09 September, 2008

SUMBER DAYA IKAN BUKAN TAK TERBATAS

Dalam salah satu media cetak Jawa Timur; May.Jend. (Purn) Setya Purwaka Penjabat Gubernur Jawa Timur; menyatakan bahwa “Kalau ingin mengentaskan kemiskinan warga Jawa Timur maka sektor pertanian dan perikanan harus diperhatikan “ Signal kebijakan yang patut untuk direnung dan ditindak lanjuti mengingat kondisi petani dan nelayan sepertinya terpuruk akibat perekonomian yang tidak menentu.
Potensi mengandung harapan ?

Sumberdaya perikanan sangat kompleks dibanding “land based resources” seperti pertanian dan perkebunan; sehingga pengelolaannya pun dihadapkan pada sistem yang kompleks pula. Kompleksitas tersebut timbul dari sistem sumberdaya alam maupun adanya interaksi antara sistem sumberdaya alam dengan manusia. Stok sumberdaya ikan bermigrasi dan bergerak dalam ruang tiga dimensi; beda dengan sumberdaya teristial; demikian pula dengan hak kepemilikannya semakin menambah kompleksitas pengelolaan. Sumberdaya perikanan mengandung harapan masa depan, maka kebijakan mengangkat perikanan dan kelautan sebagai “prime mover” bagi pembangunan perekonomian bukan hal yang mustahil, asal pandai memanfaatkannya secara bijaksana.

Jawa Timur luas daratannya 36% x Luas Pulau Jawa; dikelilingi Laut Jawa, Selat Bali dan Samudera Hindia. Merujuk data Dinas Perikanan dan Kelautan (Diskanla) Propinsi Jawa Timur bahwa potensi sumberdaya ikan di Laut Jawa 398.320 ton/tahun; Selat Madura 128.854 ton/tahun; Selat Bali 56.444 ton/tahun; dan di Samudera Hindia 538.445 ton/tahunl angka potensi yang memberi harapan usaha perikanan tangkap ke depan ? Sekarang ini Tim Pengkajian Sumberdaya Ikan Nasional (KAJISKAN) menghindari angka potensi yang kadang menyesatkan karena setiap saat terjadi perubahan akibat pengelolaan yang tidak terkendali. Sehingga muncul “istilah” wilayah pengelolaan perikanan yang mempunyai “status hijau, kuning ataupun merah” masing-masing diartikan sebagai perairan berpeluang dieksploitasi, dieksploitasi secara terbatas, dan perairan dengan kondisi over fishing (lebih tangkap). Karenanya pengelolaan perairan laut Jawa Timur tidak hanya bertumpu pada potensi saja; tetapi cenderung pada realita perkembangan usaha perikanan tangkap.

Wilayah pengelolaan perikanan (WPP) regional Jawa Timur dibagi empat wilayah yaitu : WPP-I meliputi perairan L. Jawa dari Tuban hingga Madura Kepulauan; WPP-II perairan Selat Madura; WPP-III perairan Selat Bali, dan WPP-IV perairan Samudera Hindia dari Ujung Blambangan sampai Pacitan. Setiap perairan mempunyai sifat karakteristik; misal perairan pantai utara dicirikan dengan perairan padat tangkap. Selat Madura merupakan perairan sempit, padat tangkap dan masyarakat nelayannya bertemperamen tinggi; Selat Bali perairan yang berbentuk corong dengan komoditas unggulan ikan lemuru (Sardinella sp.). Dalam pada itu perairan Samudera Hindia masih belum dimanfaatkan optimal; jumlah nelayan relatif sedikit; dan terbuka peluang pengelolaannya.
Produksi ikan tahun 2007 sebesar 382.875,10 ton meningkat 3,38% dari tahun sebelumnya, jumlah alat tangkap mengalami peningkatan 12,3%; akibat bertambahnya alat tangkap pancing. Armada penangkapan justru turun 5,72%; namun demikian jumlah kapal motor meningkat 5,10%, perahu tanpa motor turun 4,64%, motor tempel turun 8,61% (Diskanla.Jatim,2008). Modernisasi yang berkembang diindikasikan dengan beralihnya usaha perikanan tangkap ke kapal motor; dikarenakan nelayan sudah lebih terampil menguasai sistem navigasi sehingga mereka berani menjangkau fishing ground lebih jauh; sebab sumberdaya ikan perairan pantai mulai berkurang.

Tim KAJISKAN mengisyaratkan status lampu merah di Laut Jawa berarti masuk katagori “over fishing” dan ini perlu mendapatkan catatan khusus karena nelayan pantai utara Jawa Timur masih mengadu nasib disitu. Demikian pula dengan Selat Madura; luasnya sekitar + 10.962 km2 menjadi ladang penangkapan ikan nelayan dari 11 (sebelas) Kota dan Kabupaten “kawasan tapal kuda”. Secara umum kawasan pantai mulai Surabaya sampai ke Situbondo maupun dari Bangkalan sampai Sumenep; padat kegiatan usaha perikanan dan non perikanan. Berkembangnya berbagai industri di kawasan itu; dampak pencemarannya secara langsung merubah peta konsentrasi usaha perikanan tangkap. Sumberdaya ikan yang multi species didominasi oleh jenis ikan pelagis kecil, memberi signal ada penurunan kelimpahan stok dan mengakibatkan penurunan produktifitas; berdampak pada penghasilan nelayan kecil; ujung-ujungnya memicu konflik nelayan (Sahri Muhammad,1998). Ikan demersal di dasar perairan, seperti ikan kurisi (Nemepterus spp), dan ikan pelagis kecil tembang (Sardinella fimbriata); maupun udang penaeid masih mempunyai “peluang diusahakan” dengan alat tangkap ramah lingkungan. Akan tetapi pada sisi yang lain dengan penggunaan jaring cantrang (Danish Seine) di perairan pantai yang menyapu dasar perairan tanpa terkendali, jaring purse seine, payang dan bagan merupakan alat tangkap tidak selektif, karena ukuran mata jaring bagian kantong lebih kecil 0.9 cm yang kemungkinan besar ikan berbagai ukuran ikut tertangkap mengakibatkan populasi ikan makin menurun. Ini memberi pertanda bahwasanya sumberdaya ikan bukannya tidak terbatas.

Konsep kehati-hatian kunci utama

Dalam FAO-Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF); etika/pedoman pengelolaan perikanan yang bertanggung jawab bahwa “States should apply the precautionary approach widely to conservation, management, and exploitation of aquatic resources in order to protect them and preserve the aquatic environment......” Saatnya mengedepankan konservasi dan menjaga lingkungan demi kelestarian sumberdaya ikan supaya usaha perikanan tetap berkelanjutan.. Tim KAJISKAN mengingatkan bahwasanya beberapa perairan Nusantara sudah masuk status merah antara lain perairan sekitar Jawa Timur. Mengangkat “perikanan sebagai prime mover” mengatasi kemiskinan perlu cara pendekatan kehati-hatian (precautionary approach) dalam pengelolaannya sehingga dengan kondisi sumberdaya seperti saat ini dapat menjadi lebih bermanfaat bagi nelayan.

Mendorong tumbuh dan berkembangnya sektor perikanan sebagai “alat mengentas kemiskinan” perlu disikapi dengan mengatur pelaksanaannya secara mantap. Seperti dinyatakan oleh Charles A.T. (1993) dalam tulisannya berjudul “Towards Sustainability: The Fishery Experience Ecological Economic” bahwa pembangunan perikanan mengalami evolusi, dari paradigma konservasi (biologi) ke paradigma rasionalisasi (ekonomi), kemudian ke paradigma sosial/komunitas; pemikiran ini masih relevan diterapkan untuk mengangkat harkat hidup dan kesejahteraan rakyat. Dalam kaitan ini ada aspek yang perlu diperhatikan antara lain : (1) ecological sustainability mengandung makna memelihara keberlanjutan stok/biomas sehingga tidak melampaui daya dukung, serta meningkatkan kapasitas dan kualitas ekosistem, (2) sosioeconomic sustainability yang artinya harus tetap memperhatikan keberlanjutan dan kesejahteraan pelaku perikanan (stakeholders) secara individu menjadi lebih baik, (3) community sustainability yaitu keberlanjutan kesejahteraan dari sisi komunitas atau masyarakat pada umumnya. Dengan ketiga aspek tersebut pelaksanaannya tidak akan berjalan lancar tanpa dukungan kelembagaan yang sinergis menyangkut pemeliharan aspek finansial dan administrasi (institutional sustainability).

Oleh karena sumberdaya ikan mempunyai keterbatasan “memperbaiki dirinya” sebagai reneable resources maka dibutuhkan keseimbangan antara eksploitasi dan konservasi-tehabilitasi. Misalnya rasionalisasi armada perikanan sesuai daya dukung sumberdaya ikan dapat dilakukan dengan pembatasan perizinan guna mengurangi tekanan eksploitasi sumberdaya ikan. Kemudian timbul pertanyaan apakah sudah waktunya mengatur pola pengelolaan seperti itu, mengingat ratusan ribu nelayan tradisional menggantungkan hidup keluarganya di perairan yang mulai menurun kualitasnya? Kiranya tidak ada jalan lain; kalau toh harus ditempuh, perlu langkah sosialisasi yang tidak menimbulkan gejolak sampingan sebagai dampaknya.

Kondisi faktual dari tumbuh dan berkembangnya sektor perikanan selama ini masih menuai banyak masalah di lapangan, dan ini menjadi acuan menyusun “Plan of Action” dalam menggerakkan sumberdaya ikan sebagai motor perekonomian Jawa Timur. Mengingat sumberdaya ikan menjadi “sangat terbatas” akibat over fishing, pencemaran limbah industri dan limbah domestik, kerusakan habitat mangrove, padang lamun dan terumbu karang, rebutan fishing ground serta penggunaan alat tangkap yang dilarang perlu segera dieliminasi, Langkah strategis lain yang bisa dilakukan adalah merubah perilaku nelayan yang semula berorientasi pada kuantitas hasil tangkapan ikan ke orientasi kualitas (mutu) sehingga mereka mempunyai daya saing di pasar dalam negeri maupun mancanegara. Memperbaiki kualitas sumberdaya ikan merupakan faktor kunci penyediaan berbagai jenis ikan ekonomis permintaan konsumen; seperti rehabilitasi dengan pembuatan terumbu karang buatan (TKB) akan menciptakan populasi berbagai jenis ikan karang yang harganya mahal.
Ibarat bendera start sudah dikibarkan, siapa pun nantinya gubernur terpilih dalam putaran kedua tentu tinggal melanjutkan idealisme mengentas kemiskinan melalui sektor perikanan.
Penulis ::
Djoko Tribawono
Ikatan Sarjana Perikanan Indonesia (ISPIKANI)
Dosen Tidak Tetap PS Budidaya Perairan FKH-UNAIR
Pemerhati Hukum/Peraturan Perikanan-Kelautan
Tinggal di Surabaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar