08 Januari, 2009

Obsesi Tomi Winata di Laut Arafuru

Tomy Winata (TW) kini sedang mewujudkan obsesinya menjadi raja ikan di Asia, melalui PT Maritim Timur Jaya (MTJ) yang berpusat di Tual, Maluku Tenggara. Berikut catatan Jawa Pos yang baru berkunjung dari sana.

Nama TW sering diidentikkan sebagai sosok kontroversial. . Namanya sempat dikait-kaitkan dengan bisnis remang-remang. Yang paling sering adalah perjudian. Tapi, TW tak ambil pusing dengan berbagai tudingan yang diarahkan kepadanya.

Imperium bisnis TW yang dibangun dengan bendera PT Danayasa Arthatama pada 1989, kini makin meraksasa. Pilar utama bisnisnya adalah properti dan keuangan. Sepuluh tahun terakhir, gurita bisnisnya melebar menjejali sektor konstruksi, properti, perhotelan, perbankan, transportasi, telekomunikasi sampai realestat.

Salah satu kisah kesuksesan TW adalah proyek raksasa di kawasan SCBD (Sudirman Central Business District) dengan investasi USD 3,25 miliar (sekitar Rp 32,5 triliun).

Kehebatan TW mengelola kerajaan bisnisnya kerap mengundang tuduhan miring dari para partner dan pesaing. TW dianggap memanfaatkan kedekatannya dengan militer untuk memudahkan laju bisnisnya. Tapi, tudingan itu direspons dingin dan cuek.

''Saya punya itung-itungan bisnis yang cepat dan tepat. Dan saya harus bekerja keras untuk mencapai tujuan bisnis saya. Terserah orang mau bilang apa. Semua bisnis saya formal dan legal,'' tandas TW kepada Jawa Pos pada suatu kesempatan makan siang.

Pria 50 tahun itu membuktikan ucapannya. Kiatnya cukup jitu mematahkan lawan bisnisnya. Buktinya, kini bisnis pria bernama asli Oe Suat Hong itu justru makin moncer. Berbanding terbalik dengan mayoritas pengusaha lain yang merintih terserang krisis global. Saat pengusaha lain meriang terkena flu krisis, TW malah melenggang dengan mainan barunya, bisnis perikanan.

Bisnis perikanan ini memang menjadi konsep bisnis TW di sektor pangan dan perikanan, terutama untuk mengantisipasi tekanan berat di sektor properti dan keuangan. ''Saat yang lain sedang memikirkan bagaimana menyelamatkan bisnisnya di properti dan keuangan, Pak TW sudah berpikir jauh. Menggarap pangan, yakni padi dan bisnis perikanan,'' terang juru bicara Artha Graha Upa Labuhari kepada Jawa Pos.

Bisnis padinya telah menuai hasil. Berbendera PT Sumber Alam Sutera (SAS), anak usaha Artha Graha itu menggarap bisnis benih padi hibrida. SAS menggandeng perusahaan Tiongkok, Guo Hao Seed Industry Co Ltd. Perusahaan tersebut telah menanamkan investasi USD 5 juta (sekitar Rp 50 miliar) untuk membangun Pusat Studi Padi Hibrida (Hybrid Rice Research Center) di Indonesia.

Padi hasil pengembangan SAS, Bernas Prima, telah dipanen di Kampung Jeruk Nyelap, Kelurahan Situ Mekar Lembur, Sukabumi, Jawa Barat, November tahun lalu. Varietas ini telah diuji coba di lahan seluas 10 hektare dan mampu menghasilkan 16 ton padi per hektare dalam satu kali panen.

Hasil itu meningkat tiga kali lipat dari hasil biasanya yang hanya enam ton per hektare setiap kali panen. Keunggulan lain varietas Bernas Prima adalah petani cukup menebar 15 kilogram bibit untuk satu hektarenya, berbeda dengan biasanya yang harus menebar 50 kilogram benih per hektar.

Yang teranyar, saat dunia terjangkit virus krisis, pria kelahiran Pontianak, Kalimantan Barat, 1958 silam itu justru berbangga dengan mesin uangnya yang baru: industri perikanan. Dengan investasi awal hampir USD 100 juta (sekitar Rp 1 triliun), TW bersiap membesarkan megaproyeknya di Industri perikanan dengan bendera PT Maritim Timur Jaya (MTJ).

MTJ merupakan perusahan yang bergerak di bidang perikanan dan ber-home base di Kota Tual, Maluku Tengara, kawasan yang berdekatan dengan wilayah konflik.

TW bermimpi menjadikan Kota Tual sebagai kota pusat industri perikanan di Maluku. Dari kota inilah, TW juga bermimpi menjadi raja ikan di kawasan Asia. ''Indonesia adalah negara dengan lautan terbesar di kawasan Asia. Tentu kita sedih jika bisnis ikan ini hanya didominasi yang tidak legal,'' terang TW.

Menurut dia, berdasar mapping, perairan di Laut Arafuru, perairan antara Sulawesi Utara dan Filipina (Laut Pasifik), dan Laut Natuna, termasuk fishing ground (daerah penangkapan) yang potensial. Karena itu, Tual yang terletak di Maluku Tenggara dan masuk wilayah Laut Arafuru, dipilih TW sebagai pengendali bisnis ikannya. ''Tual termasuk wilayah di Indonesia Timur yang kaya sumber daya ikan di dunia,'' tambahnya.

Untuk menjadikan Kota Tual sebagai kota industri perikanan di Indonesia, MTJ telah menyiapkan infrastruktur pendukung. Antara lain mendirikan kawasan industri beserta dermaganya di tanah seluas 140 hektare. Dermaga yang dimiliki MTJ berkapasitas panjang 330 meter, lebar 13 meter, dengan kedalaman air surut 6 meter - 9 meter, air pasang 10 meter. Dermaga tersebut ditunjang fasilitas menara navigasi, pengarah lampu, tangki pengisian BBM, dan persediaan air segar.

Kompleks dermaga dilengkapi juga power plant dengan luas bangunan 560 meter persegi di tanah seluas 2.420 meter persegi dengan generator set 4 unit Mak (Jerman) jenis 6 M20 dan power output 4 x 1140 kw. Selain untuk keperluan energi di dermaga, power plant itu dimanfaatkan juga untuk memberi pasokan listrik kepada industri dan kota di Tual.

Orang nomor dua di Artha Graha Group yang juga direktur utama MTJ, David Tjioe mengatakan, ada tiga misi yang dibawa MTJ di bisnis perikanan. Pertama, sebagai kepentingan bisnis Artha Graha. Kedua, mempersempit gerak operasi pelaku illegal fishing di Laut Arafuru. Ketiga, menjadikan Kota Tual sebagai kota industri berbasis perikanan.

''Kami telah memiliki 50 kapal ikan dengan daerah operasi di perairan Laut Arafura, kawasan laut Maluku Tenggara,'' kata David. Membangun industri maritim, kata Tjioe, bukan masalah gampang. Aparatur pemerintah harus bisa konsisten terhadap peraturan perundang-undangan.

''Para pengusaha pun tidak boleh hanya berharap tersedianya fasilitas dari pemerintah, harus punya inisiatif dan komitmen untuk membangun usaha dan daerah tempat dia berinvestasi. Intinya, pengusaha dan pemerintah harus bersinergi,' ' katanya.

David berharap para pengusaha ikan yang mendulang untung dari Laut Arafuru terlibat dalam pembangunan Maluku Tenggara. ''Tidak hanya mengangkut hasil lautnya, tapi daerahnya ditinggal,'' ujarnya.

David mengatakan, perusahaannya sempat mati suri karena regulasi yang kurang mendukung iklim investasi di bidang perikanan. ''Namun, sejak 2007, kami kembali beroperasi. Tahun ini kami bisa mengekspor lebih dari 60 ribu ton ikan ke Tiongkok,'' kata David. ''Tiongkok tetap menjadi prioritas kami. Bahkan, belum berpikir masuk negara lain. Dengan penduduk 1,4 miliar, pasar Tiongkok sangat potensial,'' jelas David.

Pimpinan Artha Graha peduli ini menambahkan, Indonesia sangat berpotensi menjadi negara pengendali harga ikan di kawasan Asia. Luas perairan laut Indonesia 5,8 juta km2 dengan garis pantai terpanjang di dunia, yakni 81.000 km. Dengan 17.508 gugusan pulau, Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang berada pada batas dua samudra. Kondisi tersebut merupakan potensi lautan yang sangat besar.

''Mengapa produksi kita kalah dengan Thailand atau Vietnam? Itu karena ada mafia di laut. Banyak illegal fishing yang dibiarkan. Target kita menjadikan Indonesia sebagai pengendali harga ikan di Asia. Kita harus memimpin di industri ikan ini,'' tegasnya kepada Jawa Pos. (yun/kum)
http://jawapos. com/halaman/ index.php?act= detail&nid=44755

Tidak ada komentar:

Posting Komentar