07 September, 2008

Bangsa Bahari Tradisi Besar yang Dilupakan

Jauh sebelum kedatangan orang-orang Eropa di perairan Nusantara pada paruh
pertama abad XVI, pelaut-pelaut negeri ini telah menguasai laut dan tampil
sebagai penjelajah samudra. Kronik China serta risalah-risalah musafir Arab
dan Persia menorehkan catatan agung tentang tradisi besar kelautan nenek
moyang bangsa Indonesia.


Serangkaian penelitian mutakhir yang dilakukan Robert Dick-Read (Penjelajah
Bahari: Pengaruh Peradaban Nusantara di Afrika, 2008) bahkan memperlihatkan
fenomena mengagumkan. Afrikanis dari London University ini, antara lain,
menyoroti bagaimana peran pelaut-pelaut nomaden dari wilayah berbahasa
Austronesia, yang kini bernama Indonesia, meninggalkan jejak peradaban yang
cukup signifikan di sejumlah tempat di Afrika.


Para penjelajah laut dari Nusantara diperkirakan sudah menjejakkan kaki
mereka di Benua Afrika melalui Madagaskar sejak masa-masa awal tarikh
Masehi. Jauh lebih awal daripada bangsa Eropa mengenal Afrika selain Gurun
Sahara-nya dan jauh sebelum bangsa Arab dan Zhirazi dengan perahu dhow
mereka menemukan kota-kota eksotis di Afrika, seperti Kilwa, Lamu, dan
Zanzibar.

”Meskipun (para pelaut Nusantara) tidak meninggalkan catatan dan
bukti-bukti konkret mengenai perjalanan mereka, sisa-sisa peninggalan mereka
di Afrika jauh lebih banyak daripada yang diketahui secara umum,” tulis
Dick-Read pada pengantar buku terbarunya.


Catatan hasil penelitian Dick-Read kian memperkaya khazanah literatur
tentang peran pelaut-pelaut Indonesia pada masa lampau. Bukti-bukti mutakhir
tentang penjelajahan pelaut Indonesia pada abad ke-5 yang dibentangkan
Dick-Read makin mempertegas pandangan selama ini bahwa sejak lebih dari
1.500 tahun lampau nenek moyang bangsa Indonesia adalah pelaut sejati.

Jauh sebelum Cheng Ho dan Columbus membuat sejarah pelayaran mereka yang
fenomenal, para penjelajah laut Nusantara bisa dikatakan sudah melintasi
sepertiga bola dunia. Meskipun sejak 500 tahun sebelum Masehi orang-orang
China sudah mengembangkan beragam jenis kapal dalam berbagai ukuran, hingga abad VII kecil sekali peran kapal China dalam pelayaran laut lepas.


Jung-jung China lebih banyak melayani angkutan sungai dan pantai.


Tentang hal ini, Oliver W Wolters (1967) mencatat bahwa dalam hal hubungan
perdagangan melalui laut antara Indonesia dan China—juga antara China dan
India Selatan serta Persia—pada abad V-VII, terdapat indikasi bahwa bangsa
China hanya mengenal pengiriman barang oleh bangsa Indonesia.


I-Tsing, pengelana dari China yang banyak menyumbang informasi terkait masa
sejarah awal Nusantara, secara eksplisit mengakui peran pelaut-pelaut
Indonesia. Dalam catatan perjalanan keagamaan I-Tsing (671-695 Masehi) dari
Kanton ke Perguruan Nalanda di India Selatan disebutkan bahwa ia menggunakan kapal Sriwijaya, negeri yang ketika itu menguasai lalu lintas pelayaran di ”Laut Selatan”.


Dengan kata lain, arus perdagangan barang dan jasa menjelang akhir milenium
pertama di ”jalur sutra” melalui laut— meminjam istilah arkeolog Hasan
Muarif Ambary (alm)—sangat bergantung pada peran pelaut-pelaut Indonesia.
Tesis Dick-Read bahkan lebih jauh lagi, bahwa pada awal milenium pertama
kapal-kapal Kun Lun (baca: Indonesia) sudah ikut terlibat dalam perdagangan
di Mediterania.


Masyarakat bahari


Denys Lombard (Nusa Jawa: Silang Budaya, Jilid 2), mengidentifikasikan nya
sebagai orang-orang laut, sedangkan Dick-Read merujuk ke sumber yang lebih
spesifik: orang-orang Bajo atau Bajau. Mereka ini semula berdiam di kawasan
Selat Melaka, terutama di sekitar Johor saat ini, sebelum akhirnya menyebar
ke berbagai penjuru Nusantara, dan pada sekitar abad XIV sebagian besar
bermukim di wilayah timur Indonesia.


Peran yang dimainkan para pelaut Indonesia pada masa silam tersebut terus
berlanjut hingga kedatangan orang-orang Eropa di Nusantara. Para penjelajah
laut dan pengelana samudra inilah yang membentuk apa yang disebut Adrian B
Lapian, ahli sejarah maritim pertama Indonesia, sebagai jaringan hubungan
masyarakat bahari di Tanah Air.


Anthony Reid (Sejarah Modern Awal Asia Tenggara, 2004) menyebut kelompok
masyarakat berbahasa Austronesia ini sebagai perintis yang merajut kepulauan
di Asia Tenggara ke dalam sistem perdagangan global.


Akan tetapi, pada abad XVIII masyarakat Nusantara dengan budaya maritimnya
yang kental itu mengalami kemunduran. Monopoli perdagangan dan pelayaran
yang diberlakukan pemerintahan kolonial Belanda, walau tidak mematikan,
sangat membatasi ruang gerak kapal-kapal pelaut Indonesia.


Ironisnya, setelah 68 tahun Indonesia merdeka, setelah PBB mengakui
Deklarasi Djoeanda (1957) bahwa Indonesia adalah negara kepulauan, tradisi
besar itu masih saja dilupakan.

Kini, kemiskinan dan keterbelakangan masyarakat nelayan dijumpai di banyak
tempat, sementara di sisi lain, kekayaan laut kita terus dikuras entah oleh
siapa.... (KEN) Kompas cetak, Jumat, 5 September 2008.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar