Ari Purbayanto
Ide DKP untuk melakukan moratorium atau penutupan sementara kegiatan penangkapan ikan di Laut Arafura patut diapresiasi. Hal ini dikarenakan, baik data statistik perikanan maupun hasil riset para akademisi mengungkapkan bahwa kondisi perikanan di Laut Arafura menunjukan indikasi over fishing dan over capacity. Tentu saja, kebijakan mulia DKP tersebut vis a vis dengan kepentingan asing dalam melakukan eksploitasi sumberdaya ikan di Laut Arafura. Bahkan, para pemilik kapal ikan asing selalu beragumen bahwa kebijakan moratorium akan bertentangan dengan hukum internasional yang berlaku. Benarkah demikian?
Terlepas dari perdebatan DKP dengan ide konservasinya dan para pemilik kapal ikan asing dengan kepentingan eksploitasinya, kebijakan moratorium yang digaungkan sejak tahun 2007 adalah gagasan berani DKP di tengah tekanan asing. Untuk itu, tulisan ini mencoba memaparkan bukti terjadinya over fishing di Laut Arafura, yang disertai justifikasi hukum dalam memperkuat dikeluarkannya kebijakan moratorium tersebut.
Bukti Ilmiah Terbaik
Meskipun statistik perikanan Indonesia senantiasa menjadi perdebatan, data-data yang tersedia serta hasil riset mengenai kegiatan perikanan tangkap di Laut Arafura dapat dijadikan rujukan betapa pentingnya dilakukan moratorium. Beberapa hasil kajian/riset yang dapat dijadikan argumen terhadap perlunya moratorium, diantaranya yaitu:
Pertama, kajian DKP dengan LIPI melaporkan bahwa telah terjadi penurunan potensi sumberdaya ikan di Laut Arafura. Kajian potensi tahun 2002 tersebut mengungkapkan bahwa potensi sumberdaya ikan demersal di wilayah Laut Arafura sebesar 202.340 ton/tahun dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) dan tingkat produksi sebesar 161.870 ton/tahun dan 156.600 ton/tahun. Artinya, tingkat pemanfaatan ikan demersal sudah berada pada posisi optimal (fully exploited). Bahkan, kondisi sumberdaya udang penaeid lebih parah lagi, karena potensinya hanya 43.100 ton/tahun dan JTB 34.480 ton/tahun sementara produksinya mencapai 36.670 ton/tahun. Artinya, tingkat pemanfaatan udang sudah terjadi over fishing. Kondisi penangkapan ikan yang berlebih juga terjadi pada sumberdaya lobster dan ikan karang konsumsi.
Kedua, laporan BPPI 1998 mengungkapkan bahwa terjadi peningkatan rasio ikan yang tertangkap terhadap udang. Hasil penelitian KM. Bawal Putih II yang menggunakan pukat udang pada periode 1995-1998 melaporkan bahwa produksi rata-rata antara udang dan ikan memiliki rasio 1:9. Artinya, setiap 1 kg udang yang tertangkap, maka ada ikan yang tertangkap sebanyak 9 kg. Bahkan, hasil penelitian sebelumnya mengungkapkan bahwa kisaran rasio tersebut berada pada 1:8 - 1:13. Semakin tinggi rasio tersebut, maka kondisi perikanan di Laut Arafura akan semakin terancam. Karena tertangkapnya ikan oleh pukat udang adalah sebagai hasil tangkapan sampingan yang tidak diharapkan (by-catch), yang ironisnya by-catch tersebut sebagian besar dibuang di tengah laut begitu saja. Jumlah by-catch yang dibuang dari kapal-kapal pukat udang yang mengantongi izin saja sudah mencapai 332.168 ton per tahun (Purbayanto et al. 2004).
Ketiga, Ditjen Perikanan tahun 2001 melaporkan bahwa telah terjadi penurunan hasil tangkapan udang per pengangkatan jaring (haul). Kapal peneliti KM Bawal Putih mencatat bahwa pada tahun 1995 hasil tangkapan udang per haul sebesar 89,4 kg, sementara pada tahun 1999 berubah menjadi 40,3 kg. Artinya, dalam jangka waktu empat tahun saja, hasil tangkapan udang menurun drastis hampir mencapai setengahnya.
Keempat, hasil studi Sadhotomo tahun 2003 mengungkapkan bahwa: (1) telah terjadinya penurunan kelimpahan stok yang ditunjukan oleh penurunan laju tangkap, (2) peningkatan dominasi krustase lainnya (rajungan), dan (3) pergeseran spesies udang dan penurunan ukuran udang yang tertangkap.
Fakta-fakta terjadinya over fishing tersebut di atas, tidak dapat dilepaskan dari banyaknya kapal-kapal perikanan yang menggunakan alat tangkap pukat udang dan pukat ikan di Laut Arafura. Sampai saat ini jumlah pukat udang dan pukat ikan yang beroperasi di ZEE laut Arafura masing-masing 128 buah dan 317 buah. Sadhotomo mengingatkan, bahwa pengoperasian pukat tersebut akan mempengaruhi komposisi spesies dan komposisi ukuran krustase dan ikan-ikan demersal. Selain itu, diyakini bahwa penangkapan dengan pukat tersebut akan menimbulkan perubahan pada struktur mikrobentos perairan.
Justifikasi Hukum
Ketersediaan data sebagaimana yang telah diuraikan di atas, merupakan alasan yang kuat atas kebijakan moratorium perikanan tangkap di Laut Arafura. Hal ini dikarenakan, ketersediaan bukti ilmiah terbaik (the best scientific evidence) merupakan jaminan dalam mewujudkan konservasi dan pengelolaan perikanan yang keberlanjutan (sustainability) sebagaimana yang tertuang dalam berbagai ketentuan internasional, seperti United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS 1982), UN Fish Stock Agreement 1995, Code of Conduct for Responsible Fisheries 1995, dan IPOA on IUU Fishing 2001.
Dengan demikian, bukti ilmiah tersebut di atas dapat dijadikan argumen yang kuat untuk menetapkan Laut Arafura sebagai kawasan yang tertutup sementara. Tentu saja, penutupan tersebut tidak diberlakukan untuk semua jenis alat tangkap. Dengan kata lain, penutupan sementara hanya ditujukan pada alat tangkap yang "rakus" seperti pukat udang dan pukat ikan.
Lantas bagaimana dengan masalah surplus ikan yang selalu dipertentangkan pihak asing, apakah Indonesia sebagai negara pantai diwajibkan untuk memberikan akses pemanfaatan surplus ikan kepada negara lain? Untuk menjawab ini, kita harus membaca Pasal 62 ayat (2) UNCLOS 1982 secara jeli. Inti dari Pasal tersebut adalah, dalam hal negara pantai tidak memiliki kemampuan untuk memanfaatkan seluruh JTB, maka negara pantai tersebut melalui perjanjian atau pengaturan lainnya memberikan kesempatan kepada negara lain untuk memanfaatkan JTB yang masih tersisa.
Pertanyaannya adalah, apakah benar di Laut Arafura masih ada JTB yang tersisa? Padahal data-data yang tersedia membuktikan bahwa kawasan perairan Laut Arafura sudah mengalami over fishing dan perlu penanganan yang lebih serius guna menjaga kelestarian dan memulihkan sumberdaya ikan. Dengan demikian, berdasarkan pada UNCLOS 1982, bahwa kebijakan moratorium di Laut Arafura tidak akan bertentangan dengan ketentuan internasional apapun.
Lebih dari itu, I Made Pasek Diantha (2002) mengutip pendapat Douglas M. Jhonston menyebutkan bahwa pemberian akses atas surplus ikan di ZEE kepada pihak asing lebih mencerminkan kepada itikad baik (good will) semata dari negara pantai. Pendapat tersebut dilandasi oleh adanya pemberian kesempatan yang luas kepada negara pantai untuk membuat persyaratan- persyaratan (dalam pemberian ijin operasional) dalam bentuk peraturan perundang-undangan nasional dan peraturan pelaksanaan sebagaimana yang dimuat pada Pasal 62 ayat (4) UNCLOS 1982.
Dasar hukum lain yang kuat adalah Pasal 7 ayat (1) huruf h UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, yaitu bahwa dalam rangka mendukung kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan, Menteri menetapkan daerah, jalur, dan waktu atau musim penangkapan ikan. Dalam penjelasannya disebutkan, yang dimaksud dengan "waktu atau musim penangkapan" adalah penetapan pembukaan dan penutupan area atau musim penangkapan untuk memberi kesempatan bagi pemulihan sumber daya ikan dan lingkungannya.
Sebagai penutup, penulis menyatakan bahwa baik secara ilmiah maupun secara hukum, kebijakan DKP yang akan melakukan moratorium di wilayah Laut Arfura dapat dibenarkan. Data statistik perikanan dan hasil riset para akademisi yang mengungkapkan bahwa telah terjadi over fishing di wilayah Laut Arafura, khususnya pada sumberdaya ikan demersal dan udang merupakan justifikasi ilmiah sebagai syarat memenuhi the best scientific evidence.
Sementara Pasal 62 ayat (2) UNCLOS 1982 merupakan justifikasi hukum yang memperkuat kebijakan moratorium, karena tidak adanya surplus ikan serta dalam rangka memulihkan sumberdaya ikan yang mengalami over fishing. Hal lain yang perlu dicatat adalah, moratorium hanya akan diberlakukan terhadap pukat udang dan pukat ikan, karena potensi ikan pelagis besar dan kecil masih bisa dioptimalkan dengan menggunakan alat tangkap lain. Akan kah kebijakan moratorium dapat dilaksanakan? Semoga. Penulis : Guru Besar Teknologi Penangkapan Ikan, Dept PSP-FPIK IPB
Sumber : Forum Illegal Fishing Indonesia
Ide DKP untuk melakukan moratorium atau penutupan sementara kegiatan penangkapan ikan di Laut Arafura patut diapresiasi. Hal ini dikarenakan, baik data statistik perikanan maupun hasil riset para akademisi mengungkapkan bahwa kondisi perikanan di Laut Arafura menunjukan indikasi over fishing dan over capacity. Tentu saja, kebijakan mulia DKP tersebut vis a vis dengan kepentingan asing dalam melakukan eksploitasi sumberdaya ikan di Laut Arafura. Bahkan, para pemilik kapal ikan asing selalu beragumen bahwa kebijakan moratorium akan bertentangan dengan hukum internasional yang berlaku. Benarkah demikian?
Terlepas dari perdebatan DKP dengan ide konservasinya dan para pemilik kapal ikan asing dengan kepentingan eksploitasinya, kebijakan moratorium yang digaungkan sejak tahun 2007 adalah gagasan berani DKP di tengah tekanan asing. Untuk itu, tulisan ini mencoba memaparkan bukti terjadinya over fishing di Laut Arafura, yang disertai justifikasi hukum dalam memperkuat dikeluarkannya kebijakan moratorium tersebut.
Bukti Ilmiah Terbaik
Meskipun statistik perikanan Indonesia senantiasa menjadi perdebatan, data-data yang tersedia serta hasil riset mengenai kegiatan perikanan tangkap di Laut Arafura dapat dijadikan rujukan betapa pentingnya dilakukan moratorium. Beberapa hasil kajian/riset yang dapat dijadikan argumen terhadap perlunya moratorium, diantaranya yaitu:
Pertama, kajian DKP dengan LIPI melaporkan bahwa telah terjadi penurunan potensi sumberdaya ikan di Laut Arafura. Kajian potensi tahun 2002 tersebut mengungkapkan bahwa potensi sumberdaya ikan demersal di wilayah Laut Arafura sebesar 202.340 ton/tahun dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) dan tingkat produksi sebesar 161.870 ton/tahun dan 156.600 ton/tahun. Artinya, tingkat pemanfaatan ikan demersal sudah berada pada posisi optimal (fully exploited). Bahkan, kondisi sumberdaya udang penaeid lebih parah lagi, karena potensinya hanya 43.100 ton/tahun dan JTB 34.480 ton/tahun sementara produksinya mencapai 36.670 ton/tahun. Artinya, tingkat pemanfaatan udang sudah terjadi over fishing. Kondisi penangkapan ikan yang berlebih juga terjadi pada sumberdaya lobster dan ikan karang konsumsi.
Kedua, laporan BPPI 1998 mengungkapkan bahwa terjadi peningkatan rasio ikan yang tertangkap terhadap udang. Hasil penelitian KM. Bawal Putih II yang menggunakan pukat udang pada periode 1995-1998 melaporkan bahwa produksi rata-rata antara udang dan ikan memiliki rasio 1:9. Artinya, setiap 1 kg udang yang tertangkap, maka ada ikan yang tertangkap sebanyak 9 kg. Bahkan, hasil penelitian sebelumnya mengungkapkan bahwa kisaran rasio tersebut berada pada 1:8 - 1:13. Semakin tinggi rasio tersebut, maka kondisi perikanan di Laut Arafura akan semakin terancam. Karena tertangkapnya ikan oleh pukat udang adalah sebagai hasil tangkapan sampingan yang tidak diharapkan (by-catch), yang ironisnya by-catch tersebut sebagian besar dibuang di tengah laut begitu saja. Jumlah by-catch yang dibuang dari kapal-kapal pukat udang yang mengantongi izin saja sudah mencapai 332.168 ton per tahun (Purbayanto et al. 2004).
Ketiga, Ditjen Perikanan tahun 2001 melaporkan bahwa telah terjadi penurunan hasil tangkapan udang per pengangkatan jaring (haul). Kapal peneliti KM Bawal Putih mencatat bahwa pada tahun 1995 hasil tangkapan udang per haul sebesar 89,4 kg, sementara pada tahun 1999 berubah menjadi 40,3 kg. Artinya, dalam jangka waktu empat tahun saja, hasil tangkapan udang menurun drastis hampir mencapai setengahnya.
Keempat, hasil studi Sadhotomo tahun 2003 mengungkapkan bahwa: (1) telah terjadinya penurunan kelimpahan stok yang ditunjukan oleh penurunan laju tangkap, (2) peningkatan dominasi krustase lainnya (rajungan), dan (3) pergeseran spesies udang dan penurunan ukuran udang yang tertangkap.
Fakta-fakta terjadinya over fishing tersebut di atas, tidak dapat dilepaskan dari banyaknya kapal-kapal perikanan yang menggunakan alat tangkap pukat udang dan pukat ikan di Laut Arafura. Sampai saat ini jumlah pukat udang dan pukat ikan yang beroperasi di ZEE laut Arafura masing-masing 128 buah dan 317 buah. Sadhotomo mengingatkan, bahwa pengoperasian pukat tersebut akan mempengaruhi komposisi spesies dan komposisi ukuran krustase dan ikan-ikan demersal. Selain itu, diyakini bahwa penangkapan dengan pukat tersebut akan menimbulkan perubahan pada struktur mikrobentos perairan.
Justifikasi Hukum
Ketersediaan data sebagaimana yang telah diuraikan di atas, merupakan alasan yang kuat atas kebijakan moratorium perikanan tangkap di Laut Arafura. Hal ini dikarenakan, ketersediaan bukti ilmiah terbaik (the best scientific evidence) merupakan jaminan dalam mewujudkan konservasi dan pengelolaan perikanan yang keberlanjutan (sustainability) sebagaimana yang tertuang dalam berbagai ketentuan internasional, seperti United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS 1982), UN Fish Stock Agreement 1995, Code of Conduct for Responsible Fisheries 1995, dan IPOA on IUU Fishing 2001.
Dengan demikian, bukti ilmiah tersebut di atas dapat dijadikan argumen yang kuat untuk menetapkan Laut Arafura sebagai kawasan yang tertutup sementara. Tentu saja, penutupan tersebut tidak diberlakukan untuk semua jenis alat tangkap. Dengan kata lain, penutupan sementara hanya ditujukan pada alat tangkap yang "rakus" seperti pukat udang dan pukat ikan.
Lantas bagaimana dengan masalah surplus ikan yang selalu dipertentangkan pihak asing, apakah Indonesia sebagai negara pantai diwajibkan untuk memberikan akses pemanfaatan surplus ikan kepada negara lain? Untuk menjawab ini, kita harus membaca Pasal 62 ayat (2) UNCLOS 1982 secara jeli. Inti dari Pasal tersebut adalah, dalam hal negara pantai tidak memiliki kemampuan untuk memanfaatkan seluruh JTB, maka negara pantai tersebut melalui perjanjian atau pengaturan lainnya memberikan kesempatan kepada negara lain untuk memanfaatkan JTB yang masih tersisa.
Pertanyaannya adalah, apakah benar di Laut Arafura masih ada JTB yang tersisa? Padahal data-data yang tersedia membuktikan bahwa kawasan perairan Laut Arafura sudah mengalami over fishing dan perlu penanganan yang lebih serius guna menjaga kelestarian dan memulihkan sumberdaya ikan. Dengan demikian, berdasarkan pada UNCLOS 1982, bahwa kebijakan moratorium di Laut Arafura tidak akan bertentangan dengan ketentuan internasional apapun.
Lebih dari itu, I Made Pasek Diantha (2002) mengutip pendapat Douglas M. Jhonston menyebutkan bahwa pemberian akses atas surplus ikan di ZEE kepada pihak asing lebih mencerminkan kepada itikad baik (good will) semata dari negara pantai. Pendapat tersebut dilandasi oleh adanya pemberian kesempatan yang luas kepada negara pantai untuk membuat persyaratan- persyaratan (dalam pemberian ijin operasional) dalam bentuk peraturan perundang-undangan nasional dan peraturan pelaksanaan sebagaimana yang dimuat pada Pasal 62 ayat (4) UNCLOS 1982.
Dasar hukum lain yang kuat adalah Pasal 7 ayat (1) huruf h UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, yaitu bahwa dalam rangka mendukung kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan, Menteri menetapkan daerah, jalur, dan waktu atau musim penangkapan ikan. Dalam penjelasannya disebutkan, yang dimaksud dengan "waktu atau musim penangkapan" adalah penetapan pembukaan dan penutupan area atau musim penangkapan untuk memberi kesempatan bagi pemulihan sumber daya ikan dan lingkungannya.
Sebagai penutup, penulis menyatakan bahwa baik secara ilmiah maupun secara hukum, kebijakan DKP yang akan melakukan moratorium di wilayah Laut Arfura dapat dibenarkan. Data statistik perikanan dan hasil riset para akademisi yang mengungkapkan bahwa telah terjadi over fishing di wilayah Laut Arafura, khususnya pada sumberdaya ikan demersal dan udang merupakan justifikasi ilmiah sebagai syarat memenuhi the best scientific evidence.
Sementara Pasal 62 ayat (2) UNCLOS 1982 merupakan justifikasi hukum yang memperkuat kebijakan moratorium, karena tidak adanya surplus ikan serta dalam rangka memulihkan sumberdaya ikan yang mengalami over fishing. Hal lain yang perlu dicatat adalah, moratorium hanya akan diberlakukan terhadap pukat udang dan pukat ikan, karena potensi ikan pelagis besar dan kecil masih bisa dioptimalkan dengan menggunakan alat tangkap lain. Akan kah kebijakan moratorium dapat dilaksanakan? Semoga. Penulis : Guru Besar Teknologi Penangkapan Ikan, Dept PSP-FPIK IPB
Sumber : Forum Illegal Fishing Indonesia
menjaga kesehatan laut di sebuah negara kepulauan seperti Indonesia adalah suatu hal yang tak bisa di tunda. Pemerkosaan terhadap ecosystem laut tidak bisa terus di tolerir.
BalasHapusseharusnya illegal fishing di perangi seperti teroris. Hal itu mungkin terdengar kejam tetapi akan lebih kejam lagi ketika kita membiarkan status quo membunuh masa depan bangsa Indonesia secara masiv dan sistimatis dengan membiarkan ilegal fishing membunuh lautan Indonesia dengan kerakusan nya.
selamat berjuang pak
NB kebetulan di Indonesia belum ada perang melawan negara lain, mengapa angkatan laut tidak di kerahkan.... hitung-hitung agar mereka tidak hanya baris-berbaris melulu.