“Kajian United Nations Environment Programme (UNEP) Badan Program Lingkungan Hidup PBB menyatakan bahwa sekitar 2,6 milyar orang menggantungkan pemenuhan proteinnya kepada konsumsi ikan” pada hal komposisi global warming, over fishing, dan polusi bisa menimbulkan ambruknya cadangan ikan dunia, lalu bagaimana pasar global?
Mulai dari sistem rantai dingin
Sektor perikanan memang unik, sifat karakteristik yang tidak dimiliki sektor lain perlu pendekatan tersendiri dalam mengatasi permasalahannya, misal sifat ikan yang mudah rusak (perishable) perlu handling khusus agar tetap segar sampai konsumen; tahun 1970-an dikenal dengan kebijakan cold chain system (sistem rantai dingin). Pemerintah waktu itu berusaha memfasilitasi produsen dalam menciptakan harga yang kompetitif, sedangkan kepada konsumen diberikan jaminan memperoleh produk perikanan dalam keadaan tetap segar. Dalam pada itu, dampak perkembangan teknologi maupun pertumbuhan ekonomi dunia semakin meningkatkan kesadaran konsumen akan kesehatan, bahkan tidak hanya dalam keadaan sebagai produk akhir, tetapi justru sejak dari bahan baku, diolah, sampai ke distribusi harus dalam mutu yang baik. Bertitik tolak dari tuntutan tersebut beberapa negara pengimpor mengeluarkan ketentuan yang sifatnya melindungi konsumen; misal Quality Management Programme (QMP) di Canada, ISO-9000 Organization for International Standard, dan Hazard Analysis Critical Control Points (HACCP) yang diterapkan di Amerika Serikat.
HACCP adalah suatu sistem pencegahan dalam pengawasan makanan didasarkan pendekatan sistematika menentukan titik-titik kritis dan pengawasan; serta dititik beratkan pada masalah lingkungan; pelaksanaannya membutuhkan peranserta pemerintah dan pihak industri. Sistem kontrol dan pencegahan didasarkan atas identifikasi titik-titik kritis (critical point) di dalam tahapan pengolahan dimana kegagalan dapat menyebabkan kerugian/bahaya/ hazard. Dalam pengertian sehari-hari pengawasan mutu berdasarkan HACCP adalah mengawasi semua CCP secara terus menerus dan berkesinambungan’ konsepnya bahwa hal-hal yang dapat membahayakan keamanan, keselamatan dan yang merugikan konsumen dianalisa dan diidentifikasi mulai dari bahan baku, selama dalam tahap proses pengolahan, pengepakan, penyimpanan, bahkan sampai distribusi. Sistem ini untuk pertama kalinya diadopsi dengan dikeluarkannya Kep.Mentan No. 41/Kpts/ IK.210/2/98 tentang Sistem Manajemen Mutu Terpadu Hasil Perikanan; merupakan salah satu upaya melindungi konsumen.
Isu pasar produk perikanan
Selama berabad-abad ekstraksi sumber daya ikan (SDI) menjadi sumber ketahanan pangan, penghidupan dan budaya masyarakat kelautan dan pesisir. Kini ikan menjadi komoditas penting dunia; manusia di planet bumi ini lebih banyak mengonsumsi ikan dari pada protein hewani lain. Permintaan produk perikanan meningkat dua kali lipat selama 30 tahun terakhir dan diproyeksikan akan terus meningkat dengan rata-rata 1,5% per tahun sampai tahun 2020. Pengelolaan SDI di era globalisasi bukan hanya menjadi masalah nasional, tetapi sudah mendunia jika dilihat makin meningkatnya secara signifikan perdagangan internasional produk perikanan selama dua dekade terakhir. Kontribusi negara berkembang terhadap ekspor perikanan global meningkat dari 10% menjadi 50% antara tahun 1980-an sampai 2000-an; sementara negara maju masih mendominasi impor yang saat ini menguasai hampir 80% impor dunia.
World Trade Organization (WTO) satu-satunya organisasi yang berkiprah dalam pengaturan perdagangan antar negara; termasuk produk perikanan. Secara terintegrasi dan disetujui negara anggota menjamin perdagangan internasional berjalan lancar, predictable, dan bebas. Namun demikian keputusan/aturan yang dikeluarkan sering dianggap mendiskreditkan negara pengekspor produk perikanan dan hanya untuk kepentingan negara maju. Misal dalam pertemuan WTO ke-4 di Doha, Qatar; dengan “Doha Declaration” nya merupakan “turning point” mencakup isu-isu krusial pembangunan perikanan dan kaitannya dengan perdagangan internasional produk perikanan. Isu yang menyangkut perbaikan akses pasar, subsidi, dan environmental labelling; menjadi dilema pada negara berkembang. Khususnya eco-labelling, sudah lama menjadi keprihatinan negara berkembang; menganggap WTO melakukan standar yang tidak fair, sehingga komunitas dunia mengkritiknya sebagai green washing atau eco-imperialism seperti dikatakan DR.Ahmad Fauzi (2005). Dalam kaitan ini ekspor produk perikanan Indonesia juga pernah mengalami ketidak adilan standar ini, dimana ekspor udang maupun ikan tuna ke negara maju sering ditolak dengan alasan tidak memenuhi standar. Apa boleh buat, mau tidak mau, suka tidak suka, maka selaku “negara produsen” yang butuh produknya laku tentu saja harus memenuhi kehendak konsumen.
Menyangkut masalah lingkungan, sebagai contoh di China misalnya, sepanjang pesisir Yellow Sea tidak kurang dari 50-60 juta ton limbah per tahun di buang ke perairan itu. Teluk Valparaiso, Chili tidak kurang dari 244 juta ton limbah industri di tampung di teluk yang sempit. Dalam pada itu, data Unesco menyebutkan Teluk Jakarta menerima tidak kurang dari 600 juta meter kubik limbah per tahun; sehingga menjadikannya sebagai salah satu teluk yang paling tercemar di dunia. Kondisi semacam ini merupakan signal lampu merah dan perlu disikapi secara serius oleh negara pengekspor produk perikananbberkaitan masalah lingkungan. Sebab bisa saja terjadi akibat kondisi lingkungan yang kurang kondusif akan berbuntut ditolaknya produk perikanan masuk pasar global. Rupanya tidak bisa ditawar lagi, bahwa produk perikanan harus berasal dari lingkungan yang “bersih/sehat” dan tidak berdampak negatif terhadap jaminan mutu dan keamanan konsumen. Shiva (2000) mengutarakan bagaimana “kegilaan” negara berkembang mengekspor produk laut bernilai tinggi seperti udang yang justru memicu kerusakan lingkungan kawasan pesisir akibat perluasan tambak yang tidak terkendali; berdampak pula terhadap tingkat pencemaran sangat tinggi; jelas bertentangan dengan Code of Conduct for Responsible Fisheries, (CCRF) yaitu etika pengelolaan perikanan bertanggung jawab.
Studi World Fish Center (2005) mengenai proyeksi suplai dan demand produk perikanan di pasar global sampai tahun 2020, akan terjadi hal yang mendasar pada perdagangan krustase; termasuk udang. Bahwa pasar Amerika Utara dan negara-negara berkembang lainnya akan menjadi “net importer” udang. Proyeksi ini menunjukkan bahwa perdagangan udang akan bergeser dari south to north ke south to south. Jadi kenapa kita harus mengkhawatirkan pasar Amerika, kalau potensi pasar di Asia dan domestik masih terbuka; ini yang sering diabaikan; ke depan kita bisa kecolongan oleh kesiapan negara Asia lainnya jika kita mengabaikan potensi pasar tersebut.
Kesejarahan Thailand patut dipakai acuan; walau sebelumnya tidak memiliki industri pengalengan tuna ternyata akhir tahun 1980-an industri tuna melampaui Philipina (Fauzi Ahmad,2005); hampir 90% bahan baku industri tersebut diimpor dari Indonesia dan Philipina. Nilai yang dapat dipetik bahwa industri perikanan bisa bangkit apabila ditunjang produk yang kompetitif dan effisien secara ekonomis. Jika industri sudah kompetitif, dengan market forces, maka dengan sendirinya produk akan diminati pasar domestik maupun internasional. Pemerintah menerbitkan Per.Men.Kelautan dan Perikanan No.PER.05/MEN/2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap, menggantikan PER.17/MEN/2006 sebagai salah satu instrumen mempercepat industri pengolahan di Indonesia. Yang lebih penting adalah bagaimana membenahi industri perikanan dalam negeri; kejatuhan industri perikanan lebih disebabkan keputusan pengusaha perikanan yang hanya melihat jangka pendek semata, tanpa memikirkan stabilitas usaha jangka panjang. Kesinambungan pasokan bahan baku adalah faktor kunci untuk tumbuh dan berkembangnya industri pengolahan; sehingga jangan sampai SDI dikuras habis hanya untuk mengejar keuntungan; tetapi yang lebih penting adalah tindak konservasi dan rehabilitasi harus mengiringi pengelolaan dan pemanfaatan SDI yang rasional.
Sertifikasi paspor global
Penahanan/ penolakan produk perikanan menjadikan satu pelajaran negara pengekspor termasuk Indonesia agar siap mengantisipasi setiap perubahan peraturan perdagangan internasional. Hal ini sebagai upaya mempertahankan akses pasar internasional yang semakin kompetitif dengan banyaknya pesaing yang tampil, seperti Vietnam, Republik Rakyat Cina, dan negara-negara Eropa Timur serta terbentuknya Asean Free Trade Area (AFTA), North America Free Trade Area (NAFTA), Uni Eropa dan lain-lain. Mengantisipasinya, Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan beberapa kebijakan antara lain tentang Pengendalian Sistem jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan, Persyaratan Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan Pada Proses Produksi, Pengolahan dan Distribusi, Monitoring Residu Obat, Bahan Kimia, Bahan Biologi, dan Kontaminan Pada Pembudidayaan Ikan, Persyaratan Cara Budidaya Ikan Yang Baik. Dan secara lebih operasional Dirjen. Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan mengeluarkan peraturan tentang Operasionalisasi Pengendalian Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan.
Pengejawantahan atas kebijakan pemerintah tersebut telah dibentuk Competent Authority/CA (Otoritas Kompeten) yang berfungsi sebagai pengendali penerapan sistem jaminan mutu dan keamanan produk perikanan sekaligus mengawal mutunya sesuai persyaratan, dalam membentengi terulangnya embargo produk perikanan. CA tentu saja akan menerapkan menejemen mutu berdasarkan ISO-9000 : 2000. Sertifikasi ISO-9000 :2000 terhadap sistem manajemen mutu merupakan “paspor global” untuk memasuki pintu gerbang perdagangan internasional. Dalam kaitan ini CA akan memiliki sistem manejemen yang diakui internasional, sehingga pada gilirannya mampu menjawab tantangan peraturan perdagangan dunia.
Ke depan, dalam situasi dunia seperti sekarang ini memang sudah saatnya kita berbenah diri agar supaya tetap mengambil bagian di pasar global. Sebagai negara tropis, keuntungan yang diperoleh adalah beragamnya keaneka ragaman hayati laut yang mempunyainilai ekonomis penting. Meningkatnya permintaan dan semakin ketatnya persaingan akan mendorong setiap negara meningkatkan kualitas mutunya sehingga apat bersaing di pasar global. Kita tidak boleh hanya mengandalkan pasar ekspor tradisional seperti Amerika dan Jepang akan tetapi strategi mega marketing, harus ditempuh dengan membuka pasar lebih luas. Kedepankan real quality, yakni kualitas yang menjadi kehendak konsumen yaitu produk perikanan dengan kualitas terbaik; dan yang tidak kalah pentingnya adalah cara berproduksi super effisien, yaitu menekan biaya yang paling murah, menekan biaya produksi sedemiian rupa sehingga terwujud harga jual yang murah.
Kebijakan dan peraturan sudah disiapkan, dituntut kesiapan para stakeholders melaksanakan jika tidak ingin ketinggalan kereta menerobos pasar global yang penuh dengan tantangan dan persaingan. Sebagai suatu bentuk kebijakan publik, tentu saja pemerintah tidak akan menjerumuskan rakyat, tetapi sebaliknya akan melindunginya. Dengan pengalaman di embargo negara maju; penulis ingin menyitir artikel dalam jurnal Fish and Fisheries (2005), ditulis oleh Smith dengan judul yang provokatif yaitu “Autopsy your dead and living : a proposal for fisheries science, fisheries management and fisheries” yaitu membedah akar permasalahan dan kebijakan berbasis kegagalan masa lalu; wawasan ini patut untuk bahan renungan para pembuat kebijakan jangan sampai terperosok kedua kali.
Penulis ::
Djoko Tribawono
Alumnus Perikanan UGM Tahun 1969
Dosen (LB) Fak.Perikanan dan Kelautan-UNAIR
Mulai dari sistem rantai dingin
Sektor perikanan memang unik, sifat karakteristik yang tidak dimiliki sektor lain perlu pendekatan tersendiri dalam mengatasi permasalahannya, misal sifat ikan yang mudah rusak (perishable) perlu handling khusus agar tetap segar sampai konsumen; tahun 1970-an dikenal dengan kebijakan cold chain system (sistem rantai dingin). Pemerintah waktu itu berusaha memfasilitasi produsen dalam menciptakan harga yang kompetitif, sedangkan kepada konsumen diberikan jaminan memperoleh produk perikanan dalam keadaan tetap segar. Dalam pada itu, dampak perkembangan teknologi maupun pertumbuhan ekonomi dunia semakin meningkatkan kesadaran konsumen akan kesehatan, bahkan tidak hanya dalam keadaan sebagai produk akhir, tetapi justru sejak dari bahan baku, diolah, sampai ke distribusi harus dalam mutu yang baik. Bertitik tolak dari tuntutan tersebut beberapa negara pengimpor mengeluarkan ketentuan yang sifatnya melindungi konsumen; misal Quality Management Programme (QMP) di Canada, ISO-9000 Organization for International Standard, dan Hazard Analysis Critical Control Points (HACCP) yang diterapkan di Amerika Serikat.
HACCP adalah suatu sistem pencegahan dalam pengawasan makanan didasarkan pendekatan sistematika menentukan titik-titik kritis dan pengawasan; serta dititik beratkan pada masalah lingkungan; pelaksanaannya membutuhkan peranserta pemerintah dan pihak industri. Sistem kontrol dan pencegahan didasarkan atas identifikasi titik-titik kritis (critical point) di dalam tahapan pengolahan dimana kegagalan dapat menyebabkan kerugian/bahaya/ hazard. Dalam pengertian sehari-hari pengawasan mutu berdasarkan HACCP adalah mengawasi semua CCP secara terus menerus dan berkesinambungan’ konsepnya bahwa hal-hal yang dapat membahayakan keamanan, keselamatan dan yang merugikan konsumen dianalisa dan diidentifikasi mulai dari bahan baku, selama dalam tahap proses pengolahan, pengepakan, penyimpanan, bahkan sampai distribusi. Sistem ini untuk pertama kalinya diadopsi dengan dikeluarkannya Kep.Mentan No. 41/Kpts/ IK.210/2/98 tentang Sistem Manajemen Mutu Terpadu Hasil Perikanan; merupakan salah satu upaya melindungi konsumen.
Isu pasar produk perikanan
Selama berabad-abad ekstraksi sumber daya ikan (SDI) menjadi sumber ketahanan pangan, penghidupan dan budaya masyarakat kelautan dan pesisir. Kini ikan menjadi komoditas penting dunia; manusia di planet bumi ini lebih banyak mengonsumsi ikan dari pada protein hewani lain. Permintaan produk perikanan meningkat dua kali lipat selama 30 tahun terakhir dan diproyeksikan akan terus meningkat dengan rata-rata 1,5% per tahun sampai tahun 2020. Pengelolaan SDI di era globalisasi bukan hanya menjadi masalah nasional, tetapi sudah mendunia jika dilihat makin meningkatnya secara signifikan perdagangan internasional produk perikanan selama dua dekade terakhir. Kontribusi negara berkembang terhadap ekspor perikanan global meningkat dari 10% menjadi 50% antara tahun 1980-an sampai 2000-an; sementara negara maju masih mendominasi impor yang saat ini menguasai hampir 80% impor dunia.
World Trade Organization (WTO) satu-satunya organisasi yang berkiprah dalam pengaturan perdagangan antar negara; termasuk produk perikanan. Secara terintegrasi dan disetujui negara anggota menjamin perdagangan internasional berjalan lancar, predictable, dan bebas. Namun demikian keputusan/aturan yang dikeluarkan sering dianggap mendiskreditkan negara pengekspor produk perikanan dan hanya untuk kepentingan negara maju. Misal dalam pertemuan WTO ke-4 di Doha, Qatar; dengan “Doha Declaration” nya merupakan “turning point” mencakup isu-isu krusial pembangunan perikanan dan kaitannya dengan perdagangan internasional produk perikanan. Isu yang menyangkut perbaikan akses pasar, subsidi, dan environmental labelling; menjadi dilema pada negara berkembang. Khususnya eco-labelling, sudah lama menjadi keprihatinan negara berkembang; menganggap WTO melakukan standar yang tidak fair, sehingga komunitas dunia mengkritiknya sebagai green washing atau eco-imperialism seperti dikatakan DR.Ahmad Fauzi (2005). Dalam kaitan ini ekspor produk perikanan Indonesia juga pernah mengalami ketidak adilan standar ini, dimana ekspor udang maupun ikan tuna ke negara maju sering ditolak dengan alasan tidak memenuhi standar. Apa boleh buat, mau tidak mau, suka tidak suka, maka selaku “negara produsen” yang butuh produknya laku tentu saja harus memenuhi kehendak konsumen.
Menyangkut masalah lingkungan, sebagai contoh di China misalnya, sepanjang pesisir Yellow Sea tidak kurang dari 50-60 juta ton limbah per tahun di buang ke perairan itu. Teluk Valparaiso, Chili tidak kurang dari 244 juta ton limbah industri di tampung di teluk yang sempit. Dalam pada itu, data Unesco menyebutkan Teluk Jakarta menerima tidak kurang dari 600 juta meter kubik limbah per tahun; sehingga menjadikannya sebagai salah satu teluk yang paling tercemar di dunia. Kondisi semacam ini merupakan signal lampu merah dan perlu disikapi secara serius oleh negara pengekspor produk perikananbberkaitan masalah lingkungan. Sebab bisa saja terjadi akibat kondisi lingkungan yang kurang kondusif akan berbuntut ditolaknya produk perikanan masuk pasar global. Rupanya tidak bisa ditawar lagi, bahwa produk perikanan harus berasal dari lingkungan yang “bersih/sehat” dan tidak berdampak negatif terhadap jaminan mutu dan keamanan konsumen. Shiva (2000) mengutarakan bagaimana “kegilaan” negara berkembang mengekspor produk laut bernilai tinggi seperti udang yang justru memicu kerusakan lingkungan kawasan pesisir akibat perluasan tambak yang tidak terkendali; berdampak pula terhadap tingkat pencemaran sangat tinggi; jelas bertentangan dengan Code of Conduct for Responsible Fisheries, (CCRF) yaitu etika pengelolaan perikanan bertanggung jawab.
Studi World Fish Center (2005) mengenai proyeksi suplai dan demand produk perikanan di pasar global sampai tahun 2020, akan terjadi hal yang mendasar pada perdagangan krustase; termasuk udang. Bahwa pasar Amerika Utara dan negara-negara berkembang lainnya akan menjadi “net importer” udang. Proyeksi ini menunjukkan bahwa perdagangan udang akan bergeser dari south to north ke south to south. Jadi kenapa kita harus mengkhawatirkan pasar Amerika, kalau potensi pasar di Asia dan domestik masih terbuka; ini yang sering diabaikan; ke depan kita bisa kecolongan oleh kesiapan negara Asia lainnya jika kita mengabaikan potensi pasar tersebut.
Kesejarahan Thailand patut dipakai acuan; walau sebelumnya tidak memiliki industri pengalengan tuna ternyata akhir tahun 1980-an industri tuna melampaui Philipina (Fauzi Ahmad,2005); hampir 90% bahan baku industri tersebut diimpor dari Indonesia dan Philipina. Nilai yang dapat dipetik bahwa industri perikanan bisa bangkit apabila ditunjang produk yang kompetitif dan effisien secara ekonomis. Jika industri sudah kompetitif, dengan market forces, maka dengan sendirinya produk akan diminati pasar domestik maupun internasional. Pemerintah menerbitkan Per.Men.Kelautan dan Perikanan No.PER.05/MEN/2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap, menggantikan PER.17/MEN/2006 sebagai salah satu instrumen mempercepat industri pengolahan di Indonesia. Yang lebih penting adalah bagaimana membenahi industri perikanan dalam negeri; kejatuhan industri perikanan lebih disebabkan keputusan pengusaha perikanan yang hanya melihat jangka pendek semata, tanpa memikirkan stabilitas usaha jangka panjang. Kesinambungan pasokan bahan baku adalah faktor kunci untuk tumbuh dan berkembangnya industri pengolahan; sehingga jangan sampai SDI dikuras habis hanya untuk mengejar keuntungan; tetapi yang lebih penting adalah tindak konservasi dan rehabilitasi harus mengiringi pengelolaan dan pemanfaatan SDI yang rasional.
Sertifikasi paspor global
Penahanan/ penolakan produk perikanan menjadikan satu pelajaran negara pengekspor termasuk Indonesia agar siap mengantisipasi setiap perubahan peraturan perdagangan internasional. Hal ini sebagai upaya mempertahankan akses pasar internasional yang semakin kompetitif dengan banyaknya pesaing yang tampil, seperti Vietnam, Republik Rakyat Cina, dan negara-negara Eropa Timur serta terbentuknya Asean Free Trade Area (AFTA), North America Free Trade Area (NAFTA), Uni Eropa dan lain-lain. Mengantisipasinya, Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan beberapa kebijakan antara lain tentang Pengendalian Sistem jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan, Persyaratan Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan Pada Proses Produksi, Pengolahan dan Distribusi, Monitoring Residu Obat, Bahan Kimia, Bahan Biologi, dan Kontaminan Pada Pembudidayaan Ikan, Persyaratan Cara Budidaya Ikan Yang Baik. Dan secara lebih operasional Dirjen. Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan mengeluarkan peraturan tentang Operasionalisasi Pengendalian Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan.
Pengejawantahan atas kebijakan pemerintah tersebut telah dibentuk Competent Authority/CA (Otoritas Kompeten) yang berfungsi sebagai pengendali penerapan sistem jaminan mutu dan keamanan produk perikanan sekaligus mengawal mutunya sesuai persyaratan, dalam membentengi terulangnya embargo produk perikanan. CA tentu saja akan menerapkan menejemen mutu berdasarkan ISO-9000 : 2000. Sertifikasi ISO-9000 :2000 terhadap sistem manajemen mutu merupakan “paspor global” untuk memasuki pintu gerbang perdagangan internasional. Dalam kaitan ini CA akan memiliki sistem manejemen yang diakui internasional, sehingga pada gilirannya mampu menjawab tantangan peraturan perdagangan dunia.
Ke depan, dalam situasi dunia seperti sekarang ini memang sudah saatnya kita berbenah diri agar supaya tetap mengambil bagian di pasar global. Sebagai negara tropis, keuntungan yang diperoleh adalah beragamnya keaneka ragaman hayati laut yang mempunyainilai ekonomis penting. Meningkatnya permintaan dan semakin ketatnya persaingan akan mendorong setiap negara meningkatkan kualitas mutunya sehingga apat bersaing di pasar global. Kita tidak boleh hanya mengandalkan pasar ekspor tradisional seperti Amerika dan Jepang akan tetapi strategi mega marketing, harus ditempuh dengan membuka pasar lebih luas. Kedepankan real quality, yakni kualitas yang menjadi kehendak konsumen yaitu produk perikanan dengan kualitas terbaik; dan yang tidak kalah pentingnya adalah cara berproduksi super effisien, yaitu menekan biaya yang paling murah, menekan biaya produksi sedemiian rupa sehingga terwujud harga jual yang murah.
Kebijakan dan peraturan sudah disiapkan, dituntut kesiapan para stakeholders melaksanakan jika tidak ingin ketinggalan kereta menerobos pasar global yang penuh dengan tantangan dan persaingan. Sebagai suatu bentuk kebijakan publik, tentu saja pemerintah tidak akan menjerumuskan rakyat, tetapi sebaliknya akan melindunginya. Dengan pengalaman di embargo negara maju; penulis ingin menyitir artikel dalam jurnal Fish and Fisheries (2005), ditulis oleh Smith dengan judul yang provokatif yaitu “Autopsy your dead and living : a proposal for fisheries science, fisheries management and fisheries” yaitu membedah akar permasalahan dan kebijakan berbasis kegagalan masa lalu; wawasan ini patut untuk bahan renungan para pembuat kebijakan jangan sampai terperosok kedua kali.
Penulis ::
Djoko Tribawono
Alumnus Perikanan UGM Tahun 1969
Dosen (LB) Fak.Perikanan dan Kelautan-UNAIR
Tidak ada komentar:
Posting Komentar