalam
berenang mengarungi bumi. Sedangkan bagi orang Lamalera di laut inilah
tempat hidup mereka. Dua cara pandang yang berbeda, terkait dengan
diri (subyektivitas) .
Jika seorang ahli ikan paus bisa membedakan sekian species ikan paus,
maka izinkanlah kita bersama-sama mencoba membedakan species manusia
sebagai bentuk konkrit lanjutan dari tradisi berpengetahuan barat
mengikuti August Comte, perintis sosiologi di Paris. Tesis utama dari
pikiran ini, menurut saya: "Semua manusia sama di mata Tuhan, tetapi
setiap manusia tidak sama di mata manusia."
Perbedaan Species Manusia
Seorang ilmuwan yang meneliti ikan paus mungkin lebih mengenal ikan
paus dibanding mengenal species-nya yang sejenis: manusia, dengan
variasi warna kulit (pigmen) yang disebut ras, stratifikasi ekonomi
(kelas), maupun kumpulannya yang disebut bangsa, apalagi perbedaan
budaya tempatnya berpijak. Jika ikan paus bisa diamati perjalanannya
mengelilingi bumi dengan memasang tag, dan memantaunya lewat satelit,
maka untuk mengerti manusia aslinya jauh lebih kompleks, sudah pasti
kita tidak hanya berbicara ia sudah berenang/berjalan ke mana saja,
makan apa untuk bertahan hidup, dan apa yang ia maksudkan dengan
hidup.
Untuk itu menyamaratakan manusia dan ikan paus pun perlu dilihat dari
cara pandang yang berbeda. Bagi seorang pegawai lembaga lingkungan
internasional, kawasan konservasi seperti kebun binatang internasional
yang bisa ia kunjungi sesekali. Sedangkan bagi para nelayan Lamalera,
itulah hidup mereka.
Bicara soal budaya dan perangkat sosial di dalamnya tidak mungkin
dimengerti oleh para kaum kosmopolitan yang tak mengerti artinya
rumah. Para pegawai lembaga jenis ini masuk kampung dan bertemu
manusia lain seperti melihat makhluk eksotis, dan ketika bertemu
dengan manusia yang sama di ruang yang lain, ia pasti akan bertindak
berbeda dalam menyapa. Terasa benar bahwa: 'di mata manusia, manusia
lain tidaklah sama'.
Menikmati Pornografi Pengetahuan
Ketika gunung hilang dan sekian satwa hilang di Papua dimakan
Freeport, itu tidak pernah menjadi perhatian WWF, dan tidak pernah
dibicarakan di forum-forum resmi. Karena itu bagian dari modernitas.
Sebaliknya sejumlah satwa eksotis yang melintas perkampungan nelayan
menjadi perhatian. Jika WWF benar-benar ingin heroik membela satwa
tentu berpikir bahwa proyek-proyek tambang yang sudah diprotes sekian
aktivis tambang itu menyimpan persoalan. Karena persoalan tambang pun
menjadi persoalan di Lembata, karena mengancam aspek penghidupan
masyarakat setempat.
Sepertinya WWF meletakkan ini sebagai blind spot, dan tidak mau
belajar. Sebab konsep harmoni yang dimaksud WWF masih hanya dalam
dualisme manusia dengan binatang, sedangkan harmoni melibatkan manusia
dan manusia lain belum menjadi hitungan. Hal ini luput dalam kajian
karena epistemologi pengetahuan yang dipakai ada dalam langgam ilmu
alam.
Kehidupan orang moderen biasanya hanya satu jalur. Kalau ia ingin
menjadi pemain sepak bola maka ia hanya hidup dan disiapkan untuk
menjadi sepak bola. Begitu pun seorang peneliti ikan paus,
keintimannya pada ikan paus melebihi rasa sayangnya pada manusia. Ia
bisa jatuh cinta pada ikan paus dan melupakan keluarganya. Itu biasa.
Project pun bukan mengikuti arus laut, tetapi mengikuti arus uang.
Putaran ekonomi. Sebab itu para nelayan dari Lamalera tidak bisa
mengatur hidup orang di Eropa. Tetapi orang dari Eropa bisa datang dan
mengatur 'hidup' nelayan di Lamalera. Atau orang dari Lamalera tidak
bisa mengatur seorang aktivis lingkungan yang berumah di Jakarta.
Karena memang kita tidak sama. Untuk itu seorang ilmuwan pakar ikan
paus tentu harus lebih bisa bertanggung jawab ketika menyebut: 'sama
itu'. Apanya yang sama?
'Konservasi' ikan paus ini pun bisa dipandang sebagai ekspresi
'kegilaan' manusia moderen yang tidak mampu menemukan hidup (lagi).
Apakah dengan mengerti jalur perjalanan ikan paus di bumi, lantas Anda
lebih mengerti soal hidup? Dan peneliti itu menjawab, "Kami mengerti
hidup Anda karena sudah melihat seluruh gambar Anda." Maka
pertanyaannya pada peneliti, "Apakah kami ini kalian anggap seperti
ikan di dalam aquarium?"
Orang-orang yang melihat melihat manusia lain sebagai benda bukanlah
manusia, sehingga tidak perlu didengarkan. Cukup dimengerti saja.
Tetapi lain kali, siapa pun yang berbaik hati datang membawa
bantuan/memberikan fasilitas perlulah kita bertanya, "Ada maksud apa?"
Sebab saat ini yang baik itu makin jarang yang gratis. Itu bisa jadi
sekedar jerat, meletakkan kita dalam tata pengetahuannya dan dalam
piramida kuasa.
Ataukah para ahli ikan paus dan para aktivis WWF merasa lebih mengerti
manusia dengan bertanya pada ikan paus? "Bukankah ikah paus tidak
bisa berbicara?" Memang benar ikan paus tidak bisa berbicara, sehingga
'aku' kalianlah yang bicara, seolah-olah mengerti ikan paus, padahal
hanya mengerti diri sendiri.
Kenapa Harus Protes?
Dalam pandangan berdikari, setidaknya ada tiga alasan mengapa cara
kerja WWF perlu ditolak. Pertama, project WWF ini mengancam pola hidup
subsisten masyarakat laut Lamalera. Kedua, seharusnya sejak awal
agenda WWF perlu dibuka sehingga proses 'berpatner' ini tidak menjadi
arena penaklukan. Ketiga, metode partitipatif yang melibatkan
penggunaan alat bantu kamera sebagai bagian dalam visual method
seharusnya berpijak pada etika. Artinya, apakah Anda para pekerja LSM
WWF berkenan meng-expose cara Anda mencari makan, jika diberikan
kamera memotret interior hidup anda? Kenapa dalil private itu hanya
berlaku untuk anda? Tidak sama bukan?
Singkatnya, aktivis WWF terlalu menggampangkan persoalan ini dan hanya
berpatokan pada manual project pembentukan lokasi konservasi. Jika
lokasi konservasi sudah dibentuk, tentu ada aturan yang berlaku.
Aturan yang dimaksud disebut merupakan hasil kajian scientific. Apakah
benar bahwa supremasi scientific itu terhadap pengetahuan masyarakat
lokal itu benar?
Di titik ini, perbedaan pengetahuan antara pegawai WWF berbeda hingga
persoalan ontologis dan tidak menjadi perhatian pegawai WWF maupun
para ahli ikan paus itu. Ahli ikan paus hanya berpikir soal konservasi
ikan paus, tetapi tidak paham bahwa dalam sejarahnya baru pertama kali
ini masyarakat laut Lamalera ditaklukkan. Karena konservasi tentu akan
diikuti dengan 'mandor' pengontrol, yang berarti masuknya state
apparatus ke dalam masyarakat subsisten. Padahal dalam negara yang
hanya menjadi lokasi pasar dan sumber bahan baku, watak aparatnya pun
serupa dengan kutu busuk. Ini tidak menjadi keprihatinan, karena
fokusnya lebih pada ikan paus.
Di mata Tuhan kita adalah sama, sehingga para nelayan Lamalera tidak
lebih rendah daripada para aktivis WWF maupun ahli dari mana pun.
Sebab jarak tempuh manusia pada sang pencipta adalah sama dari mana
pun di bumi ini. Sehingga sistem kasta pengetahuan pun perlu dibuka
agar tidak porno. Di mata Tuhan pemberi hidup kita sama. Tetapi tidak
di mata manusia. Atas nama keyakinan pada Sang Pencipta, maka kita
berhak untuk berbicara tentang hidup kita. *
http://www.pos- kupang.com/ index.php? speak=i&content= file_detail& jenis=14& idnya=24077& detailnya= 1
Peneliti spesies manusia, anggota Forum Academia NTT (FAN), sedang
dikonservasi di Birmingham, Inggris
KETIKA pertama kali diteliti oleh perwakilan pemberi beasiswa (Ford
Foundation) tiga tahun lalu penulis ditanya, "Apa hal yang paling
berbeda antara di sini (Birmingham, Inggris) dan di Indonesia yang
mengagetkan Anda?" Saya menjawab, "Kalau di sini anjing yang obesitas
(kelebihan berat badan) ada program khusus untuk diet, menurunkan
berat badan, sedangkan di kampung bayi yang mati busung lapar tidak
ada yang peduli." Peneliti yang juga antropolog dari AS itu diam.
Mungkin ada yang ia pikirkan.
Cerita di atas seolah terulang kembali ketika membaca berita tentang
pecinta ikan paus dan program insitusi lingkungan global semacam WWF
(World Wild Fund) yang hendak membikin lokasi konservasi baru di Laut
Sawu, dan bingungnya nelayan Lamalera yang merasa terancam
penghidupannya.
Tulisan ini semata-mata mencoba mendudukkan di mana artinya manusia di
mata manusia lain dengan pandangan bahwa sejarah manusia itu berbeda
dan itu membuat pandangannya terhadap dunia pun beda. Alur tulisan ini
ada dalam alur anthropocentric. Argumentasi lanjutannya dalam
pandangan hidup di Indonesia dikenal dengan nama berdikari (berdiri di
atas kaki sendiri), atau dalam ulasan yang lebih memadai oleh Ivan
Illich (1973) disebut conviviality. Konsep ini coba dibuka untuk
melihat kembali kaitan antara intervensi lembaga lingkungan ini dan
implikasinya terhadap kemampuan berdikari masyarakat.
Pornografi WWF?
Kisah ini bermula dua tahun silam, ketika sejumlah wartawan takjub
meliput ada 'dermawan' yang memberikan kamera kepada warga pesisir di
Lamalera, di Pulau Lembata untuk merekam kehidupan mereka. Hasil
pengambilan gambar itu kemudian dibawa ke mana-mana untuk dipamerkan
oleh institusi pencinta satwa liar ini.
Sebagian orang di kalangan ini menyebut sebagai usaha penelitian
partisipatif. Menyertakan masyarakat dalam terlibat dalam project itu.
Tetapi, apakah benar begitu, kita yang tamu malah mengajak orang
setempat untuk terlibat? Kapan ada waktu untuk mengenal mereka, dan
keluar dari manual project yang dibawa, sehingga kita pun bisa
orisinil dan asli dalam bereaksi? Dan slogan partisipasi tak seperti
slogan orang yang hendak menyuntik serum tanpa perlu tahu apa
penyakit? Atau, kalau pun tak ada penyakit, tetap saja intervensi itu
harus dijalankan dengan asumsi bahwa yang sederhana dan berbeda itu
tetap keliru dan harus diperbaiki?
Pertanyaan-pertanya an itu ditunda dulu. Sejumlah warga di Lamalera
dilukiskan oleh para juru warta sibuk dan gembira menggunakan kamera
(pinjaman yang totalnya 50 biji) untuk mengambil gambar seisi
kehidupan mereka. Tapi dua minggu ini di akhir Bulan Maret 2009,
berita tentang embrio ide pelarangan perburuan ikan paus; maupun
setelah mendapat reaksi keras pihak pecinta ikan paus memberi
alibi/mengedit pesan menjadi: yang dilarang adalah perburuan ikan paus
tertentu dan yang sedang hamil. Dan seorang penelitinya berujar, "Ini
serupa dengan apa yang telah menjadi kearifan masyarakat lokal?"
Pertanyaan kepada para cerdik pandai ini, "Jikalau kearifan itu sama
dengan apa yang hendak kalian paparkan, lantas mengapa para orangtua
di kampung harus ketakutan?" Dan lagi, "Jikalau sama apa yang hendak
kalian bedakan dengan menambah peraturan ini?" Kalau pun para nelayan
Lamalera bukanlah target utama dari project WWF, mengapa intervensi
itu langsung diarahkan kepada mereka? Kalau memang nelayan dengan
kapal-kapal moderen yang menjadi target, kenapa kalian harus pergi ke
Lamalera?
Firasat dulu ketika membaca berita di atas itu ternyata terbukti,
kamera yang dipinjamkan kepada masyarakat adalah 'kuda troya' untuk
mempertontokan aurat kehidupan masyarakat ini. Singkat kata, air susu
dibalas dengan air tuba. Atau, dalam bahasa yang lebih tajam, para
kawan-kawan dari WWF tidak mengerti manusia dan lebih mengerti 'satwa
liar', sehingga tidak tahu mengucapkan kata 'terima kasih' dengan
pantas untuk kepercayaan masyarakat yang pernah menerima mereka dengan
suka cita. Sehingga hari-hari ini berita yang ada di media adalah
suara kebingungan orang kampung para nelayan pemburu ikan paus
tradisional yang dilakukan musiman.
Bagi para peneliti satwa liar dan para pegawainya. Lamalera hanyalah
tempat singgah sementara untuk sebuah project. Bahkan dalam pandangan
ilmuwan, ini cuma satu titik perjalanan kawanan ikan paus dalam
berenang mengarungi bumi. Sedangkan bagi orang Lamalera di laut inilah
tempat hidup mereka. Dua cara pandang yang berbeda, terkait dengan
diri (subyektivitas) .
Jika seorang ahli ikan paus bisa membedakan sekian species ikan paus,
maka izinkanlah kita bersama-sama mencoba membedakan species manusia
sebagai bentuk konkrit lanjutan dari tradisi berpengetahuan barat
mengikuti August Comte, perintis sosiologi di Paris. Tesis utama dari
pikiran ini, menurut saya: "Semua manusia sama di mata Tuhan, tetapi
setiap manusia tidak sama di mata manusia."
Perbedaan Species Manusia
Seorang ilmuwan yang meneliti ikan paus mungkin lebih mengenal ikan
paus dibanding mengenal species-nya yang sejenis: manusia, dengan
variasi warna kulit (pigmen) yang disebut ras, stratifikasi ekonomi
(kelas), maupun kumpulannya yang disebut bangsa, apalagi perbedaan
budaya tempatnya berpijak. Jika ikan paus bisa diamati perjalanannya
mengelilingi bumi dengan memasang tag, dan memantaunya lewat satelit,
maka untuk mengerti manusia aslinya jauh lebih kompleks, sudah pasti
kita tidak hanya berbicara ia sudah berenang/berjalan ke mana saja,
makan apa untuk bertahan hidup, dan apa yang ia maksudkan dengan
hidup.
Untuk itu menyamaratakan manusia dan ikan paus pun perlu dilihat dari
cara pandang yang berbeda. Bagi seorang pegawai lembaga lingkungan
internasional, kawasan konservasi seperti kebun binatang internasional
yang bisa ia kunjungi sesekali. Sedangkan bagi para nelayan Lamalera,
itulah hidup mereka.
Bicara soal budaya dan perangkat sosial di dalamnya tidak mungkin
dimengerti oleh para kaum kosmopolitan yang tak mengerti artinya
rumah. Para pegawai lembaga jenis ini masuk kampung dan bertemu
manusia lain seperti melihat makhluk eksotis, dan ketika bertemu
dengan manusia yang sama di ruang yang lain, ia pasti akan bertindak
berbeda dalam menyapa. Terasa benar bahwa: 'di mata manusia, manusia
lain tidaklah sama'.
Menikmati Pornografi Pengetahuan
Ketika gunung hilang dan sekian satwa hilang di Papua dimakan
Freeport, itu tidak pernah menjadi perhatian WWF, dan tidak pernah
dibicarakan di forum-forum resmi. Karena itu bagian dari modernitas.
Sebaliknya sejumlah satwa eksotis yang melintas perkampungan nelayan
menjadi perhatian. Jika WWF benar-benar ingin heroik membela satwa
tentu berpikir bahwa proyek-proyek tambang yang sudah diprotes sekian
aktivis tambang itu menyimpan persoalan. Karena persoalan tambang pun
menjadi persoalan di Lembata, karena mengancam aspek penghidupan
masyarakat setempat.
Sepertinya WWF meletakkan ini sebagai blind spot, dan tidak mau
belajar. Sebab konsep harmoni yang dimaksud WWF masih hanya dalam
dualisme manusia dengan binatang, sedangkan harmoni melibatkan manusia
dan manusia lain belum menjadi hitungan. Hal ini luput dalam kajian
karena epistemologi pengetahuan yang dipakai ada dalam langgam ilmu
alam.
Kehidupan orang moderen biasanya hanya satu jalur. Kalau ia ingin
menjadi pemain sepak bola maka ia hanya hidup dan disiapkan untuk
menjadi sepak bola. Begitu pun seorang peneliti ikan paus,
keintimannya pada ikan paus melebihi rasa sayangnya pada manusia. Ia
bisa jatuh cinta pada ikan paus dan melupakan keluarganya. Itu biasa.
Project pun bukan mengikuti arus laut, tetapi mengikuti arus uang.
Putaran ekonomi. Sebab itu para nelayan dari Lamalera tidak bisa
mengatur hidup orang di Eropa. Tetapi orang dari Eropa bisa datang dan
mengatur 'hidup' nelayan di Lamalera. Atau orang dari Lamalera tidak
bisa mengatur seorang aktivis lingkungan yang berumah di Jakarta.
Karena memang kita tidak sama. Untuk itu seorang ilmuwan pakar ikan
paus tentu harus lebih bisa bertanggung jawab ketika menyebut: 'sama
itu'. Apanya yang sama?
'Konservasi' ikan paus ini pun bisa dipandang sebagai ekspresi
'kegilaan' manusia moderen yang tidak mampu menemukan hidup (lagi).
Apakah dengan mengerti jalur perjalanan ikan paus di bumi, lantas Anda
lebih mengerti soal hidup? Dan peneliti itu menjawab, "Kami mengerti
hidup Anda karena sudah melihat seluruh gambar Anda." Maka
pertanyaannya pada peneliti, "Apakah kami ini kalian anggap seperti
ikan di dalam aquarium?"
Orang-orang yang melihat melihat manusia lain sebagai benda bukanlah
manusia, sehingga tidak perlu didengarkan. Cukup dimengerti saja.
Tetapi lain kali, siapa pun yang berbaik hati datang membawa
bantuan/memberikan fasilitas perlulah kita bertanya, "Ada maksud apa?"
Sebab saat ini yang baik itu makin jarang yang gratis. Itu bisa jadi
sekedar jerat, meletakkan kita dalam tata pengetahuannya dan dalam
piramida kuasa.
Ataukah para ahli ikan paus dan para aktivis WWF merasa lebih mengerti
manusia dengan bertanya pada ikan paus? "Bukankah ikah paus tidak
bisa berbicara?" Memang benar ikan paus tidak bisa berbicara, sehingga
'aku' kalianlah yang bicara, seolah-olah mengerti ikan paus, padahal
hanya mengerti diri sendiri.
Kenapa Harus Protes?
Dalam pandangan berdikari, setidaknya ada tiga alasan mengapa cara
kerja WWF perlu ditolak. Pertama, project WWF ini mengancam pola hidup
subsisten masyarakat laut Lamalera. Kedua, seharusnya sejak awal
agenda WWF perlu dibuka sehingga proses 'berpatner' ini tidak menjadi
arena penaklukan. Ketiga, metode partitipatif yang melibatkan
penggunaan alat bantu kamera sebagai bagian dalam visual method
seharusnya berpijak pada etika. Artinya, apakah Anda para pekerja LSM
WWF berkenan meng-expose cara Anda mencari makan, jika diberikan
kamera memotret interior hidup anda? Kenapa dalil private itu hanya
berlaku untuk anda? Tidak sama bukan?
Singkatnya, aktivis WWF terlalu menggampangkan persoalan ini dan hanya
berpatokan pada manual project pembentukan lokasi konservasi. Jika
lokasi konservasi sudah dibentuk, tentu ada aturan yang berlaku.
Aturan yang dimaksud disebut merupakan hasil kajian scientific. Apakah
benar bahwa supremasi scientific itu terhadap pengetahuan masyarakat
lokal itu benar?
Di titik ini, perbedaan pengetahuan antara pegawai WWF berbeda hingga
persoalan ontologis dan tidak menjadi perhatian pegawai WWF maupun
para ahli ikan paus itu. Ahli ikan paus hanya berpikir soal konservasi
ikan paus, tetapi tidak paham bahwa dalam sejarahnya baru pertama kali
ini masyarakat laut Lamalera ditaklukkan. Karena konservasi tentu akan
diikuti dengan 'mandor' pengontrol, yang berarti masuknya state
apparatus ke dalam masyarakat subsisten. Padahal dalam negara yang
hanya menjadi lokasi pasar dan sumber bahan baku, watak aparatnya pun
serupa dengan kutu busuk. Ini tidak menjadi keprihatinan, karena
fokusnya lebih pada ikan paus.
Di mata Tuhan kita adalah sama, sehingga para nelayan Lamalera tidak
lebih rendah daripada para aktivis WWF maupun ahli dari mana pun.
Sebab jarak tempuh manusia pada sang pencipta adalah sama dari mana
pun di bumi ini. Sehingga sistem kasta pengetahuan pun perlu dibuka
agar tidak porno. Di mata Tuhan pemberi hidup kita sama. Tetapi tidak
di mata manusia. Atas nama keyakinan pada Sang Pencipta, maka kita
berhak untuk berbicara tentang hidup kita. *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar