08 Januari, 2009

DILEMA INDUSTRI PERIKANAN

Dalam rangka melaksanakan strategi pro poor dan pro job, pemerintah telah menetapkan kebijaksanaan mulia, yakni melarang ekspor hasil perikanan dalam bentuk mentah, glondongan, tanpa diolah. Dengan demikian, maka unit pengolahan atau pabrik pengalengan dapat menggulirkan roda pabriknya, dan akan menyerap tenaga kerja, yang pada akhirnya tentu dapat berperan mengurangi kemiskinan.

Akan tetapi, yang terjadi adalah munculnya sebuah dilema. Ikan harganya sangat mahal bila dapat dijual dalam keadaan hidup. Berikutnya turun harga secara berurutan ke bawah, ikan segar, ikan beku, ikan kaleng, ikan asin dan tepung ikan. Kedua, ikan adalah jenis produk yang mudah busuk (perishable product). Dengan demikian, maka mempertahankan mutu, tentu berkejaran dengan waktu. Percepatan alur produksi berarti peningkatan mutu, adapun sebaliknya yaitu perubahan rantai produksi dapat berakibat kemunduran mutu.

Itulah dilema yang dihadapi, antara menyediakan lapangan kerja dengan memaksa eksportir untuk terlebih dahulu mengolah produknya, atau membiarkan di ekspor berupa produk mentah, agar pengusaha memperoleh keuntungan lebih besar. Keputusan melarang ekspor produk ikan tanpa diproses telah ditetapkan, tapi yang terjadi, karena unit pengolahan ikan atau unit pembekuan tidak mampu lagi menampung bahan baku yang disebabkan oleh surplus produksi hulu, padahal pasar hasil olahan menurun.
Berkaitan dengan kelebihan produksi hasil tangkapan ikan cakalang dan tongkol tersebut, Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) membentuk Tim Ad Hoc Verifikasi Inventori ke daerah-daerah sentra produksi. Tim ini secara serentak melakukan verifikasi pada akhir bulan Nopember 2008 di 6 (enam) sentra produksi yaitu Benoa (Bali), Bitung (Sulawesi Utara), Kendari (Sulawesi Tenggara), Ambon (Maluku), Pelabuhan Jakarta, dan Sorong (Papua Barat).

Dari sejumlah 37 perusahaan yang diverifikasi di sentra produksi tersebut, terdapat 6 (enam) perusahaan yang kelebihan pasokan bahan baku, yakni berada di Benoa, Bali (3 perusahaan); Ambon, (1 perusahaan), dan Pelabuhan Muara Baru, Jakarta (2 perusahaan).

Kelebihan stok inventori ikan cakalang tersebut disebabkan oleh permintaan Unit Pengolahan Ikan (UPI) di dalam negeri menurun sebagai akibat dari kelesuan pasar internasional. Anomali musim cakalang yang dalam tahun 2008, produksinya cenderung lebih baik dari tahun sebelumnya, bahkan mencapai puncaknya pada kuartal terakhir 2008. Diprediksi kondisi tersebut akan tetap tinggi hingga Maret 2009. Sedangkan penyebab lainnya, didapatkan bahwa kapasitas gudang yang tersedia ternyata lebih rendah dari kapasitas produksi penangkapan kapal milik perusahaan maupun hasil tampungan dan produksi mitra nelayan lainnya. Dari sisi pendistribusian, terjadi kesulitan mengangkut hasil tangkapan dari daerah yang surplus stok inventori cakalang ke daerah yang kekurangan stok.

Mengatasi fakta dan kondisi yang terjadi, DKP merekomendasikan hal-hal sebagai berikut:
Memberikan kuota ekspor ikan cakalang tanpa diolah sebesar 3.000 ton untuk batas 3 (tiga) bulan ke depan, yang terbagi kepada ASTUIN (Asosiasi Tuna Indonesia) sebesar 1.500 ton, dan kepada ATLI (Asosiasi Tuna Longline Indonesia) sebesar 1.500 ton. Pembagian kouta kepada perusahaan-perusahaan, diserahkan kepada Asosiasi.
Perusahaan yang melakukan ekspor cakalang olahan, diharuskan menata sistem inventori-nya melalui upaya-upaya sebagai berikut:
Membangun/mengembangkan cold storage tambahan;
Bekerjasama dengan unit-unit pengolahan yang ada untuk menjalin kemitraan dalam rangka sistem pengelolaan perikanan terpadu; dan
Membangun unit processing plant cakalang olahan katsuobushi, pengalengan, loin/saku, tataki, dan bentuk olahan lainnya.
Sekiranya kebijakan ini diterima, maka akan ditindaklanjuti dengan melakukan sosialisasi kepada stakeholder terkait, khususnya ke Dinas Kelautan dan Perikanan di daerah, Kepala LPPMHP, dan pelaku usaha.

Jakarta, 5 Januari 2008
Kepala Pusat Data, Statistik dan Informasi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar